Minggu, 09 November 2008

Modal Sosial, Guanxi, dan Kemiskinan

Modal Sosial, Guanxi dan Kemiskinan

Pendahuluan

Adalah sebuah paradoks bahwa pembangunan (ekonomi) yang salah satu tujuannya menghapus atau setidak-tidaknya mengurangi kemiskinan, dalam realitasnya justru sering kali menimbulkan kemiskinan baru. Bahkan, lebih daripada sekadar paradoks, realitas kemiskinan diyakini atau paling tidak disinyalir justru merupakan salah satu produk pembangunan (Arif, 1999).

Dalam konteks itulah pembicaraan mengenai modal menjadi amat relevan sebab faktanya orang kerap kali menjadi miskin (mengalami pemiskinan) dalam proses pembangunan karena orang tersebut tidak memiliki cukup modal.

Dalam literatur ekonomi modal didefinisikan sebagai faktor-faktor produksi yang pada suatu ketika atau di masa depan diharapkan bisa memberikan manfaat atau layanan-layanan produktif atau productive services (Robert M. Solow dalam Partha Dasgupta & Ismail Serageldin, 1999). Secara spesifik, modal dalam literatur ekonomi merujuk pada modal fisik (physical capital) dan modal manusia (human capital). Modal fisik di situ mengacu pada barang-barang yang kelihatan (tangible), keras, dan sering kali tahan lama (durable) seperti bangunan pabrik, peralatan, mesin, dan persediaan (inventory) (Hanson, 1974).

Yang tampaknya luput dari perhatian para ahli ekonomi ketika mereka merumuskan berbagai jenis modal adalah bahwa manusia sebagai aktor bertindak tidak semata-mata digerakkan oleh tujuan, atas dasar kepentingan pribadi, dan bersifat independen. Dalam kenyataannya, tindakan manusia—juga tindakan ekonomisnya—juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan.

Dalam skala kecil, aktivitas arisan bisa dirujuk sebagai contoh. Bisa saja orang mengikuti arisan karena ia memiliki tujuan tertentu, didasarkan pada kepentingan pribadi, dan tidak dipaksa oleh siapa pun (independen). Pertanyaannya, bagaimana bisa ia memercayakan uangnya (dalam bentuk iuran per periode) pada suatu kelompok tanpa jaminan apa pun? Bagaimana bila sebelum ia mendapatkan kembali uangnya, semua anggota yang telah lebih dulu mendapatkan tidak mau melanjutkan iurannya atau bahkan melarikan diri? Mengapa ia tidak menabungkan saja iurannya tersebut di bank yang lebih aman dan bahkan mendapatkan bunga? Faktor apa yang membuat para peserta arisan mengabaikan semua pertanyaan tersebut?

James S. Coleman memberikan contoh serupa dalam artikelnya yang berjudul Social capital in the creation of human capital (Coleman dalam Partha Dasgupta & Ismail Serageldin, 1999). Apa yang biasa terjadi di pasar-pasar grosir permata—demikian Coleman bercerita—akan menjadi sebuah pemandangan yang luar biasa aneh bagi orang-orang yang bukan pemain perdagangan grosir permata (outsider). Dalam proses negosiasi penjualan, seorang pedagang permata akan memberikan begitu saja sekopor permata kepada penjual lain untuk dicek kualitas dan keaslian permata-permata tersebut. Penjual kedua baru akan melakukan pengecekan dalam waktu senggangnya (artinya tidak saat itu juga) dan ia tidak perlu memberikan jaminan apa pun kepada penjual pertama bahwa ia tidak akan mengambil atau menukar—sebagian atau seluruhnya—permata yang ada di dalam kopor tersebut. Permata dalam kopor tersebut bisa bernilai ribuan atau bahkan ratusan ribu dolar. Apa yang membuat penjual pertama percaya begitu saja pada penjual kedua?

Aksi sosial semacam arisan, “peminjaman” sekopor permata kepada seorang pedagang dalam proses perdagangan grosir permata, atau kebiasaan mengirimkan uang kepada sanak-saudara di kampung halaman yang biasa dilakukan orang-orang Karibia yang berada di perantauan pada akhirnya akan memiliki dampak ekonomis. Celakanya, hasil-hasil ekonomis yang ada tidak bisa dijelaskan sepenuhnya sebagai hasil input tenaga kerja, tanah, dan modal fisik sebagaimana yang secara tradisional dipahami selama ini (Grootaert, 2001). Artinya, ada sesuatu di luar modal fisik dan modal manusia yang nyata-nyata juga berpengaruh terhadap perekonomian perorangan (individual), keluarga (household) dan suatu bangsa (nation).

Dalam pandangan para sosiolog, “sesuatu” itulah yang kemudian dikenal sebagai modal sosial (social capital). Terdapat berbagai definisi mengenai modal sosial ini. Salah satunya menurut Christiaan Grootaert dan Tierry van Bastelaer. Mereka mendefinisikan modal sosial sebagai “… (I)nstitutions, relationships, attitudes, and values that govern interactions among people and contribute to economic and social development” (Christiaan Grootaert & Thierry van Bastelaer (eds), 2002). Sementara bagi Putnam, modal sosial memiliki tiga bentuk, yakni kepercayaan (trust), norma (norms), dan jejaring (networks) (Huang, 2003).

Terlepas dari berbagai definisi yang diajukan oleh para ahli, modal sosial telah menjadi bahan perbincangan yang menarik dan relevan ketika orang berbicara tentang pembangunan dan kemiskinan. Sebab, masih menurut Grootaert dan Bastelaer,
“Since it first entered conceptual and empirical debates, social capital has captured the imagination of development researchers and practitioners as a particularly promoting tool for alleviating poverty” (Christiaan Grootaert & Thierry van Bastelaer (eds), 2002).
Konsep modal sosial yang dimunculkan oleh para ahli sosiologi di atas melengkapi atau mengisi celah yang selama itu tidak diperhatikan oleh para ahli ekonomi ketika memahami modal dalam kaitannya dengan aktivitas ekonomi.

Dengan mendasarkan diri pada pemahaman bahwa modal sosial memberikan sumbangan berarti bagi pembangunan (ekonomi) pada umumnya dan pengurangan kemiskinan pada khususnya, menarik untuk memerhatikan betapa kelompok etnis tertentu mampu meraih prestasi (achievement) dan pencapaian-pencapaian (attaintments) lain dalam derajat yang lebih tinggi dibanding etnis lain. Dalam hal ini, Coleman telah menunjukkan bahwa keluarga dan masyarakat dengan modal sosial yang tinggi mampu mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan menjadi kelas yang lebih independen dibandingkan dengan keluarga atau masyarakat dengan modal sosial yang rendah (Dwyer, 2006). Secara lebih spesifik, Zhou (2004) bahkan telah menggunakan konsep yang dikemukakan Coleman tersebut untuk menjelaskan keberhasilan kelompok etnis di Amerika Serikat dalam menuntut pendidikan formal (Dwyer, 2006). Karena itu, tak mengherankan bila etnisitas pun dikategorikan sebagai sebuah bentuk modal sosial (Bates, 1999).

Dalam konteks etnisitas sebagai sebuah bentuk modal sosial yang memengaruhi keberhasilan-keberhasilan dan pencapaian-pencapaian tertentu bagi suatu kelompok etnis tertentu, layak dibahas bagaimanakah kaitan pola relasi yang khas pada masyarakat Tionghoa dengan kemiskinan yang mereka alami. Pola relasi yang khas yang merupakan konsep sentral dalam masyarakat Tionghoa ini dikenal sebagai Guanxi, yang dalam bahasa Tionghoa secara sederhana bermakna hubungan (relationship) di antara orang-orang atau benda (Huang, 2003).
Tulisan ini dimaksudkan untuk memaparkan benang merah antara modal sosial, etnisitas yang secara spesifik akan menyoroti guanxi sebagai pola hubungan yang khas etnis Tionghoa, dan bagaimana semua itu bisa menjelaskan kemiskinan yang dialami etnis Tionghoa.

Modal Sosial

Makna modal sesungguhnya telah diperkenalkan oleh Adam Smith ketika ia menerbitkan An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth of Nation (1776), terutama ketika ia membahas mengenai pertumbuhan ekonomi (economic growth). Tak urung, sejak itulah istilah modal menjadi sangat populer, terutama di kalangan para ahli ekonomi. Oleh Smith, istilah di atas dipakai berdampingan dengan istilah lain yang juga menjadi amat populer: pembagian kerja (division of labor). Bagi Smith, pertumbuhan ekonomi akan terjadi bila terdapat pembagian kerja karena dengan pembagian kerja itulah produktivitas meningkat. Sementara itu, pembagian kerja ini mensyaratkan adanya akumulasi modal karena dengan melakukan akumulasi modal itulah para pemilik modal akan membayar para pekerjanya dan membeli mesin-mesin serta peralatan produksi.

Yang menarik, sekitar satu abad kemudian muncul istilah modal dalam konteks yang sama sekali terlepas dari literatur ekonomi: modal sosial. Istilah tersebut muncul pada awal abad ke-19 (Christiaan Grootaert & Thierry van Bastelaer (eds), 2002). Namun demikian, tampaknya konsep di atas baru mendapatkan perhatian serius para praktisi dan akademisi pada akhir abad ke-19. Qihai Huang mencatat, antara tahun 1951 – 1981 konsep mengenai modal sosial hanya muncul di 2 buah artikel, demikian juga antara tahun 1981 – 1990; tahun 1991 – 1995 digunakan di 18 artikel; dan antara tahun 1996 – 2000 muncul di 318 artikel (Huang, 2003).
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, konsep modal sosial bukanlah konsep yang berasal dari literatur ekonomi, melainkan dari literatur sosiologi. Oleh karena itu, bagi para ekonom, istilah modal sosial sering kali membingungkan bahkan kurang dikenal. Lebih tepatnya: istilah ‘modal’ dalam modal sosial dipakai dalam pengertian yang sering kali tidak konsisten dengan istilah ‘modal’ dalam ilmu ekonomi (Christiaan Grootaert & Thierry van Bastelaer (eds), 2002).
Memang, sebagaimana modal dalam pengertian ekonomi, modal dalam konteks modal sosial pun membutuhkan investasi awal dan maintenance terus-menerus dengan ekspektasi hasil (return) di masa yang akan datang. Namun demikian, modal sosial tidak bisa diperjualbelikan di pasar terbuka, tidak bisa dibangun secara individual, dan tidak berkurang (ekonomi: depresiasi) tetapi justru akan bertambah bila digunakan (Partha Dasgupta & Ismail Serageldin, 1999).

Pada umumnya dikenal tiga arus utama (main streams) teori modal sosial. Pertama, teori Putnam dan Fukuyama; kedua, teori Coleman; dan ketiga, teori Bourdieu. Dari ketiga arus utama tersebut, teori pertama-lah yang paling mendominasi dalam berbagai penelitian di Barat.
Begitupun, baik Putnam, Coleman maupun Bourdieu sepakat bahwa modal sosial merupakan sebuah sumber daya (resource). Namun demikian, Coleman cenderung memandang modal sosial sebagai sumber daya-sumber daya sosial yang tersedia bagi individu-individu dan keluarga untuk mencapai mobilitas sosial. Secara spesifik, Coleman berpendapat bahwa modal sosial merupakan sumber daya yang bisa memfasilitasi individu dan keluarga memiliki sumber daya manusia (human capital) yang memadai (Winter, 2000). Sementara itu, Putnam melihatnya sebagai sokongan bagi terciptanya masyarakat sipil (civil society) dan sesuatu yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pembentukan institusi-institusi demokratis. Putnam dengan tegas mengemukakan betapa masyarakat sipil dan demokrasi merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Secara spesifik ia menyatakan bahwa agar demokrasi bisa berjalan diperlukan masyarakat sipil yang kuat dan aktif (Cox, 1995). Sedangkan Bourdieu memandang modal sosial terkait dengan bagaimana kekuasaan dan ketimpangan (inequalities) dihasilkan di dalam jejaring-jejaring sosial (Dwyer, 2006). Justru karena itu, Bourdieu dalam mendefinisikan modal sosial memberikan penekanan pada jejaring sosial (social networks) yang memberikan akses terhadap sumber-sumber daya kelompok (Winter, 2000). Dengan memiliki akses terhadap sumber daya kelompok (group resources) diharapkan seorang individu pada akhirnya akan menikmati manfaat ekonomis. Bagi Bourdieu, manfaat ekonomis ini hanya akan dinikmati individu apabila ia secara terus-menerus terlibat dalam kelompok tersebut (Winter, 2000). Dalam konteks inilah, modal sosial dipahami sebagai sesuatu yang bersifat instrumental.

Bagi Putnam, ide modal sosial muncul terkait dengan pertanyaan mengenai syarat-syarat perlu (necessary conditions) apakah yang dibutuhkan untuk menciptakan berbagai institusi yang kuat, responsif dan efektif. Terkait dengan itu, Putnam mengukur modal sosial dengan pola-pola pemungutan suara (voting), jumlah pembaca tetap surat kabar (newspaper readership), dan partisipasi di dalam perkumpulan-perkumpulan olahraga dan budaya. Putnam mengidentifikasi tiga hal yang tercakup dalam modal sosial, yakni trust (kepercayaan), norms (norma), dan networks (jejaring).

Sementara itu, penelitian Fukuyama mengenai modal sosial mencakup wilayah yang lebih luas dibanding wilayah penelitian Putnam. Fokus Fukuyama adalah menjelaskan mengapa beberapa negara secara ekonomis bisa lebih berhasil daripada negara lain. Dalam hal ini, Fukuyama memandang modal sosial sebagai trust, kemampuan orang-orang (masyarakat) bekerja bersama untuk tujuan umum (collective action) dalam kelompok atau organisasi.

Coleman (1988,1990) menyejajarkan modal sosial dengan modal-modal lain. “Social capital paralleling the concepts of financial capital, physical capital and human capital, but embodied in relations among persons.” (Huang, 2003). Bagi Coleman, modal sosial memiliki tiga bentuk: pertama, kewajiban dan harapan (obligation and expectation) yang didasarkan pada keterpercayaan (trustworthiness) lingkungan sosial; kedua, kapasitas aliran informasi struktur sosial; dan ketiga, norma-norma yang dijalankan dengan berbagai sanksi. Bagaimanakah kaitan antara kewajiban dan harapan yang didasarkan keterpercayaan lingkungan sosial bisa dijelaskan? Coleman menggambarkan sebagai berikut. Taruhlah Si A melakukan suatu kebaikan kepada Si B dan ia menaruh kepercayaan (trust) kepada si B bahwa suatu hari nanti si B akan membalas kebaikan itu. Proses tersebut di satu sisi memunculkan harapan (expectation) bagi A dan di sisi lain menimbulkan kewajiban (obligation) bagi si B. Kewajiban tersebut akan menjadi “slip kredit (credit slip)” yang dipegang A untuk kinerja (performance) B. Karena dalam realitasnya Si A tidak hanya melakukan kebaikan kepada Si B, tetapi juga kepada Si C, Si D, Si E, dst, Si A pada dasarnya memiliki serangkaian slip kredit yang sewaktu-waktu bisa ia gunakan ketika ia membutuhkan (Coleman dalam Partha Dasgupta & Ismail Serageldin, 1999). Karena itu, bagi Coleman, bentuk modal sosial tergantung pada dua elemen. Pertama, keterpercayaan lingkungan sosial; artinya bahwa kewajiban pasti akan dilunasi dan kedua, luas aktual berbagai kewajiban (the actual extent of obligations).

Sedangkan Bourdieu mendefinikan modal sosial sebagai “the aggregate of the actual and potential resources that are linked to the possession of a durable network of relationships or mutual acquaintance and recognition” (Huang, 2003). Ia membedakan modal sosial sebagai salah satu bentuk modal dengan modal ekonomi (sumber-sumber keuangan dan aset) dan modal kultural (pengetahuan, buku dan lukisan, pendidikan).

Di luar pengertian-pengertian mengenai modal sosial menurut beberapa tokoh di atas, Woolcock dan Narayan (2000) mensintesiskan berbagai pengertian modal sosial dalam literatur sosiologi dan dari hasil sintesis tersebut mereka menyusun 4 kategori modal sosial. Keempat kategori tersebut memang berbeda, tetapi tidak saling bertentangan satu dengan yang lain (Christiaan Grootaert & Thierry van Bastelaer (eds), 2002). Pertama, perspektif komunitarian. Dari perspektif ini, modal sosial digambarkan dalam pengertian organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok lokal. Perspektif ini membantu para praktisi pembangunan untuk memusatkan perhatian pada peran relasi sosial dalam mengurangi kemiskinan. Kedua, perspektif jejaring (network). Perspektif jejaring mendefinisikan modal sosial dengan mengacu pada berbagai hubungan (relasi) antara antara berbagai perkumpulan (asosiasi) vertikal dan horisontal. Dalam sudut pandang ini, berbagai hubungan tersebut dibedakan menjadi hubungan interkomunitas dan hubungan antarkomunitas. Ketiga, perspektif institusional. Dari sudut pandang ini diketahui bahwa lingkungan institusional, legal dan politis (institutional, legal, and political environment) merupakan penentu penting dan utama kuat-tidaknya jejaring masyarakat. Keempat, perspektif sinergi. Perspektif ini memusatkan perhatian pada berbagai hubungan di antara dan di dalam berbagai pemerintah dan masyarakat sipil. Pada dasarnya, perspektif sinergi ini mendasarkan diri pada asumsi bahwa tak satu pun aktor atau pelaku pembangunan (negara, swasta, dan masyarakat) mempunyai akses sendiri terhadap sumber-sumber daya yang diperlukan untuk menciptakan pertumbuhan yang adil dan berkelanjutan.

Konsep dan interpretasi mengenai modal sosial memang sangat banyak dan beragam, tetapi tampaknya muncul sebuah konsensus bersama bahwa pada dasarnya modal sosial berarti kemampuan para pelaku (aktor) untuk mengamankan berbagai manfaat (benefits) melalui nilai-nilai luhur keanggotaan dalam jejaring sosial atau struktur-struktur sosial lain (Grootaert, 2001). Dalam konteks inilah Grootaert menekankan peran penting berbagai perkumpulan atau asosiasi lokal. Bagi Grootaert, berbagai perkumpulan atau asosiasi lokal tersebut memainkan peran dalam tiga cara. Pertama, berbagi informasi di antara para anggota perkumpulan; kedua, mengurangi berbagai perilaku oportunistik; dan ketiga, memfasilitasi pengambilan keputusan kolektif (Grootaert, 2001).

Sekalipun modal sosial memungkinkan orang atau sekelompok orang (masyarakat) memperoleh sesuatu yang bermanfaat dan produktif, modal sosial sekaligus juga memiliki potensi menyebabkan eksternalitas negatif. Aldridge (2002), misalnya, sebagaimana dimuat dalam Social Capital mengemukakan bahwa modal sosial mendorong perilaku yang memperburuk dan bukannya memperbaiki kinerja ekonomi; berlaku sebagai hambatan bagi inklusi sosial dan mobilitas sosial; membuat masyarakat terbagi-bagi dan bukannya menyatu; bisa memfasilitasi tindakan kriminal (bukan mengurangi) (Social Capital, 2008).

Hunter (2000), Moorow (1999), dan Szreter (2000) juga menyatakan bahwa jenis-jenis kelompok dan asosiasi memang bisa membangkitkan modal sosial tetapi sekaligus selalu juga memiliki potensi untuk meniadakan (exclude) yang lain (Social Capital, 2008).

Guanxi
Kata “guanxi” secara etimologis berasal dari dua kata; guan yang berarti pintu (noun) atau mengamati dari dekat (verb) dan xi yang berarti mengikat atau menghubungkan (verb) atau sebuah sistem atau sebuah jejaring (noun).

Bagi orang Chinesse, secara sederhana guanxi berarti hubungan, tetapi juga bisa berarti penggunaan otoritas seseorang (the use of someone’s authority) untuk memperoleh manfaat ekonomis atau politis oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab (unethical persons) (Huang, 2003). Yang (1994) sebagaimana dikutip Huang mengemukakan bahwa guanxi ini dibangun dan dijaga melalui saluran-saluran formal dan pribadi seperti jamuan ramah tamah dan hadiah (Huang, 2003).

Hwang (1987) mengidentifikasi tiga jenis relasi personal di dalam pertukaran sosial (social exchange) masyarakat Tionghoa. Pertama, ikatan ekspresif yang pada umumnya terjadi di antara para anggota keluarga, sahabat dekat, dan kelompok-kelompok lain yang menyenangkan. Kedua, ikatan instrumental yang didasarkan pada pencapaian sasaran spesifik dan terjadi di antara dua orang yang saling berinteraksi dalam jangka waktu pendek. Misalnya antara wiraniaga dan pembeli. Ketiga, ikatan campuran yang terjadi antarorang yang saling mengenal dan berharap untuk bisa saling berinteraksi dalam jangka waktu yang lama. Bagi Hwang, jenis ketiga inilah yang bisa digolongkan sebagai guanxi dengan fungsi instrumental (Huang, 2003).
Bertitik tolak dari asumsi bahwa guanxi didasarkan pada basis hubungan jangka panjang, dengan sendirinya guanxi mensyaratkan adanya resiprositas1 dan keterpercayaan. Bahkan, guanxi tidak mungkin terjadi tanpa trust.

Collective Action

Atas dasar norma dan nilai-nilai luhur yang ada, sering kali suatu etnis tertentu memiliki tindakan bersama (collective action) yang entah langsung atau tidak langsung akan berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat etnis yang bersangkutan. David Mosse (2006) dalam penelitiannya di Daratan Tamil Tenggara menemukan perbedaan perilaku antara orang-orang Vayalur dan orang-orang Alapuram dalam kaitan dengan pengelolaan air. Baik Vayalur maupun Alapuram adalah daerah yang sama-sama tandus. Di Vayalur ia menemukan bahwa penduduk desa itu memiliki tindakan bersama yang sangat positif menyangkut ketersediaan air yang langka di sana. Misalnya, para penduduk desa secara kolektif bersama-sama menjaga keamanan persediaan air, bisa bernegosiasi dengan para penduduk desa yang ada di atasnya, mereka juga menaati aturan spesifik penggunaan air selama masa kekeringan, mereka bahkan memiliki sistem distribusi air yang dikerjakan oleh seorang spesialis. Sebaliknya adalah yang terjadi di Alapuram. Di sana tidak ada pengambilan keputusan secara kolektif, tidak ada aturan formal mengenai pengalokasian dan pendistribusian air, tidak ada seorang spesialis irigasi.

Masih terkait dengan aksi kolektif, masyarakat Karibia memiliki karakteristik yang amat unik. Tak peduli betapa mereka terpisahkan secara geografis, jejaring keluarga mereka sangat kuat. Harry Goulbourne (2006) menulis, “The Carribean families have been able to sustain itself through its ability to maintain strong transnational ties and network, which are valued as a central aspect of Carribean society.”

Tampaknya, ikatan transnasional masyarakat Karibia tersebut didorong oleh kebutuhan dasar bahwa masing-masing individu harus memelihara hubungan keluarga. Wujud konkret dari ikatan transnasional itu adalah pengiriman uang dari orang-orang yang tinggal di negara lain kepada sanak-saudara yang tinggal di Karibia.

Pengiriman uang semacam itu, sekalipun juga memiliki potensi negatif, sedikit banyak pasti membantu sanak famili apalagi yang secara ekonomis memang berkekurangan.

Guanxi dan Kemiskinan

Bila benar bahwa modal sosial akan memengaruhi kesejahteraan keluarga dan individu, muncul pertanyaan praktis: bagaimanakah hal itu bisa terjadi? Selanjutnya, bila dalam kenyataannya etnisitas merupakan salah satu bentuk modal sosial dan modal sosial bisa memengaruhi secara positif kesejahteraan individu dan keluarga, bagaimanakah mengaitkan guanxi sebagai sebuah bentuk hubungan khas etnis Tionghoa dengan kemiskinan yang dialami oleh sebagian dari mereka?

Tampaknya, pengaruh positif yang diberikan oleh modal sosial dalam penciptaan kesejahteraan individu dan keluarga tidak terjadi secara langsung. Dalam konteks kesejahteraan ekonomi, modal sosial tersebut memengaruhi kesejahteraan melalui akses terhadap kredit, akumulasi aset, dan aksi kolektif (collective action) (Grootaert, 1999). Dalam kaitan inilah apa yang dikemukakan Grootaert mengenai peran perkumpulan atau asosiasi lokal sebagai wahana distribusi informasi dan pertukaran pengetahuan (exchange of knowledge) menjadi relevan. Orang sering kali tidak bisa mengakses kredit dan tidak memiliki keahlian melakukan akumulasi aset karena tidak memiliki informasi atau tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Dengan kata lain, peluang seseorang untuk mendapatkan akses kredit dan melakukan akumulasi aset menjadi terbuka ketika ia memiliki informasi tentangnya atau memiliki pengetahuan tentangnya. Dan, informasi serta pengetahuan tersebut bisa diperoleh seseorang pada perkumpulan atau asosiasi yang di dalamnya ia terlibat.

Sekalipun demikian, Grootaert (1999) memberikan catatan bahwa seberapa jauh keanggotaan seseorang di dalam suatu perkumpulan atau kelompok memberikan manfaat ekonomis (akses terhadap kredit dan akumulasi aset), sangat tergantung pada dua hal. Pertama, heterogenitas anggota kelompok dan kedua, partisipasi individu dalam pengambilan keputusan kelompok. Menurut Grootaert, semakin heterogen karakteristik keanggotaan suatu kelompok, semakin tinggi manfaat bagi akses terhadap kredit dan akumulasi aset. Di sisi lain, semakin individu terlibat dalam pengambilan-pengambilan keputusan kelompok (dengan demikian sekaligus mengandaikan intensitas kehadiran dalam pertemuan-pertemuan kelompok tersebut) semakin tinggi manfaat yang akan diperoleh individu dalam kelompok tersebut.

Yang menarik, berbeda dengan yang terjadi pada akumulasi aset dan akses terhadap kredit, aksi kolektif (collective action) lebih mudah dilakukan dalam sebuah kelompok yang homogen. Dengan demikian, masih menurut Grootaert, homogenitas atas dasar sanak famili, kasta, latar belakang etnis dan agama akan mempermudah terjadinya aksi kolektif di atas. Dalam hal ini pun Grootaert berkesimpulan bahwa semakin sejahtera kehidupan ekonomi suatu keluarga, semakin kurang terlibat dalam aksi kolektif keluarga tersebut.

Dengan demikian, bagaimanakah menjelaskan kejadian kemiskinan yang dialami sebagian masyarakat Tionghoa sementara mereka memiliki pola relasi yang khas, yang disebut guanxi?
Pertama. Kemiskinan pada satu sisi bisa dipandang sebagai akibat terdepaknya seorang individu atau keluarga di dalam arena ekonomi pasar. Semua makfum bahwa ekonomi pasar yang mengusung agenda modernisasi secara sosiologis menuntut semakin tingginya kemampuan dan skill seseorang (human capital) atau cultural capital menurut istilah Bourdieu (Huang, 2003). Menurut Bourdieu, cultural capital tersebut menunjuk pada embodied capital (misalnya pengetahuan dan kebiasaan); objectivied capital (misalnya buku-buku) dan institusionalised capital (dalam bentuk pendidikan) (Huang, 2003). Artinya, bila seseorang tidak mampu mentransformasi kemampuan dan skill-nya dalam kancah modernisasi ini, cepat atau lambat secara alamiah ia akan tersingkirkan. Bagi Coleman sebagaimana dikemukakan Winter (2000), modal manusia tersebut terfasilitasi oleh adanya norma-norma yang diikuti sanksi yang efektif. Dalam perspektif inilah kita melihat pentingnya keluarga dan masyarakat sebagai sumber modal sosial. Jadi, bila sebagian masyarakat Tionghoa ada yang mengalami kejadian kemiskinan—dari sudut pandang modal sosial—perlu ditelisik apakah keluarga dan masyarakat sekitar merupakan keluarga dan masyarakat yang cukup mewarisi dan teguh mewariskan norma-norma yang mendukung peningkatan sumber daya manusia sehingga memungkinkan terjadinya mobilitas sosial.

Kedua. Guanxi selalu mencakup tiga hal, yakni relasi personal; pemanfaatan relasi personal yang ada; dan kewajiban serta resiprositas (Huang, 2003). Relasi personal akan membangun sebuah informal network. Sementara kewajiban dan resiprositas akan membangun trust dan credit slip. Baik network, trust, maupun credit slip idealnya bisa memfasilitasi seseorang atau keluarga memperoleh sumber-sumber ekonomis sehingga mereka bisa terlepas dari kejadian kemiskinan. Oleh karena itu, kejadian kemiskinan yang diderita oleh sebagian kaum Tionghoa bisa jadi merupakan akibat ketidakmampuan mereka memanfaat guanxi. Tapi, di sisi lain, mungkin pula mereka kehilangan network karena mereka pada dasarnya tidak memiliki credit slip. Ini bisa terjadi, misalnya karena mereka tidak mampu memenuhi norma-norma yang disyaratkan guanxi (kewajiban dan resiprositas). Hal tersebut bisa dijelaskan melalui realitas bahwa guanxi sebagai bentuk khas relasi personal dimengerti dalam konteks dua pribadi yang sama-sama menjaga dan memelihara nilai penting hubungan (relationship) di antara keduanya. Bagaimana mungkin relasi personal semacam itu bisa dipertahankan tanpa adanya kewajiban dan resiprositas? Di sisi yang lain lagi, bisa jadi etnisitas yang mestinya bisa menjadi petunjuk terhadap faktor sosial-kultural seperti akar sejarah, kenangan, mitos, adat kebiasaan, nilai, dsb. sesungguhnya telah luntur. Artinya, guanxi sebagai bentuk relasi khas kaum Tionghoa sudah tidak lagi dihayati atau bahkan “hilang” dari khazanah perbendaharaan kata kaum Tionghoa sendiri. Dengan lunturnya guanxi, dengan sendirinya luntur pula relasi pribadi yang khas di antara mereka.

Ketiga. Secara sosiologis, orang cenderung atau suka berkumpul dalam kelompok yang homogen. Celakanya, Christiaan Grootaert (1999) menengarai bahwa kelompok yang para anggotanya homogen (internally homogeneous) lebih banyak memfasilitasi adanya collective action dan terutama dalam hal menjaga aset bersama (common property), tetapi tidak cukup signifikan untuk membantu membuka akses terhadap kredit dan akumulasi modal dibandingkan dengan kelompok yang heterogen. Dari sudut pandang ini, beberapa pertanyaan bisa dimunculkan untuk menjawab kejadian kemiskinan pada sebagian masyarakat Tionghoa. Apakah mereka terlibat dalam kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi? Bagaimana karakteristik kelompok atau organisasi tersebut: homogen atau heterogen? Apakah mereka juga terlibat aktif dalam pengambilan keputusan?

Penutup

Benar bahwa modal sosial secara tidak langsung bisa menjadi alat efektif untuk mengurangi kemiskinan. Narayan dan Pritchett (1997) sebagaimana dikemukakan Grootaert (2001) menunjukkan secara ekonomis bahwa kepemilikan modal sosial oleh keluarga-keluarga di Tanzania memiliki pengaruh yang amat besar terhadap kesejahteraan keluarga-keluarga di sana. Dan, sebagaimana telah ditunjukkan di atas, etnisitas pun merupakan suatu bentuk modal sosial.

Dalam kaitan dengan etnisitas sebagai modal sosial di atas, guanxi yang merupakan bentuk relasi personal khas kaum Tionghoa pun merupakan modal sosial. Dengan demikian, secara teoretis guanxi harus mampu membantu sebagian keluarga Tionghoa yang mengalami kejadian kemiskinan.

Bertolak dari rentetan pemikiran tersebut, upaya mengatasi kemiskinan yang terjadi di kalangan kaum Tionghoa sangat boleh jadi memerlukan pendekatan yang amat berbeda dengan pendekatan yang digunakan untuk mengatasi kemiskinan pada umumnya. Bagaimana dengan etnis yang lain? Apakah tidak mungkin bahwa kemiskinan yang dialami oleh etnis tertentu perlu penanganan spesifik dan khas yang berbeda dengan penangan kemiskinan pada etnis yang lain? Bila jawabannya adalah ya, artinya, menganggap sebuah strategi tertentu untuk mengatasi kemiskinan pasti merupakan strategi efektif untuk semua kasus kemiskinan merupakan anggapan yang terlampau tergesa-gesa!

Daftar Pustaka
-. (2006, Agustus). Guanxi. Retrieved Juni 2008, from www.wikipedia.com.
-. (n.d.). Is Social Capital Really Capital? Social Capital .
Amir, I. D. (2006). Trust: The Social Virtues and The Creation of Poverty (Tinjauan Buku).
Arif, S. (1999). Menolak Pembangunanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bates, R. H. (1999). Ethnicity, Capital Formation, and Conflict. CID Working Papers .
Christiaan Grootaert & Thierry van Bastelaer (eds). (2002). Understanding and Measuring Social Capital: A Multidisciplinary Tool for Practitioners. Washington DC: The World Bank.
Cox, E. (1995). Raising Social Capital. The 1995 Boyer Lectures. UNSW School of Public Health.
Dwyer, C. (2006). Ethnicity As Social Capital? Explaining the differential educational achievements of young British Pakistanis men and women. Ethnicity, Mobility and Society. Bristol.
Gouldbourne, H. (. (2006, August). Families, Social Capital and Etnics Identity of Carribeans, South Asians and South Europeans. Families & Social Capital ESRC Research Group .
Grootaert, C. (2001, Juni). Does Social Capital Help The Poor? Working Papers (The World Bank) .
Grootaert, C. (1999). Social Capital, Household Welfare And Poverty in Indonesia. Social Development Family (The World Bank) .
Hanson, J. (1974). A Dictionary of Economics and Commerce. London: The English Language Book Society (ELBS) and MacDonald and Evans Ltd.
Huang, Q. (2003). Social Capital in The West and China. Manchester Metropolitan University Business School Working paper Series .
Lang, R. E. (1998). What Is Social Capital and Why Is It Important to Public Policy? Housing Policy Debate VOl. 9 .
Mosse, D. (2006, April). Collective Action, Common Property, and Social Capital in South India: An Anthropological Commentary. Economic Development and Cultural Change .
Net, P. (. (2002, Oct). What Is Social Capital?
Rose, R. (1999). What Does Social Capital Do to Individual Welfare?: An Empirical Analysis of Russia. Social Capital Initiative (Working Paper No 15) .
Winter, I. (2000). Towards A Theorised Understanding of Family Life and Social Capital. Australian Institute of Family Studies .
1 Resiprositas dalam konsep tradisional China adalah bao yang berarti seseorang memberikan kemurahan hati kepada orang lain sebagai investasi sosial (social investment).

Kemiskinan sebagai Persoalan Psikokultural

Kemiskinan
Sebagai Persoalan Psikokultural

Oleh: Stefanus Rahoyo

Kemiskinan adalah bencana manusia yang paling dahsyat,
ketat dan padat.
Ia adalah biang keladi derita yang berkelanjutan—
dari kelaparan dan penyakit
sampai konflik sosial bahkan perang.
(John Kenneth Galbraith)

Kemiskinan—sekalipun secara kasat mata terlihat sebagai persoalan ekonomi—nyata-nyata juga memiliki dimensi psikokultural. Dalam konteks tertentu, faktor psikokultural ini justru merupakan penyebab kemiskinan yang jauh lebih menentukan dibandingkan dengan faktor ekonomi. Sejalan dengan itu, dalam konteks tertentu tersebut, keberhasilan usaha mengatasi kemiskinan (ekonomi) sangat ditentukan oleh keberhasilan usaha mentransformasi aspek psikokultural masyarakat yang ada.

Makalah ini berusaha menyoroti kemiskinan dari sudut pandang psikokultural di atas dan bertitik tolak dari analisis yang ada mencoba menawarkan salah satu pemecahan yang bisa ditempuh untuk mengatasi problematika kemiskinan.

Jenis dan Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan, sebagai masalah sosial, sesungguhnya merupakan fenomena lama. P.J. Zoetmulder ketika membahas Serat Kakawin (buku Kalangwang) menggambarkan bahwa pada masa itu seorang raja sering kali beranjang sana, berkeliling-keliling mengitari wilayah kekuasaannya. Di tengah-tengah perjalanannya itu, tak jarang sang raja menyaksikan rakyatnya yang hidup kekurangan, terutama penduduk yang tinggal di pegunungan.1
Selanjutnya, Burger berdasarkan penelitiannya menyimpulkan bahwa kira-kira tahun 1850-an Pemerintahan Hindia-Belanda sesungguhnya sudah merasa resah menyaksikan kemiskinan yang semakin menjadi-jadi di Pulau Jawa. Mereka memang mengaitkan kemiskinan yang terjadi itu melulu dengan pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa yang sangat pesat2, dan sama sekali tidak mengaitkannya dengan cultuur stelsel (tanam paksa).3


Pada dasarnya kemiskinan bisa dibedakan menurut jenis dan penyebabnya. Atas dasar jenisnya, kemiskinan dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Sedangkan bertitik tolak dari penyebabnya, kemiskinan bisa digolongkan menjadi kemiskinan struktural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan natural.4
Kemiskinan absolut, menurut definisi Mar’ie Muhammad, merupakan kondisi di mana seseorang, keluarga, atau sekelompok masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, baik kebutuhan dasar pangan maupun kebutuhan dasar non-pangan.5 Dari definisi tersebut tampak jelas bahwa kemiskinan absolut sesungguhnya terkait erat dengan daya beli. Persoalannya: apakah kriteria untuk kebutuhan dasar tersebut? Biro Pusat Statistik menggunakan patokan (pangan) 2.100 kalori/kapita/hari sebagai garis batas kemiskinan. Dari patokan tersebut pada tahun 2006 ditetapkan bahwa orang yang berpenghasilan kurang atau sama dengan Rp131.256/kapita/bulan (untuk penduduk pedesaan) atau Rp175.324/kapita/bulan (untuk penduduk perkotaan) akan digolongkan sebagai penduduk miskin.6 Dengan titik tolak yang sama—daya beli—Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan pada tahun 2006 sebesar US$2/kapita/hari.7

Sedangkan kemiskinan relatif adalah kemiskinan seseorang, suatu keluarga atau sekelompok orang dalam konteks kondisi perekonomian lingkungan sekitarnya. Dalam sudut pandang ini, bisa saja orang atau sebuah keluarga yang secara absolut bukan tergolong miskin tetap digolongkan sebagai miskin karena orang atau keluarga di sekitarnya jauh lebih kaya.8 Secara real, kemiskinan relatif sesungguhnya menunjuk pada ketimpangan distribusi pendapatan.9
Seseorang, suatu keluarga atau sekelompok masyarakat yang entah karena struktur sosial atau sebab lain tidak bisa menikmati—dalam ukuran keadilan sosial—kemakmuran hasil produksi lingkungan sosialnya itulah yang digolongkan sebagai penderita kemiskinan relatif.
Kemiskinan bisa terjadi karena sistem dan struktur sosial yang tidak ramah terhadap kaum lemah. Pola, prosedur dan syarat-syarat akses terhadap sumber-sumber keuangan yang tidak pro-rakyat miskin, pola hubungan dan diskriminasi gender yang membuat kaum perempuan termarginalisasi secara ekonomis, feodalisme yang memungkinkan para tuan tanah hidup mewah di atas penderitaan buruh tani, merupakan contoh struktur sosial yang bisa melahirkan kemiskinan struktural. Dengan agak provokatif Rena Gazaway mengemukakan,
The basic problem (of poverty) is that people exploit each other. The real problem is not the poor but the attitude of their fellowmen toward them... In every country in the mountains where poverty exists, there are a few rich and powerful people who control country affairs. They stay rich by exploiting the poor.”10

Hal-hal di atas bisa melahirkan apa yang dinamakan kemiskinan struktural. Dengan demikian, kemiskinan struktural pada dasarnya merupakan kemiskinan yang terjadi akibat struktur sosial yang ada.

Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang diderita oleh seseorang, suatu keluarga atau sekelompok masyarakat karena sikap mental seseorang, suatu keluarga atau sekelompok masyarakat itu sendiri. Kebiasaan hidup boros, tidak mau bekerja keras, tidak memiliki rencana masa depan, dan sikap gampang menyerah pada nasib merupakan beberapa contoh sikap mental yang bisa menyebabkan seseorang hidup dalam kemiskinan.
Sedangkan kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi karena faktor alam. Misalnya orang-orang yang hidup di daerah tandus, kering, tidak subur pada umumnya akan hidup dalam kemiskinan.

Di luar kategori-kategori yang biasa disebut oleh para ahli, Ginandjar Kartasasmita mengajukan beberapa pola kemiskinan. Yaitu, persistent poverty (kemiskinan yang terjadi secara turun-temurun); cyclical poverty (kemiskinan yang polanya mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan); seasonal poverty (kemiskinan yang terjadi secara musimam, misalnya kemiskinan yang diderita petani setiap kali musim paceklik); dan accidental poverty (kemiskinan yang terjadi karena suatu peristiwa tertentu, misalnya bencana alam).
Aspek Psikokultural

Di luar kelaziman di mana pada umumnya orang memahami kemiskinan pada konteks struktural, kultural dan natural, Oscar Lewis mengajukan tesis adanya kultur kemiskinan. Kultur kemiskinan bisa saja muncul secara real sama persis dengan gejala kemiskinan kultural, tetapi pada prinsipnya keduanya berbeda. Yang menarik, dari 62 sifat dan ciri budaya kemiskinan sebagaimana dikemukakan oleh Oscar Lewis tersebut,11 titik sentralnya adalah hal yang sifatnya psikologis.12 Di sisi lain, tak bisa ditampik bahwa kemiskinan pun memang berdimensi kultural. Kombinasi antara faktor psikologis dan kultural inilah yang kemudian membentuk faktor psikokultural dalam kemiskinan.

Jelas, bahwa faktor psikokultural ini tidak semata-mata persoalan ekonomi.13 Bahwa secara ekonomis ada hubungan kait-mengait antara kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi (economic growth), hal itu tak bisa dinafikan. Jelasnya, bila pertumbuhan ekonomi (economic growth) tinggi dan diikuti distribusi pendapatan yang berkeadilan sosial, keberhasilan ini dipastikan bisa menekan angka kemiskinan.14 Sebaliknya, bila jumlah orang miskin (absolut) bisa dikurangi, secara agregat hal itu pun akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, Soedjatmoko berkeyakinan bahwa bila kita memang concern pada urgensi pembangunan ekonomi, mau tidak mau secara sadar kita harus mengerahkan faktor-faktor kebudayaan demi percepatan proses pertumbuhan dan perkembangan ekonomi.15

Berbagai teori juga telah membahas pentingnya faktor psikokultural bagi pemecahan persoalan ekonomi (dus, juga persoalan kemiskinan). Misalnya, teori Etika Protestan dan Kapitalisme-nya Max Weber, teori n-Ach-nya David McClelland, teori Perubahan Sosialnya-nya Everett Hagen, juga Asian Drama-nya Gunnar Myrdal.16 Inti dari berbagai teori itu adalah bahwa sikap mental dan kebiasaan seseorang akan sangat memengaruhi pencapaian ekonomisnya. Semakin baik sikap mental dan kebiasaan seseorang, semakin besar peluang dirinya meraih pencapaian-pencapaian ekonomis. Mengikuti tesis Weber, misalnya, bila orang mau bekerja keras, berhemat, dan menunda kenikmatan, secara prinsip ia tidak akan hidup dalam kemiskinan. Dan, semakin seseorang bekerja keras, berhemat, dan bersedia menunda kenikmatan, semakin besar pula peluang dirinya memperoleh pencapaian-pencapaian ekonomis.

Konsekuensi dari realitas di atas adalah bahwa bila mau berhasil, pemecahan persoalan kemiskinan tidak bisa melulu mengandalkan analisis ekonomi. Sebab, bila kemiskinan semata-mata persoalan ekonomi, satu-satunya yang perlu dilakukan hanyalah memberi mereka yang masuk golongan miskin tersebut sumber-sumber pendapatan, dan dengan serta-merta persoalan kemiskinan terpecahkan.17 Dalam realitasnya tidaklah demikian.
Sejalan dengan itu, Theodore W. Schultz mengemukakan bahwa pada hakikatnya terdapat 3 usaha yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertama, meningkatkan kuantitas barang-barang yang bisa diproduksi kembali (reproducable goods); kedua, meningkatkan kualitas orang-orang sebagai agen-agen produktif (productive agents); dan ketiga, menaikkan tingkat keahlian-keahlian produktif (productive arts). Schultz berkesimpulan, dibandingkan dengan penambahan ikhtiar dan modal pada sektor pertama dalam jumlah yang sama, sektor kedua dan ketiga yang secara bersama-sama menentukan efisiensi nasional mempunyai efek yang jauh lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi.18

Peran Strategis Pendidikan

Ketika dalam realitasnya persoalan kemiskinan sangat lekat dengan persoalan psikokultural, pertanyaan terakhir yang mengemuka adalah, strategi apakah yang mestinya ditempuh untuk memutus mata rantai persoalan tersebut dalam usaha menekan dan mengurangi kemiskinan?
Jelas bahwa sikap mental dan kebiasaan seseorang atau sekelompok masyarakat yang manifestasinya terlihat secara real dalam perilaku sehari-hari (wujud sistem sosial kebudayaan) sesungguhnya terkait erat secara jalin-menjalin dengan ide, gagasan, nilai, dan norma yang mereka anut (wujud ideal kebudayaan). Karenanya, usaha mentransformasi aspek psikokultural yang memungkinkan terjadinya kemiskinan perlu langkah strategis dan konsisten. Meminjam istilah Ali Moertopo, diperlukan strategi kebudayaan.19

Di sinilah peran strategis pendidikan mendapatkan konteksnya. Strategi kebudayaan menempatkan pendidikan sebagai salah satu bidang pokok yang harus digarap secara serius guna menunjang keseluruhan proses pembangunan.20 Konkretnya, apabila hingga saat ini kemiskinan di Indonesia tak juga bisa diatasi secara optimal, dan itu salah satu dan terutama merupakan akibat dari beberapa sikap mental yang ditengarai Koentjoroningrat merupakan kelemahan mentalitas orang Indonesia (meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya pada diri sendiri, tidak bisa berdisiplin murni, dan suka mengabaikan tanggung jawab),21 pendidikan semestinya mengambil peran di sana. Proses pendidikan harus mampu mentransformasi sikap mental-sikap mental tersebut dan mengarahkan serta “membentuk” sikap mental baru yang mendukung pembangunan: serba tahu (well informed), sadar perlunya belajar sepanjang hidup (long life education), memiliki kemampuan analisis yang tajam, berpikir secara integratif dan konseptual, menalar secara rasional, kreatif, berani bertanggung jawab, memiliki kepekaan dan solidaritas sosial, memiliki harga diri dan kepercayaan diri, mampu bersaing sekaligus bekerja sama dengan orang lain, dan memiliki moral reasoning yang tajam.22 Untuk mencapai semua itu, pikiran peserta didik mutlak dibebaskan dari segala bentuk absolutisme dan dogma dan ilmu pengetahuan harus diajarkan sebagai metode bukan sebagai doktrin.23

Perkembangan ekonomi dan peningkatan kemakmuran masyarakat yang telah terjadi di Inggris sejak abad ke-18 bisa ditunjuk sebagai contoh dan bukti empiris. Selama beberapa dasawarsa sebelumnya, seluruh kesusasteraan dan bacaan rakyat di Inggris diisi dengan tema-tema yang berorientasi pada achievement yang tinggi.24

Justru karena itu, dalam konteks pembangunan, pendidikan (baca persekolahan) instrumentalis dalam arti sekadar alat pengalihan pengetahuan positif25 harus ditentang. Dalam konteks ini pula, sistem persekolahan (schooling) yang semata-mata bertujuan mentransfer pengetahuan dengan satu-satunya alat evaluasi keberhasilan berupa Ujian Akhir Nasional sesungguhnya tak berperan dan berfungsi apa pun dalam pembangunan dan dengan sendirinya sistem persekolahan semacam itu wajib dirombak!

IV. Penutup

Sebagai masalah sosial, kemiskinan memang harus ditekan agar tidak memicu munculnya masalah-masalah sosial lain. Namun demikian, pendekatan yang menyandarkan sepenuhnya pada analisis ekonomi sebagai upaya menekan kemiskinan tersebut terbukti tidak sepenuhnya efektif. Hal itu terjadi lantaran kemiskinan sesungguhnya juga sangat terkait dengan aspek psikokulutral. Bahkan, dalam sudut pandang tertentu, aspek psikokultural ini jauh lebih dominan dibandingkan dengan aspek ekonomi dalam menentukan berhasil-tidaknya usaha mengatasi kemiskinan.

Dalam alur pemikiran yang semacam itu, pendidikan yang secara ideal merupakan wahana bagi terkikisnya sikap mental dan kebiasaan yang tidak mendukung pembangunan dan tempat bersemainya sikap mental dan kebiasaan yang menyokong usaha pembangunan menjadi krusial. Sayangnya, pengalaman empiris membuktikan bahwa pemerintah belum banyak memberikan perhatian serius dan fundamental terhadap bidang strategis ini.
Maka, bila aspek psikokultural sungguh-sungguh disadari memiliki peran strategis untuk menekan angka kemiskinan, pilihannya tinggal satu: kita harus segera merombak sistem persekolahan yang sekarang ini ada agar berfungsi secara fundamental demi pembangunan atau membiarkannya berjalan apa adanya seperti yang selama ini terjadi dengan konsekuensi kita akan tetap tertatih-tatih menghadapi kemiskinan yang selalu membayang!

* * *

Referensi

Finney, Joseph C. (ed). 1969. Culture Change, Mental Health and Poverty. USA: A Clarian Book.
Galbraith, John Kenneth. 1979. Hakikat Kemiskinan Massa. Jakarta: Sinar Harapan.
Kartasasmita, Ginandjar. 1993. Kebijakan dan Strategi Pengentasan Kemiskinan. Malang: Universitas Brawijaya Fakultas Ilmu Administrasi.
Koentjoroningrat. 1982. Kebudayaan, Mentalitet & Pembangunan. Cetakan ke-9. Jakarta: Gramedia.
Marzali, Amri. 2005. Antropologi dan Pembangunan. Jakarta: Kencana.
Moertopo Ali. 1978. Strategi Kebudayaan. Jakarta: CSIS.
Mubyarto. 1987. Ekonomi Pancasila. Jakarta: LP3ES.
Putra, Nusa. 1993. Pemikiran Soedjatmoko tentang Kebebasan.Jakarta: Gramedia bekerja sama dengan Yayasan Soedjatmoko.
Sastrapratedja et.al (ed). 1986. Menguak Mitos-mitos Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Soedjatmoko. 1984. Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Suparlan, Parsudi (ed). 1993. Kemiskinan di Perkotaan: Bacaan untuk Antropologi Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor.
Koran Tempo, 12 Juli 2004.
Berita Resmi Statistik No 47/IX/1 September 2006.
1 Soedjatmoko, Dimensi Manusia dalam Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 1984), hlm. 156
2 Pandangan Pemerintah Hindia-Belanda tersebut tentu saja sangat politis sebab menurut Thomas Robert Malthus, kemiskinan memang benar merupakan salah satu akibat dari tekanan pertumbuhan penduduk, tetapi itu terjadi di Eropa bukan di wilayah lain. Baca John Kenneth Galbraith, Hakikat Kemiskinan Massa (Jakarta: Sinar Harapan, 1979), hlm. 24. Bahkan, Dawam Rahardjo mengemukakan bahwa pernyataan yang mengatakan bahwa kemiskinan terjadi akibat jumlah penduduk yang berlebihan sesungguhnya hanyalah mitos. Yang benar, kemiskinan itu terjadi karena adanya monopoli dan manipulasi oleh kekuatan ekonomi dan politik dominan baik yang resmi maupun yang tidak resmi. Baca Dawam Rahardjo dalam M. Sastrapratedja, et.al. (ed), Menguak Mitos-mitos Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 273.
3 Soedjatmoko, op.cit.
4 Galbraith meragukan apakah faktor natural memang bisa menjadi penjelasan atas terjadinya kemiskinan. Ia memberikan contoh: Jepang, Singapura, Hongkong, dan Korea Selatan secara natural bukanlah wilayah yang subur. Tetapi, siapa pun mengakui bahwa keempat negara tersebut bukanlah termasuk negara miskin. Sebaliknya, Virginia Barat yang secara natural memiliki tanah atau alam yang kaya justru merupakan negara bagian paling rendah income per capita-nya dibandingkan seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Baca: John Kenneth Galbraith, op.cit. hlm. 13.
5 Mar’ie Muhammad dalam Koran Tempo, 12 Juli 2004. Bandingkan juga dengan definisi yang dikemukakan oleh Ginandjar Kartasasmita. Baca: Ginandjar Kartasasmita, Kebijakan dan Strategi Pengentasan Kemiskinan (Malang: Universitas Brawijaya Fakultas Administrasi, 1993), hlm. 2.
6 Biro Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik No 47/IX/1 September 2006.
7 Untuk konteks Indonesia, garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia ini dipandang terlalu tinggi. US$2/kapita/hari dengan asumsi hari kerja = 20 hari/bulan dan US$1 = Rp9.100,00 setara dengan kurang lebih Rp360.000,00/kaputa/bulan.
8 Bdk. Ginandjar Kartasasmita, op.cit.
9 Mar’ie Muhammad, op.cit.
10 Joseph C. Finney (ed), Culture Change, Mental Health and Poverty (USA: A Clarian Book, 1969), hlm. 53
11 Oscar Lewis membedakan antara budaya kemiskinan (culture of poverty) dan kemiskinan karena budaya (cultural poverty). Manifestasi dari keduanya bisa saja sama, tetapi peran dasar dari culture of poverty dan cultural poverty berbeda. Dalam sudut pandang cultural poverty kultur tertentu dianggap sebagai penyebab kemiskinan, sementara dalam sudut pandang culture of poverty, perilaku yang sama dipandang sebagai reaksi yang dilakukan kaum miskin terhadap kedukan mereka dalam masyarakat yang bercirikan strata kelas, sangat individualistis dan berciri kapitalisme. Baca Oscar Lewis dalam Parsudi Suparlan (ed), Kemiskinan di Perkotaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hlm. 5
12 Joseph C. Finney (ed), op.cit., hlm. xii.
13 Oscar Lewis dalam Joseph C. Finney (ed), ibid., hlm. 149.
14 John Stuart Mill membedakan dengan tegas antara produksi dan distribusi. Ketimpangan pendapatan yang menjadi salah satu sebab kemiskinan pada dasarnya bukanlah soal produksi melainkan soal distribusi. Dan sejauh menyangkut persoalan distribusi, itu sebenarnya hanya menyangkut persoalan human and political will. Baca: Mubyarto, Ekonomi Pancasila (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 9.
15 Soedjatmoko, op.cit., hlm. 6-7.
16 Marzali, Amri, Antropologi dan Pembangunan (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 92-101.
17 Oscar Lewis, ibid.
18 Soedjatmiko, op.cit., hlm. 24.
19 Ali Moertopo, Strategi Kebudayaan (Jakarta: CSIS, 1978), hlm. 3-9.
20 Bdk. Ali Moertopo, ibid., hlm. 44-50.
21 Koentjoroningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 43-49
22 Nusa Putra, Pemikiran Soedjatmoko tentang Kebebasan (Jakarta: Gramedia bekerja sama dengan Yayasan Soedjatmoko, 1993), hlm. 36.
23 Ibid.
24 Koentjoroningrat, op.cit., hlm. 77.
25 Nusa Putra, op.cit.