Minggu, 04 Mei 2008

Komodifikasi Tubuh di Layar Kaca:

Ketika iklan televisi dengan gencar mengampanyekan cantik sebagai kulit putih-mulus, rambut lurus, postur tubuh tinggi semampai, ideologisasi sesungguhnya sedang terjadi di sana. Di sisi lain, tak bisa ditampik bahwa penggunaan “tubuh perempuan” dalam iklan guna melariskan suatu produk, dari sudut pandang tertentu tak lain dan tak bukan adalah sebuah bentuk komodifikasi tubuh.

Ketika memperbincangkan “komodifikasi”—apa pun itu—sesungguhnya yang sedang diperbincangkan adalah suatu lembaga bernama industri. Dan, ketika industri diwacanakan, tak bisa tidak wacana harus menghujam ke sebuah ideologi besar yang mendasarinya, yakni kapitalisme. Maka, komodifikasi tubuh sesungguhnya juga merupakan anak kapitalisme.

Akhirnya, dalam segala wujud manifestasi kapitalisme, sebuah realitas selalu bisa ditunjuk: di sana ada segelintir elit yang akan mengeruk keuntungan dari suatu lembaga yang dinamakan pasar! Bagaimana ini bisa terjadi? Karena dalam industri budaya, elitlah pihak yang sesungguhnya menjadi penentu standarisasi, massifikasi, dan komodifikasi. Dalam konteks industri budaya sebagaimana yang tercermin dalam “pasar” layar kaca, di sana mereka juga sekaligus menjadi pemegang hegemoni atas selera, preferensi, dan gaya hidup!

I. Fenomena Madonna

Tahun 1980-an dunia entertainment terhentak seolah mendapatkan momentum baru ketika seorang Madonna tampil sebagai entertainer dengan genre yang melawan pakem yang selama itu ada. Sebagai seorang penyanyi dan artis, Madonna tampil dengan simbol-simbol tak lazim. Salah satunya: lirik-lirik lagunya nyerempet-nyerempet erotisme seksual. Lebih dari itu, ia pun dengan penuh percaya diri tampil dalam berbagai pose erotis. Sekonyong-konyong nama Madonna menjadi simbol baru dalam jagad hiburan. Itulah tonggak ketika “ketelanjangan” tubuh perempuan yang celakanya selalu diasosiakan dengan seks[1] mulai mengisi ruang-ruang publik yang bernama layar: mula-mula layar lebar kemudian merembet ke layar kaca. Sejak itu, terutama dalam pasar layar kaca, hukum permintaan dan penawaran menjadi satu-satunya pertimbangan logis penggunaan tubuh perempuan sebagai simbol seks tadi.

Tak pelak, para penganut feminisme pun terbelah ketika menyaksikan fenomena tersebut. Kubu yang satu bersepakat bahwa hadirnya Madonna dalam ekspresi erotisme tubuh sensualnya merupakan wajah sekaligus manifestasi real kebebasan kaum perempuan. Namun, di kubu yang lain tak kalah santer terdengar bahwa semua itu tak ubahnya semata-mata sebuah eksploitasi tubuh perempuan!

Apa pun reaksi yang menyusul tampilnya Madonna dengan kepercayaan dirinya itu, tak dapat disangkal bahwa gerak kelahiran industri entertainment dengan tubuh perempuan sebagai salah satu simbol utamanya telah merasuk ke dalam berbagai media hingga saat ini!

II. Televisi, Industri Budaya dan Komodifikasi Tubuh

Kajian baru pun muncul. Dikenallah apa yang disebut sebagai pendekatan budaya masa (mass culture) atau budaya populer (budaya pop) yang dipertentangkan secara diametris dengan pendekatan moralis yang secara spesifik merujuk pada budaya tinggi (high culture).

Dalam kajian para penganut pendekatan moralis, budaya massa adalah sebuah fenonema sosio-kultural yang senantiasa dicirii dengan seksualitas, erotisme, pornografi dan bersifat picisan. Karena itu, di antara budaya massa dan budaya tinggi terbentang sebuah tembok tebal tak tertembus di mana budaya massa dianggap sebagai budaya perusak moralitas, bernilai rendah dan picisan sementara budaya tinggi dianggap sebagai penjaga moral dan nilai-nilai luhur.

Sesungguhnya, kajian mengenai budaya massa memang tak mungkin dipisahkan dengan corongnya, yakni media, terutama media elektronik dan lebih khusus lagi televisi. Melalui televisi “desakralisasi” pertunjukan seni—apa pun itu—terjadi. Pertunjukan seni sebagai salah satu wujud kebudayaan (konser musik, tarian, juga film) yang dulunya bersifat ekslusif dan menjadi hak segelintir elit karena digelar di gedung-gedung pertunjukan atau gedung film; dengan hadirnya tabung kaca itu kini bahkan bisa dinikmati di ruang-ruang amat privat, yakni kamar tidur. Di situlah industri budaya mendapatkan konteksnya. Kebudayaan diproduksi secara massif, standar, dan tentu saja melalui proses komodifikasi.

Ihwal betapa high culture kerap kali menyerang budaya massa sebagai budaya murahan yang tanpa selera dan hanya bisa merusak moral, kita bisa mencermati sebuah contoh empiris, yakni perseteruan Inul Daratista dengan goyang ngebornya di satu pihak dan Rhoma Irama dan Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dkk. di lain pihak. Sebagai artis yang berangkat dari “penyanyi kampung”, goyang ngebor tersebut sesungguhnya sejak lama telah menjadi ikon Inul. Dan, di kalangan pedangdut kampung, goyangan semacam itu—bahkan banyak juga yang lebih vulgar—merupakan hal yang lumrah. “Goyang erotis” biduanlah yang membuat sebuah pertunjukan dangdut di panggung-panggung kampung menjadi semarak. Bagi pertunjukan dangdut di panggung kampung, goyang erotis adalah bagian dari roh pertunjukan itu sendiri. Dan, sejauh itu, tak pernah ada ekses negatif yang terjadi. Kalaupun sesekali muncul ekses, eksesnya adalah tawuran yang sama sekali tak terkait dengan goyangan sang biduan. Dan, sejauh itu pula tak ada reaksi apa pun dari berbagai kalangan.

Akan tetapi, ketika “goyang ngebor” Inul tersebut diproduksi secara massal, yaitu ketika dibawa ke dalam layar kaca dan dengan mudah bisa dinikmati oleh berjuta-juta rumah tangga, ketika itulah Rhoma Irama dan sekutunya sebagai “simbol” pemegang budaya tinggi merasa perlu menegur atau bahkan mencekal Inul. Ketika itu pulalah pendekatan budaya massa (kali ini dengan ikon Inul) berbenturan dengan pendekatan moralis yang “diwakili” Rhoma Irama cs, terlepas dari apakah sesungguhnya Inul memang tidak lebih bermoral daripada Rhoma Irama.

Yang menjadi pertanyaan, dalam konteks ini, mengapa tubuh perempuanlah yang jauh lebih sering dijadikan objek komodifikasi dalam industri budaya tersebut? Lebih khusus lagi, dalam layar kaca, bagaimana bisa asosiasi seks semata-mata dilekatkan pada kemolekan tubuh perempuan?

Perhatikanlah iklan-iklan yang mempromosikan berbagai produk di televisi. Produk-produk yang sama sekali tak ada hubungan langsung dengan seksualitas pun direkayasa sedemikian rupa oleh si perancang iklan untuk diserempet-serempetkan pada seks yang—itu tadi—anehnya hampir selalu melibatkan bintang iklan perempuan. Iklan sebuah merek kacang, misalnya. Si bintang iklan perempuan diharuskan (oleh perancang iklan, tentunya!) menutup iklan itu dengan kalimat, “Ini kacangku” atau dalam versi yang lain, “Kacangku baik untuk suamiku”.

Siapa pun tahu bahwa produk kacang sama sekali tak punya kaitan langsung maupun tidak langsung dengan aktivitas seksual. Tetapi, mengapa harus muncul kalimat “Ini kacangku”? Apa kaitan kalimat “Ini kacangku” tersebut dengan produk yang sedang diiklankan? Sama sekali tidak ada kaitan. Kalimat itu muncul (lebih tepat: dimunculkan) semata-mata sebagai tag line agar konsumen terpatri dengan produk yang sedang diiklankan. Kalangan laki-laki (dan barangkali juga sebagian perempuan, tentunya) paham benar konotasi “kacang” ketika kata itu dilekatkan pada tubuh perempuan. Ia sudah bukan lagi “kacang” dalam makna denotatif, melainkan telah bemakna konotatif, yakni merujuk pada bagian tubuh perempuan yang paling privat. Apalagi, kalimat itu diungkapkan oleh si perempuan dengan nada, intonasi dan body language yang menguatkan konotasi tersebut.

Juga, iklan sebuah merek balsem merah. Dalam iklan itu diceritakan, si suami dipijit-pijit oleh sang istri. Sampai titik ini memang belum ada masalah. Sesuatu yang janggal muncul ketika sang suami harus melenguh-lenguh dengan gerakan bibir “menggoda” ketika di depannya lewat seorang perempuan dengan lenggak-lenggok tubuh yang juga menggoda. Apalagi di akhir iklan pun dimunculkan kata “hot...hot”. Tak perlu berpikir panjang, para lelaki pun dengan gampang mengasosiasikan lenguhan dan gerakan bibir itu dalam konteks seks. Pertanyaannya sama: apa hubungan lenguhan dan gerakan bibir “menggoda” itu—atau bahkan lebih jauh lagi sang perempuan yang berjalan berlenggak-lenggok dengan ekspresi wajah menggoda—dengan balsem?

Bila produk-produk yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan seks pun oleh perancang iklannya harus diserempet-serempetkan dengan seks, bisa ditebak seperti apa tampilan iklan untuk produk yang memang secara langsung terkait dengan hubungan seks. Untuk kepentingan ini, perhatikan saja lagu yang dinyanyikan sang bintang iklan perempuan dalam iklan kondom di televisi: “Ayo Abang...ayo digoyang,” dst.!

Tampaknya, komodifikasi tubuh perempuan yang secara khusus mengarah pada asosiasi seks, pertama-tama dan terutama disebabkan oleh cara pandang khas laki-laki. Arswendo Atmowiloto dalam sebuah tayangan infotainment mengemukakan, “60% tubuh perempuan itu seks, selebihnya adalah misteri!”. Seperti itulah, dalam sebuah dunia yang didominasi oleh perspektif kelaki-lakian, tubuh perempuan sebagian besar dipandang sebagai simbol seks. Celakanya, simbol itu tak pernah dikaitkan dengan konteks kepribadian sang perempuan secara keseluruhan dan utuh. Simbol-simbol itu semata-mata dilekatkan pada aktivitas erotisme-sensual. Artinya, dalam proses semacam itu sesungguhnya keperempuanan juga telah didistorsi sebegitu rupa. Justru karena itu, simbol-simbol tubuh yang ditampilkannya pun terbatas—tepatnya: sengaja dibatasi—pada wilayah-wilayah yang secara langsung mengarah pada konotasi erotisme seksual: bupati (buka paha tinggi-tinggi), sekwilda (sekitar wilayah dada), dan gerakan-gerakan atau lenguhan-lenguhan menggoda.

Pada celah itulah kapitalisme seolah memperoleh akses lebar untuk mendiktekan dirinya. Sebagaimana insting dasar lain yang ada dalam diri manusia selalu merupakan celah ampuh untuk masuk menawarkan suatu produk, insting seks pun tak luput dari bidikan para pengiklan. Di sisi lain, adalah sebuah realitas bahwa tubuh perempuan dalam dirinya sendiri merupakan simbol yang “enak dicerna” dan mudah menarik perhatian. Karenanya, dari sudut pandang industri kapitalis, komodifikasi tubuh perempuan memang merupakan pilihan yang secara ekonomis amat rasional.

Persoalannya, siapakah yang sebenarnya sangat diuntungkan dari proses komodifikasi semacam itu? Penonton, si bintang iklan, atau pemilik industri? Bagi penonton—mengikuti tesis Theodore W. Adorno—sesungguhnya manfaat semulah yang mereka peroleh. Mengapa? Komodifikasi tubuh dalam iklan di layar kaca pada dasarnya menyiratkan dominasi nilai tukar (exchange value) yang menggantikan nilai guna benda (use value). Ketika exchange value menggantikan use value, yang terjadi adalah nilai guna skunder (secondary use value) atau yang oleh Adorno disebut sebagai manfaat semu tadi. Oleh karena itu, sesungguhnya penonton yang jumlahnya berjuta-juta orang itu tak sedikit pun memperoleh manfaat. Si bintang iklan memang memperoleh royalty. Tetapi, besar royalty yang secara matematis paling banter 10% dari seluruh manfaat (ekonomis dan non-ekonomis) yang diproyeksikan bakal dikeruk oleh pemilik produk dengan adanya iklan tersebut juga bukan jumlah yang signifikan untuk diperbincangkan. Karena itu, bila ditanya siapakah sebenarnya pihak yang akan memperoleh keuntungan terbesar dari industri budaya dalam sosoknya komodifikasi tubuh (perempuan) semacam itu, dengan mudah bisa ditunjuk: pemilik modal! (Dalam konteks ini adalah pemilik perusahaan pengiklan produk dan pemilik stasiun televisi).

Dengan mudah pula bisa ditelusuri bahwa dalam industri budaya semacam itu, selera, aspirasi, dan gaya hidup khalayak senyatanya melulu dikendalikan oleh segelintir elit melalui modal yang dimilikinya. Yang juga pantas dicatat, dalam sebuah pasar yang mendasarkan diri pada prinsip self regulating (swatata), laissez-faire yang merupakan roh pasar swatata (self regulating market) dihantar menjadi sebuah nafsu liar tanpa kompromi (Karl Polanyi, 2003). Itu artinya, bila benar bahwa tangan-tangan tak kentara (invisible hand) akan selalu menciptakan ekuilibrium baru dari ketidakseimbangan yang terjadi dalam pasar swatata, komodifikasi tubuh yang ujung-ujungnya adalah semata-mata eksploitasi (tubuh) perempuan akan tiba pada titik yang sangat mengkhawatirkan.

III. Reifikasi dan Ideologisasi

Berhadapan dengan budaya massa dalam salah satu wujud konkretnya berupa komodifikasi tubuh sebagaimana yang terjadi dalam kebanyakan iklan di layar kaca, mau tak mau manusia akan kehilangan kejatidiriannya sebagai subjek. Ia tak lebih daripada sekadar objek atau dalam istilah Georg Lukacs mengalami reifikasi. Apa artinya? Manusia yang dalam dirinya memiliki kehendak bebas (free will) untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakannya pada akhirnya tak lebih daripada sekadar kerumunan orang (khalayak) yang dijadikan sasaran (objek) penentuan kepentingan segelintir elit.

Hal itu akan tampak semakin jelas bila dikaitkan dengan proses ideologisasi yang terjadi dalam tabung gambar bernama televisi itu!

Bagi Karl Marx, ideologi merupakan “ajaran yang menjelaskan suatu keadaan ... sedemikian rupa sehingga orang menganggapnya sah, padahal jelas tidak sah” (Fajar Junaedi, 2005). Bagaimana ideologisasi ini terjadi dalam televisi?

Contoh yang paling jelas adalah pada iklan shampoo dan produk-produk kecantikan. Model yang selalu dijadikan bintang iklan adalah perempuan berkulit putih, berambut panjang-lurus-berkilau, postur tubuh tinggi semampai. Cerita iklan tak pernah jauh-jauh dari pesan: apabila suamimu ingin menciumimu setiap hari atau agar remaja lelaki mengagumimu, kulitmu harus putih halus dan itu bisa kamu dapatkan dalam waktu seminggu (iklan Ponds Miracle dan Citra); apabila kamu ingin bisa tampil lebih percaya diri, dadamu harus montok dan itu bisa kamu dapatkan dengan memakai BH tertentu (iklan Breast up); apabila kamu ingin lelaki mengagumi dan mengejar-ngejarmu, badanmu harus halus dan harum (iklan Lux), dsb.

Khalayak pun kemudian beramai-ramai memakai produk-produk yang diiklankan tersebut dengan harapan kulitnya menjadi putih-halus dan rambutnya panjang, lurus dan indah. Di sinilah manfaat semu sebagaimana ditengarai Adorno tersebut tampak jelas. Kalau pada akhirnya ada orang berkulit putih-mulus dan berambut panjang, indah, lurus; jelas itu bukanlah karena produk pemutih atau shampoo yang digunakan, melainkan orang tersebut pada dasarnya memang telah berkulit putih-mulus dan berambut panjang-lurus-indah!

Dalam pesan iklan itu pula tampak ideologisasinya: perempuan akan dibilang cantik bila berkulit putih, berambut panjang, lurus, kemilau. Sahkah penggambaran cantik semacam itu? Siapa yang mengesahkan? Itulah ideologisasi: orang digiring menganggap sah suatu keadaan yang digambarkan, padahal jelas keadaan itu sendiri sesungguhnya tidaklah sah. Dengan kata lain, ideologi sebenarnya juga sekaligus merupakan distorsi terhadap realitas. Dan karena ideologi merupakan distorsi terhadap realitas, orang-orang yang menjadi objek ideologisasi sebenarnya juga sedang menjalani suatu proses menuju kesadaran palsu! (Fajar Junaedi, 2005).

Bagi Frederick Jamenson, tanda seperti kulit putih-mulus, rambut panjang-lurus-kemilau memang merupakan ikon penting dalam kapitalisme lanjut (Fajar Juanedi, 2005). Dan, karena kapitalisme lanjut mendasarkan diri pada tanda dan bukan substansi, budaya yang terbentuk pun akhirnya merupakan budaya dangkal yang miskin nilai. Dalam budaya yang dangkal semacam itu, “kemasan” menjadi jauh lebih penting daripada “isi”. Celakanya, tanda atau kemasan sering kali (atau bahkan selalu) tidak merefleksikan realitas yang sebenarnya. Tanda dan kemasan tersebut ditampilkan dalam wujud yang dilebih-lebihkan atau dalam bahasa Jameson disebut hiperrealitas.

Satu hal lagi yang tak boleh dilupakan ketika memperbincangkan ideologisasi adalah hegemoni. Bagi Antonio Gramsci, proses penyebaran ideologi selalu terjadi melalui proses hegemoni dalam bentuknya kepemimpinan moral dan intelektual oleh segelintir elit. Ini pun terjadi dalam sebuah ruang yang bernama televisi tersebut. Penggambaran realitas oleh iklan (juga jangan lupa: sinetron!) tanpa sadar dan tanpa disadari berusaha menggiring opini khalayak ke sebuah opini seragam tentang suatu realitas yang sedang digambarkan itu. “Cantik itu putih, bahagia itu kaya, kebahagiaan rumah tangga itu (suami-istri) ditentukan oleh daya tahan melakukan hubungan badan, modern itu memiliki hp terbaru, dan seterusnya” merupakan opini yang berusaha dijadikan satu-satunya opini yang benar. Opini-opini lain di luar opini yang didengung-dengungkan oleh iklan akan menjadi opini pinggiran yang tidak populer atau bahkan dianggap salah. Seperti itulah hegemoni. Lalu, siapakah elit yang melakukan hegemoni dalam sebuah dunia yang dikuasai iklan semacam itu? Lagi-lagi para pemilik modal!

IV. Penutup

Tampak jelas bahwa di balik manfaat yang tak bisa dibantah akan hadirnya televisi di ruang-ruang keluarga, di sana sekaligus tersimpan problem tidak semata-mata ekonomis tetapi juga ideologis.

Dari sudut pandang ekonomi, layar kaca jelas merupakan pasar. Proses permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar itu tercermin dalam survei lembaga rating—tak peduli apakah dari segi metodologis hasilnya memang akurat—untuk menentukan laris-tidaknya suatu program tayangan. Dan, ketika layar kaca dalam realitasnya adalah sebuah pasar, mengikuti logika kapitalisme, mestinya di sana akan selalu terjadi keseimbangan (ekuilibrium) di mana diandaikan bahwa antara penjual dan pembeli memiliki kesederajatan (equality). Bahwa dalam kenyataannya kesederajatan semacam itu tak pernah terbukti, itulah yang sejak lama telah ditengarai oleh Karl Polanyi bahwa pasar swatata sesungguhnya tak lebih daripada sebuah mitos (Karl Polanyi, 2003). Maka, memercayai adanya tangan-tangan tak kentara (invisible hand) yang akan selalu menciptakan keseimbangan baru dari ketidakseimbangan yang ada di mana pembeli dan penjual memiliki kedudukan yang setara juga dalam sebuah pasar yang bernama televisi, sesungguhnya kita sedang memercayai sebuah mitos!

Referensi

Barthess, Roland. 2007. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa (terj. Ikramullah Mahyuddin). Yogyakarta&Bandung: Jalasutra.
Isbandi dkk. 2005. Komodifikasi Budaya dalam Media Massa. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Polanyi, Karl. 2003. Transformasi Besar: Asal-usul Politik dan Ekonomi Zaman Sekarang (terj. M. Taufiq Rahman). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suseno, Frans. Magnis. 1999. Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia.


[1] Kata “seks” (dari kata sex, Inggris) sesungguhnya berasal dari kata Latin sexus yang berarti jenis kelamin. Sexus (kata benda) berakar kata secare (kata kerja/Latin) yang artinya membagi, memotong, memisahkan. Jadi, sesungguhnya kata seks sendiri sangatlah netral. Tetapi, tampaknya, kata ini mengalami penyempitan makna sehingga kini lebih dikonotasikan dengan aktivitas-aktivitas erotis.