Senin, 12 November 2007

Sejarah Panjang Politik Diskriminasi dan Kekerasan Rasial (Makalah)

Sejarah Panjang Politik Diskriminasi dan Kekerasan Rasial
terhadap Kaum Tionghoa di Indonesia
Stefanus Rahoyo

“Orang-orang Tionghoa di negeri ini
berasal dari kelas pedagang, mereka hampir semuanya pedagang.
Dalam kapitalisme,
tujuan dari kapitalisme adalah
mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi diri sendiri.
Karena kenyataannya para pedagang Tionghoa
menjadi kepanjangan tangan dari kapitalis asing di masyarakat Indonesia,
mereka telah menimbulkan kesan yang tidak disenangi”

— Pidato Bung Hatta dalam persiapan pembentukan Chung Hua Tsung Hui (CHTH)[1]

I. Pendahuluan

Tahun 2000—sesaat setelah terpilih menjadi Presiden ke-4 Republik Indonesia—Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut Inpres No 14 Tahun 1967. Inpres yang berisi tentang Agama, Kepercayaan dan Adat-istiadat Tionghoa tersebut dikeluarkan Presiden (waktu itu) Soeharto tanggal 6 Desember 1967.
Tak susah ditebak bahwa isi Inpres di atas pada dasarnya merupakan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia (khususnya Orde Baru) menyangkut “keindonesiaan” warga etnis Tionghoa di Indonesia. Hal tersebut tampak jelas dalam butir keempat lampiran SKB Tiga Meteri: Menteri Agama (waktu itu) H. Alamsjah Ratu Perwiranegara; Menteri Dalam Negeri (ketika itu) Amir Machmud; dan Jaksa Agung (ketika itu) Ali Said. Dalam lampiran di atas disebutkan “Proses pembauran kehidupan di Indonesia berlangsung wajar, walaupun tidak menutup kemungkinan timbul hambatan psikologis, terutama bagi warga negara keturunan Tionghoa. Hal ini karena adanya hambatan budaya yang dihayati sebagian dari mereka atau nenek moyang mereka pada umumnya yang berkiblat ke negeri Cina, sekalipun mereka telah berabad-abad menjadi penduduk Indonesia. Keadaan ini diperkirakan akan menjauhkan kehidupan masyarakat Indonesia, walaupun mereka adalah warga negara Indonesia dan bukan warga negara Cina”[2]

Inpres No 14 tahun 1967 yang disusul SKB tiga menteri di atas praktis dengan serta-merta membelenggu kehidupan keagamaan dan kultural masyarakat Tionghoa di Indonesia. Jelasnya, masyarakat Tionghoa di Indonesia tidak boleh lagi melaksanakan ibadah sesuai agama dan kepercayaan leluhur mereka (Konghucu) dengan, misalnya, menampilkan tapekong dan barongsai dalam perayaan Tahun Baru Imlek.

Dengan sendirinya, setelah Inpres tersebut dicabut oleh Presiden Wahid, kini masyarakat Tionghoa di Indonesia kembali memperoleh kebebasan menjalankan ritual keagamaan dan bahkan secara de jure agama nenek moyang mereka pun (Konghucu) telah diakui sebagai agama negara.
Tak pelak, kebijakan pemerintah Orde Baru dengan Inpresnya di atas memang dirasa sebagai kebijakan yang diskriminatif dan oleh karena itu, demi kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin demokratis, harus dicabut
.Di sisi lain, sejarah juga mencatat bahwa sekitar 2 minggu sebelum Pemerintahan Orde Baru Soeharto tumbang, kerusuhan rasial (anti-Tionghoa) 12-13 Mei 1998 meletus di Jakarta dan Solo. Kerusuhan yang semula dipicu oleh penembakan terhadap mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta itu menelan ribuan nyawa manusia selain juga mempertontonkan kekerasan bahkan pemerkosaan massal terhadap para perempuan etnis Tionghoa. Kerugian material ditaksir mencapai sekurang-kurangnya Rp2,5 trilyun.[3]
Kepres No 14 Tahun 1967 dan kerusuhan rasial yang secara khusus mengarah kepada etnis Tionghoa sebagai korban pada 12-13 Mei 1998 bukanlah satu-satunya bukti betapa orang-orang Tionghoa di Indonesia telah diperlakukan secara tidak adil dan bahkan kejam dalam sepanjang sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Apa sajakah kebijakan diskriminatif dan kekerasan berbau rasial di Indonesia yang menimpa para etnis Tionghoa tersebut? Tulisan ini bermaksud mengulas secara sepintas dan menelusuri sebab-sebabnya. Tulisan difokuskan dengan pendekatan historis tetapi secara khusus berusaha menyoroti berbagai kekerasan rasial dan kebijakan pemerintah selama zaman pendudukan kolonial Belanda hingga zaman Orde Baru.
II. Kekerasan demi Kekerasan
II.a. Kedatangan Orang Tionghoa di Indonesia

Tidak ada catatan pasti, kapan tepatnya orang-orang Tionghoa untuk pertama kali datang ke negeri Indonesia (Nusantara). Namun demikian, diyakini bahwa sebagian besar bangsa Indonesia sebenarnya berasal dari Ras Melayu (bagian Selatan daratan Asia. Nenek moyang bangsa Indonesia ini datang dari sekitar Yunnan (Tiongkok bagian Barat Daya) menyusuri Siam, Semenanjung Indocina, Semenanjung Melayu dan akhirnya tiba di Nusantara.[4]

Sekalipun tak ada dokumen mengenai kapan pastinya orang-orang Tionghoa masuk Nusantara, berbagai catatan mengemukakan bahwa pada abad ke-14 di Jakarta (dulu Sunda Kelapa) telah ditemukan penduduk berkulit putih dengan mata rata-rata sipit ini. Begitupun, gelombang kedatangan besar-besaran orang Tionghoa ke Indonesia diperkirakan terjadi pada Abad XVI (di Jawa)[5] dan Abad XIX (di Sumatera)[6]. Mereka rata-rata meninggalkan negeri mereka akibat kesusahan hidup dan perang berkepanjangan.
II.b. Kekerasan Anti-Tionghoa

Tampaknya, kerusuhan, kekerasan dan pembunuhan terhadap orang-orang Tionghoa telah terjadi sejak jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada masa kolonial Belanda, tepatnya tanggal 9 Oktober 1740 hingga 22 Oktober 1740, pembantaian terhadap etnis Tionghoa terjadi di Batavia. Nama-nama tempat yang saat ini bisa ditemui di Jakarta menjadi saksi peristiwa mengerikan itu. Ada Kali Angke yang berarti banyak darah; ada Rawa Bangke yang berarti terdapat banyak bangkai manusia (Tionghoa); juga Tanah Abang yang berarti tanah merah akibat guyuran darah. Benny G. Setiono mencatat, dalam kerusuhan yang berlangsung selama dua minggu tersebut tidak kurang dari 10.000 orang Tionghoa telah dibunuh dengan cara disembelih, dibakar hidup-hidup, dan ditembaki. Jumlah orang Tionghoa di Batavia pasca-Peristiwa 1740 di atas tinggal 3.431 orang. Jumlah inilah yang kemudian mendapat pengampunan dari Gubernur Jenderal Valckenier yang kemudian ditempatkan di luar Batavia.[7]

Pada masa Kebangkitan Nasional tercatat, misalnya, Peristiwa Kudus 1918. Hanya karena disulut oleh perkelahian antara beberapa pemuda Tionghoa dengan anggota Sarekat Islam (SI)—itu pun telah berhasil dilerai—tanggal 31 Oktober 1918 ribuan massa SI dari Kudus dan sekitarnya (Jepara, Pati, Demak, dll) menjarah dan membakar rumah-rumah, toko dan pabrik milik orang Tionghoa.[8]

Pembantaian massal terhadap etnis Tionghoa juga terjadi tahun 1946 yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Tangerang. Dalam kerusuhan yang terjadi selama 5 hari (3 Juni s.d. 8 Juni 1946) itu tak kurang dari 600 orang Tionghoa dibunuh, lebih dari 1.000 rumah orang Tionghoa dibakar dan sekitar 25.000 orang Tionghoa harus mengungsi dari Tangerang ke Jakarta.[9]

Tanggal 10 Mei 1963 yakni pada masa Demokrasi Terpimpin, kerusuhan rasial terjadi di Bandung yang kemudian lebih dikenal dengan Persitiwa 10 Mei. Kerusuhan tersebut diyakini merupakan rangkaian dari perkelahian antara pemuda Tionghoa dan pemuda pribumi di Cirebon 13 Maret 1963. Sekalipun perkelahian di atas berhasil dilerai, kerusuhan sempat menjalar ke Tegal pada 5-6 Mei. Tanggal 10 Mei meletuslah kerusuhan rasial di Bandung yang dipicu oleh perkelahian di kampus Institut Teknologi Bandung antara pemuda Tionghoa dan pemuda pribumi.

Pada akhir 1980—tepatnya 22-23 November 1980—penjarahan, perusakan dan pembakaran rumah, toko dan kendaraan milik orang Tionghoa terjadi di Solo. Kerusuhan rasial di atas lagi-lagi hanya dipicu oleh perkelahian antara 3 siswa Sekolah Guru Olahraga (SGO) dan seorang pemuda Tionghoa. Kerusuhan, penjarahan, perusakan dan pembakaran itu bahkan kemudian juga menjalar ke Boyolali, Salatiga, Ambarawa, hingga Semarang. Puluhan milyar rupiah diperkirakan hangus sia-sia sebagai kerugian akibat kerusuhan di atas.[10]

Kerusuhan terakhir berbau rasial yang terjadi dalam masa pemerintahan Orde Baru adalah Peristiwa 12-13 Mei di atas. Titik kerusuhan yang semula berpusat di depan Kampus Trisakti, Grogol-Jakarta Barat dalam sekejap menjalar ke seluruh Jakarta dan dalam dua hari tersebut Jakarta seolah menjadi lautan api. Seluruh kegiatan lumpuh total. Kekerasan, penjarahan, pembunuhan dan pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa kembali mencoreng wajah Indonesia. Entah secara langsung atau tidak langsung kerusuhan rasial Mei 1998 tersebut turut andil dalam menjungkalkan rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama lebih dari 30 tahun.
III. Politik Diskriminasi
Diskriminasi warga negara atas dasar etnis telah diterapkan sejak zaman kolonial (1850-an). Ketika itu, pemerintah Hindia Belanda mengelompokkan penduduk Hindia Belanda ke dalam tiga golongan. Golongan pertama orang-orang Eropa; golongan kedua orang-orang Timur Asing dan golongan ketiga orang-orang pribumi (inlander). Yang dimaksud dengan golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) terutama adalah orang-orang Tionghoa dan Arab.[11]
Politik diskriminasi selanjutnya juga tampak dalam kebijakan-kebijakan kelompok sosial politik yang tumbuh selama pergerakan kemerdekaan Indonesia. Misalnya, Boedi Oetomo yang didirikan Dr. Wahidin Soedirohoesodo, seorang priyayi Jawa. Organisasi sosial ini membatasi keanggotaannya hanya untuk orang Jawa dan penduduk asli di Jawa dan Madura. Sarekat Islam yang didirikan oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto pada tahun 1911 bahkan dengan jelas merumuskan tujuannya yaitu menghancurkan monopoli perdagangan oleh kelompok Tionghoa. Adakah tujuan tersebut merupakan pemicu terlibatnya Sarekat Islam secara langsung dalam kerusuhan di Kudus tahun 1918? Sangat boleh jadi!
Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno tahun 1927 menyebut secara eksplisit tentang kebijakan partainya yang menolak keanggotaan biasa orang-orang Tionghoa. Dalam Pasal 4 Anggaran Dasar PNI disebutkan “Yang boleh menjadi anggota partai ini hanyalah orang-orang bangsa Indonesia ... orang-orang Asia lain boleh diterima menjadi anggota luar biasa.”[12]
Partai Indonesia Raya (Parindra) yang didirikan oleh Raden Sutomo dan Muhammad Husni Thamrin (tahun 1935) dalam kongresnya tahun 1938 menyatakan—lewat pidato M. Husni Thamrin—agar untuk sementara partai ini tidak membuka keanggotaan bagi warga negara peranakan. Bahkan Masjumi dalam kongresnya tahun 1956 melalui Sjafruddin Prawiranegara mengusulkan agar toko-toko kecil (yang pada umumnya dimiliki orang-orang Tionghoa) dikuasai oleh orang Indonesia.[13]
Sedangkan beberapa tokoh nasional yang tampak memiliki kesan negatif tentang kaum Tionghoa di Indonesia tak kurang di antaranya adalah Mohammad Hatta dan Soekarno sendiri. Mohammad Hatta, misalnya, menyatakan “bahwa selama tahun 1945-1946 banyak orang Tionghoa dipakai sebagai alat Belanda... Hal itu membuat para nasionalis Indonesia marah dan berakibat pada pembalasan terhadap golongan Tionghoa.[14] Hatta mengungkapkan kalimat tersebut tahun 1946 saat menanggapi Peristiwa Tangerang.
Sedangkan Soekarno dalam sebuah pidatonya tanggal 17 November 1945 memperingatkan dengan tegas “agar orang Tionghoa jangan ‘... memakai kesulitan rakyat untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya ... peraturan-peraturan pemerintah sering dilanggar, diselusupi, dihindari dan disabot ... Orang-orang asing ini telah membangkitkan rasa dendam ... menanamkan biji-biji kebencian rasial ... mereka melupakan Sejarah Tangerang dan Kebumen...’”[15]

Dalam konteks ini juga patut dicatat seorang tokoh politik dari Sumatera Barat; Assaat. Ia adalah mantan Pejabat Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1950. Pada bulan Maret 1956 dalam Kongres Ekonomi Nasional seluruh Indonesia (KENSI) ia menuntut pembedaan terhadap semua orang Tionghoa di Indonesia. Tujuan dari pembedaan ini adalah agar kekuatan ekonomi kaum Tionghoa Indonesia bisa dipatahkan.[16] Tuntutan itulah yang kemudian melahirkan Gerakan Assaat.

Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tidak hanya berhenti pada tataran personal dan organisasi sosial politik, tetapi negara lewat kebijakan-kebijakan resminya pun bahkan turut melakukan diskriminasi itu entah secara eksplisit ataupun implisit. Tercatat misalnya bulan Oktober 1956 Menteri Perekonomian Burhanudin yang berasal dari Nahdlatul Ulama (NU) mengeluarkan pernyataan tertulis agar izin mendirikan perusahaan pertama-tama diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang seratus persen dimiliki dan dikelola orang Indonesia asli.[17]
Awal tahun 1950 Menteri Kesejahteraan Djuanda mengumumkan perlindungan kepada “importer nasional” berupa kredit, izin, keistimewaan mengimpor barang-barang tertentu. Sistem ini kemudian lebih dikenal dengan Sistem Benteng. Sebagaimana sebuah benteng, ia akan melindungi para pengusaha pribumi dan secara perlahan-lahan “benteng” tersebut akan menciut untuk mendesak para pengusaha Tionghoa. Menurut catatan Suara Pembaruan Haji Kalla dan Bakrie adalah pengusaha pribumi yang besar karena sistem tersebut.[18]
Dalam praktiknya, karena kekurangan pengalaman, para pengusaha pribumi pun tidak begitu mampu memanfaatkan fasilitas tersebut. Maka, lahirlah apa yang dikenal dengan sistem Ali Baba. Ali (sebagai metafora pengusaha pribumi) sebagai pemegang lisensi impor, tetapi pelaksanaan riilnya tetap ada di tangan Baba (sebagai metafora pengusaha etnis Tionghoa).

Tahun 1959 pemerintah secara resmi mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 10/1959 yang berisi larangan bagi kaum Tionghoa berdagang eceran di tingkat Kabupaten ke bawah. Selain itu, usaha-usaha dagang eceran yang dimiliki orang-orang Tionghoa harus dialihkan kepada orang-orang pribumi sebelum 1 Januari 1960. Bisa dibayangkan, ribuan orang Tionghoa terpaksa harus menutup usaha dagang mereka sebagai konsekuensi dari pemberlakuan PP di atas.[19]

Pada masa Orde Baru kebijakan-kebijakan diskriminatif-rasialis semacam itu juga tetap berlangsung. Selain Inpres No 14 tahun 1967 seperti telah dibahas di atas, tercatat misalnya pada tahun 1967—tampaknya merupakan buntut gagalnya kudeta G 30 S/PKI—para penguasa militer di Jawa Timur dan sebagian Sumatera melarang orang Tionghoa asing untuk berdagang.
Selain itu, pada bulan Juni 1968 pemerintah mengeluarkan Undang-undang tentang modal investasi domestik. Undang-undang tersebut dengan jelas membedakan antara perusahaan nasional dan perusahaan asing. Masih menurut Undang-undang di atas, yang dimaksud dengan perusahaan nasional adalah perusahaan yang 51% modalnya dimiliki Warga Negara Indonesia. Bahkan, pada 1 Januari 1974 kepemilikan modal ini dinaikkan menjadi 75%.[20] Warga Negara Indonesia yang dimaksud dalam Undang-udang di atas jelas adalah orang-orang pribumi. Satu lagi kebijakan di masa Orba yang dipandang sangat diskriminatif adalah mengenai Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Ketentuan agar orang Tionghoa memiliki SBKRI selama berpuluh-puluh tahun menjadi legitimisasi perlakuan diskriminatif bahkan juga pemerasan terhadap kaum Tionghoa, justru oleh aparat negara. Pada masa Orba pulalah semua organisasi sosial-politik etnis Tionghoa dilarang atau dibekukan.

IV. Semata-mata Konflik Rasial?
IV.a. Faktor Ketimpangan (Ekonomi)

Benarkah berbagai kerusuhan rasial dalam sepanjang sejarah Indonesia yang pada umumnya menempatkan kaum Tionghoa sebagai korban merupakan konflik rasial? Ataukah semua itu semata-mata lebih merupakan konflik sosial yang kebetulan terjadi di antara dua ras (Tionghoa dan pribumi) sebagai akibat ketimpangan (ekonomi)?[21]
“Kenyataan bahwa teori-teori rasis adalah palsu tidaklah menutup kemungkinan terjadinya konflik-konflik rasial. Akan tetapi, konflik-konflik rasial tidaklah seperti apa yang diyakini oleh kaum rasis yaitu sebagai konflik antara ras-ras yang lebih rendah dan ras-ras yang lebih tinggi melainkan konflik-konflik tersebut merupakan konflik-konflik antara ras-ras yang berbeda-beda.”[22]

Pada masa pendudukan Belanda, penduduk Hindia Belanda memang dikelompok-kelompokkan menjadi 3 golongan. Ras Timur Asing yang terdiri dari terutama orang-orang Tionghoa dan Arab oleh Pemerintah Hindia Belanda diposisikan sebagai golongan yang lebih tinggi daripada golongan pribumi. Sedangkan golongan Netherland diposisikan sebagai golongan paling tinggi di antara ketiga golongan tersebut. Atas dasar apakah pemerintah Hindia Belanda menentukan kelas-kelas sosial semacam itu? Tampaknya, pemerintah Hindia Belanda dengan sadar melakukan hal tersebut sebagai implementasi dari politik Devide et Impera. Dengan kata lain, tanpa mengabaikan faktor-faktor objektif semacam cara hidup, tingkat sosial-ekonomi, mental dan kepribadian, faktor politis merupakan faktor paling dominan yang membuat pemerintah Hindia Belanda menciptakan pengelompokan-pengelompokan seperti di atas.

Tetapi, mengapakah kemudian harus selalu etnis Tionghoa yang menjadi sasaran dalam setiap kerusuhan rasial? Tentu saja tak ada jawaban tunggal untuk persoalan ini sebagaimana tak ada jawaban tunggal untuk persoalan-persoalan sosial yang lain. Tetapi, dengan mencermati ungkapan-ungkapan yang diberikan oleh para tokoh sejarah, setidak-tidaknya kita bisa dengan yakin menduga bahwa unsur ketimpangan ekonomilah yang menjadi faktor dominan terjadinya kerusuhan-kerusuhan di atas.
Mohammad Hatta dalam artikelnya yang berjudul “Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa” tahun 1957 menyatakan bahwa “kamu pribumi Indonesia telah berkorban bagi kemerdekaan Indonesia. Mereka ingin memperbaiki nasibnya (secara ekonomis) tetapi mendapati bahwa kaum minoritas Tionghoa menghadang jalannya.”[23]
Menteri Perdagangan (kala itu) Rachmat Muljomiseno dalam Konferensi Ekonomi Nasional tanggal 7 – 10 Mei 1966 menyatakan, “Adalah hak saudara sebagai tuan rumah untuk mempersilakan tamu (orang-orang Tionghoa) duduk di ruang tamu... Yang perlu dijaga ... jangan sampai sahabat masuk ke ruang istirahat saudara apalagi turut menanak nasi di dapur saudara”.[24]

Sementara itu, Sunarid (Menteri Luar Negeri dalam kabinet Alisatro Amijoyo) menyatakan bahwa “Orang Tionghoa hidup dalam kecukupan sedangkan orang Indonesia asli hidup dalam kemiskinan. Hal itulah yang menumbuhkan ketegangan rasial.”[25]
Kutipan beberapa tokoh nasional di atas memberi petunjuk terang bahwa di mata orang-orang pribumi, kaum Tionghoa adalah kaum yang rata-rata hidup lebih mapan dibandingkan kaum pribumi.

Dalam kasus di atas, teori konflik sosial yang dikembangkan Karl Marx mendapatkan konteksnya. Bagi Marx, bidang ekonomi merupakan bidang yang akan menentukan kehidupan politik dan pemikiran masyarakat.[26] Marx juga berkeyakinan bahwa “Bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, tetapi sebaliknya keadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka.”[27]
Ketika realitas kehidupan ekonomi menyadarkan orang-orang pribumi akan posisinya yang lebih rendah dan lemah dibandingkan dengan kehidupan ekonomi orang-orang Tionghoa, potensi konflik sosial telah tertanam di sana. Apalagi bila benar bahwa akibat penjajahan dan politik Devide et Impera pemerintahan Hindia Belanda, masyarakat pribumi memendam konflik batin yang pada akhirnya akan berkembang ke dalam kecenderungan-kecenderungan agresi dan dominasi[28], tak susah dimengerti bahwa hanya karena dipicu oleh hal-hal yang tampak sangat sepele (misalnya perkelahian pemuda) kerusuhan rasial pun begitu mudah membara di dalam masyarakat Indonesia.

Para penganut marxisme meyakini bahwa revolusi sosial akhirnya memang akan terjadi sebagai akibat pertentangan dalam bidang ekonomi antara kelas pemilik dan kelas pekerja. Dalam beberapa segi, keyakinan tersebut mendapat legitimasi sejarah sekalipun perlu dicatat bahwa ketimpangan ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya antagonisme sosial[29].

IV.b. Faktor Lain

Ada faktor-faktor lain yang patut dipertimbangkan sebagai potensi mahadahsyat yang setiap waktu bisa meledak dan menimbulkan kerusuhan rasial. Harian Kompas menyatakan, “Korupsi paling besar terjadi antara para pejabat, aparatur birokrasi, dan dunia usaha yang didominasi golongan keturunan Tionghoa.”[30] Agak susah menampik tudingan kalimat tersebut. Sebab, dalam realitas empirisnya, perilaku bisnis—setidak-tidaknya sebagian—kaum Tionghoa memang penuh kolusi, korupsi dan nepotisme.

Samar-samar sering terdengar bahwa ikatan etnisitas di antara mereka tampak terlalu kuat hingga dalam dunia kerja, misalnya, orang-orang pribumi yang kebetulan sama-sama bekerja dalam sebuah perusahaan milik etnis Tionghoa diperlakukan secara diskriminatif! Pun pula tak bisa disangkal bahwa beberapa pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang kebetulan beretnis Tionghoa melarikan diri ke luar negeri, menyelamatkan diri setelah menikmati berbagai fasilitas dari negara dan mengeruk kekayaan di Indonesia. Barangkali memang tidak berlebihan bila—sebagaimana telah dikutip di atas—Soekarno pernah menuding kaum Tionghoa suka melanggar, menghindari dan menyabot peraturan.

Bagi Mohammad Hatta “Orang Tionghoa adalah orang asing yang berkuasa dalam bidang ekonomi dan suka dipakai oleh penguasa kolonial Belanda dan tidak disukai penduduk pribumi karena kekuatan ekonominya dan tindakan-tindakan mereka yang kurang susila. Hatta menekankan, kaum pribumi mau menerima mereka asal mereka mau melebur dengan masyarakat Indonesia.”[31]

Ekslusif! Barangkali itulah kesan yang ingin disampaikan Mohammad Hatta lewat kalimat di atas. Dan, sekalipun bisa dipastikan tidak 100% benar, kesan itu pula yang sering hinggap dalam kepala masyarakat pribumi pada umumnya tentang orang-orang Tionghoa. Celakanya, kesan eksklusif tersebut bagaimanapun sering kali juga menjadi sumbu penyulut terjadinya kerusuhan-kerusuhan sosial. Justru karena itulah pemerintah Orde Baru—sekalipun ditentang beberapa kalangan dan terbukti tidak efektif—sampai-sampai harus berkampanye tentang perlunya asimilasi antara kaum Tionghoa dengan kaum pribumi.

V. Penutup

Adalah menarik bahwa beberapa sunan yang termasuk dalam Walisongo ternyata adalah orang-orang Tionghoa. Sunan Ngampel bernama asli Bong Swi Hoo, Sunan Bonang bernama asli Bong Ang, sedangkan Sunan Kalijaga bernama asli Gan Si Cang. Gan Si Cang adalah anak Gan Eng Cu yang merupakan mertua Sunan Ngampel.
Lebih menarik lagi, Raden Patah yang adalah pendiri Kesultanan Demak (Kesultanan Islam pertama di Nusantara) sebenarnya bernama Jin Bun. Ia adalah anak dari Ta Bu Mi yang dikenal sebagai Kertabumi atau Prabu Brawijaya V.[32]
Itu artinya bahwa sejarah bangsa Indonesia sejak mula pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dengan orang-orang Tionghoa. Patut diduga bahwa ketika itu orang-orang Tionghoa tersebut bisa hidup bersama secara damai dengan masyarakat pribumi. Bahwa dalam perjalanan sejarah kemudian tercatat serangkaian kerusuhan rasial yang dilakukan oleh orang-orang pribumi terhadap masyarakat etnis Tionghoa, beberapa faktor bisa ditelusuri.

Pertama, adanya kesan di benak orang-orang pribumi bahwa orang-orang Tionghoa yang dipandang sebagai “tamu” justru hidup jauh lebih makmur daripada orang-orang pribumi sebagai tuan rumah. Sekalipun, kesan ini dikoreksi oleh Eddie Lembong (Ketua Umum Perhimpunan Indonesia Tionghoa) dengan menyatakan bahwa 97% kaum Tionghoa di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan.[33] Seolah memperkuat pendapat Eddie Lembong, Panji Wicaksana menguraikan bahwa populasi Tionghoa di Indonesia (hingga tahun 2002) adalah sekitar 10 juta jiwa. Dari total itu, 200 orang di antaranya merupakan pengusaha besar, 6.000 di antaranya pengusaha menengah dan 260.000 lagi merupakan pengusaha kecil. Sisanya bekerja sebagai petani, buruh, nelayan, dan tukang becak.[34]

Kedua, terdapat perilaku-perilaku yang dipandang kurang etis pada sebagian orang Tionghoa ketika melakukan kegiatan bisnis. Misalnya, KKN dan sikap diskriminatif terhadap orang-orang pribumi.

Ketiga, di antara sekian banyak kaum Tionghoa yang hidup di Indonesia, tak dapat disangkal bahwa beberapa di antara mereka memang hidup secara eksklusif—sekalipun harus segera dicatat bahwa ekslusivisme bukanlah semata-mata milik orang Tionghoa. Namun, rupanya sikap segelintir orang Tionghoa tersebut telah menanamkan kesan umum dalam benak orang-orang pribumi pada umumnya sehingga sikap inklusif yang bisa ditunjukkan oleh sebagian terbesar kaum Tionghoa lain tidak tertangkap oleh kaum pribumi. Tak kurang, Binarto Gani dalam kolomnya yang dimuat Suara Merdeka menyatakan, “Akhir kata, perlu diingat bahwa dalam masyarakat sekarang ini yang diperlukan tidak hanya itu saja (Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia), (tetapi) kita perlu lebih membaur baik dalam hal pergaulan, sosial, ekonomi, politik dan lainnya.”[35]

Karena itu, untuk menghindari agar kerusuhan-kerusuhan sosial dan rasial terutama antara kaum pribumi dan kaum Tionghoa tidak lagi terjadi di masa depan, beberapa hal harus dilakukan. Pertama, kedua pihak haruslah jujur dan membuka diri dan yang paling penting baik kaum Tionghoa maupun kaum pribumi haruslah saling menghilangkan syak wasangka negatif satu dengan yang lain. Kedua, sejauh dilakukan dengan jujur dan tanpa vested interest apa pun serta secara alami, pembauran merupakan jalan ampuh untuk membuat kedua etnis bisa lebih memperkokoh ikatan sosialnya. Seiring dengan ide ini, bagaimanapun, orang-orang Tionghoa memang dituntut untuk bisa menghilangkan sikap eksklusifnya. Ketiga, negara tak boleh lagi bersikap diskriminatif dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan sekecil apa pun yang hanya akan menguntungkan satu pihak di atas pihak yang lain. Diskriminasi struktural terbukti justru semakin memupuk rasa saling bermusuhan dan bukannya mendekatkan keduanya. Bahwa kebijakan yang adil dalam bidang ekonomi, misalnya, pada akhirnya justru menciptakan ketimpangan ekonomi di antara kaum Tionghoa dan kaum pribumi, di situlah tugas pemerintah untuk merumuskan kebijakan dalam hal distribusi pendapatan sehingga seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali tidak hanya menikmati kemakmuran tetapi juga keadilan sosial! Semoga!
Semarang, 12 November 2007



Kepustakaan
Briere, O., SJ. 1956. Fifty Years of Chinese Philosophy. London: George Allen&Unwin Ltd.
Duverger, Maurice. 2005. Sosiologi dan Politik (Terj. daniel Dakidae). Jakarta: PT Raja Grafindo.
Rozi, Syafuan, dkk. 2006. Kekerasan Komunal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan P2p-UPI.
Setiono, Benny G. 2002. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa.
Suryadinata, Leo. 1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti Pers.
Suseno, Franz Magnis. 1999. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Harian Bisnis Indonesia, 9 Agustus 2002
Harian Kompas, 5 Februari 2005
Harian Merdeka, Februari 2000
Harian Suara Merdeka, 6 November 2004
Harian Suara Pembaruan, 28 Agustus 2004






[1] Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik (Elkasa: Jakarta, 2002), hlm. 571
[2] Harian Merdeka, Februari 2000.
[3] Benny G. Setiono, ibid, hlm. 1061
[4] Ibid, hlm. 3
[5] Ibid hlm. 81
[6] Ibid hlm. 215
[7] Ibid, hlm. 119.
[8] Ibid, hlm. 375
[9] Ibid, hlm. 577
[10] Ibid, hlm. 1028
[11] Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa (Jakarta: Grafitipers, 1984), hlm. 4
[12] Ibid, hlm. 11
[13] Ibid, hlm. 32
[14] Ibid, hlm. 19
[15] Ibid, hlm. 24 (penekanan dari penulis)
[16] Suara Pembaruan, 28 Agustus 2004
[17] Leo Suryadinata, Ibid, hlm. 33
[18] Suara Pembaruan, Ibid.
[19] Menurut Menteri J. Leimena pada tahun itu terdapat sekitar 25.000 pedagang eceran. Tetapi, para pengamat menyatakan bahwa jumlah mereka jauh lebih besar yakni antara 400.000-500.000 orang (Lihat Leo Suryadinata, ibid, hlm. 140).
[20] Leo Suryadinata, ibid, hlm. 144.
[21] Lihat Maurice Duverger, Sosiologi Politik (Jakarta: Raja Grafindo, 2005), hlm. 209
[22] Maurece Duverger, ibid, hlm. 223
[23] Leo Suryadinata, ibid, hlm. 21 (dengan penekanan dari penulis)
[24] Benny G. Setiono, ibid, hlm. 960 (dengan penekanan dari penulis)
[25] Leo Suryadinata, ibid, hlm. 29.
[26] Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 51
[27] Ibid, hlm. 138
[28] Bdk. Maurice Duverger, ibid, hlm. 158
[29] Ibid, hlm. 203.
[30] Kompas, 5 Februari 2005
[31] Leo Suryadinata, ibid, hlm. 23 (dengan penekanan dari penulis)
[32] Baca Benny G. Setiono, ibid, hlm. 45 – 46.
[33] Bisnis Indonesia 9 Agustus 2002
[34] Ibid.
[35] Suara Merdeka, 6 November 2004