Selasa, 30 Oktober 2007

Makalah

Ajaran Nilai Lebih
sebagai Jantung Kritik Kapitalisme Karl Marx:
Sebuah Tinjauan Kritis

Stefanus Rahoyo

Kemenangan satu paradigma atas paradigma lain
lebih disebabkan karena para pendukung paradigma yang menang itu lebih memiliki kekuatan dan kekuasaan (power)
daripada pengikut paradigma yang dikalahkan
dan sekali lagi bukan karena paradigma yang menang tersebut
lebih benar atau lebih baik
daripada paradigma yang dikalahkan
[1]

I. Pendahuluan

Kapitalisme sedang menggali kuburnya sendiri! Begitu bunyi salah satu pernyataan yang diucapkan salah seorang filosof, sosiolog dan ekonom terkemuka abad ke-19, Karl Marx. Paralel dengan pendapatnya itu dalam The German Ideology (1846) ia menegaskan bahwa sosialisme sebagai antitesis kapitalisme, penghapusan hak milik pribadi, bukan lagi sekadar tuntutan etis melainkan telah menjadi sebuah keniscayaan objektif.[2]
Marx mendasarkan teorinya tersebut pada premis dasar bahwa pada hakikatnya perkembangan kehidupan bidang politik dan kesadaran masyarakat (bangunan atas) ditentukan oleh perkembangan kehidupan di bidang ekonomi (basis).[3] Itulah mengapa Marx menyebut teorinya sebagai materialisme historis. Sementara itu, perkembangan kehidupan bidang ekonomi dalam masyarakat kapitalis sendiri ditentukan oleh pertentangan kelas, yakni antara kelas pemilik modal (kapital) dan kelas pekerja. Seiring berjalannya waktu, pertentangan di atas akan dipertajam oleh kemajuan teknik produksi. Dan, pada akhirnya, pertentangan tersebut akan meledak dalam sebuah revolusi sosial dan akan mengubah struktur kekuasaan di bidang ekonomi; tidak akan ada lagi hak milik pribadi. Akhir dari perjalanan sejarah umat manusia—menurut Marx—adalah masyarakat sosialis!

Namun ternyata, hingga hari ini tak ada tanda-tanda bahwa kapitalisme akan goyang apalagi runtuh. Sebaliknya, pada akhir abad ke-20 ini justru komunismelah (manifestasi ideologi marxisme) yang tampak kehilangan dayanya. Pukulan pertama diderita komunisme dengan runtuhnya Partai Komunis Indonesia (1965). Tiga puluh empat tahun kemudian (1989) satu demi satu rezim-rezim komunis di Eropa Timur runtuh: mulai dari Polandia, Bulgaria, Jerman Timur, Cekoslovakia dan akhirnya Rumania. Tiga tahun kemudian (1991), Uni Soviet (negara adikuasa kedua sebagai simbol komunis dunia) pecah menjadi 14 Republik Independen.[4]
Teori materialisme historis Marx memang tampak telah menemukan ajalnya. Namun, apakah dengan demikian, dengan sendirinya seluruh pemikiran Marx absurd tak berguna? Sejarah membuktikan “tidak”! Menguatnya posisi buruh pada abad ini dibanding seabad yang lalu tak dapat disangkal merupakan buah sumbangan pemikiran sosialisme pada umumnya dan pemikiran Marx pada khususnya. Sebagian besar gerakan buruh dan pembebasan sosial disemangati oleh ideologi marxisme.[5] Kritik Marx atas ideologi kapitalisme telah menjadi inspirasi gerakan-gerakan itu. Dari sanalah muncul kekuatan-kekuatan buruh dalam bentuk organisasi-organisasi untuk mengimbangi dominasi para pemilik modal sehingga para buruh tersebut bisa mendapatkan hak-haknya secara wajar.

Salah satu ajaran Marx yang menjadi pokok utama kritik kapitalisme adalah ajarannya tentang nilai lebih. Bertolak dari ajaran nilai lebih itulah Marx menunjukkan betapa sistem kapitalisme pada hakikatnya adalah sistem yang eksploitatif; penghisapan manusia atas manusia.
Makalah ini hendak menyoroti secara kritis ajaran nilai lebih yang diajarkan Marx di atas. Sebagai salah satu kaki ideologi besar (sosialisme), ajaran ini perlu dipahami dengan sikap kritis agar kita tidak jatuh pada ekstremisme picik: mendewa-dewakan kritik atas ideologi kapitalisme—seolah-olah kapitalisme tak boleh mendapat tempat dalam sejarah peradaban—tapi sekaligus juga agar kita tidak jatuh pada pengagung-agungan kapitalisme yang walaupun secara empiris-historis memang terbukti telah membawa kemajuan peradaban seperti yang kita lihat saat ini.

II. Ajaran tentang Nilai Lebih[6]

Karl Marx membagi teori nilai lebih menjadi 4 subteori, yaitu teori tentang nilai pekerjaan, teori tentang nilai tenaga, teori tentang nilai lebih dan teori tentang laba.


a. Teori tentang Nilai Pekerjaan
Untuk memahami nilai pekerjaan kita harus membedakan antara nilai pakai dan nilai tukar. Tampaknya, dalam hal ini Marx bertolak dari ajaran Adam Smith. Smith merujuk pada kodrat manusia sebagai homo economicus. Sebagai makhluk ekonomi (homo economicus) manusia—menurut Smith—cenderung melakukan pertukaran. Merujuk pada kodrat tersebut, Smith merumuskan teori nilai barang yang dibaginya menjadi dua, yakni nilai guna dan nilai tukar.

Nilai pakai atau nilai guna suatu barang adalah nilai barang dalam kaitannya dengan fungsi barang tersebut untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Sebagai contoh, sepasang sepatu mungkin memiliki nilai guna hampir nol bagi Pak Sukro yang salah satu kakinya telah diamputasi karena kecelakaan. Tetapi, sepatu yang sama mempunyai nilai pakai yang lebih tinggi bagi Pak Ratukore yang memang sedang membutuhkan sepatu tersebut untuk pergi ke undangan. Nilai pakai suatu barang, dengan demikian, ditentukan oleh jenis barang (kalau Anda butuh pulpen jangan diberi korek api sekalipun harga keduanya sama) dan kebutuhan dalam masyarakat (pendingin ruangan tidak punya nilai di Daerah Dieng sekalipun harga pendingin ruangan tidak murah).

Sedangkan nilai tukar suatu barang adalah nilai barang tersebut bila dijual di pasar. Dalam arti yang sederhana, nilai tukar ini tercermin pada harga, sekalipun nilai tukar tidak selalu identik dengan harga. Misalnya, nilai seporsi sate Rp10.000,00 dan nilai sebuah topi juga Rp10.000,00. Dikatakan bahwa nilai seporsi sate sama dengan nilai sebuah topi, yaitu Rp10.000,00 sekalipun nilai pakai keduanya berbeda.
Menurut Marx, nilai tukar suatu barang ditentukan oleh waktu kerja— bukan waktu kerja individual melainkan waktu rata-rata kerja sosial—yang dibutuhkan untuk memproduksi barang tersebut. Jadi, mengapa nilai tukar lima potong sapu tangan, misalnya, sama dengan dua potong dasi? Jawabnya karena waktu yang digunakan untuk menghasilkan lima potong sapu tangan sama dengan waktu yang digunakan untuk menghasilkan dua potong dasi.
Nilai pekerjaan mengatakan bahwa nilai tukar barang ditentukan oleh jumlah pekerjaan yang masuk dalam produksinya.

b. Teori tentang Nilai Tenaga Kerja

Paralel dengan teori nilai pekerjaan di atas, nilai tenaga kerja juga ditentukan oleh jumlah “pekerjaan” yang diperlukan untuk menciptakannya. Jelas, dalam hal ini tenaga kerja diperlakukan sama persis dengan komoditas. Bila seorang tenaga kerja (secara khusus Marx menunjuk buruh) sehari butuh uang Rp10.000,00 untuk makan agar ia tetap bisa bekerja, membeli pakaian, perumahan dan biaya membesarkan dan mendidik anak (inilah yang dimaksud dengan pekerjaan yang diperlukan untuk menciptakannya) agar kelak bisa menggantikannya, nilai tenaga kerja tersebut adalah Rp10.000,00 per hari. Di sisi lain, ketika seorang pemilik modal membayar Rp10.000,00 sehari kepada tenaga kerja, secara teoretis ia boleh dan bisa menggunakannya selama 24 jam sehari. Tetapi, karena orang juga perlu istirahat untuk memulihkan tenaga, waktu kerja itu kemudian hanya menjadi 8 jam atau lebih bila memungkinkan.

c. Teori tentang Nilai Lebih

Kita andaikan bahwa nilai tenaga kerja adalah Rp10.000,00 per hari. Dalam kondisi normal, menurut Marx, pemilik modal (majikan) akan membayar sesuai dengan nilai tenaga kerja tersebut, yakni Rp10.000,00 per hari. Dalam kondisi tidak normal—kelebihan penawaran atau kelebihan permintaan—nilai tenaga kerja tersebut akan bergerak naik atau turun, tetapi tetap akan berkisar pada nilai Rp10.000,00.
Apa yang akan dilakukan majikan setelah ia membayar buruh sebesar Rp10.000,00? Ia akan mempekerjakan buruh tersebut misalnya selama 8 jam per hari. Dari pekerjaan si buruh, majikan akan memperoleh komoditas, misalnya nilainya Rp20.000,00.
Tampak di situ bahwa dengan membayar Rp10.000,00 si majikan memperoleh komoditas senilai Rp20.000,00. Selisih antara nilai komoditas dan nilai tenaga kerja yang dibayar majikan inilah yang disebut Marx sebagai nilai lebih.
Dalam sudut pandang ini, sebenarnya si buruh cukup bekerja empat jam sehari untuk menutup uang yang dikeluarkan si majikan guna membayar tenaga kerja. Tetapi, si buruh harus bekerja 8 jam sehari karena ia telah menjual sehari tenaganya kepada si majikan. Dalam pandangan Marx, 4 jam selebihnya tersebut (nilai lebih) sebenarnya merupakan hak buruh. Tetapi, dalam kenyataannya hak tersebut dirampas oleh si majikan.

d. Teori tentang Laba

Jadi, bagi Marx, nilai lebih merupakan satu-satunya sumber laba pemilik modal. Semakin tinggi nilai lebih, semakin tinggi keuntungan yang diperoleh si pemilik modal. Dan, bagi Marx, penyingkapan nilai lebih tersebut merupakan penyingkapan rahasia yang ada di balik logika sistem perekonomian kapitalis.
Franz Magnis Suseno memberikan gambaran berikut ini, untuk menjelaskan maksud Marx.[7]
Pada masa prakapitalis, kegiatan perekonomian dilakukan dengan cara tukar-menukar barang. Barang (B1) ditukar dengan barang lain (katakan barang 2/B2) di mana nilai tukar barang 1 sama dengan nilai tukar barang 2. Secara diagramatis bisa digambarkan:
B1 B2 di mana B1 = B2.
Pada saat perekonomian masyarakat telah mengenal uang (U), diagram di atas berkembang menjadi sebagai berikut:
B1 U B2 ; B1 tetap sama dengan B2.

Tetapi, dalam sistem kapitalisme, barang (B) akan berubah menjadi komoditas (K) karena orang membeli barang tidak hanya untuk dikonsumsi atau memenuhi kebutuhan hidupnya tetapi untuk dijual kembali. Uang (U1) dibelikan barang (K) dan barang tersebut dijual kembali untuk memperoleh uang (U2). Secara diagramatis akan tampak sebagai berikut:
U1 K U2

Yang menjadi daya tarik dari sistem ini adalah bahwa U2 > U1. Itulah laba! Tanpa U2 > U1 niscaya orang tidak akan tertarik melakukan perdagangan. Dalam konteks yang lebih kompleks (industri) uang (U) tersebut akan berupa modal (M) tetapi logika dasarnya tetap tidak berubah. Modal (M1) dipakai untuk menghasilkan komoditas (K) dan komoditas dijual untuk menghasilkan modal lagi (M2). Secara diagramatis akan tampak sebagai berikut:
M1 K M2

Dalam kenyataannya atau setidak-tidaknya secara normatif, M2 > M1. Padahal prinsip dasar kapitalisme adalah bahwa pertukaran terjadi pada dua atau lebih barang dengan nilai yang sama. Artinya, menurut logika ini, M1 seharusnya sama dengan M2. Tetapi, dalam kenyataanya M2 > M1.

Muncul pertanyaan di situ: dari manakah sumber kelebihan M2 dibanding M1? Kita bisa menelisiknya pada K. Untuk bisa menghasilkan komoditas, oleh pemilik modal M1 akan diinvestasikan dalam bentuk—katakanlah—tanah, gedung, mesin (X); bahan baku (Y) dan tenaga kerja langsung (Z). Jadi, secara diagramatis, rumusan di atas akan menjadi sebagai berikut:
M1 (X + Y + Z) M2

Masih menurut Marx, penjualan komoditas tidak mungkin menghasilkan lebih daripada pengembalian bersih amortisasi/depresiasi (X) dan pembelian bahan baku (Y). Jelaslah sekarang bahwa bila pada kenyataannya M2 > M1, kelebihan itu berasal dari Z (tenaga kerja langsung) yang sekaligus merupakan sumber laba pemilik modal. Teori ini memperkuat pandangan Marx bahwa satu-satunya laba yang diperoleh pemilik modal adalah berasal dari nilai lebih yang diberikan buruh.

Di situlah sumber eksploitasi tersebut. Sifat eksploitatif tidak pertama-tama terletak pada nilai lebih melainkan pada kenyataan bahwa nilai lebih tersebut akan menjadi hak eksklusif pemilik modal. Bisa jadi nilai lebih di atas tidak masuk ke kantong si pemilik modal tetapi akan langsung diinvestasikan lagi untuk meningkatkan produksi. Aktivitas ini pada akhirnya justru akan menimbulkan akumulasi modal dan bagaimanapun akumulasi modal yang diperoleh dari nilai lebih di atas tidak pernah akan jatuh pada para pekerja. Di sinilah titik rawan ketimpangan yang semakin lebar antara pemilik modal dan buruh bisa ditunjuk.

III. Tinjauan Kritis

Betapapun banyak hal harus dikritisi menyangkut teori nilai lebih yang dikemukakan Marx sebagai titik pijak penting untuk mengkritik kapitalisme, jauh-jauh hari Marx telah memberi rambu-rambu bahwa sistem kapitalisme mengandung bahaya penghisapan manusia atas manusia (yang kuat terhadap yang lemah). Justru karena itu, Gunnar Myrdal dan John Kenneth Galbraith merasa perlu memberikan penekanan bahwa perlindungan terhadap yang lemah melalui kebijakan institusional (institutional policy) adalah mutlak dalam sistem ekonomi kapitalis.[8] Institutional Policy itu, misalnya dalam bentuk Undang-undang yang membatasi kekuasaan golongan ekonomi kuat (pemilik modal).[9]

Bahkan, sebagai ideologi sepantasnya kapitalisme memang harus dicurigai sebagai sesuatu yang tak bebas nilai. Joan Robinson sebagaimana dikutip oleh Mubyarto mengemukakan “The very nature of economics is rooted in nationalism ... The classical economists were in favor of Free Trade because it was good for Great Britain not because it was good for the world...”[10]
Semua itu menguatkan pendapat Marx bahwa sistem ekonomi kapitalisme mengandung bahaya eksploitatif.

Namun demikian, tampaknya ada beberapa hal yang luput dari perhatian Marx saat ia mengajukan teorinya tentang nilai lebih sebagai pijakan mengkritik kapitalisme.
1. Marx mengemukakan bahwa nilai tukar suatu barang ditentukan oleh jumlah pekerjaan (waktu pekerjaan) yang diperlukan untuk menghasilkan barang. Benarkah nilai tukar sebuah barang hanya ditentukan oleh jumlah pekerjaan yang diperlukan untuk menghasilkan barang tersebut?

Dalam kenyataan empiris, teori di atas tidak sepenuhnya sesuai dengan realitas. Dalam kenyataannya, nilai tukar suatu barang—selain memang ditentukan oleh pekerjaan yang diperlukan untuk menghasilkannya—juga ditentukan oleh nilai pakai dan selera bahkan juga kelangkaan.

Misalnya, dalam kehidupan sehari-hari kita bisa menjumpai orang menjual sepeda motor miliknya dengan harga sangat murah karena, misalnya, ia harus membayar cicilan utang. Nilai tukar motor tersebut menjadi turun, bukan karena nilai tukarnya memang turun, melainkan karena pada saat itu nilai pakainya tidak lebih penting daripada uang yang harus segera dimiliki si pemilik untuk membayar utang. Dalam kasus lain adalah barang-barang seni atau barang-barang antik. Waktu yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang di atas tidak relevan untuk diperhitungkan ketika kita melihat nilai tukarnya. Barang seni menjadi mahal karena, salah satunya, ditentukan oleh unsur selera si pembeli sedangkan barang antik menjadi mahal mungkin karena kelangkaannya.

Jelaslah bahwa premis Marx yang mengatakan bahwa nilai tukar suatu barang semata-mata ditentukan oleh jumlah waktu atau pekerjaan yang diperlukan untuk menghasilkan barang tersebut tidak terbukti secara empiris. Dalam hal ini, tampaknya Marx terlalu simplisistis.

2. Konsep waktu rata-rata yang digunakan Marx untuk menentukan nilai tukar suatu barang juga sangat abstrak. Misalnya dikatakan bahwa waktu rata-rata yang diperlukan untuk membuat sebuah ukiran kayu adalah 5 jam. Dari manakah angka 5 jam tersebut? Taruhlah kita memang bisa mengukur waktu rata-rata yang diperlukan untuk menghasilkan sebuah ukiran kayu, yakni 5 jam. Penemuan teknik membuat ukiran yang sedikit saja mempercepat waktu pembuatan ukiran kayu akan mempengaruhi waktu rata-rata tersebut apabila penemuan teknik di atas diketahui. Sebaliknya, seandainya penemuan teknik tersebut tidak diketahui—sekalipun sebenarnya sangat mempercepat waktu pembuatan ukiran kayu—tidak akan diperhitungkan.

3. Marx menyatakan bahwa yang menciptakan nilai lebih pada suatu komoditas adalah tenaga kerja langsung (buruh). Premis ini jelas bertentangan dengan kenyataan empiris. Kita ambil contoh kaos dagado. Benarkah nilai lebih kaos tersebut hanya diciptakan oleh penyablon kaos? Tentu saja tidak. Tak kurang penting orang-orang yang memberi nilai lebih pada kaos tersebut adalah desainer, pencipta kalimat dan juga bagian marketing.

4. Ketika Marx menyatakan bahwa upah buruh semata-mata ditentukan berdasarkan pertimbangan ekonomis, ia telah salah mengantisipasi bahwa pada kenyataannya pada saat ini upah buruh juga ditentukan berdasarkan pertimbangan politis. Dalam menentukan upah minimum regional (UMR), misalnya di dalam dewan pengupahan terdapat unsur pemerintah dan serikat buruh selain unsur industri. Tampak di situ, bahwa unsur politis juga sangat memegang peran dalam menentukan upah buruh. Hal ini gagal diprediksi Marx.

IV. Kesimpulan

Sejarah—setidaknya hingga hari ini—masih berpihak pada kapitalisme. Premis-premis yang digunakan Marx pun mengandung banyak kelemahan.[11] Para marxis mungkin masih tetap meyakini bahwa apa yang pernah diramalkan Marx tetap merupakan keniscayaan. Apa yang sekarang ini sedang terjadi—berjayanya kapitalisme—sesungguhnya merupakan proses untuk menuju kapitalisme global sebelum akhirnya terjadi apa yang disebut Marx sebagai revolusi sosial.

Tak begitu perlu untuk memperdebatkan apakah sejarah memang akan berjalan sebagaimana yang diramalkan para marxis. Yang sekarang ada di depan mata adalah bahwa kita saat ini hidup dalam alam kapitalis. Menolak mentah-mentah kapitalisme jelas merupakan sikap tak realistis. Tapi, menerima tanpa reserve kapitalisme juga tak kalah naifnya. Sikap paling tepat yang mungkin bisa diambil adalah hiduplah dalam alam kapitalis karena hal itu memang sebuah kenyataan, tetapi tetap kritis terhadapnya karena ternyata sebagaimana ditunjukkan Marx, kapitalisme juga mengandung hal-hal negatif dalam dirinya.

Apakah kita sudah melakukannya? B. Herry Priyono secara eksplisit menjawab pertanyaan tersebut. “... Bangsa kita sekarang ini sedang menghadapi ... kapitalisme global. Akibatnya tata kehidupan sosial, politik, budaya dan ekonomi menjadi tidak manusiawi dan meningkatnya marjinalisasi dan pemiskinan sebagian besar masyarakat. Kinerja ekonomi pasar (sebagai instrumen penting kapitalisme)... dipakai sebagai satu-satunya cara mengorganisasi seluruh tata masyarakat” (Kompas, 23 Oktober 2007, penekanan dari penulis). Betapa menyedihkannya!

Daftar Pustaka
Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Fakih, Mansour. 2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press.
Hatta, Mohammad. 1967. Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Mubyarto. 1987. Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan. Jakarta: LP3ES.
Supono, Eusta. 2003. Agama Solusi atau Ilusi? : kritik atas kritik agama Karl Marx. Yogyakarta: Komunitas Studi Didaktika.
Suseno, Franz Magnis. 1999. Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wilardjo, Liek. 1996. Ilmu dan Teknologi (bunga rampai materi kuliah Program Pascasarjana Telaah Agama, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta).






[1] Ritzer sebagaimana dikutip Mansour Fakih dalam Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Insist Press, 2001), hlm. 20
[2] Eusta Supono, Agama Solusi atau Ilusi? : Kritik atas Kritik Agama Karl Marx (Yogyakarta: Komunitas Didaktika, 2003), hlm. 12.
[3] Bdk. Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 36.
[4] Frans Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 1 – 3
[5] ibid, hlm. xi.
[6] ibid, hlm. 178 - 187
[7] Lihat Ibid, hlm. 188 – 191.
[8] Bdk. Mubyarto, Ekonomi Pancasila (Jakarta: LP3ES, 1993), hlm. 26
[9] Ibid
[10] Ibid hlm. 55.
[11] Karl Popper bahkan menyebut teori materialisme historis Marx sebagai teori yang tidak ilmiah (lihat Karl R. Popper, Conjectures and Refutations, dalam Liek Wilardjo (ed), Ilmu dan Teknologi (bahan kuliah Program Pascasarjana Telaah Agama, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta).

Makalah

Pendekatan Holistik (Holistic Approach)
sebagai Upaya Efektif Pengentasan Kemiskinan:
Studi Kasus pada Tiga Keluarga Miskin
Stefanus Rahoyo


Poverty is everyone’s concern because poverty is everywhere.
There are compelling evidences that the poor can solve their own problems
if they are given fair access to financial and business development services.
In today’s world, profit and development can go hand in hand.
— Kofi Annan (Mantan Sekjen PBB)

I. Pendahuluan

Hantu kemiskinan tampaknya masih tetap akan menjadi momok gentayangan yang sangat mengkhawatirkan bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. Tak kurang, World Bank berdasarkan hasil penelitiannya tahun 2006 terhadap kemiskinan di Indonesia memberikan catatan sinis mengenai jumlah penduduk Indonesia yang mengalami kemiskinan absolut.
“Jumlah penduduk yang berpenghasilan kurang dari AS$2/hari hampir sama dengan total penduduk yang berpenghasilan kurang dari AS$2/hari seluruh kawasan Asia Timur kecuali Cina.”[1]

Dalam kurun waktu 17 tahun angka kemiskinan absolut memang berhasil ditekan dari 40,7% pada 1976 menjadi sekitar 11% pada 2005. Tetapi, angka tersebut kembali melonjak sebagai akibat badai krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada 1997 (lihat grafik). Secara nominal, jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2006 mencapai 40 juta jiwa dan pada Juni 2007 mencapai 37,17 jiwa.

Yang harus dicatat, angka-angka itu pun diperoleh hanya didasarkan pada segi pendapatan (income). Apabila kriteria kemiskinan juga didasarkan pada segi nonpendapatan, bisa dipastikan angka-angka tersebut akan menjadi semakin mencemaskan. Bank Dunia mencatat: 25% anak usia Balita di Indonesia mengalami gizi buruk; angka kematian Ibu 307 per 100.000 kelahiran hidup (3x Vietnam dan 6x Cina dan Malaysia); jumlah anak usia 16 - 18 tahun yang lulus SLTP hanya mencapai angka 55% (untuk penduduk miskin) dan 89% (untuk penduduk kaya).[2]
Memang, merujuk pada Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), pemerintah Indonesia pada 2009 menargetkan angka kemiskinan akan turun hingga hanya menjadi 8,2%; angka kematian ibu dari 307 per 100.000 kelahiran hidup (2006) menjadi 226 per 100.000 kelahiran hidup; dan angka partisipasi sekolah menengah menjadi 98,1%.[3] Pertanyaan pokoknya, apakah target tersebut sungguh realistis?

Berbagai program dan upaya pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan memang pernah digulirkan, antara lain Kredit Usaha Tani (1998) yang mencapai Rp8,4 triliun; Kredit Ketahanan Pangan (2000) yang mencapai
2,3 triliun; juga Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Jaring Pengaman Sosial.[4] Namun, berbagai upaya itu pun toh tak cukup signifikan mengurangi angka kemiskinan. Setidaknya, data di atas menunjukkan bahwa sejak 2002 sampai dengan 2007 angka kemiskinan tetap bertengger pada angka 16 – 18%. Oleh karena itu, mungkinkah dalam dua tahun mendatang angka tersebut bisa ditekan sedemikian rupa hingga hanya tinggal 8,2%? Upaya luar biasa apakah yang akan dilakukan pemerintah sehingga memasang target teramat muluk semacam itu?

Tentu saja kita tidak boleh pesimis bahwa kemiskinan pada dasarnya memang bisa ditekan bahkan bisa dihapuskan. Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian 2006 telah membuktikannya di Bangladesh.[5] Tetapi, melihat pengalaman selama 5 tahun terakhir, semua usaha yang dilakukan pemerintah belum memberikan hasil yang berarti.
Pertanyaan lain yang muncul, mengapa semua program yang telah menyedot triliunan biaya tersebut tidak mampu membawa dampak signifikan dalam upaya pengentasan kemiskinan? Apakah program-program tanggap darurat (emergent) semacam beras miskin (raskin) dan bantuan langsung tunai (BLT) memang merupakan pendekatan strategis untuk pengentasan kemiskinan?

Makalah ini berusaha memotret apa adanya kehidupan tiga keluarga miskin masing-masing Suji (65 tahun), Harni (55 tahun) dan Subadi (61 tahun) sebagai studi kasus. Dari deskripsi apa adanya mengenai kehidupan mereka akan dilakukan analisis untuk mengetahui aspek-aspek yang terkait dengan kemiskinan mereka.
Untuk tujuan tersebut, penulis telah melakukan kunjungan dan wawancara langsung kepada ketiga narasumber. Kepada Ibu Suji dan Ibu Harni penulis melakukan kunjungan dan wawancara di rumahnya. Sedangkan kepada Bapak Subadi, wawancara dilakukan di tempat kerjanya di Kawasan Simpang Lima – Semarang.

II. Potret Tiga Keluarga Miskin

Suji, namanya! Janda beranak 4 anak ini tinggal di Desa Ngablak RT 02/05 Kabupaten Magelang. Tak ada pekerjaan tetap baginya. Sehari-hari ia bekerja serabutan, tergantung dari para tetangga yang meminta bantuannya. Bisa mencuci piring, bisa memanen sayur-an, atau sekadar memijit. Justru karena itu, tak ada patokan pasti berapa pengha-silan setiap harinya. Selain permintaan bantuan dari para tetangganya tidak bisa dipastikan setiap hari datang, sering kali pa-ra tetangganya terse-but memberinya uang tanpa standar tertentu. Kadang Rp10.000,00 kadang Rp25.000,00 tapi kadang juga hanya sekadar diberi beras.

Suaminya telah meninggal sejak 37 tahun lalu saat anak bungsunya baru berumur sebulan. Slamet (alm), suaminya, adalah seorang supir truk dan meninggal karena kecelakaan.
Sejak mula kehidupan keluarga Suji memang kurang beruntung. Baik dirinya maupun suaminya sama-sama terlahir dari keluarga kurang mampu. Karena itulah, beberapa tahun setelahmenikah ia dan suaminya sempat bertransmigrasi ke Sumatera. Namun, tak lama kemudian mereka terpaksa kembali ke Jawa karena mengaku tidak kuat hidup di daerah trans.
Sebenarnya ia pernah mencoba berdagang sayuran kecil-kecilan (eber-eber—Jw) di pasar. Tetapi, lantaran modalnya yang kelewat cekak ia tak mampu bertahan menghadapi kerasnya persaingan.

Sepeninggal suaminya, ia rela menjadi istri kedua—juga seorang supir. Keputusannya menjadi istri kedua seorang supir itu semata-mata didasari satu hal; “Sapa ngerti isa melu mangan,” (siapa tahu bisa sekadar ikut makan) begitu kenangnya. Ya, sekadar ikut makan. Karena pada dasarnya suami keduanya—Suroso, namanya— juga tidak mampu memberikan uang berlebih.
Nasib keempat anaknya? Untunglah ketika itu biaya pendidikan keempat anaknya dari sejak kelas I SD ditanggung sponsor yang dicarikan gereja. Keempat-empatnya lulus SLTP. Kini keempat-empatnya telah berkeluarga ... sekaligus keempat-empatnya juga berprofesi sebagai supir truk seperti ayah mereka.

Berbeda dengan Suji, Harni (menolak dirinya difoto) sebenarnya pernah mengalami hidup lumayan mapan di Ambon. Ia memang berasal dari keluarga pas-pasan. Justru karena itu, begitu menikah ia dan suaminya mengadu nasib ke Kota Manise itu. Ia menjadi jurumasak di asrama Brimob Ambon. Selain itu, ia juga berjualan makanan di sana. “Di sana enak, Pak. Cari duit gampang. Apa saja bisa jadi uang!” ungkapnya. “Kalau cuma cari uang Rp100.000,00 sehari saja gampang!” sambungnya.

Tak mengherankan bila dari hasil kerjanya tersebut ia tanpa mengalami kesulitan bisa menyekolahkan anaknya hingga tamat STM.
Sayang, nasib berkata lain. Ketika kerusuhan Ambon meletus, terpaksa ia tinggalkan begitu saja semua harta bendanya yang telah susah-susah ia kumpulkan! Ia kembali ke kampung halamannya di Desa Dawung, Pudak Payung dengan hanya berbekal beberapa potong pakaian. “Waktu itu yang terpikir hanya menyelamatkan nyawa saja!” katanya.
Sekembalinya dari Ambon, ia menumpang di rumah adiknya yang ekonominya juga pas-pasan. Kehidupan Harni menjadi semakin berat ketika suaminya harus meninggal karena kecelakaan di Rembang.

Untuk menghidupi dirinya dan seorang putranya, kini ia bekerja sebagai pembantu harian (pocokan) di rumah tetangganya dengan upah Rp60.000,000 seminggu. Harni mengaku, sebenarnya ia ingin sekali kembali berdagang, tetapi keinginan tersebut harus ia kubur dalam-dalam karena terbentur modal. Untunglah bahwa dengan bekal ijazah STM, anaknya bisa bekerja serabutan sebagai teknisi tower. Dengan begitu, ia merasa tidak terlalu terbeban untuk selalu memikirkan kehidupan anaknya.
Subadi berbeda lagi. Lelaki kelahiran Kudus 61 tahun lalu ini sehari-hari mengayuh becak di kawasan Simpang Lima – Semarang. Pada dasarnya ia telah menekuni profesi ini sejak tahun 1970-an. Ia mengaku tak pernah berusaha atau menco-ba mencari pekerjaan lain. “Garis hidup saya ini Mas, ya... jalani saja!” tukasnya saat ditanya mengapa tidak mencoba mencari pe-kerjaan lain.

Dari hasil keri-ngatnya sejak pukul 07.00 sampai pukul 17.00 rata-rata lelaki yang tinggal di Tambak Boyo, Semarang ini bisa mengantongi Rp25.000,00 per hari. Suami Ngatiyem ini lalu merinci, “Dari Rp25.000,00 itu Rp15.000,00 untuk makan dan sewa becak Rp2000,00 per hari. Jadi, bersihnya yang bisa saya bawa pulang ke rumah ya Rp10.000,00,”. “Padahal, pengeluaran harian di rumah Rp15.000,00” lanjut Pak Badi.
Tekor? Kekurangan itu ditutup istrinya— Ngatiyem — yang bekerja sebagai tukang cuci keluarga dengan upah Rp10.000,00 per hari. Praktis, dari hasil sehari-hari keluarga Subadi hanya menyisakan uang Rp5.000,00/hari. “Uang itu untuk jaga-jaga, Mas... kalau ada tetangga mantu, sumbangan apa atau apa gitu!”

Ayah empat orang anak ini memang telah memiliki rumah sendiri. Tapi, itu bukan hasil keringatnya. Keempat anaknyalah yang telah bantingan membelikan rumah untuknya.
Nasib anak-anaknya memang lebih baik daripada ayahnya. Berkat ijazah SLTA yang mereka miliki, mereka bisa bekerja di sebuah distributor air minum dalam kemasan. “Ya... tidak menyesal Mas, waktu itu 2 becak saya jual untuk biaya sekolah. Untung juga selalu ada bantuan dari saudara-saudara untuk biaya sekolah. Mereka sekarang tidak harus hidup menderita seperti bapaknya,” katanya.

III. Pembahasan

Pada umumnya, dari sisi penyebab, dikenal tiga macam kemiskinan (absolut), yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan kultural dan kemiskinan natural. Mar’ie Muhammad (mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia) mendefinisikan kemiskinan absolut sebagai ketidakmampuan seseorang, suatu keluarga, dan sekelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs). Termasuk dalam kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut adalah pangan maupun nonpangan, khususnya pendidikan dasar, kesehatan dasar, perumahan dan kebutuhan transportasi.[6] Pendekatan yang biasa dipakai untuk mengukur kemiskinan ini adalah pendekatan kebutuhan dasar (basic need approach) dan daya beli (purchasing power approch) yang tercermin dalam pendapatan per kapita per hari.

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat yang entah secara langsung atau tidak langsung disebabkan oleh tatanan kelembagaan yang ada.[7] Contoh kemiskinan struktural adalah petani di Indonesia. Tanah para petani di Indonesia pada umumnya sangat terbatas. Bahkan, banyak petani yang sama sekali tidak memiliki tanah sehingga sebutan yang tepat bagi mereka adalah buruh tani.

Keterbatasan kepemilikan tanah, harga jual gabah yang rendah sehingga penjualan hasil pertanian tak cukup mampu untuk bahkan sekadar menutup biaya produksinya membuat para petani terlilit kemiskinan dari hari ke hari. Semua itu terjadi karena tatanan kelembagaan (tata niaga) beras, khususnya, sangat dikendalikan sementara bantuan dan proteksi dari pemerintah terhadap sektor ini kurang terlihat. Tatanan institusional inilah yang kemudian menjerembabkan para petani dalam kemiskinan struktural.

Sementara kemiskinan kultural didefinisikan sebagai kemiskinan yang terjadi akibat faktor-faktor budaya sehingga seseorang atau sekelompok orang tidak mampu “berproduksi” secara maksimal.[8] Sikap malas, tak mau bekerja keras, ketiadaan budaya menabung, kebiasaan hidup boros, misalnya, tak pelak merupakan salah satu penyebab kemiskinan. Semua penyebab itu bisa digolongkan dalam faktor kultural.

Satu hal lagi yang sering disebut sebagai salah satu penyebab kemiskinan absolut adalah faktor alamiah. Misalnya, tanah yang tandus dan miskin sumber daya alam, penduduk terlalu padat, cacat fisik sejak lahir, usia jompo, dsb. Sekalipun demikian, John Kenneth Galbraith telah memberikan bukti bahwa faktor-faktor alamiah kurang bisa dijadikan penjelasan mengenai terjadinya kemiskinan. Ia menunjuk Jepang, Singapura, Taiwan, Hongkong dan Korsel sebagai bukti. Secara alamiah negara-negara tersebut bukanlah negara-negara yang kaya akan sumber daya alam. Namun demikian, dalam kenyataannya, kelima negara di atas tidak termasuk negara miskin.[9]

Bagaimana dengan kasus kemiskinan yang terjadi pada Suji, Harni, dan Subadi di atas? Berdasarkan pengamatan dan realitas yang mereka hidupi, tak bisa ditampik bahwa mereka hidup dalam kemiskinan absolut. Pertanyaannya, faktor apakah yang membuat mereka miskin: faktor struktur, kultur atau alam?

Menilik kisah yang mereka ceritakan, bisa dipastikan bahwa faktor struktural dan kultural memainkan peran atas kemiskinan yang mereka alami. Faktor struktural bisa ditunjuk, misalnya kebijakan negara yang tidak memberikan perlindungan dan proteksi serta bantuan memadai bagi mereka. Secara spesifik, masuknya sepeda motor-sepeda motor murah akibat dibukanya kran perdagangan bebas dan syarat-syarat pemberian kredit sepeda motor yang demikian mudah akibat persaingan yang ketat, sedikit-banyak sangat memukul penghasilan tukang becak, seperti Subadi. Tiadanya regulasi mengenai upah, jaminan kesehatan, dsb. bagi para buruh rumah tangga seperti Suji dan Harni juga membuat keduanya terlilit kemiskinan yang tak berujung-pangkal. Tiadanya akses memperoleh pinjaman mudah dan murah bagi Suji dan Harni yang sebenarnya memiliki potensi berdagang, juga menyumbang pada terjadinya kemiskinan mereka. Itulah beberapa faktor kultural yang bisa disebut.

Secara kultural, beberapa hal bisa ditunjuk sebagai penyebab dan pelanggeng kemiskinan mereka. Ungkapan Subadi untuk menerima nasib seolah-olah itulah garis hidupnya telah menutup kemungkinan dirinya bereksplorasi mencari kemungkinan pekerjaan lain yang mungkin sebenarnya lebih menjanjikan. Faktor kultural ini juga bisa kita telisik pada diri Suji, mungkin juga Harni. Mereka de facto tidak punya nilai tawar di hadapan orang-orang yang mereka bantu. Sebagaimana yang ada pada diri orang Jawa pada umumnya, mereka selalu rikuh-pakewuh bila, misalnya, harus menawar atau berterus terang minta bayaran lebih tinggi, apalagi kepada tetangganya.

IV. Kesimpulan

Amat jarang—kalau tidak dikatakan tidak ada—kemiskinan terjadi karena faktor tunggal (single factor). Bahkan dalam sudut pandang antropologis, antara kultur kemiskinan (culture of poverty) dan kemiskinan kultural (cultural poverty) sering jalin-menjalin sehingga hampir tidak mungkin kita memisahkan manakah sebab dan manakah akibat, sekalipun secara definitif keduanya ada pada kemiskinan. Yang tidak mungkin ditolak adalah bahwa mentransformasi kultur merupakan salah satu cara paling efektif untuk memutuskan mata rantai kemiskinan kultural. Dalam hal ini, pendidikan merupakan satu-satunya jalan untuk itu. Hanya dengan pendidikan wawasan seseorang akan terbuka dan hanya dengan terbukanya wawasan orang akan mampu mentransformasi diri, termasuk kebudayaannya.

Sedangkan secara struktural, jelas diperlukan good will pemerintah untuk memihak kepada yang lemah. John Stuart Mill dalam teori ekonominya membedakan antara produksi dan distribusi. Menyangkut produksi, Mill menyatakan bahwa hal tersebut memang sangat dipengaruhi oleh natural. Tetapi, soal distribusi, itu semata-mata menyangkut human will.[10] Dan, dalam banyak hal, kemiskinan juga merupakan akibat tidak adilnya distribusi pendapatan dan pelayanan. Dalam konteks inilah, good will pemerintah untuk sepenuh hati membuka kesempatan yang adil kepada yang lemah guna mendapatkan akses keuangan (capital) dan pelayanan pembangunan menjadi faktor amat penting bagi penghapusan kemiskinan.

Dengan demikian jelaslah bahwa kemiskinan hanya akan tertangani secara efektif bila pemerintah dengan seluruh jajarannya didukung oleh seluruh komponen bangsa yang ada memiliki keberanian yang bulat untuk menangani kemiskinan tidak secara parsial, tetapi secara holistik. Semoga!
(26 Oktober 2007)

Daftar Pustaka
Bank Dunia. 2006. Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Bank Dunia.
Combs, Philip H dan Manzoor Ahmed. 1974. Memerangi Kemiskinan di Pedesaan Melalui Pendidikan Nonformal. Jakarta: CV Rajawali.
Galbraith, John Kenneth. 1979. Hakikat Kemiskinan Massa (terj. oleh Tom Anwar). Jakarta: Sinar Harapan
Mubyarto. 1987. Ekonomi Pancasila. Jakarta: LP3ES.
Sumodiningrat, Gunawan. 1999. Pemberdayaan Masyarat & JPS. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suparlan, Parsudi (ed). 1993. Kemiskinan di Perkotaan: Bacaan untuk Antropologi Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Koran Kompas.
Koran Pikiran Rakyat.
Koran Tempo.


[1] Bank Dunia, Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia (Jakarta: Bank Dunia, November 2006), hlm. xi (penekanan dari penulis)
[2] Ibid, hlm. xii
[3] Andrew D. Steer dalam Pengantar Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia (Jakarta: World Bank, November 2006), hlm. v
[4] Ir. Cecep Rukmana dalam Pikiran Rakyat, 21 Juni 2005.
[5] Situs Web Resmi Presiden Republik Indonesia — Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, 7 Agustus 2007.
[6] Koran Tempo, 12 Juli 2004.
[7] Bdk. Parsudi Suparlan (ed), Kemiskinan di Perkotaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hlm. xi
[8] Bdk. Oscar Lewis dalam Parsudi Suparlan (ed), ibid, hlm. 5 – 18.
[9] John Kenneth Galbraith, Hakikat Kemiskinan Massa (Jakarta: Sinar Harapan), hlm. 13.
[10] Mubyarto, Ekonomi Pancasila (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 9.

Kamis, 18 Oktober 2007

Cerpen

Firasat
Cerpen S. Rahoyo

Tiga kali Wage berturut-turut Sarimin benar-benar dibuat repot oleh Mbah Jinem, emaknya. Jumat Wage tiga pendhak[1] lalu, misalnya. Sarimin harus menyusuri rel kereta barang tiga kilometeran berjalan kaki melawan gerimis untuk mendapatkan kembali emaknya yang sesorean menghilang. Saat menyusuri rel itu, Sarimin sempat terpelanting dan hampir saja terperosok ke dalam jurang akibat jalan kereta yang licin karena basah. Lengan bawah kanannya memar dan kemang menghantam besi bisu mirip tangga tak berujung pangkal itu.
“Aku diajak bapakmu, Min!” begitu kata Mbah Jinem tak menyiratkan kebohongan saat ditemukan Sarimin selepas maghrib di rel kereta itu. Baju tipis dari bahan nilon warna cokelat dengan motif kembang-kembang yang dikenakannya lengket di badan karena basah, membuat tubuh Mbah Jinem yang kurus keriput tampak terterawang. Kain batik yang sudah beluk[2] terlihat lusuh juga karena air hujan. Sementara rambutnya yang semuanya sudah memutih hingga membuat kepala Mbah Jinem menyerupai bola perak jika dilihat dari kejauhan menjadi semakin gembel lengket karena gerimis.
“Bapak sudah tidak ada, Mak!” seru Sarimin sedikit kesal.
“Tidak, dia tadi menggandengku berjalan ke sana!” tukas Mbah Jinem sambil menunjuk-nunjuk ke arah timur.
“Sudah. Kita pulang. Semua orang bingung mencari Emak!” Nada Sarimin ketus sambil segera membalikkan badannya ke arah datangnya tadi.
“Min...” “Sudah, pulang!” Sarimin tak mau lagi menghiraukan kalimat Mbah Jinem yang terputus.
Sarimin pun lalu menggandeng tangan Mbah Jinem yang tampak gemetaran menahan dingin. Kulitnya yang sudah keriput seperti mangga yang dijemur selama seminggu tampak makin keriput karena terpaan gerimis.

Hingga puluhan langkah setelah meninggalkan tempat itu, Mbah Jinem masih sesekali menengok ke arah timur dan berhenti barang sejenak seperti orang yang sedang meninggalkan sesuatu yang sangat dicintainya.
“Sudahlah, Mak. Semua orang ribut. Bikin geger orang saja!” Begitu Sarimin berceloteh setiap kali emaknya itu berhenti dan menengok ke arah timur.
Itu peristiwa Jumat Wage. Rabu Wage lima hari kemudian juga begitu. Belum juga genap dua jam Sarimin berada di kantor kelurahan tempatnya menggantungkan nasib selama ini, tiba-tiba dia disusul Ijul, tetangga sebelah rumahnya, agar ia segera pulang. Dalam hati Sarimin sebenarnya enggan meninggalkan kantor hari itu. Bukan apa-apa. Pak Lurah, atasannya, mulai menyindir-nyindir Sarimin yang memang telah sering minta izin dengan berbagai alasan sekalipun sebenarnya untuk ngobjek karena gajinya tak mencukupi. Entah dengan menjadi makelar motor, menguruskan surat-surat tanah, atau sekadar mengojek.
“Min, kamu harus pulang sekarang juga. Ada urusan penting!” Ijul menjelaskan kedatangannya.
“Urusan penting apa, Kang[3]?”
“Pokoknya pulang saja.”
“Nggak enak sama Pak Lurah, Kang!” begitu Sarimin mengelak.
“Bagaimana caranya lah yang penting kamu harus pulang,” desak Ijul.
Dengan mencatut nama Ijul yang datang ke kantornya, Sarimin memang diperbolehkan pulang oleh Pak Lurah sekalipun dengan wajah masam. Di perjalanan Ijul tidak banyak bercakap.

Sementara seribu tanda tanya menggantung di antara kedua pelipis Sarimin. Yang membuat Sarimin merasa serba salah, setiap kali ia menanyakan urusan yang dibilang penting itu, Ijul hanya menjawab pendek, “Nanti, di rumah saja!”
Baru setelah memasuki rumah, Sarimin tahu apa yang dimaksud urusan penting itu. Di rumah para tetangga telah mengerubungi dipan tempat Mbah Jinem biasa tidur. Rupanya, emaknya itu baru saja diserempet mobil ketika hendak menyeberang jalan. Mbah Jinem tak mengaku mau ke mana. Ia cuma mengatakan berjalan digandeng Mbah Suro ketika tiba-tiba sebuah truk menyerempetnya saat ia baru longak-longok[4] hendak menyeberang. Untunglah jatuhnya Mbah Jinem tidak ke tengah jalan, melainkan ke tepi. Kalau saja ia jatuh ke tengah jalan, pastilah nenek itu sudah tergilas truk yang menyerempetnya.

Sebenarnya, setiap kali Mbah Jinem akan mengalami peristiwa aneh semacam itu, Jumini, istri Sarimin, selalu mendapat firasat. Dan, bagi Jumini, kalau sampai hari itu nyawa Mbah Jinem masih bisa diselamatkan dalam setiap kejadian yang menimpanya, itu berkat firasat tersebut.
Malam sebelum sore hari berikutnya Mbah Jinem hilang dan ditemukan Sarimin di rel kereta itu, Jumini bermimpi. Ia seakan-akan berada di tengah hutan dengan pepohonannya yang rimbun dan besar-besar. Di bawah pepohonan itu tumbuh beraneka bunga yang tampak kembang sepanjang musim. Sinar matahari yang selalu terang seterang matahari tengah hari di cuaca cerah senantiasa menyapu kembang-kembang tadi. Eloknya, sinar matahari itu terasa sangat sejuk di kulit.

Di hadapan Jumini terbentang jalan selebar dua depa membelah hutan. Bukan jalan tanah atau beraspal halus, tetapi jalan berlapis permadani sehingga kaki siapa pun yang menginjak jalan tersebut akan merasakan kelembutan. Jalan itu lurus sekali hingga Jumini bisa melihat ujung jalan yang lain, mengerucut membentuk titik di kejauhan sana.
Dalam mimpinya itu, Jumini melihat Mbah Suro, suami Mbah Jinem yang meninggal setahun lalu, berdiri tak jauh dari tempat Jumini termangu. Mbah Suro berpakaian serba putih. Usianya tampak setua ketika ia meninggal, namun kulitnya tampak lembut bersinar seperti kulit bayi. Mbah Suro juga masih berjalan dengan tongkatnya untuk menyangga badannya yang sedikit bongkok karena termakan usia. Masih dalam mimpi Jumini, Mbah Suro berjalan diiring beberapa wanita cantik yang juga berpakaian serba putih. Dalam penglihatan Jumini, Mbah Suro ngawe-awe[5] Mbah Jinem seolah mengajak pergi. Mbah Jinem pun menuruti ajakan suaminya itu dan mereka tampak pergi bersama bergandengan tangan dalam iringan wanita-wanita cantik tadi.

Itu mimpi Jumini malam Jumat Wage. Malam Rabu Wage saat pagi harinya Mbah Jinem terserempet mobil itu, Jumini bermimpi lebih mengerikan. Mbah Jinem seakan-akan dimandikan darah oleh tiga lelaki berbadan kekar-kekar. Jumini masih ingat, ketika itu Mbah Jinem meronta-ronta dan memanggil-manggil dirinya minta tolong. Jumini pun seakan-akan berebut dengan ketiga lelaki kekar tersebut untuk melepaskan Mbah Jinem. Jumini baru tersadar ketika suaminya menggoyang-goyang badannya membangunkan.
Setiap kali malamnya bermimpi aneh tentang Mbah Jinem, pagi-pagi buta Jumini lalu memanggil-manggil Mbah Jinem di tempayan. “Emak pulang, Mak!” begitu ia memanggil dan panggilan itu harus dijawab Sarimin yang harus berada di pelataran, “Mak sudah pulang!”. Ritual pendek itu dilakukan tiga kali. Sebagaimana orang-orang di kampung Jumini percaya, Jumini pun yakin bahwa mimpi-mimpi semacam itu merupakan firasat buruk bahwa Mbah Jinem akan segera menyusul suaminya entah karena apa. Dan, sebagaimana yang dipercayai Jumini, kepergian Mbah Jinem tersebut bisa dicegah dengan melakukan ritual tadi.

Peristiwa terakhir yang sangat merepotkan Sarimin terjadi Senin Wage lima hari kemudian. Mbah Jinem hilang lagi. Pagi-pagi buta pula. Ketahuannya bahwa Mbah Jinem raib juga sedikit kebetulan. Sehabis sholat subuh, Jumini iseng-iseng menengok kamar emak mertuanya itu. Selama tujuh belas tahun menjadi menantu Mbah Jinem, tak pernah sekali pun ia berlaku demikian. Kalau pagi itu ia menengok kamar Mbah Jinem, semata-mata karena rasa penasarannya sebab semalam ia bermimpi Mbah Jinem dikelilingi gayung. Kata orang-orang tua, kalau ada orang diimpikan dikelilingi gayung itu pertanda bahwa orang tersebut akan meninggal.

Jumini sebenarnya sudah sedikit risau ketika melihat pintu dapur belakang tidak tertutup rapat dan setelah ia longok tak menemukan emaknya di luar.
“Ke latar Kang... ke latar Kang...!” teriak Jumini meminta suaminya menuju ke pelataran rumah tak selang detik setelah ia membuka pintu kamar emak mertuanya.
“Kenapa sih, pagi-pagi!”
“Sudah ke latar. Cepat! Mak hilang!”

Tanpa banyak tanya lagi, Sarimin bergegas menuju pelataran. Dan mereka pun melakukan ritual yang diyakini bisa menyelamatkan nyawa Mbah Jinem.
“Mak pulang, Mak!”
“Emak sudah pulang!”
“Mak pulang, Mak!” “Emak sudah pulang!”
“Mak pulang, Mak!”
“Emak sudah pulang!”

Setelah itu Jumini dan Sarimin serta para tetangga pun geger mencari Mbah Jinem. Baru menjelang tengah hari Mbah Jinem ditemukan di sebuah ereng-ereng[6] dekat sungai yang mengalir di tepi tetangga desa, dengan tubuh penuh lumpur. Entah kenapa. Ketika ditanya hendak ke mana, lagi-lagi Mbah Jinem cuma mengatakan bahwa sebelum subuh itu Mbah Suro membangunkannya, menggandeng tangannya dan memintanya mengantar pergi ke rumah Pariman, adik semata wayang Sarimin, yang tinggal di seberang desa.
***

Tengah malam itu Jumini terbangun setelah Sarimin menggoyang-goyang badannya membangunkan.
“Minum air dulu. Kamu mimpi buruk lagi?” tanya Sarimin sambil menyodorkan segelas teh dingin.
Beberapa kali Jumini tampak menarik napas panjang dengan mata terpejam. Ia lalu meneguk teh yang diberikan suaminya.
“Rasanya kita mantu[7], Kang. Kata orang tua, kalau kita mimpi mantu artinya kita akan kesripahan.[8]
Sarimin merapatkan kedua bibirnya kuat-kuat hingga membentuk garis lurus di mulutnya. Matanya menerawang. Wajah emaknya melintas di matanya.
“Kenapa, Kang?”
“Kita relakan saja.”
“Siapa?”
“Emak!”
“Besok pagi tidak usah dipanggil-panggil. Dia sudah terlalu tua. Kita relakan saja daripada mungkin dia juga menderita. Kita juga selalu repot,” kata Sarimin pelan lalu mendesah panjang.
Jumini diam termangu. Matanya menerawang jauh menembus dinding papan kamarnya.
“Umur berapa, ya, Kang?
“Seratus lebih. Mungkin bapak di sana juga sudah kangen emak. Biar saja mereka selalu bergandengan tangan lagi seperti ketika masih hidup.”
“Tapi, besok saya ke Gunung Pati kondangan.[9]
“Kamu titip Lik[10] Marni agar emak jangan boleh ke mana-mana biar kalau harus tidak ada, tidak adanya di rumah,” saran Sarimin.

Paginya sebelum berangkat ke kelurahan, Sarimin memeluk dan menciumi emaknya. “Ada apa to, Min? Kaya wong edan!” kata Mbah Jinem ketika pipinya diciumi anaknya yang tidak seperti biasanya itu. Sarimin tak menghiraukan emaknya yang meronta-ronta ingin dilepaskan. Dalam hati Sarimin terbersit, siapa tahu itu kali terakhir ia melihat emaknya hidup.
“Emak jangan ke mana-mana, ya. Di rumah saja. Siapa tahu hari ini banyak tamu!”
“Pergi juga mau ke mana. Sudah berangkat nanti kesiangan!”
Sarimin baru benar-benar meninggalkan emaknya setelah puas menciumi dan memeluk-meluk emaknya.
***

Memasuki gang rumahnya ketika pulang dari Gunung Pati, Jumini dijemput Lik Marti. Bendera kuning sudah ditancapkan di ujung gang itu.
“Nyebut Jum... nyebut... ikhtifar... sing tabah[11], ya!”
“Emak?” tanya Jumini.
“Pokoke ditabah-tabahake!”
Dari mimpinya semalam dan tidak adanya ritual untuk mencegah kepergian emak mertuanya seperti biasanya, Jumini sudah menduga Mbah Jinem benar-benar meninggal hari ini. Apa pun penyebabnya. Bisa ditabrak mobil, jatuh ke dalam jurang, tersedak ketika meneguk teh, atau meninggal begitu saja karena memang sudah sangat tua.
“Nggak apa-apa Lik. Nggak apa-apa!”
“Bener Jum, sing tabah!”
“Iya Lik, nggak apa-apa. Semalam sudah ada firasat.”

Tetapi betapa kagetnya Jumini ketika baru selangkah ia memasuki rumah, Mbah Jinem berlari kecil sambil mencincing kain yang membalut bagian bawah tubuhnya ke arah Jumini.
“O alah[12] bojomu[13] Jum... nggak nyangka, tadi pagi cium-cium dan peluk-peluk saya ternyata untuk medhot tresna[14]. Bojomu mati tabrakan, Jum!”
Tulang Jumini serasa dilolosi mendengar kalimat Mbah Jinem, tapi lebih-lebih ketika menyaksikan sosok suaminya terbujur kaku di dipan dengan kepala penuh terbalut perban.

Secepat kilat Jumini berlari ke dapur menerobos para pelayat lalu berteriak-teriak di antara beberapa tempayan yang ada di situ. “Kang... bali[15] Kang...! Kang.... bali Kang...!!” Ia lalu jatuh tersimpuh sesenggukan sambil memeluk tempayan miliknya, yang di tempayan itu ia biasa memanggil-manggil emaknya! “Kang Sarimin, pulang...” suaranya lirih.
[1] Satu minggu dalam kalender Jawa
[2] Pudar warnanya
[3] Sapaan untuk kakak laki-laki atau orang yang lebih tua
[4] Menjulur-julurkan kepalanya, lazimnya dari dalam ruangan
[5] Menggerak-gerakkan telapak tangan memberi isyarat untuk mendekati dirinya
[6] pematang yang tinggi
[7] mengadakan pesta perkawinan
[8] salah satu anggota keluarganya meninggal
[9] menghadiri resepsi
[10] paman atau tante yang dianggap lebih muda daripada orangtuanya
[11] yang tabah
[12] Umpatan penyesalan
[13] Bojo=suami/istri, dalam hal ini suami
[14] Memutus kasih sayang
[15] Pulang

Cerpen

Besok Natalan, Mak

Mata Azizah tampak berat. Pelupuk matanya serasa dibebani sekilo batu. Sesekali terpejam, tetapi sebentar kemudian melek kembali untuk memastikan Rere tetap tertidur. Seakan tak rela ia terlelap barang sekejap sekalipun kelelahan dan kantuk telah melalap. Saat-saat tertentu ia membetulkan kain kecil basah yang ia taruh di dahi Rere. Ia akan segera mencelupkan kain itu di mangkok yang ada di sisinya jika kain itu menjadi kering, memerasnya, kemudian meletakkannya kembali di dahi Rere.

Azizah memang agak menyesal, kenapa Rere mesti dibawanya berdemo sehingga seharian harus kehujanan segala. Tapi, ya demi masa depan! Kalau dengan para perempuan hati para pejabat tak juga terbuka, ya dengan anak-anak, ia membenarkan ucapan Abas, seorang tokoh LSM yang mendorongnya berdemo. Kalau melihat penderitaan anak-anak belas kasih para pejabat itu tetap tertutup rapat, mereka pasti akan menjadi penghuni kerak neraka. Bukankah anak-anaklah pemilik surga? pikiran sederhananya menyimpulkan.
Seharian ia memang berdemo berhujan-hujan di depan kantor walikota bersama puluhan perempuan yang sama-sama tinggal di Kampung Klewer. Menurut walikota, kampung itu adalah perkampungan liar alias kamli yang bikin semrawut dan kotor kota. Karenanya, harus ditertibkan. Jakarta harus teguh beriman.1 Dan, kamli jelas tidak bersih dan tidak manusiawi.
Semua penghuni yang ber-KTP DKI akan direlokasi di Desa Sepi, jauh di sebelah barat pinggiran Jakarta. Sementara yang tidak ber-KTP akan dikembalikan ke kampung halaman. Mereka serentak menolak. Yang ber-KTP mengaku akan susah mencari nafkah. Selama ini mereka menggantungkan hidup pada sampah-sampah yang mereka pulung di stasiun, pasar, maupun permukiman elite yang tidak jauh dari situ. Yang tak ber-KTP lebih tak jelas. Sebagian sudah tak tahu kampung halamannya karena nenek moyangnya melahirkan dan membesarkan mereka di situ. Sebagian lagi bingung mau apa di kampung. Sebagian lagi takut dan pusing kalau-kalau di kampung mereka masih harus melunasi utang yang ditinggalkannya ketika minggat ke Jakarta dulu. Karena itu mereka menolak.

Semula penolakan itu hanya terpendam di mulut para penghuni kampung. Semenjak Pak RT setempat memberitahukan rencana penggusuran itu, mereka hanya bisa kasak-kusuk saling mengeluh. Celakanya, mereka tidak pernah tahu harus berbuat apa.
Kemudian datanglah Abas, seorang tokoh LSM yang mendorong mereka untuk berani bersuara.
“Nyak, Be... kite punye hak hidup tenang di Jakarte!” demikian Abas membuka pembicaraan dengan beberapa warga Kampung Klewer dalam suatu pertemuan yang tentu saja tidak resmi.
“Jakarte bukan milik orang tajir doang. Kite semue punye hak.”
“Namanye juga hak,” sambung Abas, “kagak bise direbut. Kalo’ mau direbut, kite boleh nglawan. Nyak punye anak kan? Anak itu hak Nyak. Kalo’ die mau direbut orang nih, Nyak sah untuk nglawan. Soal kampung kite juga gitu. Itu namanye hak!”
Warga mengangguk-angguk.
“Jadi, karena kampung ini adalah hak kite, kite boleh pertahanin dengan care ape aje!” cerocos Abas.
“Caranya?” sergah Azizah yang kebetulan berada di dalam pertemuan itu.
“Kite berdemo ke walikote!”
Wajah penduduk kampung tampak terbengong kosong. Abas tanggap. Mereka tak mengerti arti demo.
“Kite ramai-ramai datengin kantor walikote. Kite nuntut rencane itu dibatalin. Nyak dan Babe inget waktu Soeharto diturunin? Ribuan mahasiswa turun ke jalan. Seperti itulah. Cuman bedanye, kita kagak ke jalan, tapi ke kantor walikote. Presiden aje bise kalah ame rakyat, apalagi cuman walikote. Nanti kite tunjuk seorang buat jadi jurupidato (jurpid). Kite ajari cara ngomongnye. Yang lain tinggal ikut-ikutan aje. Kita juga akan bikinin tulisan-tulisan yang isinye tuntutan-tuntutan itu. Biar meriah! Terus nanti kite tunjuk orang-orang sebagai wakil kite karna biasanye pejabat kagak mau nerime warganye rame-rame,” jelas Abas menggebu-gebu. Cara dan gaya bicaranya membuktikan bahwa ia adalah seorang agitator ulung. Tak heran jika warga kampung pun terkesima.

Suasana hening. Beberapa orang saling pandang. Ada yang mulai bisik-bisik. Rupanya mereka takut digebuki atau bahkan ditembaki polisi seperti para mahasiswa waktu berdemo menumbangkan Soeharto. Di ujung lain ada yang juga berbisik-bisik untuk tidak usah cari perkara. Toh sudah disediakan kampung pengganti. Soal nafkah, Yang di Atas sudah mengatur.
“Kalau walikota menolak?” tiba-tiba Azizah memecah keheningan.
“Nah, ini die. Karna itu, lebih baek yang berdemo ibu-ibu. Anak-anak diajak. Kite akan berdemo dengan damai. Anti kekerasan! Ingat ye, Nyak dan Babe, demo itulah senjate terakhir rakyat jelate kayak kite. Kalo mereka tetep kagak mau nuruti tuntutan kite, kite bikin aksi telanjang!”
Suasana gemuruh seperti ombak di malam hari. Beberapa ibu spontan mengatakan tidak setuju. Yang lain entah mengumpat apa sambil menuding-nuding Abas.
“Sabar, Nyak...Be! Tenang! Itulah senjate rakyat jelate. Kite kagak punya duit buat nyogok. Kite juga kagak punya orang kuat buat ngedekengin kite. Kalau emang dengan berdemo walikote udah ngabulin tuntutan kite, alkhamdulillah. Kalau kagak? Ingat, ye mau tinggal di mane kite kalo kampung kite jadi digusur?”

Suasana hening kembali. Berpikir. Beberapa wajah membenarkan ucapan Abas.
Di ujung sana Azizah tampak sibuk kasak-kusuk. Entah apa yang ia kasak-kusukkan. Tapi, dari roman wajahnya, tampaknya ia sangat terbakar oleh dorongan Abas.
Abas kembali bicara, mengulang semua yang ia sudah sampaikan dengan berbusa-busa; tentang hak itu, penggusuran itu, berbagai kesulitan hidup yang bakal warga hadapi setelah mereka harus meninggalkan kmpung itu, ...
Dengan perdebatan sedikit hangat, akhirnya mereka pun sepakat untuk berdemo. Dan, sebagaimana usul Abas, yang akan berdemo ibu-ibu dengan anak-anak mereka. Azizah ditunjuk sebagai jurpid. Soal aksi telanjang akan dilakukan bertahap. Mulai dari buka baju, BH, dan seterusnya.
***
Pagi itu puluhan perempuan warga Kampung Klewer menyerbu kantor walikota. Tampak Azizah dengan menuntun Rere berjalan di paling depan sambil berteriak-teriak. Kepalanya diikat kain hitam bertuliskan “Warga DKI” warna putih. Sementara anaknya membawa sepotong kain putih mirip bendera bertuliskan “Tolak Penggusuran” warna merah. Barisan paling depan membentangkan kain panjang bertuliskan “Jakarte Kagak Cuman Milik Orang Kaye!”
“Kota ini bukan milik orang kaya saja. Rakyat jelata juga berhak tinggal. Penggusuran adalah tindakan sewenang-wenang. Nggak adil. Karena itu kita tolak penggusuran. Kita tolak!” seru Azizah berapi-api layaknya seorang jurukampanye sedang menjual jagonya. Tangan kirinya memegang megafon sedangkan tangan kanannya mengepal-ngepal ke atas.
“Tolaaaaak!” sahut ibu-ibu yang lain tak kalah keras.
“Pejabat tugasnya melindungi warga. Jadi, kalau nggak bisa melindungi sebaiknya diapakan?”
“Bakaaaaar!!”

Seperti telah diduga, walikota tidak mau menerima mereka.
“Pak Wali sedang rapat!” kata seorang staf yang menemui para pendemo di halaman kantor walikota.
“Kami tunggu sampai selesai!”
“Selesai rapat Pak Wali dipanggil gubernur!”
“Kami akan tunggu sampai Pak Wali kembali!”
“Bapak harus istirahat. Besok pagi-pagi harus keluar kota!”
“Lho, dia digaji buat bekerja bukan buat tidur!”
“Betuuuuul!”
“Yang diurus tidak hanya kalian. Terserah. Pokoknya Pak Wali tidak bisa diganggu!” tukas staf itu seraya berbalik hendak masuk kantor.
“Kalau Pak Wali nggak juga keluar kami akan melakukan aksi!” ancam Azizah.
Langkah staf itu terhenti. Berbalik.
“Aksi apa?”
“Aksi telanjang”
“Telanjaaaaang!”
“Telanjanglah kalau berani!”

Lihatlah, dengan secepat kilat Azizah melepas bajunya sebagai tanggapan atas tantangan itu. Aksi ini segera diikuti ibu-ibu yang lain. Serentak tampaklah pemandangan sekumpulan ibu bertelanjang dada.
Staf itu terkesiap. Hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Suasana menjadi gaduh. Azizah menenangkan. Jangankan cuma kehujanan atau telanjang bulat, nyawa pun akan kita relakan demi kampung kita, teriaknya kepada teman-temannya.
Belum habis keterkejutan staf walikota itu, Azizah mengancam, jika Pak Wali masih juga bersikukuh tidak mau menerima mereka, mereka akan melanjutkan aksinya hingga telanjang bulat.

Para karyawan kantor walikota berebut melihat pemandangan itu. Ada yang berdiri tegak di sisi jendela di tingkat atas sana sambil terbahak-bahak menunjuk-nunjuk ke lapangan, entah siapa. Ada yang buru-buru meninggalkan meja kerjanya dan menuju teras. Satu SSK PHH yang semula berwajah seram mengawal para pendemo, kini tersipu-sipu sendirian sekalipun dengan sikap siap berperang. Beberapa tak kuasa menahan tawa sehingga harus membenamkan wajahnya di balik tameng yang dibawanya. Sementara para karyawati cepat-cepat memalingkan muka atau menutup wajah bahkan beberapa terlihat teriak-teriak histeris. Kantor walikota ribut bukan kepalang!
Pak Staf yang sudah setengah usia itu akhirnya tak mau ambil risiko. Menyerah! Ia berjanji akan mempertemukan mereka dengan Pak Walikota. Syaratnya, baju harus dikenakan kembali. Ditolak! Dengan tegas Azizah menyahut bahwa mereka hanya akan kembali mengenakan baju mereka jika sudah ada kepastian Pak Wali mau menerima mereka. Hujan terus mengguyur, seperti tangis perawan yang kesuciannya direnggut paksa pemuda berandalan. Para wartawan foto dan jurukamera stasiun televisi mondar-mandir membidik objek. Abas pun tak ketinggalan ceprat-cepret untuk dikirimkan kepada donaturnya.

Staf tadi cepat berbalik masuk kantor. Beberapa saat kemudian ia kembali membawa kabar. Pak Wali bersedia bertemu, tapi dengan perwakilan. Beberapa ibu yang telah ditunjuk menjadi wakil mereka diterima walikota. Anak-anak mereka dibawa serta. Namun, perundingan berjalan alot rupanya. Pak Wali tetap bersikukuh akan merelokasi warga sementara para warga tetap menolak mentah-mentah. Setengah jam, satu jam, dua jam... tidak ada kesepakatan. Para wakil tadi keluar ruangan dan lewat megafon Azizah berteriak memberi tahu teman-temannya bahwa perkampungan mereka tetap akan digusur.
“Apa yang harus kita lakukan?”
“Telanjaaaang!!”

Seperti prajurit menerima perintah dari komandan, satu per satu dari mereka melepas bajunya kembali kemudian kain atau rok penutup paha. Kini terlihatlah sekumpulan ibu dengan hanya ber-BH dan bercelana dalam. Teriakan histeris para karyawati kantor walikota memekakkan telinga. Para pedagang asong, kuli bangunan, dan sopir-sopir metromini dan kopaja yang kebetulan lewat di situ serentak terbahak-bahak. Pasukan PHH menjadi salah tingkah. Seorang karyawan yang tadi tergelak-gelak di ruang atas sana sambil menunjuk-nunjuk tampak buru-buru keluar ruangan dan berlari menuruni tangga menuju lapangan.
“Hentikan... hentikan...!” walikota berteriak lewat megafon yang disambarnya dari tangan Azizah.
“Kami akan telanjang bulat di sini daripada kampung kami digusur!”
“Dengar... dengar semuanya! Kenakan dulu pakaian kalian!”
“Tidak! Kami hanya akan kembali berpakaian jika ada kepastikan kampung kami tidak digusur!”
“Baik...baik... Untuk sementara penggusuran dibatalkan. Kalian tetap boleh tinggal di situ!”
“Huuu...,” sambut para pedagang asong, kuli bangunan, dan sopir-sopir. Seorang karyawan yang barus saja berlari dari tingkat atas tadi tampak membanting rokoknya yang masih panjang. Kesal!
Wajah para demonstran meleleh. Suasana mereda. Mereka kembali mengenakan pakaian mereka dan pulang ke rumah disertai guyuran hujan yang tak kunjung reda.
***
Menjelang tengah malam Rere terbangun. Ia menggigil kedinginan, tetapi badannya panas membara. Ia merengek-rengek minta gendong. Azizah yang masih kelelahan dan baru beberapa menit terpejam terpaksa menuruti rengekan anaknya.
Rere menggelayut di dada ibunya. Tak mau lepas seperti buah nangka yang keluar di pokok pohon. Sesekali gadis lima tahunan itu tersenyum sendiri. Saat lain tiba-tiba ia mempererat pelukan di leher ibunya. Bahkan menciuminya. Di sela-sela itu sering kali kedua bola matanya terbolak-balik perlahan, seperti mata orang sangat mengantuk tapi tertahan.
“Ada bulan di pintu, Mak!”
“Tidak ada. Sudah tidurlah. Emak capek!” Sejam menggendong Rere pundak Azizah serasa diseterika, makin lama makin panas.
“Dia tersenyum, Mak!”
“Sekarang jadi kepala sinterklas!” ungkap Rere yang tiba-tiba wajahnya menjadi berseri-seri. Bibirnya yang mungil menyungging senyum kecil.
“Ia dari surga, Mak?”
“Ndak ada apa-apa, tidurlah!”
“Katanya sinterklas baik hati. Dia mau ajak Rere ke surga, Mak? Dapat hadiah di sana. Dia tersenyum, Mak!”
Azizah tak menghiraukan ocehan anaknya. Ia terus menggoyang-goyang badannya ke kiri dan ke kanan agar anaknya segera tertidur.
“Ih, matanya berdarah dan taringnya jadi panjang,” Mendadak anak kecil itu jadi tampak ketakutan sehingga membenamkan mukanya di dada ibunya dan mempererat pelukannya.
“Makanya tidurlah. Kalau nggak tidur jadi raksasa!”

Sejenak saja Rere terpejam menuruti kata ibunya.
“Mau Natal, Mak, ya...” Mata Rere tertuju ke pintu yang dibilang ada bulan tadi. Tapi kini wajahnya menampakkan perasaan datar.
Saban Natal, Kampung Klewer memang selalu didatangi sinterklas-sinterklas. Tak heran jika Rere akrab dengan makhluk itu. Mereka membagikan apa saja: pakaian, mainan, makanan, alat tulis, dsb.
“Ya, tidurlah. Besok kita Natalan,” jawab emaknya sekenanya seraya membetulkan kain gendongan yang tampak cuma nyangkut di pantat anak semata wayangnya.
“Ada sinterklas beneran?”
“Ya. Makanya tidurlah!”
“Rere akan dapat hadiah?”
“Sudah. Merem. Emak capek!”
“Dulu nggak jadi.”
“Dulu kampung kita banjir.”
“Besok jadi? Rere dapat hadiah dari sinterklas. Trus ke surga. Nanti Rere ajak Emak naik kuda. Main ke pembuangan sampah tapi yang sampahnya duit. Kita beli es krim banyak sekali. Emak boleh beli baju bagus-bagus.”
Emaknya membisu, terus mengayun-ayun anaknya. Berharap ia segera tertidur!”
***
Pagi belum juga terjaga. Subuh belum tiba. Langit di timur masih kelabu. Hampir semua penduduk Kampung Klewer masih terlelap. Tampaknya mereka sedang menikmati kemenangan karena untuk sementara kampung mereka tidak jadi digusur. Beban berat terasa dilepas dari perasaan mereka setelah sekian lama ditanggungnya. Pantaslah jika malam itu mereka tidur dengan nyenyaknya. Di ujung sana sayup-sayup terdengar radio mengalunkan lagu dangdut.

Di pagi sebuta itu warga Kampung Klewer dikejutkan deruan buldoser dari arah utara. Satu SSK PHH berhelm, bertameng, dan bersenjata pentungan berderap membangunkan paksa warga. Warga pun berhamburan keluar rumah. Ada yang menenteng radio, ada yang memanggul televisi hitam putihnya. Seorang ibu berlarian dengan bayi kecil di bopongannya. Di ujung sana seorang ibu muda tampak kebingungan dengan hanya berbalut handuk yang diikuti suaminya yang telanjang dada dan masih ribut membetulkan kain sarungnya. Buldoser terus meraung, melahap dan meluluhlantakkan apa saja yang ada di depannya.
Azizah berlari pontang-panting memeluk guling dengan mata separuh terjaga diriingi sayup-sayup teriakan Rere di kejauhan, “Maaak, besok kita Natalaaan!” yang disusul teriakan berikutnya, “Aduh sakit, Mak...” sebelum akhirnya suara itu menghilang ditelan deru buldoser.

Cerpen

Besok Natalan, Mak

Mata Azizah tampak berat. Pelupuk matanya serasa dibebani sekilo batu. Sesekali terpejam, tetapi sebentar kemudian melek kembali untuk memastikan Rere tetap tertidur. Seakan tak rela ia terlelap barang sekejap sekalipun kelelahan dan kantuk telah melalap. Saat-saat tertentu ia membetulkan kain kecil basah yang ia taruh di dahi Rere. Ia akan segera mencelupkan kain itu di mangkok yang ada di sisinya jika kain itu menjadi kering, memerasnya, kemudian meletakkannya kembali di dahi Rere.
Azizah memang agak menyesal, kenapa Rere mesti dibawanya berdemo sehingga seharian harus kehujanan segala. Tapi, ya demi masa depan! Kalau dengan para perempuan hati para pejabat tak juga terbuka, ya dengan anak-anak, ia membenarkan ucapan Abas, seorang tokoh LSM yang mendorongnya berdemo. Kalau melihat penderitaan anak-anak belas kasih para pejabat itu tetap tertutup rapat, mereka pasti akan menjadi penghuni kerak neraka. Bukankah anak-anaklah pemilik surga? pikiran sederhananya menyimpulkan.
Seharian ia memang berdemo berhujan-hujan di depan kantor walikota bersama puluhan perempuan yang sama-sama tinggal di Kampung Klewer. Menurut walikota, kampung itu adalah perkampungan liar alias kamli yang bikin semrawut dan kotor kota. Karenanya, harus ditertibkan. Jakarta harus teguh beriman.1 Dan, kamli jelas tidak bersih dan tidak manusiawi.
Semua penghuni yang ber-KTP DKI akan direlokasi di Desa Sepi, jauh di sebelah barat pinggiran Jakarta. Sementara yang tidak ber-KTP akan dikembalikan ke kampung halaman. Mereka serentak menolak. Yang ber-KTP mengaku akan susah mencari nafkah. Selama ini mereka menggantungkan hidup pada sampah-sampah yang mereka pulung di stasiun, pasar, maupun permukiman elite yang tidak jauh dari situ. Yang tak ber-KTP lebih tak jelas. Sebagian sudah tak tahu kampung halamannya karena nenek moyangnya melahirkan dan membesarkan mereka di situ. Sebagian lagi bingung mau apa di kampung. Sebagian lagi takut dan pusing kalau-kalau di kampung mereka masih harus melunasi utang yang ditinggalkannya ketika minggat ke Jakarta dulu. Karena itu mereka menolak.
Semula penolakan itu hanya terpendam di mulut para penghuni kampung. Semenjak Pak RT setempat memberitahukan rencana penggusuran itu, mereka hanya bisa kasak-kusuk saling mengeluh. Celakanya, mereka tidak pernah tahu harus berbuat apa.
Kemudian datanglah Abas, seorang tokoh LSM yang mendorong mereka untuk berani bersuara.
“Nyak, Be... kite punye hak hidup tenang di Jakarte!” demikian Abas membuka pembicaraan dengan beberapa warga Kampung Klewer dalam suatu pertemuan yang tentu saja tidak resmi.
“Jakarte bukan milik orang tajir doang. Kite semue punye hak.”
“Namanye juga hak,” sambung Abas, “kagak bise direbut. Kalo’ mau direbut, kite boleh nglawan. Nyak punye anak kan? Anak itu hak Nyak. Kalo’ die mau direbut orang nih, Nyak sah untuk nglawan. Soal kampung kite juga gitu. Itu namanye hak!”
Warga mengangguk-angguk.
“Jadi, karena kampung ini adalah hak kite, kite boleh pertahanin dengan care ape aje!” cerocos Abas.
“Caranya?” sergah Azizah yang kebetulan berada di dalam pertemuan itu.
“Kite berdemo ke walikote!”
Wajah penduduk kampung tampak terbengong kosong. Abas tanggap. Mereka tak mengerti arti demo.
“Kite ramai-ramai datengin kantor walikote. Kite nuntut rencane itu dibatalin. Nyak dan Babe inget waktu Soeharto diturunin? Ribuan mahasiswa turun ke jalan. Seperti itulah. Cuman bedanye, kita kagak ke jalan, tapi ke kantor walikote. Presiden aje bise kalah ame rakyat, apalagi cuman walikote. Nanti kite tunjuk seorang buat jadi jurupidato (jurpid). Kite ajari cara ngomongnye. Yang lain tinggal ikut-ikutan aje. Kita juga akan bikinin tulisan-tulisan yang isinye tuntutan-tuntutan itu. Biar meriah! Terus nanti kite tunjuk orang-orang sebagai wakil kite karna biasanye pejabat kagak mau nerime warganye rame-rame,” jelas Abas menggebu-gebu. Cara dan gaya bicaranya membuktikan bahwa ia adalah seorang agitator ulung. Tak heran jika warga kampung pun terkesima.
Suasana hening. Beberapa orang saling pandang. Ada yang mulai bisik-bisik. Rupanya mereka takut digebuki atau bahkan ditembaki polisi seperti para mahasiswa waktu berdemo menumbangkan Soeharto. Di ujung lain ada yang juga berbisik-bisik untuk tidak usah cari perkara. Toh sudah disediakan kampung pengganti. Soal nafkah, Yang di Atas sudah mengatur.
“Kalau walikota menolak?” tiba-tiba Azizah memecah keheningan.
“Nah, ini die. Karna itu, lebih baek yang berdemo ibu-ibu. Anak-anak diajak. Kite akan berdemo dengan damai. Anti kekerasan! Ingat ye, Nyak dan Babe, demo itulah senjate terakhir rakyat jelate kayak kite. Kalo mereka tetep kagak mau nuruti tuntutan kite, kite bikin aksi telanjang!”
Suasana gemuruh seperti ombak di malam hari. Beberapa ibu spontan mengatakan tidak setuju. Yang lain entah mengumpat apa sambil menuding-nuding Abas.
“Sabar, Nyak...Be! Tenang! Itulah senjate rakyat jelate. Kite kagak punya duit buat nyogok. Kite juga kagak punya orang kuat buat ngedekengin kite. Kalau emang dengan berdemo walikote udah ngabulin tuntutan kite, alkhamdulillah. Kalau kagak? Ingat, ye mau tinggal di mane kite kalo kampung kite jadi digusur?”
Suasana hening kembali. Berpikir. Beberapa wajah membenarkan ucapan Abas.
Di ujung sana Azizah tampak sibuk kasak-kusuk. Entah apa yang ia kasak-kusukkan. Tapi, dari roman wajahnya, tampaknya ia sangat terbakar oleh dorongan Abas.
Abas kembali bicara, mengulang semua yang ia sudah sampaikan dengan berbusa-busa; tentang hak itu, penggusuran itu, berbagai kesulitan hidup yang bakal warga hadapi setelah mereka harus meninggalkan kmpung itu, ...
Dengan perdebatan sedikit hangat, akhirnya mereka pun sepakat untuk berdemo. Dan, sebagaimana usul Abas, yang akan berdemo ibu-ibu dengan anak-anak mereka. Azizah ditunjuk sebagai jurpid. Soal aksi telanjang akan dilakukan bertahap. Mulai dari buka baju, BH, dan seterusnya.
***
Pagi itu puluhan perempuan warga Kampung Klewer menyerbu kantor walikota. Tampak Azizah dengan menuntun Rere berjalan di paling depan sambil berteriak-teriak. Kepalanya diikat kain hitam bertuliskan “Warga DKI” warna putih. Sementara anaknya membawa sepotong kain putih mirip bendera bertuliskan “Tolak Penggusuran” warna merah. Barisan paling depan membentangkan kain panjang bertuliskan “Jakarte Kagak Cuman Milik Orang Kaye!”
“Kota ini bukan milik orang kaya saja. Rakyat jelata juga berhak tinggal. Penggusuran adalah tindakan sewenang-wenang. Nggak adil. Karena itu kita tolak penggusuran. Kita tolak!” seru Azizah berapi-api layaknya seorang jurukampanye sedang menjual jagonya. Tangan kirinya memegang megafon sedangkan tangan kanannya mengepal-ngepal ke atas.
“Tolaaaaak!” sahut ibu-ibu yang lain tak kalah keras.
“Pejabat tugasnya melindungi warga. Jadi, kalau nggak bisa melindungi sebaiknya diapakan?”
“Bakaaaaar!!”
Seperti telah diduga, walikota tidak mau menerima mereka.
“Pak Wali sedang rapat!” kata seorang staf yang menemui para pendemo di halaman kantor walikota.
“Kami tunggu sampai selesai!”
“Selesai rapat Pak Wali dipanggil gubernur!”
“Kami akan tunggu sampai Pak Wali kembali!”
“Bapak harus istirahat. Besok pagi-pagi harus keluar kota!”
“Lho, dia digaji buat bekerja bukan buat tidur!”
“Betuuuuul!”
“Yang diurus tidak hanya kalian. Terserah. Pokoknya Pak Wali tidak bisa diganggu!” tukas staf itu seraya berbalik hendak masuk kantor.
“Kalau Pak Wali nggak juga keluar kami akan melakukan aksi!” ancam Azizah.
Langkah staf itu terhenti. Berbalik.
“Aksi apa?”
“Aksi telanjang”
“Telanjaaaaang!”
“Telanjanglah kalau berani!”
Lihatlah, dengan secepat kilat Azizah melepas bajunya sebagai tanggapan atas tantangan itu. Aksi ini segera diikuti ibu-ibu yang lain. Serentak tampaklah pemandangan sekumpulan ibu bertelanjang dada.
Staf itu terkesiap. Hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Suasana menjadi gaduh. Azizah menenangkan. Jangankan cuma kehujanan atau telanjang bulat, nyawa pun akan kita relakan demi kampung kita, teriaknya kepada teman-temannya.
Belum habis keterkejutan staf walikota itu, Azizah mengancam, jika Pak Wali masih juga bersikukuh tidak mau menerima mereka, mereka akan melanjutkan aksinya hingga telanjang bulat.
Para karyawan kantor walikota berebut melihat pemandangan itu. Ada yang berdiri tegak di sisi jendela di tingkat atas sana sambil terbahak-bahak menunjuk-nunjuk ke lapangan, entah siapa. Ada yang buru-buru meninggalkan meja kerjanya dan menuju teras. Satu SSK PHH yang semula berwajah seram mengawal para pendemo, kini tersipu-sipu sendirian sekalipun dengan sikap siap berperang. Beberapa tak kuasa menahan tawa sehingga harus membenamkan wajahnya di balik tameng yang dibawanya. Sementara para karyawati cepat-cepat memalingkan muka atau menutup wajah bahkan beberapa terlihat teriak-teriak histeris. Kantor walikota ribut bukan kepalang!
Pak Staf yang sudah setengah usia itu akhirnya tak mau ambil risiko. Menyerah! Ia berjanji akan mempertemukan mereka dengan Pak Walikota. Syaratnya, baju harus dikenakan kembali. Ditolak! Dengan tegas Azizah menyahut bahwa mereka hanya akan kembali mengenakan baju mereka jika sudah ada kepastian Pak Wali mau menerima mereka. Hujan terus mengguyur, seperti tangis perawan yang kesuciannya direnggut paksa pemuda berandalan. Para wartawan foto dan jurukamera stasiun televisi mondar-mandir membidik objek. Abas pun tak ketinggalan ceprat-cepret untuk dikirimkan kepada donaturnya.
Staf tadi cepat berbalik masuk kantor. Beberapa saat kemudian ia kembali membawa kabar. Pak Wali bersedia bertemu, tapi dengan perwakilan. Beberapa ibu yang telah ditunjuk menjadi wakil mereka diterima walikota. Anak-anak mereka dibawa serta. Namun, perundingan berjalan alot rupanya. Pak Wali tetap bersikukuh akan merelokasi warga sementara para warga tetap menolak mentah-mentah. Setengah jam, satu jam, dua jam... tidak ada kesepakatan. Para wakil tadi keluar ruangan dan lewat megafon Azizah berteriak memberi tahu teman-temannya bahwa perkampungan mereka tetap akan digusur.
“Apa yang harus kita lakukan?”
“Telanjaaaang!!”

Seperti prajurit menerima perintah dari komandan, satu per satu dari mereka melepas bajunya kembali kemudian kain atau rok penutup paha. Kini terlihatlah sekumpulan ibu dengan hanya ber-BH dan bercelana dalam. Teriakan histeris para karyawati kantor walikota memekakkan telinga. Para pedagang asong, kuli bangunan, dan sopir-sopir metromini dan kopaja yang kebetulan lewat di situ serentak terbahak-bahak. Pasukan PHH menjadi salah tingkah. Seorang karyawan yang tadi tergelak-gelak di ruang atas sana sambil menunjuk-nunjuk tampak buru-buru keluar ruangan dan berlari menuruni tangga menuju lapangan.
“Hentikan... hentikan...!” walikota berteriak lewat megafon yang disambarnya dari tangan Azizah.
“Kami akan telanjang bulat di sini daripada kampung kami digusur!”
“Dengar... dengar semuanya! Kenakan dulu pakaian kalian!”
“Tidak! Kami hanya akan kembali berpakaian jika ada kepastikan kampung kami tidak digusur!”
“Baik...baik... Untuk sementara penggusuran dibatalkan. Kalian tetap boleh tinggal di situ!”
“Huuu...,” sambut para pedagang asong, kuli bangunan, dan sopir-sopir. Seorang karyawan yang barus saja berlari dari tingkat atas tadi tampak membanting rokoknya yang masih panjang. Kesal!
Wajah para demonstran meleleh. Suasana mereda. Mereka kembali mengenakan pakaian mereka dan pulang ke rumah disertai guyuran hujan yang tak kunjung reda.
***
Menjelang tengah malam Rere terbangun. Ia menggigil kedinginan, tetapi badannya panas membara. Ia merengek-rengek minta gendong. Azizah yang masih kelelahan dan baru beberapa menit terpejam terpaksa menuruti rengekan anaknya.
Rere menggelayut di dada ibunya. Tak mau lepas seperti buah nangka yang keluar di pokok pohon. Sesekali gadis lima tahunan itu tersenyum sendiri. Saat lain tiba-tiba ia mempererat pelukan di leher ibunya. Bahkan menciuminya. Di sela-sela itu sering kali kedua bola matanya terbolak-balik perlahan, seperti mata orang sangat mengantuk tapi tertahan.
“Ada bulan di pintu, Mak!”
“Tidak ada. Sudah tidurlah. Emak capek!” Sejam menggendong Rere pundak Azizah serasa diseterika, makin lama makin panas.
“Dia tersenyum, Mak!”
“Sekarang jadi kepala sinterklas!” ungkap Rere yang tiba-tiba wajahnya menjadi berseri-seri. Bibirnya yang mungil menyungging senyum kecil.
“Ia dari surga, Mak?”
“Ndak ada apa-apa, tidurlah!”
“Katanya sinterklas baik hati. Dia mau ajak Rere ke surga, Mak? Dapat hadiah di sana. Dia tersenyum, Mak!”
Azizah tak menghiraukan ocehan anaknya. Ia terus menggoyang-goyang badannya ke kiri dan ke kanan agar anaknya segera tertidur.
“Ih, matanya berdarah dan taringnya jadi panjang,” Mendadak anak kecil itu jadi tampak ketakutan sehingga membenamkan mukanya di dada ibunya dan mempererat pelukannya.
“Makanya tidurlah. Kalau nggak tidur jadi raksasa!”
Sejenak saja Rere terpejam menuruti kata ibunya.
“Mau Natal, Mak, ya...” Mata Rere tertuju ke pintu yang dibilang ada bulan tadi. Tapi kini wajahnya menampakkan perasaan datar.
Saban Natal, Kampung Klewer memang selalu didatangi sinterklas-sinterklas. Tak heran jika Rere akrab dengan makhluk itu. Mereka membagikan apa saja: pakaian, mainan, makanan, alat tulis, dsb.
“Ya, tidurlah. Besok kita Natalan,” jawab emaknya sekenanya seraya membetulkan kain gendongan yang tampak cuma nyangkut di pantat anak semata wayangnya.
“Ada sinterklas beneran?”
“Ya. Makanya tidurlah!”
“Rere akan dapat hadiah?”
“Sudah. Merem. Emak capek!”
“Dulu nggak jadi.”
“Dulu kampung kita banjir.”
“Besok jadi? Rere dapat hadiah dari sinterklas. Trus ke surga. Nanti Rere ajak Emak naik kuda. Main ke pembuangan sampah tapi yang sampahnya duit. Kita beli es krim banyak sekali. Emak boleh beli baju bagus-bagus.”
Emaknya membisu, terus mengayun-ayun anaknya. Berharap ia segera tertidur!”
***
Pagi belum juga terjaga. Subuh belum tiba. Langit di timur masih kelabu. Hampir semua penduduk Kampung Klewer masih terlelap. Tampaknya mereka sedang menikmati kemenangan karena untuk sementara kampung mereka tidak jadi digusur. Beban berat terasa dilepas dari perasaan mereka setelah sekian lama ditanggungnya. Pantaslah jika malam itu mereka tidur dengan nyenyaknya. Di ujung sana sayup-sayup terdengar radio mengalunkan lagu dangdut.
Di pagi sebuta itu warga Kampung Klewer dikejutkan deruan buldoser dari arah utara. Satu SSK PHH berhelm, bertameng, dan bersenjata pentungan berderap membangunkan paksa warga. Warga pun berhamburan keluar rumah. Ada yang menenteng radio, ada yang memanggul televisi hitam putihnya. Seorang ibu berlarian dengan bayi kecil di bopongannya. Di ujung sana seorang ibu muda tampak kebingungan dengan hanya berbalut handuk yang diikuti suaminya yang telanjang dada dan masih ribut membetulkan kain sarungnya. Buldoser terus meraung, melahap dan meluluhlantakkan apa saja yang ada di depannya.
Azizah berlari pontang-panting memeluk guling dengan mata separuh terjaga diriingi sayup-sayup teriakan Rere di kejauhan, “Maaak, besok kita Natalaaan!” yang disusul teriakan berikutnya, “Aduh sakit, Mak...” sebelum akhirnya suara itu menghilang ditelan deru buldoser.

Cerpen

Bu Indar

Gebrakan meja dan teriakan “Diaaaaam!” dari Bu Indar disambut murid-muridnya dengan todongan pisau, arit, golok, dan cutter. Bu Indar melongo, nyaris tak percaya dengan pemandangan itu. Ini tak seperti biasanya. Biasanya, dengan cukup pasang muka masam Bu Indar sudah bisa membuat murid-muridnya ketakutan bukan kepalang. Dan, dengan sekali bentak, ia bisa membuat murid yang dibentaknya terkencing-kencing.
Berkali-kali ia mencubit-cubit sendiri tangannya dan menepuk-nepuk kedua pipinya dengan tangannya untuk memastikan bahwa ia sedang bermimpi.

Tidak! Ini bukan mimpi. Sadar bahwa itu terjadi di dalam sadar, buru-buru Bu Indar ingin berlari meninggalkan kelas. Namun, baru selangkah ia mengayunkan kakinya, si Renald gendut sudah berkacak pinggang di pintu mengayun-ayunkan goloknya sambil tersenyum-senyum gaya Wira Sableng.1

Bu Indar celingukan. Ia menyaksikan ketiga puluh pasang mata murid-muridnya menatapnya tajam. Selanjutnya, perlahan-lahan para pemilik mata itu serentak melangkahkan kaki menuju tempat Bu Indar berdiri sambil tetap menodongkan senjata yang mereka bawa. Jantung Bu Indar berdetak kencang. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhnya. Kaki dan bibirnya gemetar. Perutnya tiba-tiba menjadi mulas tanpa sebab. Beberapa buku matematika yang dipegangnya berjatuhan satu per satu seperti setumpuk kertas tertiup angin.
Kini ia berdiri terpaku dengan bola mata bergerak ke sana kemari. Murid-murid semakin mendekatinya. Naluri Bu Indar mendorongnya berteriak minta tolong. Tapi, belum lagi selesai ia menghirup udara untuk berteriak, si rambut jabrik Rian sudah mengarahkan aritnya di perut Bu Indar.
“Jangan berteriak! Kami tak akan melukai Ibu asal Ibu tidak berulah!” ucapnya bak seorang intel polisi yang sedang membekuk bajingan buruannya.
“Apa-apaan ini?” batin Bu Indar.
Dari sudut kanan belakang Roni yang hasil ulangan matematikanya tak pernah lebih dari 4 berjalan dengan dada membusung, menyibak barisan teman-temannya. Barisan itu membelah, seperti air laut diterjang jet ski. Ia lalu berdiri tepat di depan Bu Indar.
“Ibu tak usah khawatir selama Ibu mengikuti perintah kami!”

Bu Indar tak menggubris. Beberapa kali ia mengerut-ngerutkan dahinya dengan mulut sedikit terbuka. Kaca matanya perlahan-lahan melorot karena kedua sisi hidungnya semakin basah dengan keringat. Perutnya terasa semakin mulas dan saluran kencingnya serasa menahan desakan seember air. Sementara telapak kakinya serasa ingin melemparkannya keluar kelas, pada saat yang sama tumitnya seakan terpaku dengan lantai yang diinjaknya.
“Ka...ka... kalian... apa maksud kalian?”
“Turuti perintah kami kalau tidak ingin celaka!”
Bu Indar menatap satu per satu wajah murid-muridnya yang kini seakan berubah menjadi wajah-wajah setan.
“Ibu tenang saja. Sekarang duduklah!” tukas Roni.
Bu Indar ragu-ragu. Si Jabrik menggerakkan aritnya ke arah meja guru, memberi isyarat agar Bu Indar segera duduk.
Sambil tetap berusaha memandangi wajah murid-muridnya Bu Indar terpaksa menuruti perintah Roni. Ia duduk di kursi guru dengan segudang pertanyaan menggantung di dahinya.

Tiba-tiba Erni, si pemilik rambut ekor kuda maju ke depan kelas.
Tanah airku amat subur
Dengarkanlah rayuan kalbuku
Kepadamu jiwaku berlagu
Rayuan Tanah Airku2
Suara emasnya memukau kelas, dengan senyum dan gaya Karlinanya3.
“Ayo, tirukan!” perintah Renald yang tanpa disangka-sangka Bu Indar sudah berada di depan mejanya.
Wajah Bu Indar menjadi pucat pasi. Tidak hanya oleh golok si badan gendut itu, tetapi juga karena ia tidak pernah bisa menyanyi dengan nada dan irama yang pas. Suaranya pun lebih menyerupai kaleng kosong yang dilempar ke lantai.
“Ayo!” suara Renald sedikit keras.
“Tanah airku amat su...” Bu Indar terpaksa menuruti.
Geeeer.... kelas terbahak. Nada Bu Indar pada suka kata “su” menjadi terlalu tinggi dan melengking. Dalam hati Bu Indar geram, tapi tak bisa berbuat banyak.
“Ini tidak adil!” batinnya.

Belum habis penasaran Bu Indar, Adrien melangkah ke depan kelas. Badannya yang ceking mengesankan jalannya melayang, seakan tak menapak tanah. Baju putihnya tak lagi bisa dibilang putih, coreng-moreng penuh bekas cat minyak.
Ia mengambil kapur dan mulai corat-coret di papan tulis. Tak sampai sepuluh menit terlukislah seorang wanita muda cantik, persis seperti wanita-wanita yang dilukis di belakang bak truk angkutan barang.
Adrien lalu meletakkan sisa kapur yang dipegangnya di depan Bu Indar. Bu Indar gelagapan! Pelecehan kedua terjadi.
“Ibu boleh meniru gambar Adrien!” kata Roni.
Bu Indar bergeming. Ia tahu, bagaimanapun kerasnya ia berusaha meniru gambar Adrien, mirip pun pasti tidak!
“Ayo!” ulang Roni dengan suara sedikit keras.

Bu Indar terpaksa beringsut. Ia ambil kapur yang diletakkan Adrien di depannya.
Sepuluh menit. Seperempat jam. Usai. Namun, jangankan cantik. Gambar itu tidak jelas, laki-laki atau perempuan. Rambutnya memang rambut perempuan, tapi rahangnya terlalu kotak. Hidungnya terlalu lebar. Mulutnya tak berbentuk, mencong ke sana kemari.
Kelas tertawa terbahak-bahak lagi! Muka Bu Indar merah padam, tapi tak berani berkutik.
Belum habis deram kelas, klik! Roni memutar tape recorder dan mengalunlah Drinking Song from Traviata.4
Anak-anak yang berdiri di depan kelas mundur sehingga terbentuklah kalangan, kecuali Sinta yang kemudian memutar-mutar badannya dengan hanya bertumpu pada kedua jempol kakinya. Ia kemudian mengangkat salah satu kakinya ke depan badannya dengan ujung jari kaki lurus menembus bumi dan tetap bertumpu pada salah satu jari-jari kakinya. Tangannya merentang lalu badannya berputar seperti kincir. Kali lain badannya menyorong ke depan sedikit ke samping dengan tangan merentang. Kakinya yang satu ditarik ke belakang lurus dengan badannya, sehingga terlihat sekan sedang melayang. Ia memutar dan kembali berdiri tegak. Meloncat ke sana kemari selincah prenjak. Berputar lagi. Mengangkat kaki lagi. Melompat lagi.

Napas Bu Indar menjadi sesak. Tersengal-sengal. Ia mengadu rahang atas dan rahang bawahnya hingga gemeretak.
“Aku tidak mungkin diam lagi!” batinnya. Dengan badan yang lebih menyerupai tong, tak mungkinlah ia bisa menari balet selincah Sinta. “Ini sudah keterlaluan!”
Sinta masih meliuk-liuk, menekuk-nekuk badannya yang seelastis karet gelang ketika tiba-tiba Bu Indar berteriak, “Hentikan! Kalian memintaku menari balet?” suaranya keras memecah keheningan. Klik! Tape dimatikan. Sinta berhenti menari. Kelas senyap sejenak.
“Ini pelecehan. Tidak adil! Kalian menyuruhku melakukan sesuatu yang tidak mungkin aku kerjakan. Kenapa kalian tidak menyuruhku mengerjakan matematika?” Bu Indar menyerocos entah dapat keberanian dari mana.
“Ibu marah, jengkel, sakit hati, dan merasa dilecehkan?” tukas Roni dengan suara lembut.
“Jelas!” sahut Bu Indar tegas.
“Itu juga yang kami rasakan ketika Ibu memaksa kami harus pintar matematika!”
***
Kelas ramai bukan kepalang. Murid-murid saling ingin tahu nilai ulangan trigonometri yang dibagikan Dodi, si ketua kelas IIIA.
“Sinta, berapa?” tanya Rian sedikit berteriak.
“Bebek!” Dan keduanya pun terbahak bersama.
“Ron, berapa?”
“Kursi terbalik! Kamu berapa?”
“Telor busuk!”
Hahaha....

Bu Indar masuk kelas masih disambut tawa-canda murid-muridnya. Telor-telor... kursi obral! Wek wek wek... hahahaha...
Bu Indar hanya tersenyum-senyum. Ia tahu apa yang dimaksud murid-muridnya. Nyaris sekelas nilai ulangan matematikanya jelek, kecuali Yoar yang mendapat nilai 9. Kaca matanya yang tebal, tidak banyak omong, tangannya tak lepas membawa buku membuat teman-temannya menjulukinya profesor.
Tidak seperti dulu, Bi Indar kini bisa menerima kenyataan bahwa memang tidak semua murid bisa matematika. Ia pun kini tak lagi memaksa semua murid harus pintar matematika. Persis seperti ketika ia menyadari bahwa dirinya pun tak bisa menyanyi semerdu Erni, menggambar seterampil Adrien, dan menari segemulai Sinta.
“Gimana, puas?” Sapa Bu Indar.
Huuuu!! Renald merebut kertas ulangan teman-temannya. Kelas ribut. Sinta berteriak-teriak protes. Erni mengejarnya ingin merebut kembali, tapi tak berhasil. Ia harus puas hanya bisa memukul-mukul punggung Renald. Renald kemudian menjejer nilai-nilai itu di papan tulis dengan selotip.
“Mari kita menyanyi!” ajak Renald.
“Do do mi sol sol fa fa re re re... nol nol nol!” Ia membaca nilai-nilai itu seakan sedang membaca not. Kelas terbahak.
“Sudahlah,” sergah Bu Indar.
“Ibu tidak kecewa?” tanya Erni.
“Saya tahu kalian sudah maksimal. Persis seperti ketika dulu Ibu belajar menyanyi, menggambar, atau menari tapi tak juga bisa!”
“Tapi, Ibu bilang orang harus pintar matematika. Hidup kita tak bisa lepas dari matematika!” tukas Roni.
“Betul. Tapi, untuk jadi tukang sayur nggak perlu ahli trigonometri kan?” seloroh Bu Indar.
Kelas gemuruh.
“Gini. Namun demikian, sekalipun besok kalian tidak hidup dengan matematika, kalian tetap harus bisa berpikir matematis. Artinya, rasional, sistematis, dan logis. Itu yang lebih kalian butuhkan dalam hidup nanti!” nasihat Bu Indar.
Kelas senyap, merenungkan nasihat Bu Indar. Di bangku belakang Roni berkali-kali menguap hingga matanya sembab.
***
Jam pertama. Bu Indar hendak masuk kelas. Tangan kirinya dilipat di dada, penuh dengan berbagai buku sumber matematika. Kelas sepi. Semua murid melipat tangannya dan meletakkan dagunya di meja. Tak ada sapa “Selamat pagi!” Bu Indar mulai curiga. “Mau apa lagi anak-anak ini!” batin Bu Indar. Jangan-jangan peristiwa itu akan terulang. Ia menghentikan langkahnya hanya tiga langkah dari pintu lalu memandangi satu per satu wajah murid-muridnya yang tak satu pun memerhatikan kehadirannya.
“Selamat pagi?” sapa Bu Indar.
Tak disahut. Semua kepala tetap tertunduk.
“Selamat pagi?” Bu Indar mengulang menyapanya. Kelas tetap membisu. Hanya Yoar yang terlihat sesekali mengangkat wajahnya sambil lirak-lirik ke kiri dan ke kanan.
Bu Indar memberanikan diri melangkah dan duduk di kursi guru. “Aneh. Kalian sedang berduka?”

Tiba-tiba Erni berdiri dan melangkahkan kaki ke depan kelas diikuti Dion yang menenteng gitar.
Terpujilah wahai engkau
Ibu Indarwati
Namamu akan selalu hidup
Dalam sanubariku
Semua baktimu
Akan kuukir di dalam hatiku
Sbagai prasasti trima kasihku
Tuk pengabdianmu...5

Erni mengalunkan lagu itu penuh penghayatan. Dentingan petikar gitar Dion menjadikan suara Erni sangat menyentuh hati. Mata Erni tampak berkaca-kca saat ia menyanyikan lagu itu, memancing sendu seluruh kelas.
“Ini apa lagi? Mereka akan menyuruhku menyanyi lagi?” batin Bu Indar. Jantungnya kembali berdebar. Wajah Bu Indar perlahan-lahan menjadi pucat pasi. Ia celingukan menatap ketiga puluh wajah yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya.
Jantung Bu Indar berdetak kencang. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhnya. Kaki dan bibirnya gemetar. Perutnya tiba-tiba menjadi mulas tanpa sebab. Beberapa buku matematika yang dipegangnya berjatuhan satu per satu, seperti setumpuk kertas tertiup angin.
Dari arah belakang Roni berjalan ke depan kelas, menyibak kerumunan teman-temannya.

Kedua tangannya menyangga sebuah piring besar penuh bakmi goreng bikinannya sendiri. Ia lalu meletakkannya di depan Bu Indar.
Beberapa kali Bu Indar mengerut-ngerutkan dahinya dengan mulut sedikit terbuka. Kaca matanya perlahan-lahan melorot karena kedua sisi hidungnya semakin basah dengan keringat. Perutnya terasa semakin mulas dan saluran kencingnya serasa menahan desakan seember air.
“Kalian mau apa lagi?” bentak Bu Indar geram. Suaranya begitu keras hingga terdengar di ujung kelas yang lain. Jreng! Dion menjawab teriakan Bu Indar itu dengan korekan gitarnya. Serentak seluruh murid menyanyikan lagu Happy Birthday to You.