Senin, 02 Maret 2009

Pernikahan Yesus


Memberi Hak kepada Yesus untuk Menjadi Manusia
Judul Buku : Pernikahan Yesus
Penulis : Maggy Whitehouse
Tebal : 321 + vii
Penerbit : Terra Rosa
Harga : Rp46.000

“… tidak ada bukti alkitabiah mana pun yang mengatakan bahwa Dia (Yesus) tidak menikah. Memang, di dalam Alkitab atau teks historis tidak disebutkan adanya seorang istri (Yesus), tetapi itu tak membuktikan apa pun” begitu penulis buku ini, Maggy Whitehouse yang seorang teolog dan ahli metafisika Alkitab mengawali pembahasannya.

Kemudian penulis melanjutkan, “Kebanyakan perempuan pada waktu itu (zaman Yesus) tidak tampak dalam dokumen sejarah. Kita hanya tahu bahwa Simon Petrus memunyai istri sebab Yesus menyembuhkan ibu mertua Petrus. Injil tidak menyebutkan istri para murid. Tetapi, itu bukanlah alasan untuk beranggapan bahwa (para murid) tidak beristri” (hlm. 2).

Persoalan mengenai apakah Yesus memang menikah (dan memiliki keturunan) atau tidak, pernah menjadi perdebatan seru beberapa tahun lalu ketika novel The Da Vinci Code diluncurkan oleh penulisnya, Dan Brown. Menurut The Da Vinci Code, Yesus menikah dengan Maria Magdalena dan memiliki keturunan yang sekarang tinggal di Prancis. Tak urung, novel ini pun disambut gegap gempita oleh berbagai buku lain yang berusaha menangkis dan mematahkan teorinya. Hal itu, tentu saja, terjadi karena Kekristenan selama ini meyakini bahwa Yesus hidup selibat (tidak pernah menikah).

Yang menjadi soal adalah, orang Yahudi—Yesus juga orang Yahudi—dan umat agama lain tetap berkeyakinan bahwa Yesus hidup sebagai manusia normal dan dengan demikian pasti Ia menikah. Status pernikahan-Nya sama sekali tidak mengurangi status Yesus sebagai seorang nabi. Apalagi, berdasarkan tradisi Yahudi, seseorang justru hanya akan diakui sebagai rabi dan guru apabila seseorang itu menikah. Diperkuat dengan kenyataan bahwa orang Yahudi berpegang teguh pada perintah “Beranakcuculah dan bertambah banyak” (Kej. 1:27) dan pernyataan “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja” (Kej. 2:18) serta tradisi bahwa seorang laki-laki Yahudi pertama-tama harus mempelajari Taurat (sebagai orang Yahudi Yesus juga mempelajari Taurat) sedangkan untuk mempelajari Taurat syaratnya adalah menikah, premis dalam buku ini bahwa Yesus kemungkinan besar menikah mendapatkan pijakannya.

Yang baru dalam buku ini mengenai status pernikahan Yesus tersebut adalah—berbeda dengan The Da Vinci Code—penulis berpendapat bahwa Yesus telah menikah pada usia sekitar 14 tahun. Pendapat ini penulis dasarkan pada tradisi pada waktu itu. Bahkan, seandainya Dan Brown benar bahwa Maria Magdalena adalah istri Yesus—Maggy tidak sependapat bahwa Maria Magdalena adalah istri Yesus—pastilah ia bukan istri pertama-Nya. Jadi, siapakah istri Yesus ketika Dia berumur 14-32 tahun (tahun-tahun di mana Injil tidak menceritakan kisah hidup-Nya—tahun gelap)? Penulis hanya berkeyakinan bahwa pada usia itulah Yesus membangun keluarga, tetapi sama sekali tidak bisa menunjukkan secara definitif siapakah istri-Nya. Pertanyaan lain—yang juga menjadi pertanyaan penulis dan barangkali karena itu perlu pembahasan lain—jika Yesus memang menikah, sementara Dia itu Ilahi, apakah keturunan-keturunan-Nya juga Ilahi?

Buku ini terdiri dari 11 bab: Dongeng, Anggapan dan Keyakinan; Latar Belakang Sosio-Ekonomi; Kehidupan Perempuan Yahudi; Pernikahan di Masyarakat Yahudi; Hak-hak Perempuan, Pernikahan dan Perceraian; Dosa Asal dan Sifat Kewanitaan Ilahi; Yesus dan Anak Dara; Ajaran Yesus tentang Pernikahan; Hidup Selibat, Tujuan dan Kelemahannya dalam Kehidupan Spiritual; Maria Magdalena, Perempuan Berada; dan Pernikahan Kudus.
Setiap awal bab (mulai Bab 2) diawali dengan cerita rekaan (fiksi) mengenai kehidupan Yeshua (Yesus dalam bahasa Aram) yang bila dibaca tersendiri dari awal hingga bab terakhir akan menjadi serangkaian kisah—sekali lagi: fiksi!—yang berfokus pada kehidupan pernikahan Yeshua, mulai dari pertunangannya dengan Tamar hingga pertemuannya dengan Maria Magdalena.

Lilith

Sebagai buku yang ditulis oleh seorang penulis yang mendalami Kabbalah (sistem mistik sebagai sumber pengetahuan mengenai tradisi lisan zaman Yesus), buku ini memang akan memberikan wacana baru dalam penafsiran Alkitab.

Soal penciptaan, misalnya. Selama ini Gereja mengajarkan bahwa manusia pertama adalah Adam dan Hawa. Melalui penyelidikan tradisi lisan ketika itu, ajaran tersebut mendapat sanggahan.
Kejadian 1:27-28 menulis

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakannya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak;…”
Selanjutnya di Kejadian 2: 18 dikatakan, “… tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya….” (penolong di sini merujuk pada Hawa).

Pembacaan kedua kutipan di atas sekaligus akan menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertama, kalau begitu, pada awalnya Tuhan menciptakan sepasang manusia (perhatikan kata “mereka”). Kedua, tetapi mengapa Allah mengatakan “Tidak baik bila manusia (Adam) seorang diri saja, sehingga perlu menciptakan seorang penolong baginya? Ketiga, jika demikian, ke mana perempuan pertama yang diciptakan Tuhan?

Pertanyaan-pertanyaan itu tidak terjawab dalam Alkitab, tetapi terjawab dalam tradisi lisan. Dalam tradisi lisan dikenal legenda Lilith. Dikatakan bahwa Lilith merupakan perempuan pertama yang diciptakan bersama dan sederajat dengan Adam. Tetapi, ia menolak tunduk kepada Adam (selama bercinta) dan kemudian ia pergi meninggalkan Taman Eden. Adam menjadi sendirian dan karena itu Allah mengatakan, “Tidak baik bila manusia seorang diri saja” dan kemudian Dia menciptakan Hawa sebagai pengganti Lilith.

Lilith sendiri kemudian kawin dengan Setan/Samael (tergantung versinya). Dan, sebagai hukuman atas ketidaktaatannya terhadap Adam, Lilith diceritkan memiliki tanduk (apakah hal ini ada kaitannya dengan penggambaran orang-orang Kristen yang sering melukiskan Setan sebagai manusia bertanduk mengerikan?) dan dengan tanduk tersebut ia menghancurkan anak-anak Hawa yang menjadi pesaingnya. Konon, menurut legenda, karena menolak tunduk (dan dengan sendirinya berarti berambisi untuk berkuasa) dan merasa diri lebih rendah daripada Adam, Lilith selalu berusaha merebut kekuasaan Adam. Tentu saja Lilith tidak pernah bisa mati karena ia tidak memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat (bdk. Kejadian 2:17).

Membaca legenda Lilith, kita bisa dengan mudah memahami mengapa ada sementara pandangan yang mengatakan bahwa perempuan yang ingin berkuasa pada dasarnya adalah jelmaan Iblis. Pandangan itu sedikit banyak berakar pada legenda ini. Jelasnya, bila Hawa menjadi (menurut buku tersebut lebih tepat dipahami sebagai “dijadikan”) biang kerok kejatuhan manusia ke dalam dosa, Lilith merupakan kambing hitam para perempuan yang menolak tunduk atau ingin memperoleh kekuasaan di atas laki-laki.

Perspektif Baru

Yang juga cukup menarik dari buku ini adalah menyangkut tafsir peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa. Selama ini kita diajar untuk meyakini bahwa dosa asal kita berasal dari kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa (terutama Hawa atas bujukan iblis) karena menolak patuh pada perintah Allah untuk tidak memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat (baca Kejadian 3). Tetapi, penulis buku ini memberikan tafsir lain atas peristiwa tersebut.
Maggy menulis,
Bisa jadi, secara intelektual Adam dan hawa memahami perintah untuk tidak memakan buah dari pohon pengetahuan (yang baik dan yang jahat), tetapi mereka tidak memiliki pengetahuan mengenai gagasan sebab-akibat atau kebijaksanaan. Mereka adalah anak-anak yang hidup dalam sebuah dunia yang sempurna di mana apa pun yang lain diizinkan untuk mereka. Mereka tidak perlu mengambil keputusan apa pun agar bisa hidup bahagia. Memakan atau tidak memakan (buah) dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat merupakan pilihan pertama yang ada dan, seperti anak kecil mana pun, Hawa tidak bisa melihat mengapa pilihan itu tidak boleh dilakukan. Itu tidak masuk akal! (hlm. 183).

Maggy kemudian memproyeksikan kejadian itu pada kehidupan kita saat ini di mana setiap saat kita dihadapkan pada berbagai pilihan dan harus mengambil keputusan atas berbagai pilihan tersebut berdasarkan kehendak bebas kita agar kita tetap bisa hidup. Dalam konteks inilah penulis justru mengapresiasi keberanian Hawa mengambil keputusan memetik dan memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Ia telah mengajarkan dan meninggalkan pelajaran amat berharga bagi umat manusia yang hidup ribuan tahun kemudian. Tidakkah saat ini dalam kehidupan sehari-hari kita pun harus selalu berani mengambil keputusan seperti Hawa? Dari sudut pandang inilah, menurut penulis, seharusnya kita menghormati Hawa sebagai manusia pertama yang berani mengambil keputusan, dan yang kemudian mengerti apa artinya sebab-akibat (pelajaran akan kearifan). Kita yang hidup ribuan tahun setelah Hawa bisa mewarisi pelajaran sebab-akibat tersebut karena Hawa berani mengambil keputusan!

Hal lain yang tampaknya ingin digugat oleh penulis buku ini adalah mengenai Betlehem historis yang selama ini diyakini merupakan tempat kelahiran Yesus. Bukti arkeologis, menurut penulis, menunjukkan bahwa pada zaman Yesus tidak pernah terdapat permukiman bernama Betlehem di Yudea. Lalu mengapa selama ini kita memahami Yesus dilahirkan di kandang di Betlehem? Penulis berpendapat, itu karena betapa pentingnya Yesus harus merupakan keturunan Raja Daud sehingga Betlehemnya Raja Daud bagaimanapun harus “dipaksa” berada di Yudea.

Perlu Kearifan

Pepatah kuno mengatakan, “The way of seeing is the way of not seeing”. Ketika kita menggunakan cara pandang atau persepsi tertentu dalam melihat persoalan, sesungguhnya kita sedang menutup mata kita untuk tidak melihat persoalan tersebut dari cara pandang atau perspektif lain. Tampaknya ini juga akan berlaku ketika kita membaca buku ini.
Apabila ketika membaca buku ini kita berpegang teguh pada doktrin mainstream kekristenan, tak ayal buku ini akan merupakan salah satu buku paling menyesatkan. Akan tetapi, bila kita bersedia memahaminya dari sudut pandang lain—tampaknya buku ini harus dipahami dengan perspektif feminisme—bisa dipastikan kita akan menikmati petualangan ide dan tafsir mengenai banyak hal yang ada di dalam Alkitab yang begitu mengasyikkan. Di situlah diperlukan kearifan!
Di luar keasyikan yang bisa kita nikmati ketika membaca buku ini, pada akhirnya kita juga akan bertanya-tanya, “Jangan-jangan selama ini kita telah memaksa Yesus untuk sekadar menjadi Tuhan tetapi tidak pernah memberikan hak kepada-Nya untuk sungguh-sungguh menjadi manusia.” Dan bila pada akhirnya kita menyetujui gagasan buku ini tetapi kemudian merasa tergoncang, jangan-jangan justru karena itu selama ini kita telah membangun dasar iman kita kepada Kristus di atas pasir (Matius 7:26).

Semoga tidak, sehingga kita benar-benar bisa tahu di atas dasar apa iman kita kepada Kristus harus kita letakkan dan kemudian mendekap erat iman itu sebagaimana kalimat terakhir amat manis yang digunakan oleh penulis buku ini: “Seperti Yesus yang mengetahui dan mendekap erat istri-Nya!”

S. Rahoyo
Penulis, tinggal di Semarang