Senin, 12 November 2007

Sejarah Panjang Politik Diskriminasi dan Kekerasan Rasial (Makalah)

Sejarah Panjang Politik Diskriminasi dan Kekerasan Rasial
terhadap Kaum Tionghoa di Indonesia
Stefanus Rahoyo

“Orang-orang Tionghoa di negeri ini
berasal dari kelas pedagang, mereka hampir semuanya pedagang.
Dalam kapitalisme,
tujuan dari kapitalisme adalah
mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi diri sendiri.
Karena kenyataannya para pedagang Tionghoa
menjadi kepanjangan tangan dari kapitalis asing di masyarakat Indonesia,
mereka telah menimbulkan kesan yang tidak disenangi”

— Pidato Bung Hatta dalam persiapan pembentukan Chung Hua Tsung Hui (CHTH)[1]

I. Pendahuluan

Tahun 2000—sesaat setelah terpilih menjadi Presiden ke-4 Republik Indonesia—Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut Inpres No 14 Tahun 1967. Inpres yang berisi tentang Agama, Kepercayaan dan Adat-istiadat Tionghoa tersebut dikeluarkan Presiden (waktu itu) Soeharto tanggal 6 Desember 1967.
Tak susah ditebak bahwa isi Inpres di atas pada dasarnya merupakan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia (khususnya Orde Baru) menyangkut “keindonesiaan” warga etnis Tionghoa di Indonesia. Hal tersebut tampak jelas dalam butir keempat lampiran SKB Tiga Meteri: Menteri Agama (waktu itu) H. Alamsjah Ratu Perwiranegara; Menteri Dalam Negeri (ketika itu) Amir Machmud; dan Jaksa Agung (ketika itu) Ali Said. Dalam lampiran di atas disebutkan “Proses pembauran kehidupan di Indonesia berlangsung wajar, walaupun tidak menutup kemungkinan timbul hambatan psikologis, terutama bagi warga negara keturunan Tionghoa. Hal ini karena adanya hambatan budaya yang dihayati sebagian dari mereka atau nenek moyang mereka pada umumnya yang berkiblat ke negeri Cina, sekalipun mereka telah berabad-abad menjadi penduduk Indonesia. Keadaan ini diperkirakan akan menjauhkan kehidupan masyarakat Indonesia, walaupun mereka adalah warga negara Indonesia dan bukan warga negara Cina”[2]

Inpres No 14 tahun 1967 yang disusul SKB tiga menteri di atas praktis dengan serta-merta membelenggu kehidupan keagamaan dan kultural masyarakat Tionghoa di Indonesia. Jelasnya, masyarakat Tionghoa di Indonesia tidak boleh lagi melaksanakan ibadah sesuai agama dan kepercayaan leluhur mereka (Konghucu) dengan, misalnya, menampilkan tapekong dan barongsai dalam perayaan Tahun Baru Imlek.

Dengan sendirinya, setelah Inpres tersebut dicabut oleh Presiden Wahid, kini masyarakat Tionghoa di Indonesia kembali memperoleh kebebasan menjalankan ritual keagamaan dan bahkan secara de jure agama nenek moyang mereka pun (Konghucu) telah diakui sebagai agama negara.
Tak pelak, kebijakan pemerintah Orde Baru dengan Inpresnya di atas memang dirasa sebagai kebijakan yang diskriminatif dan oleh karena itu, demi kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin demokratis, harus dicabut
.Di sisi lain, sejarah juga mencatat bahwa sekitar 2 minggu sebelum Pemerintahan Orde Baru Soeharto tumbang, kerusuhan rasial (anti-Tionghoa) 12-13 Mei 1998 meletus di Jakarta dan Solo. Kerusuhan yang semula dipicu oleh penembakan terhadap mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta itu menelan ribuan nyawa manusia selain juga mempertontonkan kekerasan bahkan pemerkosaan massal terhadap para perempuan etnis Tionghoa. Kerugian material ditaksir mencapai sekurang-kurangnya Rp2,5 trilyun.[3]
Kepres No 14 Tahun 1967 dan kerusuhan rasial yang secara khusus mengarah kepada etnis Tionghoa sebagai korban pada 12-13 Mei 1998 bukanlah satu-satunya bukti betapa orang-orang Tionghoa di Indonesia telah diperlakukan secara tidak adil dan bahkan kejam dalam sepanjang sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Apa sajakah kebijakan diskriminatif dan kekerasan berbau rasial di Indonesia yang menimpa para etnis Tionghoa tersebut? Tulisan ini bermaksud mengulas secara sepintas dan menelusuri sebab-sebabnya. Tulisan difokuskan dengan pendekatan historis tetapi secara khusus berusaha menyoroti berbagai kekerasan rasial dan kebijakan pemerintah selama zaman pendudukan kolonial Belanda hingga zaman Orde Baru.
II. Kekerasan demi Kekerasan
II.a. Kedatangan Orang Tionghoa di Indonesia

Tidak ada catatan pasti, kapan tepatnya orang-orang Tionghoa untuk pertama kali datang ke negeri Indonesia (Nusantara). Namun demikian, diyakini bahwa sebagian besar bangsa Indonesia sebenarnya berasal dari Ras Melayu (bagian Selatan daratan Asia. Nenek moyang bangsa Indonesia ini datang dari sekitar Yunnan (Tiongkok bagian Barat Daya) menyusuri Siam, Semenanjung Indocina, Semenanjung Melayu dan akhirnya tiba di Nusantara.[4]

Sekalipun tak ada dokumen mengenai kapan pastinya orang-orang Tionghoa masuk Nusantara, berbagai catatan mengemukakan bahwa pada abad ke-14 di Jakarta (dulu Sunda Kelapa) telah ditemukan penduduk berkulit putih dengan mata rata-rata sipit ini. Begitupun, gelombang kedatangan besar-besaran orang Tionghoa ke Indonesia diperkirakan terjadi pada Abad XVI (di Jawa)[5] dan Abad XIX (di Sumatera)[6]. Mereka rata-rata meninggalkan negeri mereka akibat kesusahan hidup dan perang berkepanjangan.
II.b. Kekerasan Anti-Tionghoa

Tampaknya, kerusuhan, kekerasan dan pembunuhan terhadap orang-orang Tionghoa telah terjadi sejak jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada masa kolonial Belanda, tepatnya tanggal 9 Oktober 1740 hingga 22 Oktober 1740, pembantaian terhadap etnis Tionghoa terjadi di Batavia. Nama-nama tempat yang saat ini bisa ditemui di Jakarta menjadi saksi peristiwa mengerikan itu. Ada Kali Angke yang berarti banyak darah; ada Rawa Bangke yang berarti terdapat banyak bangkai manusia (Tionghoa); juga Tanah Abang yang berarti tanah merah akibat guyuran darah. Benny G. Setiono mencatat, dalam kerusuhan yang berlangsung selama dua minggu tersebut tidak kurang dari 10.000 orang Tionghoa telah dibunuh dengan cara disembelih, dibakar hidup-hidup, dan ditembaki. Jumlah orang Tionghoa di Batavia pasca-Peristiwa 1740 di atas tinggal 3.431 orang. Jumlah inilah yang kemudian mendapat pengampunan dari Gubernur Jenderal Valckenier yang kemudian ditempatkan di luar Batavia.[7]

Pada masa Kebangkitan Nasional tercatat, misalnya, Peristiwa Kudus 1918. Hanya karena disulut oleh perkelahian antara beberapa pemuda Tionghoa dengan anggota Sarekat Islam (SI)—itu pun telah berhasil dilerai—tanggal 31 Oktober 1918 ribuan massa SI dari Kudus dan sekitarnya (Jepara, Pati, Demak, dll) menjarah dan membakar rumah-rumah, toko dan pabrik milik orang Tionghoa.[8]

Pembantaian massal terhadap etnis Tionghoa juga terjadi tahun 1946 yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Tangerang. Dalam kerusuhan yang terjadi selama 5 hari (3 Juni s.d. 8 Juni 1946) itu tak kurang dari 600 orang Tionghoa dibunuh, lebih dari 1.000 rumah orang Tionghoa dibakar dan sekitar 25.000 orang Tionghoa harus mengungsi dari Tangerang ke Jakarta.[9]

Tanggal 10 Mei 1963 yakni pada masa Demokrasi Terpimpin, kerusuhan rasial terjadi di Bandung yang kemudian lebih dikenal dengan Persitiwa 10 Mei. Kerusuhan tersebut diyakini merupakan rangkaian dari perkelahian antara pemuda Tionghoa dan pemuda pribumi di Cirebon 13 Maret 1963. Sekalipun perkelahian di atas berhasil dilerai, kerusuhan sempat menjalar ke Tegal pada 5-6 Mei. Tanggal 10 Mei meletuslah kerusuhan rasial di Bandung yang dipicu oleh perkelahian di kampus Institut Teknologi Bandung antara pemuda Tionghoa dan pemuda pribumi.

Pada akhir 1980—tepatnya 22-23 November 1980—penjarahan, perusakan dan pembakaran rumah, toko dan kendaraan milik orang Tionghoa terjadi di Solo. Kerusuhan rasial di atas lagi-lagi hanya dipicu oleh perkelahian antara 3 siswa Sekolah Guru Olahraga (SGO) dan seorang pemuda Tionghoa. Kerusuhan, penjarahan, perusakan dan pembakaran itu bahkan kemudian juga menjalar ke Boyolali, Salatiga, Ambarawa, hingga Semarang. Puluhan milyar rupiah diperkirakan hangus sia-sia sebagai kerugian akibat kerusuhan di atas.[10]

Kerusuhan terakhir berbau rasial yang terjadi dalam masa pemerintahan Orde Baru adalah Peristiwa 12-13 Mei di atas. Titik kerusuhan yang semula berpusat di depan Kampus Trisakti, Grogol-Jakarta Barat dalam sekejap menjalar ke seluruh Jakarta dan dalam dua hari tersebut Jakarta seolah menjadi lautan api. Seluruh kegiatan lumpuh total. Kekerasan, penjarahan, pembunuhan dan pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa kembali mencoreng wajah Indonesia. Entah secara langsung atau tidak langsung kerusuhan rasial Mei 1998 tersebut turut andil dalam menjungkalkan rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama lebih dari 30 tahun.
III. Politik Diskriminasi
Diskriminasi warga negara atas dasar etnis telah diterapkan sejak zaman kolonial (1850-an). Ketika itu, pemerintah Hindia Belanda mengelompokkan penduduk Hindia Belanda ke dalam tiga golongan. Golongan pertama orang-orang Eropa; golongan kedua orang-orang Timur Asing dan golongan ketiga orang-orang pribumi (inlander). Yang dimaksud dengan golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) terutama adalah orang-orang Tionghoa dan Arab.[11]
Politik diskriminasi selanjutnya juga tampak dalam kebijakan-kebijakan kelompok sosial politik yang tumbuh selama pergerakan kemerdekaan Indonesia. Misalnya, Boedi Oetomo yang didirikan Dr. Wahidin Soedirohoesodo, seorang priyayi Jawa. Organisasi sosial ini membatasi keanggotaannya hanya untuk orang Jawa dan penduduk asli di Jawa dan Madura. Sarekat Islam yang didirikan oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto pada tahun 1911 bahkan dengan jelas merumuskan tujuannya yaitu menghancurkan monopoli perdagangan oleh kelompok Tionghoa. Adakah tujuan tersebut merupakan pemicu terlibatnya Sarekat Islam secara langsung dalam kerusuhan di Kudus tahun 1918? Sangat boleh jadi!
Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno tahun 1927 menyebut secara eksplisit tentang kebijakan partainya yang menolak keanggotaan biasa orang-orang Tionghoa. Dalam Pasal 4 Anggaran Dasar PNI disebutkan “Yang boleh menjadi anggota partai ini hanyalah orang-orang bangsa Indonesia ... orang-orang Asia lain boleh diterima menjadi anggota luar biasa.”[12]
Partai Indonesia Raya (Parindra) yang didirikan oleh Raden Sutomo dan Muhammad Husni Thamrin (tahun 1935) dalam kongresnya tahun 1938 menyatakan—lewat pidato M. Husni Thamrin—agar untuk sementara partai ini tidak membuka keanggotaan bagi warga negara peranakan. Bahkan Masjumi dalam kongresnya tahun 1956 melalui Sjafruddin Prawiranegara mengusulkan agar toko-toko kecil (yang pada umumnya dimiliki orang-orang Tionghoa) dikuasai oleh orang Indonesia.[13]
Sedangkan beberapa tokoh nasional yang tampak memiliki kesan negatif tentang kaum Tionghoa di Indonesia tak kurang di antaranya adalah Mohammad Hatta dan Soekarno sendiri. Mohammad Hatta, misalnya, menyatakan “bahwa selama tahun 1945-1946 banyak orang Tionghoa dipakai sebagai alat Belanda... Hal itu membuat para nasionalis Indonesia marah dan berakibat pada pembalasan terhadap golongan Tionghoa.[14] Hatta mengungkapkan kalimat tersebut tahun 1946 saat menanggapi Peristiwa Tangerang.
Sedangkan Soekarno dalam sebuah pidatonya tanggal 17 November 1945 memperingatkan dengan tegas “agar orang Tionghoa jangan ‘... memakai kesulitan rakyat untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya ... peraturan-peraturan pemerintah sering dilanggar, diselusupi, dihindari dan disabot ... Orang-orang asing ini telah membangkitkan rasa dendam ... menanamkan biji-biji kebencian rasial ... mereka melupakan Sejarah Tangerang dan Kebumen...’”[15]

Dalam konteks ini juga patut dicatat seorang tokoh politik dari Sumatera Barat; Assaat. Ia adalah mantan Pejabat Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1950. Pada bulan Maret 1956 dalam Kongres Ekonomi Nasional seluruh Indonesia (KENSI) ia menuntut pembedaan terhadap semua orang Tionghoa di Indonesia. Tujuan dari pembedaan ini adalah agar kekuatan ekonomi kaum Tionghoa Indonesia bisa dipatahkan.[16] Tuntutan itulah yang kemudian melahirkan Gerakan Assaat.

Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tidak hanya berhenti pada tataran personal dan organisasi sosial politik, tetapi negara lewat kebijakan-kebijakan resminya pun bahkan turut melakukan diskriminasi itu entah secara eksplisit ataupun implisit. Tercatat misalnya bulan Oktober 1956 Menteri Perekonomian Burhanudin yang berasal dari Nahdlatul Ulama (NU) mengeluarkan pernyataan tertulis agar izin mendirikan perusahaan pertama-tama diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang seratus persen dimiliki dan dikelola orang Indonesia asli.[17]
Awal tahun 1950 Menteri Kesejahteraan Djuanda mengumumkan perlindungan kepada “importer nasional” berupa kredit, izin, keistimewaan mengimpor barang-barang tertentu. Sistem ini kemudian lebih dikenal dengan Sistem Benteng. Sebagaimana sebuah benteng, ia akan melindungi para pengusaha pribumi dan secara perlahan-lahan “benteng” tersebut akan menciut untuk mendesak para pengusaha Tionghoa. Menurut catatan Suara Pembaruan Haji Kalla dan Bakrie adalah pengusaha pribumi yang besar karena sistem tersebut.[18]
Dalam praktiknya, karena kekurangan pengalaman, para pengusaha pribumi pun tidak begitu mampu memanfaatkan fasilitas tersebut. Maka, lahirlah apa yang dikenal dengan sistem Ali Baba. Ali (sebagai metafora pengusaha pribumi) sebagai pemegang lisensi impor, tetapi pelaksanaan riilnya tetap ada di tangan Baba (sebagai metafora pengusaha etnis Tionghoa).

Tahun 1959 pemerintah secara resmi mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 10/1959 yang berisi larangan bagi kaum Tionghoa berdagang eceran di tingkat Kabupaten ke bawah. Selain itu, usaha-usaha dagang eceran yang dimiliki orang-orang Tionghoa harus dialihkan kepada orang-orang pribumi sebelum 1 Januari 1960. Bisa dibayangkan, ribuan orang Tionghoa terpaksa harus menutup usaha dagang mereka sebagai konsekuensi dari pemberlakuan PP di atas.[19]

Pada masa Orde Baru kebijakan-kebijakan diskriminatif-rasialis semacam itu juga tetap berlangsung. Selain Inpres No 14 tahun 1967 seperti telah dibahas di atas, tercatat misalnya pada tahun 1967—tampaknya merupakan buntut gagalnya kudeta G 30 S/PKI—para penguasa militer di Jawa Timur dan sebagian Sumatera melarang orang Tionghoa asing untuk berdagang.
Selain itu, pada bulan Juni 1968 pemerintah mengeluarkan Undang-undang tentang modal investasi domestik. Undang-undang tersebut dengan jelas membedakan antara perusahaan nasional dan perusahaan asing. Masih menurut Undang-undang di atas, yang dimaksud dengan perusahaan nasional adalah perusahaan yang 51% modalnya dimiliki Warga Negara Indonesia. Bahkan, pada 1 Januari 1974 kepemilikan modal ini dinaikkan menjadi 75%.[20] Warga Negara Indonesia yang dimaksud dalam Undang-udang di atas jelas adalah orang-orang pribumi. Satu lagi kebijakan di masa Orba yang dipandang sangat diskriminatif adalah mengenai Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Ketentuan agar orang Tionghoa memiliki SBKRI selama berpuluh-puluh tahun menjadi legitimisasi perlakuan diskriminatif bahkan juga pemerasan terhadap kaum Tionghoa, justru oleh aparat negara. Pada masa Orba pulalah semua organisasi sosial-politik etnis Tionghoa dilarang atau dibekukan.

IV. Semata-mata Konflik Rasial?
IV.a. Faktor Ketimpangan (Ekonomi)

Benarkah berbagai kerusuhan rasial dalam sepanjang sejarah Indonesia yang pada umumnya menempatkan kaum Tionghoa sebagai korban merupakan konflik rasial? Ataukah semua itu semata-mata lebih merupakan konflik sosial yang kebetulan terjadi di antara dua ras (Tionghoa dan pribumi) sebagai akibat ketimpangan (ekonomi)?[21]
“Kenyataan bahwa teori-teori rasis adalah palsu tidaklah menutup kemungkinan terjadinya konflik-konflik rasial. Akan tetapi, konflik-konflik rasial tidaklah seperti apa yang diyakini oleh kaum rasis yaitu sebagai konflik antara ras-ras yang lebih rendah dan ras-ras yang lebih tinggi melainkan konflik-konflik tersebut merupakan konflik-konflik antara ras-ras yang berbeda-beda.”[22]

Pada masa pendudukan Belanda, penduduk Hindia Belanda memang dikelompok-kelompokkan menjadi 3 golongan. Ras Timur Asing yang terdiri dari terutama orang-orang Tionghoa dan Arab oleh Pemerintah Hindia Belanda diposisikan sebagai golongan yang lebih tinggi daripada golongan pribumi. Sedangkan golongan Netherland diposisikan sebagai golongan paling tinggi di antara ketiga golongan tersebut. Atas dasar apakah pemerintah Hindia Belanda menentukan kelas-kelas sosial semacam itu? Tampaknya, pemerintah Hindia Belanda dengan sadar melakukan hal tersebut sebagai implementasi dari politik Devide et Impera. Dengan kata lain, tanpa mengabaikan faktor-faktor objektif semacam cara hidup, tingkat sosial-ekonomi, mental dan kepribadian, faktor politis merupakan faktor paling dominan yang membuat pemerintah Hindia Belanda menciptakan pengelompokan-pengelompokan seperti di atas.

Tetapi, mengapakah kemudian harus selalu etnis Tionghoa yang menjadi sasaran dalam setiap kerusuhan rasial? Tentu saja tak ada jawaban tunggal untuk persoalan ini sebagaimana tak ada jawaban tunggal untuk persoalan-persoalan sosial yang lain. Tetapi, dengan mencermati ungkapan-ungkapan yang diberikan oleh para tokoh sejarah, setidak-tidaknya kita bisa dengan yakin menduga bahwa unsur ketimpangan ekonomilah yang menjadi faktor dominan terjadinya kerusuhan-kerusuhan di atas.
Mohammad Hatta dalam artikelnya yang berjudul “Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa” tahun 1957 menyatakan bahwa “kamu pribumi Indonesia telah berkorban bagi kemerdekaan Indonesia. Mereka ingin memperbaiki nasibnya (secara ekonomis) tetapi mendapati bahwa kaum minoritas Tionghoa menghadang jalannya.”[23]
Menteri Perdagangan (kala itu) Rachmat Muljomiseno dalam Konferensi Ekonomi Nasional tanggal 7 – 10 Mei 1966 menyatakan, “Adalah hak saudara sebagai tuan rumah untuk mempersilakan tamu (orang-orang Tionghoa) duduk di ruang tamu... Yang perlu dijaga ... jangan sampai sahabat masuk ke ruang istirahat saudara apalagi turut menanak nasi di dapur saudara”.[24]

Sementara itu, Sunarid (Menteri Luar Negeri dalam kabinet Alisatro Amijoyo) menyatakan bahwa “Orang Tionghoa hidup dalam kecukupan sedangkan orang Indonesia asli hidup dalam kemiskinan. Hal itulah yang menumbuhkan ketegangan rasial.”[25]
Kutipan beberapa tokoh nasional di atas memberi petunjuk terang bahwa di mata orang-orang pribumi, kaum Tionghoa adalah kaum yang rata-rata hidup lebih mapan dibandingkan kaum pribumi.

Dalam kasus di atas, teori konflik sosial yang dikembangkan Karl Marx mendapatkan konteksnya. Bagi Marx, bidang ekonomi merupakan bidang yang akan menentukan kehidupan politik dan pemikiran masyarakat.[26] Marx juga berkeyakinan bahwa “Bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, tetapi sebaliknya keadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka.”[27]
Ketika realitas kehidupan ekonomi menyadarkan orang-orang pribumi akan posisinya yang lebih rendah dan lemah dibandingkan dengan kehidupan ekonomi orang-orang Tionghoa, potensi konflik sosial telah tertanam di sana. Apalagi bila benar bahwa akibat penjajahan dan politik Devide et Impera pemerintahan Hindia Belanda, masyarakat pribumi memendam konflik batin yang pada akhirnya akan berkembang ke dalam kecenderungan-kecenderungan agresi dan dominasi[28], tak susah dimengerti bahwa hanya karena dipicu oleh hal-hal yang tampak sangat sepele (misalnya perkelahian pemuda) kerusuhan rasial pun begitu mudah membara di dalam masyarakat Indonesia.

Para penganut marxisme meyakini bahwa revolusi sosial akhirnya memang akan terjadi sebagai akibat pertentangan dalam bidang ekonomi antara kelas pemilik dan kelas pekerja. Dalam beberapa segi, keyakinan tersebut mendapat legitimasi sejarah sekalipun perlu dicatat bahwa ketimpangan ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya antagonisme sosial[29].

IV.b. Faktor Lain

Ada faktor-faktor lain yang patut dipertimbangkan sebagai potensi mahadahsyat yang setiap waktu bisa meledak dan menimbulkan kerusuhan rasial. Harian Kompas menyatakan, “Korupsi paling besar terjadi antara para pejabat, aparatur birokrasi, dan dunia usaha yang didominasi golongan keturunan Tionghoa.”[30] Agak susah menampik tudingan kalimat tersebut. Sebab, dalam realitas empirisnya, perilaku bisnis—setidak-tidaknya sebagian—kaum Tionghoa memang penuh kolusi, korupsi dan nepotisme.

Samar-samar sering terdengar bahwa ikatan etnisitas di antara mereka tampak terlalu kuat hingga dalam dunia kerja, misalnya, orang-orang pribumi yang kebetulan sama-sama bekerja dalam sebuah perusahaan milik etnis Tionghoa diperlakukan secara diskriminatif! Pun pula tak bisa disangkal bahwa beberapa pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang kebetulan beretnis Tionghoa melarikan diri ke luar negeri, menyelamatkan diri setelah menikmati berbagai fasilitas dari negara dan mengeruk kekayaan di Indonesia. Barangkali memang tidak berlebihan bila—sebagaimana telah dikutip di atas—Soekarno pernah menuding kaum Tionghoa suka melanggar, menghindari dan menyabot peraturan.

Bagi Mohammad Hatta “Orang Tionghoa adalah orang asing yang berkuasa dalam bidang ekonomi dan suka dipakai oleh penguasa kolonial Belanda dan tidak disukai penduduk pribumi karena kekuatan ekonominya dan tindakan-tindakan mereka yang kurang susila. Hatta menekankan, kaum pribumi mau menerima mereka asal mereka mau melebur dengan masyarakat Indonesia.”[31]

Ekslusif! Barangkali itulah kesan yang ingin disampaikan Mohammad Hatta lewat kalimat di atas. Dan, sekalipun bisa dipastikan tidak 100% benar, kesan itu pula yang sering hinggap dalam kepala masyarakat pribumi pada umumnya tentang orang-orang Tionghoa. Celakanya, kesan eksklusif tersebut bagaimanapun sering kali juga menjadi sumbu penyulut terjadinya kerusuhan-kerusuhan sosial. Justru karena itulah pemerintah Orde Baru—sekalipun ditentang beberapa kalangan dan terbukti tidak efektif—sampai-sampai harus berkampanye tentang perlunya asimilasi antara kaum Tionghoa dengan kaum pribumi.

V. Penutup

Adalah menarik bahwa beberapa sunan yang termasuk dalam Walisongo ternyata adalah orang-orang Tionghoa. Sunan Ngampel bernama asli Bong Swi Hoo, Sunan Bonang bernama asli Bong Ang, sedangkan Sunan Kalijaga bernama asli Gan Si Cang. Gan Si Cang adalah anak Gan Eng Cu yang merupakan mertua Sunan Ngampel.
Lebih menarik lagi, Raden Patah yang adalah pendiri Kesultanan Demak (Kesultanan Islam pertama di Nusantara) sebenarnya bernama Jin Bun. Ia adalah anak dari Ta Bu Mi yang dikenal sebagai Kertabumi atau Prabu Brawijaya V.[32]
Itu artinya bahwa sejarah bangsa Indonesia sejak mula pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dengan orang-orang Tionghoa. Patut diduga bahwa ketika itu orang-orang Tionghoa tersebut bisa hidup bersama secara damai dengan masyarakat pribumi. Bahwa dalam perjalanan sejarah kemudian tercatat serangkaian kerusuhan rasial yang dilakukan oleh orang-orang pribumi terhadap masyarakat etnis Tionghoa, beberapa faktor bisa ditelusuri.

Pertama, adanya kesan di benak orang-orang pribumi bahwa orang-orang Tionghoa yang dipandang sebagai “tamu” justru hidup jauh lebih makmur daripada orang-orang pribumi sebagai tuan rumah. Sekalipun, kesan ini dikoreksi oleh Eddie Lembong (Ketua Umum Perhimpunan Indonesia Tionghoa) dengan menyatakan bahwa 97% kaum Tionghoa di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan.[33] Seolah memperkuat pendapat Eddie Lembong, Panji Wicaksana menguraikan bahwa populasi Tionghoa di Indonesia (hingga tahun 2002) adalah sekitar 10 juta jiwa. Dari total itu, 200 orang di antaranya merupakan pengusaha besar, 6.000 di antaranya pengusaha menengah dan 260.000 lagi merupakan pengusaha kecil. Sisanya bekerja sebagai petani, buruh, nelayan, dan tukang becak.[34]

Kedua, terdapat perilaku-perilaku yang dipandang kurang etis pada sebagian orang Tionghoa ketika melakukan kegiatan bisnis. Misalnya, KKN dan sikap diskriminatif terhadap orang-orang pribumi.

Ketiga, di antara sekian banyak kaum Tionghoa yang hidup di Indonesia, tak dapat disangkal bahwa beberapa di antara mereka memang hidup secara eksklusif—sekalipun harus segera dicatat bahwa ekslusivisme bukanlah semata-mata milik orang Tionghoa. Namun, rupanya sikap segelintir orang Tionghoa tersebut telah menanamkan kesan umum dalam benak orang-orang pribumi pada umumnya sehingga sikap inklusif yang bisa ditunjukkan oleh sebagian terbesar kaum Tionghoa lain tidak tertangkap oleh kaum pribumi. Tak kurang, Binarto Gani dalam kolomnya yang dimuat Suara Merdeka menyatakan, “Akhir kata, perlu diingat bahwa dalam masyarakat sekarang ini yang diperlukan tidak hanya itu saja (Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia), (tetapi) kita perlu lebih membaur baik dalam hal pergaulan, sosial, ekonomi, politik dan lainnya.”[35]

Karena itu, untuk menghindari agar kerusuhan-kerusuhan sosial dan rasial terutama antara kaum pribumi dan kaum Tionghoa tidak lagi terjadi di masa depan, beberapa hal harus dilakukan. Pertama, kedua pihak haruslah jujur dan membuka diri dan yang paling penting baik kaum Tionghoa maupun kaum pribumi haruslah saling menghilangkan syak wasangka negatif satu dengan yang lain. Kedua, sejauh dilakukan dengan jujur dan tanpa vested interest apa pun serta secara alami, pembauran merupakan jalan ampuh untuk membuat kedua etnis bisa lebih memperkokoh ikatan sosialnya. Seiring dengan ide ini, bagaimanapun, orang-orang Tionghoa memang dituntut untuk bisa menghilangkan sikap eksklusifnya. Ketiga, negara tak boleh lagi bersikap diskriminatif dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan sekecil apa pun yang hanya akan menguntungkan satu pihak di atas pihak yang lain. Diskriminasi struktural terbukti justru semakin memupuk rasa saling bermusuhan dan bukannya mendekatkan keduanya. Bahwa kebijakan yang adil dalam bidang ekonomi, misalnya, pada akhirnya justru menciptakan ketimpangan ekonomi di antara kaum Tionghoa dan kaum pribumi, di situlah tugas pemerintah untuk merumuskan kebijakan dalam hal distribusi pendapatan sehingga seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali tidak hanya menikmati kemakmuran tetapi juga keadilan sosial! Semoga!
Semarang, 12 November 2007



Kepustakaan
Briere, O., SJ. 1956. Fifty Years of Chinese Philosophy. London: George Allen&Unwin Ltd.
Duverger, Maurice. 2005. Sosiologi dan Politik (Terj. daniel Dakidae). Jakarta: PT Raja Grafindo.
Rozi, Syafuan, dkk. 2006. Kekerasan Komunal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan P2p-UPI.
Setiono, Benny G. 2002. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa.
Suryadinata, Leo. 1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti Pers.
Suseno, Franz Magnis. 1999. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Harian Bisnis Indonesia, 9 Agustus 2002
Harian Kompas, 5 Februari 2005
Harian Merdeka, Februari 2000
Harian Suara Merdeka, 6 November 2004
Harian Suara Pembaruan, 28 Agustus 2004






[1] Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik (Elkasa: Jakarta, 2002), hlm. 571
[2] Harian Merdeka, Februari 2000.
[3] Benny G. Setiono, ibid, hlm. 1061
[4] Ibid, hlm. 3
[5] Ibid hlm. 81
[6] Ibid hlm. 215
[7] Ibid, hlm. 119.
[8] Ibid, hlm. 375
[9] Ibid, hlm. 577
[10] Ibid, hlm. 1028
[11] Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa (Jakarta: Grafitipers, 1984), hlm. 4
[12] Ibid, hlm. 11
[13] Ibid, hlm. 32
[14] Ibid, hlm. 19
[15] Ibid, hlm. 24 (penekanan dari penulis)
[16] Suara Pembaruan, 28 Agustus 2004
[17] Leo Suryadinata, Ibid, hlm. 33
[18] Suara Pembaruan, Ibid.
[19] Menurut Menteri J. Leimena pada tahun itu terdapat sekitar 25.000 pedagang eceran. Tetapi, para pengamat menyatakan bahwa jumlah mereka jauh lebih besar yakni antara 400.000-500.000 orang (Lihat Leo Suryadinata, ibid, hlm. 140).
[20] Leo Suryadinata, ibid, hlm. 144.
[21] Lihat Maurice Duverger, Sosiologi Politik (Jakarta: Raja Grafindo, 2005), hlm. 209
[22] Maurece Duverger, ibid, hlm. 223
[23] Leo Suryadinata, ibid, hlm. 21 (dengan penekanan dari penulis)
[24] Benny G. Setiono, ibid, hlm. 960 (dengan penekanan dari penulis)
[25] Leo Suryadinata, ibid, hlm. 29.
[26] Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 51
[27] Ibid, hlm. 138
[28] Bdk. Maurice Duverger, ibid, hlm. 158
[29] Ibid, hlm. 203.
[30] Kompas, 5 Februari 2005
[31] Leo Suryadinata, ibid, hlm. 23 (dengan penekanan dari penulis)
[32] Baca Benny G. Setiono, ibid, hlm. 45 – 46.
[33] Bisnis Indonesia 9 Agustus 2002
[34] Ibid.
[35] Suara Merdeka, 6 November 2004

Selasa, 30 Oktober 2007

Makalah

Ajaran Nilai Lebih
sebagai Jantung Kritik Kapitalisme Karl Marx:
Sebuah Tinjauan Kritis

Stefanus Rahoyo

Kemenangan satu paradigma atas paradigma lain
lebih disebabkan karena para pendukung paradigma yang menang itu lebih memiliki kekuatan dan kekuasaan (power)
daripada pengikut paradigma yang dikalahkan
dan sekali lagi bukan karena paradigma yang menang tersebut
lebih benar atau lebih baik
daripada paradigma yang dikalahkan
[1]

I. Pendahuluan

Kapitalisme sedang menggali kuburnya sendiri! Begitu bunyi salah satu pernyataan yang diucapkan salah seorang filosof, sosiolog dan ekonom terkemuka abad ke-19, Karl Marx. Paralel dengan pendapatnya itu dalam The German Ideology (1846) ia menegaskan bahwa sosialisme sebagai antitesis kapitalisme, penghapusan hak milik pribadi, bukan lagi sekadar tuntutan etis melainkan telah menjadi sebuah keniscayaan objektif.[2]
Marx mendasarkan teorinya tersebut pada premis dasar bahwa pada hakikatnya perkembangan kehidupan bidang politik dan kesadaran masyarakat (bangunan atas) ditentukan oleh perkembangan kehidupan di bidang ekonomi (basis).[3] Itulah mengapa Marx menyebut teorinya sebagai materialisme historis. Sementara itu, perkembangan kehidupan bidang ekonomi dalam masyarakat kapitalis sendiri ditentukan oleh pertentangan kelas, yakni antara kelas pemilik modal (kapital) dan kelas pekerja. Seiring berjalannya waktu, pertentangan di atas akan dipertajam oleh kemajuan teknik produksi. Dan, pada akhirnya, pertentangan tersebut akan meledak dalam sebuah revolusi sosial dan akan mengubah struktur kekuasaan di bidang ekonomi; tidak akan ada lagi hak milik pribadi. Akhir dari perjalanan sejarah umat manusia—menurut Marx—adalah masyarakat sosialis!

Namun ternyata, hingga hari ini tak ada tanda-tanda bahwa kapitalisme akan goyang apalagi runtuh. Sebaliknya, pada akhir abad ke-20 ini justru komunismelah (manifestasi ideologi marxisme) yang tampak kehilangan dayanya. Pukulan pertama diderita komunisme dengan runtuhnya Partai Komunis Indonesia (1965). Tiga puluh empat tahun kemudian (1989) satu demi satu rezim-rezim komunis di Eropa Timur runtuh: mulai dari Polandia, Bulgaria, Jerman Timur, Cekoslovakia dan akhirnya Rumania. Tiga tahun kemudian (1991), Uni Soviet (negara adikuasa kedua sebagai simbol komunis dunia) pecah menjadi 14 Republik Independen.[4]
Teori materialisme historis Marx memang tampak telah menemukan ajalnya. Namun, apakah dengan demikian, dengan sendirinya seluruh pemikiran Marx absurd tak berguna? Sejarah membuktikan “tidak”! Menguatnya posisi buruh pada abad ini dibanding seabad yang lalu tak dapat disangkal merupakan buah sumbangan pemikiran sosialisme pada umumnya dan pemikiran Marx pada khususnya. Sebagian besar gerakan buruh dan pembebasan sosial disemangati oleh ideologi marxisme.[5] Kritik Marx atas ideologi kapitalisme telah menjadi inspirasi gerakan-gerakan itu. Dari sanalah muncul kekuatan-kekuatan buruh dalam bentuk organisasi-organisasi untuk mengimbangi dominasi para pemilik modal sehingga para buruh tersebut bisa mendapatkan hak-haknya secara wajar.

Salah satu ajaran Marx yang menjadi pokok utama kritik kapitalisme adalah ajarannya tentang nilai lebih. Bertolak dari ajaran nilai lebih itulah Marx menunjukkan betapa sistem kapitalisme pada hakikatnya adalah sistem yang eksploitatif; penghisapan manusia atas manusia.
Makalah ini hendak menyoroti secara kritis ajaran nilai lebih yang diajarkan Marx di atas. Sebagai salah satu kaki ideologi besar (sosialisme), ajaran ini perlu dipahami dengan sikap kritis agar kita tidak jatuh pada ekstremisme picik: mendewa-dewakan kritik atas ideologi kapitalisme—seolah-olah kapitalisme tak boleh mendapat tempat dalam sejarah peradaban—tapi sekaligus juga agar kita tidak jatuh pada pengagung-agungan kapitalisme yang walaupun secara empiris-historis memang terbukti telah membawa kemajuan peradaban seperti yang kita lihat saat ini.

II. Ajaran tentang Nilai Lebih[6]

Karl Marx membagi teori nilai lebih menjadi 4 subteori, yaitu teori tentang nilai pekerjaan, teori tentang nilai tenaga, teori tentang nilai lebih dan teori tentang laba.


a. Teori tentang Nilai Pekerjaan
Untuk memahami nilai pekerjaan kita harus membedakan antara nilai pakai dan nilai tukar. Tampaknya, dalam hal ini Marx bertolak dari ajaran Adam Smith. Smith merujuk pada kodrat manusia sebagai homo economicus. Sebagai makhluk ekonomi (homo economicus) manusia—menurut Smith—cenderung melakukan pertukaran. Merujuk pada kodrat tersebut, Smith merumuskan teori nilai barang yang dibaginya menjadi dua, yakni nilai guna dan nilai tukar.

Nilai pakai atau nilai guna suatu barang adalah nilai barang dalam kaitannya dengan fungsi barang tersebut untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Sebagai contoh, sepasang sepatu mungkin memiliki nilai guna hampir nol bagi Pak Sukro yang salah satu kakinya telah diamputasi karena kecelakaan. Tetapi, sepatu yang sama mempunyai nilai pakai yang lebih tinggi bagi Pak Ratukore yang memang sedang membutuhkan sepatu tersebut untuk pergi ke undangan. Nilai pakai suatu barang, dengan demikian, ditentukan oleh jenis barang (kalau Anda butuh pulpen jangan diberi korek api sekalipun harga keduanya sama) dan kebutuhan dalam masyarakat (pendingin ruangan tidak punya nilai di Daerah Dieng sekalipun harga pendingin ruangan tidak murah).

Sedangkan nilai tukar suatu barang adalah nilai barang tersebut bila dijual di pasar. Dalam arti yang sederhana, nilai tukar ini tercermin pada harga, sekalipun nilai tukar tidak selalu identik dengan harga. Misalnya, nilai seporsi sate Rp10.000,00 dan nilai sebuah topi juga Rp10.000,00. Dikatakan bahwa nilai seporsi sate sama dengan nilai sebuah topi, yaitu Rp10.000,00 sekalipun nilai pakai keduanya berbeda.
Menurut Marx, nilai tukar suatu barang ditentukan oleh waktu kerja— bukan waktu kerja individual melainkan waktu rata-rata kerja sosial—yang dibutuhkan untuk memproduksi barang tersebut. Jadi, mengapa nilai tukar lima potong sapu tangan, misalnya, sama dengan dua potong dasi? Jawabnya karena waktu yang digunakan untuk menghasilkan lima potong sapu tangan sama dengan waktu yang digunakan untuk menghasilkan dua potong dasi.
Nilai pekerjaan mengatakan bahwa nilai tukar barang ditentukan oleh jumlah pekerjaan yang masuk dalam produksinya.

b. Teori tentang Nilai Tenaga Kerja

Paralel dengan teori nilai pekerjaan di atas, nilai tenaga kerja juga ditentukan oleh jumlah “pekerjaan” yang diperlukan untuk menciptakannya. Jelas, dalam hal ini tenaga kerja diperlakukan sama persis dengan komoditas. Bila seorang tenaga kerja (secara khusus Marx menunjuk buruh) sehari butuh uang Rp10.000,00 untuk makan agar ia tetap bisa bekerja, membeli pakaian, perumahan dan biaya membesarkan dan mendidik anak (inilah yang dimaksud dengan pekerjaan yang diperlukan untuk menciptakannya) agar kelak bisa menggantikannya, nilai tenaga kerja tersebut adalah Rp10.000,00 per hari. Di sisi lain, ketika seorang pemilik modal membayar Rp10.000,00 sehari kepada tenaga kerja, secara teoretis ia boleh dan bisa menggunakannya selama 24 jam sehari. Tetapi, karena orang juga perlu istirahat untuk memulihkan tenaga, waktu kerja itu kemudian hanya menjadi 8 jam atau lebih bila memungkinkan.

c. Teori tentang Nilai Lebih

Kita andaikan bahwa nilai tenaga kerja adalah Rp10.000,00 per hari. Dalam kondisi normal, menurut Marx, pemilik modal (majikan) akan membayar sesuai dengan nilai tenaga kerja tersebut, yakni Rp10.000,00 per hari. Dalam kondisi tidak normal—kelebihan penawaran atau kelebihan permintaan—nilai tenaga kerja tersebut akan bergerak naik atau turun, tetapi tetap akan berkisar pada nilai Rp10.000,00.
Apa yang akan dilakukan majikan setelah ia membayar buruh sebesar Rp10.000,00? Ia akan mempekerjakan buruh tersebut misalnya selama 8 jam per hari. Dari pekerjaan si buruh, majikan akan memperoleh komoditas, misalnya nilainya Rp20.000,00.
Tampak di situ bahwa dengan membayar Rp10.000,00 si majikan memperoleh komoditas senilai Rp20.000,00. Selisih antara nilai komoditas dan nilai tenaga kerja yang dibayar majikan inilah yang disebut Marx sebagai nilai lebih.
Dalam sudut pandang ini, sebenarnya si buruh cukup bekerja empat jam sehari untuk menutup uang yang dikeluarkan si majikan guna membayar tenaga kerja. Tetapi, si buruh harus bekerja 8 jam sehari karena ia telah menjual sehari tenaganya kepada si majikan. Dalam pandangan Marx, 4 jam selebihnya tersebut (nilai lebih) sebenarnya merupakan hak buruh. Tetapi, dalam kenyataannya hak tersebut dirampas oleh si majikan.

d. Teori tentang Laba

Jadi, bagi Marx, nilai lebih merupakan satu-satunya sumber laba pemilik modal. Semakin tinggi nilai lebih, semakin tinggi keuntungan yang diperoleh si pemilik modal. Dan, bagi Marx, penyingkapan nilai lebih tersebut merupakan penyingkapan rahasia yang ada di balik logika sistem perekonomian kapitalis.
Franz Magnis Suseno memberikan gambaran berikut ini, untuk menjelaskan maksud Marx.[7]
Pada masa prakapitalis, kegiatan perekonomian dilakukan dengan cara tukar-menukar barang. Barang (B1) ditukar dengan barang lain (katakan barang 2/B2) di mana nilai tukar barang 1 sama dengan nilai tukar barang 2. Secara diagramatis bisa digambarkan:
B1 B2 di mana B1 = B2.
Pada saat perekonomian masyarakat telah mengenal uang (U), diagram di atas berkembang menjadi sebagai berikut:
B1 U B2 ; B1 tetap sama dengan B2.

Tetapi, dalam sistem kapitalisme, barang (B) akan berubah menjadi komoditas (K) karena orang membeli barang tidak hanya untuk dikonsumsi atau memenuhi kebutuhan hidupnya tetapi untuk dijual kembali. Uang (U1) dibelikan barang (K) dan barang tersebut dijual kembali untuk memperoleh uang (U2). Secara diagramatis akan tampak sebagai berikut:
U1 K U2

Yang menjadi daya tarik dari sistem ini adalah bahwa U2 > U1. Itulah laba! Tanpa U2 > U1 niscaya orang tidak akan tertarik melakukan perdagangan. Dalam konteks yang lebih kompleks (industri) uang (U) tersebut akan berupa modal (M) tetapi logika dasarnya tetap tidak berubah. Modal (M1) dipakai untuk menghasilkan komoditas (K) dan komoditas dijual untuk menghasilkan modal lagi (M2). Secara diagramatis akan tampak sebagai berikut:
M1 K M2

Dalam kenyataannya atau setidak-tidaknya secara normatif, M2 > M1. Padahal prinsip dasar kapitalisme adalah bahwa pertukaran terjadi pada dua atau lebih barang dengan nilai yang sama. Artinya, menurut logika ini, M1 seharusnya sama dengan M2. Tetapi, dalam kenyataanya M2 > M1.

Muncul pertanyaan di situ: dari manakah sumber kelebihan M2 dibanding M1? Kita bisa menelisiknya pada K. Untuk bisa menghasilkan komoditas, oleh pemilik modal M1 akan diinvestasikan dalam bentuk—katakanlah—tanah, gedung, mesin (X); bahan baku (Y) dan tenaga kerja langsung (Z). Jadi, secara diagramatis, rumusan di atas akan menjadi sebagai berikut:
M1 (X + Y + Z) M2

Masih menurut Marx, penjualan komoditas tidak mungkin menghasilkan lebih daripada pengembalian bersih amortisasi/depresiasi (X) dan pembelian bahan baku (Y). Jelaslah sekarang bahwa bila pada kenyataannya M2 > M1, kelebihan itu berasal dari Z (tenaga kerja langsung) yang sekaligus merupakan sumber laba pemilik modal. Teori ini memperkuat pandangan Marx bahwa satu-satunya laba yang diperoleh pemilik modal adalah berasal dari nilai lebih yang diberikan buruh.

Di situlah sumber eksploitasi tersebut. Sifat eksploitatif tidak pertama-tama terletak pada nilai lebih melainkan pada kenyataan bahwa nilai lebih tersebut akan menjadi hak eksklusif pemilik modal. Bisa jadi nilai lebih di atas tidak masuk ke kantong si pemilik modal tetapi akan langsung diinvestasikan lagi untuk meningkatkan produksi. Aktivitas ini pada akhirnya justru akan menimbulkan akumulasi modal dan bagaimanapun akumulasi modal yang diperoleh dari nilai lebih di atas tidak pernah akan jatuh pada para pekerja. Di sinilah titik rawan ketimpangan yang semakin lebar antara pemilik modal dan buruh bisa ditunjuk.

III. Tinjauan Kritis

Betapapun banyak hal harus dikritisi menyangkut teori nilai lebih yang dikemukakan Marx sebagai titik pijak penting untuk mengkritik kapitalisme, jauh-jauh hari Marx telah memberi rambu-rambu bahwa sistem kapitalisme mengandung bahaya penghisapan manusia atas manusia (yang kuat terhadap yang lemah). Justru karena itu, Gunnar Myrdal dan John Kenneth Galbraith merasa perlu memberikan penekanan bahwa perlindungan terhadap yang lemah melalui kebijakan institusional (institutional policy) adalah mutlak dalam sistem ekonomi kapitalis.[8] Institutional Policy itu, misalnya dalam bentuk Undang-undang yang membatasi kekuasaan golongan ekonomi kuat (pemilik modal).[9]

Bahkan, sebagai ideologi sepantasnya kapitalisme memang harus dicurigai sebagai sesuatu yang tak bebas nilai. Joan Robinson sebagaimana dikutip oleh Mubyarto mengemukakan “The very nature of economics is rooted in nationalism ... The classical economists were in favor of Free Trade because it was good for Great Britain not because it was good for the world...”[10]
Semua itu menguatkan pendapat Marx bahwa sistem ekonomi kapitalisme mengandung bahaya eksploitatif.

Namun demikian, tampaknya ada beberapa hal yang luput dari perhatian Marx saat ia mengajukan teorinya tentang nilai lebih sebagai pijakan mengkritik kapitalisme.
1. Marx mengemukakan bahwa nilai tukar suatu barang ditentukan oleh jumlah pekerjaan (waktu pekerjaan) yang diperlukan untuk menghasilkan barang. Benarkah nilai tukar sebuah barang hanya ditentukan oleh jumlah pekerjaan yang diperlukan untuk menghasilkan barang tersebut?

Dalam kenyataan empiris, teori di atas tidak sepenuhnya sesuai dengan realitas. Dalam kenyataannya, nilai tukar suatu barang—selain memang ditentukan oleh pekerjaan yang diperlukan untuk menghasilkannya—juga ditentukan oleh nilai pakai dan selera bahkan juga kelangkaan.

Misalnya, dalam kehidupan sehari-hari kita bisa menjumpai orang menjual sepeda motor miliknya dengan harga sangat murah karena, misalnya, ia harus membayar cicilan utang. Nilai tukar motor tersebut menjadi turun, bukan karena nilai tukarnya memang turun, melainkan karena pada saat itu nilai pakainya tidak lebih penting daripada uang yang harus segera dimiliki si pemilik untuk membayar utang. Dalam kasus lain adalah barang-barang seni atau barang-barang antik. Waktu yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang di atas tidak relevan untuk diperhitungkan ketika kita melihat nilai tukarnya. Barang seni menjadi mahal karena, salah satunya, ditentukan oleh unsur selera si pembeli sedangkan barang antik menjadi mahal mungkin karena kelangkaannya.

Jelaslah bahwa premis Marx yang mengatakan bahwa nilai tukar suatu barang semata-mata ditentukan oleh jumlah waktu atau pekerjaan yang diperlukan untuk menghasilkan barang tersebut tidak terbukti secara empiris. Dalam hal ini, tampaknya Marx terlalu simplisistis.

2. Konsep waktu rata-rata yang digunakan Marx untuk menentukan nilai tukar suatu barang juga sangat abstrak. Misalnya dikatakan bahwa waktu rata-rata yang diperlukan untuk membuat sebuah ukiran kayu adalah 5 jam. Dari manakah angka 5 jam tersebut? Taruhlah kita memang bisa mengukur waktu rata-rata yang diperlukan untuk menghasilkan sebuah ukiran kayu, yakni 5 jam. Penemuan teknik membuat ukiran yang sedikit saja mempercepat waktu pembuatan ukiran kayu akan mempengaruhi waktu rata-rata tersebut apabila penemuan teknik di atas diketahui. Sebaliknya, seandainya penemuan teknik tersebut tidak diketahui—sekalipun sebenarnya sangat mempercepat waktu pembuatan ukiran kayu—tidak akan diperhitungkan.

3. Marx menyatakan bahwa yang menciptakan nilai lebih pada suatu komoditas adalah tenaga kerja langsung (buruh). Premis ini jelas bertentangan dengan kenyataan empiris. Kita ambil contoh kaos dagado. Benarkah nilai lebih kaos tersebut hanya diciptakan oleh penyablon kaos? Tentu saja tidak. Tak kurang penting orang-orang yang memberi nilai lebih pada kaos tersebut adalah desainer, pencipta kalimat dan juga bagian marketing.

4. Ketika Marx menyatakan bahwa upah buruh semata-mata ditentukan berdasarkan pertimbangan ekonomis, ia telah salah mengantisipasi bahwa pada kenyataannya pada saat ini upah buruh juga ditentukan berdasarkan pertimbangan politis. Dalam menentukan upah minimum regional (UMR), misalnya di dalam dewan pengupahan terdapat unsur pemerintah dan serikat buruh selain unsur industri. Tampak di situ, bahwa unsur politis juga sangat memegang peran dalam menentukan upah buruh. Hal ini gagal diprediksi Marx.

IV. Kesimpulan

Sejarah—setidaknya hingga hari ini—masih berpihak pada kapitalisme. Premis-premis yang digunakan Marx pun mengandung banyak kelemahan.[11] Para marxis mungkin masih tetap meyakini bahwa apa yang pernah diramalkan Marx tetap merupakan keniscayaan. Apa yang sekarang ini sedang terjadi—berjayanya kapitalisme—sesungguhnya merupakan proses untuk menuju kapitalisme global sebelum akhirnya terjadi apa yang disebut Marx sebagai revolusi sosial.

Tak begitu perlu untuk memperdebatkan apakah sejarah memang akan berjalan sebagaimana yang diramalkan para marxis. Yang sekarang ada di depan mata adalah bahwa kita saat ini hidup dalam alam kapitalis. Menolak mentah-mentah kapitalisme jelas merupakan sikap tak realistis. Tapi, menerima tanpa reserve kapitalisme juga tak kalah naifnya. Sikap paling tepat yang mungkin bisa diambil adalah hiduplah dalam alam kapitalis karena hal itu memang sebuah kenyataan, tetapi tetap kritis terhadapnya karena ternyata sebagaimana ditunjukkan Marx, kapitalisme juga mengandung hal-hal negatif dalam dirinya.

Apakah kita sudah melakukannya? B. Herry Priyono secara eksplisit menjawab pertanyaan tersebut. “... Bangsa kita sekarang ini sedang menghadapi ... kapitalisme global. Akibatnya tata kehidupan sosial, politik, budaya dan ekonomi menjadi tidak manusiawi dan meningkatnya marjinalisasi dan pemiskinan sebagian besar masyarakat. Kinerja ekonomi pasar (sebagai instrumen penting kapitalisme)... dipakai sebagai satu-satunya cara mengorganisasi seluruh tata masyarakat” (Kompas, 23 Oktober 2007, penekanan dari penulis). Betapa menyedihkannya!

Daftar Pustaka
Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Fakih, Mansour. 2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press.
Hatta, Mohammad. 1967. Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Mubyarto. 1987. Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan. Jakarta: LP3ES.
Supono, Eusta. 2003. Agama Solusi atau Ilusi? : kritik atas kritik agama Karl Marx. Yogyakarta: Komunitas Studi Didaktika.
Suseno, Franz Magnis. 1999. Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wilardjo, Liek. 1996. Ilmu dan Teknologi (bunga rampai materi kuliah Program Pascasarjana Telaah Agama, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta).






[1] Ritzer sebagaimana dikutip Mansour Fakih dalam Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Insist Press, 2001), hlm. 20
[2] Eusta Supono, Agama Solusi atau Ilusi? : Kritik atas Kritik Agama Karl Marx (Yogyakarta: Komunitas Didaktika, 2003), hlm. 12.
[3] Bdk. Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 36.
[4] Frans Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 1 – 3
[5] ibid, hlm. xi.
[6] ibid, hlm. 178 - 187
[7] Lihat Ibid, hlm. 188 – 191.
[8] Bdk. Mubyarto, Ekonomi Pancasila (Jakarta: LP3ES, 1993), hlm. 26
[9] Ibid
[10] Ibid hlm. 55.
[11] Karl Popper bahkan menyebut teori materialisme historis Marx sebagai teori yang tidak ilmiah (lihat Karl R. Popper, Conjectures and Refutations, dalam Liek Wilardjo (ed), Ilmu dan Teknologi (bahan kuliah Program Pascasarjana Telaah Agama, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta).

Makalah

Pendekatan Holistik (Holistic Approach)
sebagai Upaya Efektif Pengentasan Kemiskinan:
Studi Kasus pada Tiga Keluarga Miskin
Stefanus Rahoyo


Poverty is everyone’s concern because poverty is everywhere.
There are compelling evidences that the poor can solve their own problems
if they are given fair access to financial and business development services.
In today’s world, profit and development can go hand in hand.
— Kofi Annan (Mantan Sekjen PBB)

I. Pendahuluan

Hantu kemiskinan tampaknya masih tetap akan menjadi momok gentayangan yang sangat mengkhawatirkan bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. Tak kurang, World Bank berdasarkan hasil penelitiannya tahun 2006 terhadap kemiskinan di Indonesia memberikan catatan sinis mengenai jumlah penduduk Indonesia yang mengalami kemiskinan absolut.
“Jumlah penduduk yang berpenghasilan kurang dari AS$2/hari hampir sama dengan total penduduk yang berpenghasilan kurang dari AS$2/hari seluruh kawasan Asia Timur kecuali Cina.”[1]

Dalam kurun waktu 17 tahun angka kemiskinan absolut memang berhasil ditekan dari 40,7% pada 1976 menjadi sekitar 11% pada 2005. Tetapi, angka tersebut kembali melonjak sebagai akibat badai krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada 1997 (lihat grafik). Secara nominal, jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2006 mencapai 40 juta jiwa dan pada Juni 2007 mencapai 37,17 jiwa.

Yang harus dicatat, angka-angka itu pun diperoleh hanya didasarkan pada segi pendapatan (income). Apabila kriteria kemiskinan juga didasarkan pada segi nonpendapatan, bisa dipastikan angka-angka tersebut akan menjadi semakin mencemaskan. Bank Dunia mencatat: 25% anak usia Balita di Indonesia mengalami gizi buruk; angka kematian Ibu 307 per 100.000 kelahiran hidup (3x Vietnam dan 6x Cina dan Malaysia); jumlah anak usia 16 - 18 tahun yang lulus SLTP hanya mencapai angka 55% (untuk penduduk miskin) dan 89% (untuk penduduk kaya).[2]
Memang, merujuk pada Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), pemerintah Indonesia pada 2009 menargetkan angka kemiskinan akan turun hingga hanya menjadi 8,2%; angka kematian ibu dari 307 per 100.000 kelahiran hidup (2006) menjadi 226 per 100.000 kelahiran hidup; dan angka partisipasi sekolah menengah menjadi 98,1%.[3] Pertanyaan pokoknya, apakah target tersebut sungguh realistis?

Berbagai program dan upaya pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan memang pernah digulirkan, antara lain Kredit Usaha Tani (1998) yang mencapai Rp8,4 triliun; Kredit Ketahanan Pangan (2000) yang mencapai
2,3 triliun; juga Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Jaring Pengaman Sosial.[4] Namun, berbagai upaya itu pun toh tak cukup signifikan mengurangi angka kemiskinan. Setidaknya, data di atas menunjukkan bahwa sejak 2002 sampai dengan 2007 angka kemiskinan tetap bertengger pada angka 16 – 18%. Oleh karena itu, mungkinkah dalam dua tahun mendatang angka tersebut bisa ditekan sedemikian rupa hingga hanya tinggal 8,2%? Upaya luar biasa apakah yang akan dilakukan pemerintah sehingga memasang target teramat muluk semacam itu?

Tentu saja kita tidak boleh pesimis bahwa kemiskinan pada dasarnya memang bisa ditekan bahkan bisa dihapuskan. Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian 2006 telah membuktikannya di Bangladesh.[5] Tetapi, melihat pengalaman selama 5 tahun terakhir, semua usaha yang dilakukan pemerintah belum memberikan hasil yang berarti.
Pertanyaan lain yang muncul, mengapa semua program yang telah menyedot triliunan biaya tersebut tidak mampu membawa dampak signifikan dalam upaya pengentasan kemiskinan? Apakah program-program tanggap darurat (emergent) semacam beras miskin (raskin) dan bantuan langsung tunai (BLT) memang merupakan pendekatan strategis untuk pengentasan kemiskinan?

Makalah ini berusaha memotret apa adanya kehidupan tiga keluarga miskin masing-masing Suji (65 tahun), Harni (55 tahun) dan Subadi (61 tahun) sebagai studi kasus. Dari deskripsi apa adanya mengenai kehidupan mereka akan dilakukan analisis untuk mengetahui aspek-aspek yang terkait dengan kemiskinan mereka.
Untuk tujuan tersebut, penulis telah melakukan kunjungan dan wawancara langsung kepada ketiga narasumber. Kepada Ibu Suji dan Ibu Harni penulis melakukan kunjungan dan wawancara di rumahnya. Sedangkan kepada Bapak Subadi, wawancara dilakukan di tempat kerjanya di Kawasan Simpang Lima – Semarang.

II. Potret Tiga Keluarga Miskin

Suji, namanya! Janda beranak 4 anak ini tinggal di Desa Ngablak RT 02/05 Kabupaten Magelang. Tak ada pekerjaan tetap baginya. Sehari-hari ia bekerja serabutan, tergantung dari para tetangga yang meminta bantuannya. Bisa mencuci piring, bisa memanen sayur-an, atau sekadar memijit. Justru karena itu, tak ada patokan pasti berapa pengha-silan setiap harinya. Selain permintaan bantuan dari para tetangganya tidak bisa dipastikan setiap hari datang, sering kali pa-ra tetangganya terse-but memberinya uang tanpa standar tertentu. Kadang Rp10.000,00 kadang Rp25.000,00 tapi kadang juga hanya sekadar diberi beras.

Suaminya telah meninggal sejak 37 tahun lalu saat anak bungsunya baru berumur sebulan. Slamet (alm), suaminya, adalah seorang supir truk dan meninggal karena kecelakaan.
Sejak mula kehidupan keluarga Suji memang kurang beruntung. Baik dirinya maupun suaminya sama-sama terlahir dari keluarga kurang mampu. Karena itulah, beberapa tahun setelahmenikah ia dan suaminya sempat bertransmigrasi ke Sumatera. Namun, tak lama kemudian mereka terpaksa kembali ke Jawa karena mengaku tidak kuat hidup di daerah trans.
Sebenarnya ia pernah mencoba berdagang sayuran kecil-kecilan (eber-eber—Jw) di pasar. Tetapi, lantaran modalnya yang kelewat cekak ia tak mampu bertahan menghadapi kerasnya persaingan.

Sepeninggal suaminya, ia rela menjadi istri kedua—juga seorang supir. Keputusannya menjadi istri kedua seorang supir itu semata-mata didasari satu hal; “Sapa ngerti isa melu mangan,” (siapa tahu bisa sekadar ikut makan) begitu kenangnya. Ya, sekadar ikut makan. Karena pada dasarnya suami keduanya—Suroso, namanya— juga tidak mampu memberikan uang berlebih.
Nasib keempat anaknya? Untunglah ketika itu biaya pendidikan keempat anaknya dari sejak kelas I SD ditanggung sponsor yang dicarikan gereja. Keempat-empatnya lulus SLTP. Kini keempat-empatnya telah berkeluarga ... sekaligus keempat-empatnya juga berprofesi sebagai supir truk seperti ayah mereka.

Berbeda dengan Suji, Harni (menolak dirinya difoto) sebenarnya pernah mengalami hidup lumayan mapan di Ambon. Ia memang berasal dari keluarga pas-pasan. Justru karena itu, begitu menikah ia dan suaminya mengadu nasib ke Kota Manise itu. Ia menjadi jurumasak di asrama Brimob Ambon. Selain itu, ia juga berjualan makanan di sana. “Di sana enak, Pak. Cari duit gampang. Apa saja bisa jadi uang!” ungkapnya. “Kalau cuma cari uang Rp100.000,00 sehari saja gampang!” sambungnya.

Tak mengherankan bila dari hasil kerjanya tersebut ia tanpa mengalami kesulitan bisa menyekolahkan anaknya hingga tamat STM.
Sayang, nasib berkata lain. Ketika kerusuhan Ambon meletus, terpaksa ia tinggalkan begitu saja semua harta bendanya yang telah susah-susah ia kumpulkan! Ia kembali ke kampung halamannya di Desa Dawung, Pudak Payung dengan hanya berbekal beberapa potong pakaian. “Waktu itu yang terpikir hanya menyelamatkan nyawa saja!” katanya.
Sekembalinya dari Ambon, ia menumpang di rumah adiknya yang ekonominya juga pas-pasan. Kehidupan Harni menjadi semakin berat ketika suaminya harus meninggal karena kecelakaan di Rembang.

Untuk menghidupi dirinya dan seorang putranya, kini ia bekerja sebagai pembantu harian (pocokan) di rumah tetangganya dengan upah Rp60.000,000 seminggu. Harni mengaku, sebenarnya ia ingin sekali kembali berdagang, tetapi keinginan tersebut harus ia kubur dalam-dalam karena terbentur modal. Untunglah bahwa dengan bekal ijazah STM, anaknya bisa bekerja serabutan sebagai teknisi tower. Dengan begitu, ia merasa tidak terlalu terbeban untuk selalu memikirkan kehidupan anaknya.
Subadi berbeda lagi. Lelaki kelahiran Kudus 61 tahun lalu ini sehari-hari mengayuh becak di kawasan Simpang Lima – Semarang. Pada dasarnya ia telah menekuni profesi ini sejak tahun 1970-an. Ia mengaku tak pernah berusaha atau menco-ba mencari pekerjaan lain. “Garis hidup saya ini Mas, ya... jalani saja!” tukasnya saat ditanya mengapa tidak mencoba mencari pe-kerjaan lain.

Dari hasil keri-ngatnya sejak pukul 07.00 sampai pukul 17.00 rata-rata lelaki yang tinggal di Tambak Boyo, Semarang ini bisa mengantongi Rp25.000,00 per hari. Suami Ngatiyem ini lalu merinci, “Dari Rp25.000,00 itu Rp15.000,00 untuk makan dan sewa becak Rp2000,00 per hari. Jadi, bersihnya yang bisa saya bawa pulang ke rumah ya Rp10.000,00,”. “Padahal, pengeluaran harian di rumah Rp15.000,00” lanjut Pak Badi.
Tekor? Kekurangan itu ditutup istrinya— Ngatiyem — yang bekerja sebagai tukang cuci keluarga dengan upah Rp10.000,00 per hari. Praktis, dari hasil sehari-hari keluarga Subadi hanya menyisakan uang Rp5.000,00/hari. “Uang itu untuk jaga-jaga, Mas... kalau ada tetangga mantu, sumbangan apa atau apa gitu!”

Ayah empat orang anak ini memang telah memiliki rumah sendiri. Tapi, itu bukan hasil keringatnya. Keempat anaknyalah yang telah bantingan membelikan rumah untuknya.
Nasib anak-anaknya memang lebih baik daripada ayahnya. Berkat ijazah SLTA yang mereka miliki, mereka bisa bekerja di sebuah distributor air minum dalam kemasan. “Ya... tidak menyesal Mas, waktu itu 2 becak saya jual untuk biaya sekolah. Untung juga selalu ada bantuan dari saudara-saudara untuk biaya sekolah. Mereka sekarang tidak harus hidup menderita seperti bapaknya,” katanya.

III. Pembahasan

Pada umumnya, dari sisi penyebab, dikenal tiga macam kemiskinan (absolut), yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan kultural dan kemiskinan natural. Mar’ie Muhammad (mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia) mendefinisikan kemiskinan absolut sebagai ketidakmampuan seseorang, suatu keluarga, dan sekelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs). Termasuk dalam kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut adalah pangan maupun nonpangan, khususnya pendidikan dasar, kesehatan dasar, perumahan dan kebutuhan transportasi.[6] Pendekatan yang biasa dipakai untuk mengukur kemiskinan ini adalah pendekatan kebutuhan dasar (basic need approach) dan daya beli (purchasing power approch) yang tercermin dalam pendapatan per kapita per hari.

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat yang entah secara langsung atau tidak langsung disebabkan oleh tatanan kelembagaan yang ada.[7] Contoh kemiskinan struktural adalah petani di Indonesia. Tanah para petani di Indonesia pada umumnya sangat terbatas. Bahkan, banyak petani yang sama sekali tidak memiliki tanah sehingga sebutan yang tepat bagi mereka adalah buruh tani.

Keterbatasan kepemilikan tanah, harga jual gabah yang rendah sehingga penjualan hasil pertanian tak cukup mampu untuk bahkan sekadar menutup biaya produksinya membuat para petani terlilit kemiskinan dari hari ke hari. Semua itu terjadi karena tatanan kelembagaan (tata niaga) beras, khususnya, sangat dikendalikan sementara bantuan dan proteksi dari pemerintah terhadap sektor ini kurang terlihat. Tatanan institusional inilah yang kemudian menjerembabkan para petani dalam kemiskinan struktural.

Sementara kemiskinan kultural didefinisikan sebagai kemiskinan yang terjadi akibat faktor-faktor budaya sehingga seseorang atau sekelompok orang tidak mampu “berproduksi” secara maksimal.[8] Sikap malas, tak mau bekerja keras, ketiadaan budaya menabung, kebiasaan hidup boros, misalnya, tak pelak merupakan salah satu penyebab kemiskinan. Semua penyebab itu bisa digolongkan dalam faktor kultural.

Satu hal lagi yang sering disebut sebagai salah satu penyebab kemiskinan absolut adalah faktor alamiah. Misalnya, tanah yang tandus dan miskin sumber daya alam, penduduk terlalu padat, cacat fisik sejak lahir, usia jompo, dsb. Sekalipun demikian, John Kenneth Galbraith telah memberikan bukti bahwa faktor-faktor alamiah kurang bisa dijadikan penjelasan mengenai terjadinya kemiskinan. Ia menunjuk Jepang, Singapura, Taiwan, Hongkong dan Korsel sebagai bukti. Secara alamiah negara-negara tersebut bukanlah negara-negara yang kaya akan sumber daya alam. Namun demikian, dalam kenyataannya, kelima negara di atas tidak termasuk negara miskin.[9]

Bagaimana dengan kasus kemiskinan yang terjadi pada Suji, Harni, dan Subadi di atas? Berdasarkan pengamatan dan realitas yang mereka hidupi, tak bisa ditampik bahwa mereka hidup dalam kemiskinan absolut. Pertanyaannya, faktor apakah yang membuat mereka miskin: faktor struktur, kultur atau alam?

Menilik kisah yang mereka ceritakan, bisa dipastikan bahwa faktor struktural dan kultural memainkan peran atas kemiskinan yang mereka alami. Faktor struktural bisa ditunjuk, misalnya kebijakan negara yang tidak memberikan perlindungan dan proteksi serta bantuan memadai bagi mereka. Secara spesifik, masuknya sepeda motor-sepeda motor murah akibat dibukanya kran perdagangan bebas dan syarat-syarat pemberian kredit sepeda motor yang demikian mudah akibat persaingan yang ketat, sedikit-banyak sangat memukul penghasilan tukang becak, seperti Subadi. Tiadanya regulasi mengenai upah, jaminan kesehatan, dsb. bagi para buruh rumah tangga seperti Suji dan Harni juga membuat keduanya terlilit kemiskinan yang tak berujung-pangkal. Tiadanya akses memperoleh pinjaman mudah dan murah bagi Suji dan Harni yang sebenarnya memiliki potensi berdagang, juga menyumbang pada terjadinya kemiskinan mereka. Itulah beberapa faktor kultural yang bisa disebut.

Secara kultural, beberapa hal bisa ditunjuk sebagai penyebab dan pelanggeng kemiskinan mereka. Ungkapan Subadi untuk menerima nasib seolah-olah itulah garis hidupnya telah menutup kemungkinan dirinya bereksplorasi mencari kemungkinan pekerjaan lain yang mungkin sebenarnya lebih menjanjikan. Faktor kultural ini juga bisa kita telisik pada diri Suji, mungkin juga Harni. Mereka de facto tidak punya nilai tawar di hadapan orang-orang yang mereka bantu. Sebagaimana yang ada pada diri orang Jawa pada umumnya, mereka selalu rikuh-pakewuh bila, misalnya, harus menawar atau berterus terang minta bayaran lebih tinggi, apalagi kepada tetangganya.

IV. Kesimpulan

Amat jarang—kalau tidak dikatakan tidak ada—kemiskinan terjadi karena faktor tunggal (single factor). Bahkan dalam sudut pandang antropologis, antara kultur kemiskinan (culture of poverty) dan kemiskinan kultural (cultural poverty) sering jalin-menjalin sehingga hampir tidak mungkin kita memisahkan manakah sebab dan manakah akibat, sekalipun secara definitif keduanya ada pada kemiskinan. Yang tidak mungkin ditolak adalah bahwa mentransformasi kultur merupakan salah satu cara paling efektif untuk memutuskan mata rantai kemiskinan kultural. Dalam hal ini, pendidikan merupakan satu-satunya jalan untuk itu. Hanya dengan pendidikan wawasan seseorang akan terbuka dan hanya dengan terbukanya wawasan orang akan mampu mentransformasi diri, termasuk kebudayaannya.

Sedangkan secara struktural, jelas diperlukan good will pemerintah untuk memihak kepada yang lemah. John Stuart Mill dalam teori ekonominya membedakan antara produksi dan distribusi. Menyangkut produksi, Mill menyatakan bahwa hal tersebut memang sangat dipengaruhi oleh natural. Tetapi, soal distribusi, itu semata-mata menyangkut human will.[10] Dan, dalam banyak hal, kemiskinan juga merupakan akibat tidak adilnya distribusi pendapatan dan pelayanan. Dalam konteks inilah, good will pemerintah untuk sepenuh hati membuka kesempatan yang adil kepada yang lemah guna mendapatkan akses keuangan (capital) dan pelayanan pembangunan menjadi faktor amat penting bagi penghapusan kemiskinan.

Dengan demikian jelaslah bahwa kemiskinan hanya akan tertangani secara efektif bila pemerintah dengan seluruh jajarannya didukung oleh seluruh komponen bangsa yang ada memiliki keberanian yang bulat untuk menangani kemiskinan tidak secara parsial, tetapi secara holistik. Semoga!
(26 Oktober 2007)

Daftar Pustaka
Bank Dunia. 2006. Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Bank Dunia.
Combs, Philip H dan Manzoor Ahmed. 1974. Memerangi Kemiskinan di Pedesaan Melalui Pendidikan Nonformal. Jakarta: CV Rajawali.
Galbraith, John Kenneth. 1979. Hakikat Kemiskinan Massa (terj. oleh Tom Anwar). Jakarta: Sinar Harapan
Mubyarto. 1987. Ekonomi Pancasila. Jakarta: LP3ES.
Sumodiningrat, Gunawan. 1999. Pemberdayaan Masyarat & JPS. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suparlan, Parsudi (ed). 1993. Kemiskinan di Perkotaan: Bacaan untuk Antropologi Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Koran Kompas.
Koran Pikiran Rakyat.
Koran Tempo.


[1] Bank Dunia, Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia (Jakarta: Bank Dunia, November 2006), hlm. xi (penekanan dari penulis)
[2] Ibid, hlm. xii
[3] Andrew D. Steer dalam Pengantar Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia (Jakarta: World Bank, November 2006), hlm. v
[4] Ir. Cecep Rukmana dalam Pikiran Rakyat, 21 Juni 2005.
[5] Situs Web Resmi Presiden Republik Indonesia — Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, 7 Agustus 2007.
[6] Koran Tempo, 12 Juli 2004.
[7] Bdk. Parsudi Suparlan (ed), Kemiskinan di Perkotaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hlm. xi
[8] Bdk. Oscar Lewis dalam Parsudi Suparlan (ed), ibid, hlm. 5 – 18.
[9] John Kenneth Galbraith, Hakikat Kemiskinan Massa (Jakarta: Sinar Harapan), hlm. 13.
[10] Mubyarto, Ekonomi Pancasila (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 9.

Kamis, 18 Oktober 2007

Cerpen

Firasat
Cerpen S. Rahoyo

Tiga kali Wage berturut-turut Sarimin benar-benar dibuat repot oleh Mbah Jinem, emaknya. Jumat Wage tiga pendhak[1] lalu, misalnya. Sarimin harus menyusuri rel kereta barang tiga kilometeran berjalan kaki melawan gerimis untuk mendapatkan kembali emaknya yang sesorean menghilang. Saat menyusuri rel itu, Sarimin sempat terpelanting dan hampir saja terperosok ke dalam jurang akibat jalan kereta yang licin karena basah. Lengan bawah kanannya memar dan kemang menghantam besi bisu mirip tangga tak berujung pangkal itu.
“Aku diajak bapakmu, Min!” begitu kata Mbah Jinem tak menyiratkan kebohongan saat ditemukan Sarimin selepas maghrib di rel kereta itu. Baju tipis dari bahan nilon warna cokelat dengan motif kembang-kembang yang dikenakannya lengket di badan karena basah, membuat tubuh Mbah Jinem yang kurus keriput tampak terterawang. Kain batik yang sudah beluk[2] terlihat lusuh juga karena air hujan. Sementara rambutnya yang semuanya sudah memutih hingga membuat kepala Mbah Jinem menyerupai bola perak jika dilihat dari kejauhan menjadi semakin gembel lengket karena gerimis.
“Bapak sudah tidak ada, Mak!” seru Sarimin sedikit kesal.
“Tidak, dia tadi menggandengku berjalan ke sana!” tukas Mbah Jinem sambil menunjuk-nunjuk ke arah timur.
“Sudah. Kita pulang. Semua orang bingung mencari Emak!” Nada Sarimin ketus sambil segera membalikkan badannya ke arah datangnya tadi.
“Min...” “Sudah, pulang!” Sarimin tak mau lagi menghiraukan kalimat Mbah Jinem yang terputus.
Sarimin pun lalu menggandeng tangan Mbah Jinem yang tampak gemetaran menahan dingin. Kulitnya yang sudah keriput seperti mangga yang dijemur selama seminggu tampak makin keriput karena terpaan gerimis.

Hingga puluhan langkah setelah meninggalkan tempat itu, Mbah Jinem masih sesekali menengok ke arah timur dan berhenti barang sejenak seperti orang yang sedang meninggalkan sesuatu yang sangat dicintainya.
“Sudahlah, Mak. Semua orang ribut. Bikin geger orang saja!” Begitu Sarimin berceloteh setiap kali emaknya itu berhenti dan menengok ke arah timur.
Itu peristiwa Jumat Wage. Rabu Wage lima hari kemudian juga begitu. Belum juga genap dua jam Sarimin berada di kantor kelurahan tempatnya menggantungkan nasib selama ini, tiba-tiba dia disusul Ijul, tetangga sebelah rumahnya, agar ia segera pulang. Dalam hati Sarimin sebenarnya enggan meninggalkan kantor hari itu. Bukan apa-apa. Pak Lurah, atasannya, mulai menyindir-nyindir Sarimin yang memang telah sering minta izin dengan berbagai alasan sekalipun sebenarnya untuk ngobjek karena gajinya tak mencukupi. Entah dengan menjadi makelar motor, menguruskan surat-surat tanah, atau sekadar mengojek.
“Min, kamu harus pulang sekarang juga. Ada urusan penting!” Ijul menjelaskan kedatangannya.
“Urusan penting apa, Kang[3]?”
“Pokoknya pulang saja.”
“Nggak enak sama Pak Lurah, Kang!” begitu Sarimin mengelak.
“Bagaimana caranya lah yang penting kamu harus pulang,” desak Ijul.
Dengan mencatut nama Ijul yang datang ke kantornya, Sarimin memang diperbolehkan pulang oleh Pak Lurah sekalipun dengan wajah masam. Di perjalanan Ijul tidak banyak bercakap.

Sementara seribu tanda tanya menggantung di antara kedua pelipis Sarimin. Yang membuat Sarimin merasa serba salah, setiap kali ia menanyakan urusan yang dibilang penting itu, Ijul hanya menjawab pendek, “Nanti, di rumah saja!”
Baru setelah memasuki rumah, Sarimin tahu apa yang dimaksud urusan penting itu. Di rumah para tetangga telah mengerubungi dipan tempat Mbah Jinem biasa tidur. Rupanya, emaknya itu baru saja diserempet mobil ketika hendak menyeberang jalan. Mbah Jinem tak mengaku mau ke mana. Ia cuma mengatakan berjalan digandeng Mbah Suro ketika tiba-tiba sebuah truk menyerempetnya saat ia baru longak-longok[4] hendak menyeberang. Untunglah jatuhnya Mbah Jinem tidak ke tengah jalan, melainkan ke tepi. Kalau saja ia jatuh ke tengah jalan, pastilah nenek itu sudah tergilas truk yang menyerempetnya.

Sebenarnya, setiap kali Mbah Jinem akan mengalami peristiwa aneh semacam itu, Jumini, istri Sarimin, selalu mendapat firasat. Dan, bagi Jumini, kalau sampai hari itu nyawa Mbah Jinem masih bisa diselamatkan dalam setiap kejadian yang menimpanya, itu berkat firasat tersebut.
Malam sebelum sore hari berikutnya Mbah Jinem hilang dan ditemukan Sarimin di rel kereta itu, Jumini bermimpi. Ia seakan-akan berada di tengah hutan dengan pepohonannya yang rimbun dan besar-besar. Di bawah pepohonan itu tumbuh beraneka bunga yang tampak kembang sepanjang musim. Sinar matahari yang selalu terang seterang matahari tengah hari di cuaca cerah senantiasa menyapu kembang-kembang tadi. Eloknya, sinar matahari itu terasa sangat sejuk di kulit.

Di hadapan Jumini terbentang jalan selebar dua depa membelah hutan. Bukan jalan tanah atau beraspal halus, tetapi jalan berlapis permadani sehingga kaki siapa pun yang menginjak jalan tersebut akan merasakan kelembutan. Jalan itu lurus sekali hingga Jumini bisa melihat ujung jalan yang lain, mengerucut membentuk titik di kejauhan sana.
Dalam mimpinya itu, Jumini melihat Mbah Suro, suami Mbah Jinem yang meninggal setahun lalu, berdiri tak jauh dari tempat Jumini termangu. Mbah Suro berpakaian serba putih. Usianya tampak setua ketika ia meninggal, namun kulitnya tampak lembut bersinar seperti kulit bayi. Mbah Suro juga masih berjalan dengan tongkatnya untuk menyangga badannya yang sedikit bongkok karena termakan usia. Masih dalam mimpi Jumini, Mbah Suro berjalan diiring beberapa wanita cantik yang juga berpakaian serba putih. Dalam penglihatan Jumini, Mbah Suro ngawe-awe[5] Mbah Jinem seolah mengajak pergi. Mbah Jinem pun menuruti ajakan suaminya itu dan mereka tampak pergi bersama bergandengan tangan dalam iringan wanita-wanita cantik tadi.

Itu mimpi Jumini malam Jumat Wage. Malam Rabu Wage saat pagi harinya Mbah Jinem terserempet mobil itu, Jumini bermimpi lebih mengerikan. Mbah Jinem seakan-akan dimandikan darah oleh tiga lelaki berbadan kekar-kekar. Jumini masih ingat, ketika itu Mbah Jinem meronta-ronta dan memanggil-manggil dirinya minta tolong. Jumini pun seakan-akan berebut dengan ketiga lelaki kekar tersebut untuk melepaskan Mbah Jinem. Jumini baru tersadar ketika suaminya menggoyang-goyang badannya membangunkan.
Setiap kali malamnya bermimpi aneh tentang Mbah Jinem, pagi-pagi buta Jumini lalu memanggil-manggil Mbah Jinem di tempayan. “Emak pulang, Mak!” begitu ia memanggil dan panggilan itu harus dijawab Sarimin yang harus berada di pelataran, “Mak sudah pulang!”. Ritual pendek itu dilakukan tiga kali. Sebagaimana orang-orang di kampung Jumini percaya, Jumini pun yakin bahwa mimpi-mimpi semacam itu merupakan firasat buruk bahwa Mbah Jinem akan segera menyusul suaminya entah karena apa. Dan, sebagaimana yang dipercayai Jumini, kepergian Mbah Jinem tersebut bisa dicegah dengan melakukan ritual tadi.

Peristiwa terakhir yang sangat merepotkan Sarimin terjadi Senin Wage lima hari kemudian. Mbah Jinem hilang lagi. Pagi-pagi buta pula. Ketahuannya bahwa Mbah Jinem raib juga sedikit kebetulan. Sehabis sholat subuh, Jumini iseng-iseng menengok kamar emak mertuanya itu. Selama tujuh belas tahun menjadi menantu Mbah Jinem, tak pernah sekali pun ia berlaku demikian. Kalau pagi itu ia menengok kamar Mbah Jinem, semata-mata karena rasa penasarannya sebab semalam ia bermimpi Mbah Jinem dikelilingi gayung. Kata orang-orang tua, kalau ada orang diimpikan dikelilingi gayung itu pertanda bahwa orang tersebut akan meninggal.

Jumini sebenarnya sudah sedikit risau ketika melihat pintu dapur belakang tidak tertutup rapat dan setelah ia longok tak menemukan emaknya di luar.
“Ke latar Kang... ke latar Kang...!” teriak Jumini meminta suaminya menuju ke pelataran rumah tak selang detik setelah ia membuka pintu kamar emak mertuanya.
“Kenapa sih, pagi-pagi!”
“Sudah ke latar. Cepat! Mak hilang!”

Tanpa banyak tanya lagi, Sarimin bergegas menuju pelataran. Dan mereka pun melakukan ritual yang diyakini bisa menyelamatkan nyawa Mbah Jinem.
“Mak pulang, Mak!”
“Emak sudah pulang!”
“Mak pulang, Mak!” “Emak sudah pulang!”
“Mak pulang, Mak!”
“Emak sudah pulang!”

Setelah itu Jumini dan Sarimin serta para tetangga pun geger mencari Mbah Jinem. Baru menjelang tengah hari Mbah Jinem ditemukan di sebuah ereng-ereng[6] dekat sungai yang mengalir di tepi tetangga desa, dengan tubuh penuh lumpur. Entah kenapa. Ketika ditanya hendak ke mana, lagi-lagi Mbah Jinem cuma mengatakan bahwa sebelum subuh itu Mbah Suro membangunkannya, menggandeng tangannya dan memintanya mengantar pergi ke rumah Pariman, adik semata wayang Sarimin, yang tinggal di seberang desa.
***

Tengah malam itu Jumini terbangun setelah Sarimin menggoyang-goyang badannya membangunkan.
“Minum air dulu. Kamu mimpi buruk lagi?” tanya Sarimin sambil menyodorkan segelas teh dingin.
Beberapa kali Jumini tampak menarik napas panjang dengan mata terpejam. Ia lalu meneguk teh yang diberikan suaminya.
“Rasanya kita mantu[7], Kang. Kata orang tua, kalau kita mimpi mantu artinya kita akan kesripahan.[8]
Sarimin merapatkan kedua bibirnya kuat-kuat hingga membentuk garis lurus di mulutnya. Matanya menerawang. Wajah emaknya melintas di matanya.
“Kenapa, Kang?”
“Kita relakan saja.”
“Siapa?”
“Emak!”
“Besok pagi tidak usah dipanggil-panggil. Dia sudah terlalu tua. Kita relakan saja daripada mungkin dia juga menderita. Kita juga selalu repot,” kata Sarimin pelan lalu mendesah panjang.
Jumini diam termangu. Matanya menerawang jauh menembus dinding papan kamarnya.
“Umur berapa, ya, Kang?
“Seratus lebih. Mungkin bapak di sana juga sudah kangen emak. Biar saja mereka selalu bergandengan tangan lagi seperti ketika masih hidup.”
“Tapi, besok saya ke Gunung Pati kondangan.[9]
“Kamu titip Lik[10] Marni agar emak jangan boleh ke mana-mana biar kalau harus tidak ada, tidak adanya di rumah,” saran Sarimin.

Paginya sebelum berangkat ke kelurahan, Sarimin memeluk dan menciumi emaknya. “Ada apa to, Min? Kaya wong edan!” kata Mbah Jinem ketika pipinya diciumi anaknya yang tidak seperti biasanya itu. Sarimin tak menghiraukan emaknya yang meronta-ronta ingin dilepaskan. Dalam hati Sarimin terbersit, siapa tahu itu kali terakhir ia melihat emaknya hidup.
“Emak jangan ke mana-mana, ya. Di rumah saja. Siapa tahu hari ini banyak tamu!”
“Pergi juga mau ke mana. Sudah berangkat nanti kesiangan!”
Sarimin baru benar-benar meninggalkan emaknya setelah puas menciumi dan memeluk-meluk emaknya.
***

Memasuki gang rumahnya ketika pulang dari Gunung Pati, Jumini dijemput Lik Marti. Bendera kuning sudah ditancapkan di ujung gang itu.
“Nyebut Jum... nyebut... ikhtifar... sing tabah[11], ya!”
“Emak?” tanya Jumini.
“Pokoke ditabah-tabahake!”
Dari mimpinya semalam dan tidak adanya ritual untuk mencegah kepergian emak mertuanya seperti biasanya, Jumini sudah menduga Mbah Jinem benar-benar meninggal hari ini. Apa pun penyebabnya. Bisa ditabrak mobil, jatuh ke dalam jurang, tersedak ketika meneguk teh, atau meninggal begitu saja karena memang sudah sangat tua.
“Nggak apa-apa Lik. Nggak apa-apa!”
“Bener Jum, sing tabah!”
“Iya Lik, nggak apa-apa. Semalam sudah ada firasat.”

Tetapi betapa kagetnya Jumini ketika baru selangkah ia memasuki rumah, Mbah Jinem berlari kecil sambil mencincing kain yang membalut bagian bawah tubuhnya ke arah Jumini.
“O alah[12] bojomu[13] Jum... nggak nyangka, tadi pagi cium-cium dan peluk-peluk saya ternyata untuk medhot tresna[14]. Bojomu mati tabrakan, Jum!”
Tulang Jumini serasa dilolosi mendengar kalimat Mbah Jinem, tapi lebih-lebih ketika menyaksikan sosok suaminya terbujur kaku di dipan dengan kepala penuh terbalut perban.

Secepat kilat Jumini berlari ke dapur menerobos para pelayat lalu berteriak-teriak di antara beberapa tempayan yang ada di situ. “Kang... bali[15] Kang...! Kang.... bali Kang...!!” Ia lalu jatuh tersimpuh sesenggukan sambil memeluk tempayan miliknya, yang di tempayan itu ia biasa memanggil-manggil emaknya! “Kang Sarimin, pulang...” suaranya lirih.
[1] Satu minggu dalam kalender Jawa
[2] Pudar warnanya
[3] Sapaan untuk kakak laki-laki atau orang yang lebih tua
[4] Menjulur-julurkan kepalanya, lazimnya dari dalam ruangan
[5] Menggerak-gerakkan telapak tangan memberi isyarat untuk mendekati dirinya
[6] pematang yang tinggi
[7] mengadakan pesta perkawinan
[8] salah satu anggota keluarganya meninggal
[9] menghadiri resepsi
[10] paman atau tante yang dianggap lebih muda daripada orangtuanya
[11] yang tabah
[12] Umpatan penyesalan
[13] Bojo=suami/istri, dalam hal ini suami
[14] Memutus kasih sayang
[15] Pulang