Kamis, 28 Mei 2009

Orang Miskin Dilarang Jadi Menteri

Ini saya lihat di Metro TV tadi pagi. Rupanya kemarin ada debat tim sukses dari ketiga capres/cawapres di DPD. Di sana hadir Fuad Bawazier (tim sukses JK-Wiranto), Ruhut Sitompul (tim sukses SBY-Boediono) dan Permadi (tim sukses Megawati-Prabowo).

Saya sangat terkejut dengan ungkapan Permadi. Barangkali konteksnya adalah, seorang narasumber yang lain mempertanyakan bagaimana seorang Prabowo yang begitu tajir akan bisa memperhatikan orang miskin.

Permadi--seingat saya dulu adalah politisi PDIP--mengatakan begini, "Kalau orang miskin jadi menteri, dia akan korupsi. Pasti!! Pasti itu!!!!" (dengan nada ucapan penuh tekanan)

Saya tercengang... Masya Allah!! Benarkan orang miskin bila jadi menteri pasti akan korupsi? Premis dari mana ini? Saya berusaha mengerti, barangkali dia emosi jagonya diserang... tapi dengan mengatakan "Orang miskin kalau jadi menteri pasti korupsi!" sesungguhnya menggambarkan apa yang ada di alam bawah sadar Permadi mengenai orang miskin. Setidak-tidaknya, orang miskin tidak boleh jadi menteri karena hanya akan korupsi. Jabatan menteri adalah hak istimewa orang kaya.

Oh, betapa kasihannya dikau orang miskin. Oleh negara engkau menjadi beban (yang perlu disubsidi segala macam), dalam pemilu engkau diperebutkan ke sana-kemari oleh para politisi, tapi oleh politisi yang sama engkau dikatakan hanya berbakat menjadi koruptor bila punya jabatan.

Kapan oh kapan... orang miskin berhenti menjadi bulan-bulanan politisi????

Ekonomi Kerakyatan – (Misi + Program) = Prabowo

Sangat tidak biasa, semalam saya menonton TVRI. Biasanya saya hanya menonton TVRI pada minggu malam dalam acara Minggu Malam Bersama Slamet Raharjo. Saya agak memfavoritkan acara ini karena komentar-komentar Slamet Raharjo tetapi terutama Arswendo yang selalu nakal, menggelitik, tapi realistis di luar dugaan (komentar khas seniman yang sering membuat saya terpingkap-pingkal!!). Kalau pada akhirnya semalam saya memutuskan untuk tetap menonton TVRI, itu karena tema diskusi panel malam itu adalah Ekonomi Kerakyatan, tema yang hari-hari belakangan ini menjadi salah satu persoalan yang banyak diributkan. Ketertarikan saya untuk menonton sampai habis acara tersebut menjadi semakin besar ketika narasumber yang dihadirkan untuk membahas tema di atas adalah Prabowo, sang cawapres 2009. "Nah, ini dia!" begitu aku berbisik pada diriku.

Semula saya berharap, sang cawapres akan memaparkan langkah-langkah konkret apa yang akan ia lakukan (bahasa kerennya: misi dan program) untuk meng-"counter", merevisi, atau dalam bahasa beliau “merubah” (menurut aturan bahasa Indonesia kata ini salah; yang benar: mengubah!) sistem ekonomi yang sekarang ini dicelanya sebagai salah. Saya menanti-nanti sang cawapres mengatakan, “Tahun 2011 kemiskinan turun menjadi 1%, langkah-langkah saya ini ini ini. Tahun 2012 pengangguran 0%, langkah-langkah saya ini ini ini. Pertumbuhan Ekonomi pada akhir 2014 mencapai 2 digit. Langkahnya ini ini ini” dst.

Pada mulanya beliau memang mengatakan (kira-kira), ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang tujuannya menyejahterakan sebagian besar rakyat (Dalam pemaparan berikutnya beliau secara lebih spesifik menyebut petani, pedagang kecil, nelayan, dsb.). Ok! Tapi, ekonomi pasar (neoliberalisme, ekonomi penjajahan, ekonomi kapitalis, self regulating market, atau apalah namanya) pun pada dasarnya punya tujuan itu. Doktor dari UI lalu menimpali, ekonomi kerakyatan itu intinya adalah sistem ekonomi dengan hati nurani. Hemm… Siapa pun yang pernah membaca “Ekonomi Pancasila”-nya Mubyarto tahu, itulah persisnya yang dulu dimaksudkan oleh Mubyarto ketika ia menggagas Ekonomi Pancasila yang kiranya kini disebut sebagai Ekonomi Kerakyatan tersebut. Sistem Ekonomi Pancasila (bagi Mubyarto) tidak menghendaki adanya free fight liberalism. (Dan, sungguh di luar dugaan saya bahwa ternyata buku yang saya beli 15-an tahun lalu tersebut merupakan hasil simposium di UGM di mana Boediono adalah orang yang mendampingi Mubyarto ketika itu. Ini disampaikan Tonny A. Prasetiantono dalam Kompas dua atau tiga hari lalu). Jadi, ya sudah… saya tunggu saja pemaparan misi dan program dari sang cawapres!

Sayang seribu sayang, sepanjang hampir satu jam saya menonton acara itu, harapan saya tersebut sama sekali tak terjawab. Saya jauh lebih banyak disuguhi pidato tanpa isi (sang cawapres lebih banyak hanya mengkritik dengan mengatakan “APBN sekian trilyun, petani hanya kebagian 1,6%; jutaan petani menjadi nasabah BRI tapi dananya untuk membiayai proyek besar; pemerintah memberikan stimulus ekonomi sekian trilyun, coba itu diberikan petani; kemiskinan bla bla bla; pengangguran bla bla bla). “Ah, kalau cuma ngomong begitu sih tidak perlu cawapres, seorang mahasiswa pun bisa asal rajin menghafal data” bisik saya dalam hati.

Lebih menyedihkan lagi ketika sang cawapres harus menjawab pertanyaan-pertanyaan panelis (ada tiga panelis, tapi nama yang sangat ingat cuma Sri Edi Swasono, satu professor dari Universitas Andalas, satu lagi doktor entah siapa). Para panelis memberikan pertanyaan-pertanyaan yang ternyata sama dengan apa yang saya harapkan: misi dan program konkret.

Misalnya,

Ini yang tanya Sri Edi Swasono (kira-kira): Anda ini ketua Asosiasi Pedagang Pasar (atau apa tepatnya!). Dan menurut penelitian (penelitian usang), munculnya Carrefour di mana-mana banyak menggusur pedagang-pedagang tradisional. Apa rencana Anda? Prabowo menjawab, intinya: Tadinya saya juga tidak menyangka diminta menjadi ketua asosiasi bla bla bla. Saya mendapat laporan atau data bahwa setiap minggu (atau setiap hari?) ada satu pasar tradisional yang dibakar bla… bla… bla…. Soal Carrefour dan program konkret apa bagi para pedagang kecil itu sendiri tidak pernah dijawab.

Masih dari Edi Swasono: persoalan orang miskin ketika berhadapan dengan bank adalah mereka tidak mampu bayar bunga (dalam acara yang sama pernyataan ini disanggah Doktor dari UI) dan tidak memiliki jaminan. Pertanyaan Edi Swasono: Apakah UU Perbankan akan diubah? Jawaban Prabowo: nanti kita kaji (suara di televisi saya tidak jelas!). Jawaban ini diberikan setelah Edi Swasono mengingatkan bahwa dia mengajukan pertanyaan mengenai UU Perbankan dan belum dijawab.

Ini pertanyaan dari Profesor di Universitas Andalas: rakyat kecil itu tersebar di desa-desa yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Bagaimana agar nantinya merekalah yang menyubsidi pemerintah dan bukan pemerintah yang menyubsidi mereka (pertanyaan amat cerdas!). Sang cawapres memang banyak omong, sampai si pembawa acara susah memotongnya, tapi sama sekali tidak pernah menjawab pertanyaan itu.

Pertanyaan doktor dari UI: Anda mengatakan hutan kita akan ditanami tanaman produktif (kalau tidak salah dengar sang cawapres menyebut aren) untuk menghasilkan bioenergi sehingga kita bisa swasembada energi dan bahkan mengekspornya. Uangnya dari mana? Apakah kita tidak akan membayar utang dan akan ngemplang? Jawaban sang cawapres: Kita tidak akan pernah mengemplang utang. Kita akan minta rescheduling dan uang cicilan itu kita pakai untuk menanami hutan… dalam sekian tahun nanti utangnya kita bayar dengan hasil hutan tersebut. (Hemmm….)

Masih pertanyaan dari doktor UI: bagaimana mencapai pertumbuhan ekonomi 2 digit? Jawaban sang cawapres: (setelah bicaranya ngelantur ke sana kemari) saya sudah diskusikan dengan beberapa ahli ekonomi dari Indonesia juga dari luar negeri dan kesimpulannya kita bisa. Bisanya bagaimana? Tak ada jawaban!!!!

Masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain. Tapi polanya sama: sang cawapres memang banyak omong tapi sama sekali tidak pernah menjawab pertanyaan para panelis yang sesungguhnya mengarahkan sang cawapres untuk menguraikan misi dan program konkretnya. Sangat disayangkan juga bahwa si host kurang cerdas menggali, mengulang pertanyaan, atau mempertegas pertanyaan supaya jawaban pak cawapres tidak ngelantur ke sana-ke mari, kritik sana kritik sini, tapi tanpa tawaran solusi konkret! Para panelis, maaf, setali tiga uang. Pertanyaannya tidak dijawab pun diam saja (khas acara TVRI??!).

Karena bosan, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan menonton tayangan itu. Saya lalu pergi keluar rumah untuk mencari bakmi rebus bersama istri saya. Di tengah jalan saya jadi ingat penjual jamu di pasar kampung saya sewaktu saya kecil. Dia sering mengatakan begini (dalam bahasa Jawa yang sangat memukau), “Mau kaya itu gampang. Beli saja ayam… ayamnya ayam betina. Ayam betina beranak-pinak (dalam bahasa Jawa sang penjual jamu mengatakan, ‘manak manak manak manaaaaak) lalu dijual; dibelikan kambing. Kambingnya kambing betina, beranak-pinak lalu dijual; dibelikan sapi. Sapinya sapi betina, beranak-pinak lalu dijual; dibelikan mobil. Sang penjual jamu selalu berhenti di kalimat itu; tentu saja karena tidak ada mobil betina. Seandainya ada, mungkin dia akan lanjutkan begini, “mobilnya mobil betina, beranak-pinak lalu dijual; dibelikan kereta api. Kereta apinya betina, beranak-pinak lalu dibelikan pesawat …” (menggelikan!)

Oh, tapi maaf, ini sama sekali bukan black campaign. Saya cuma pengin belajar menjadi pemilih yang rasional. Moga-moga KPU kali ini tidak melupakan saya lagi; karena jauh-jauh hari saya sudah mendaftar ke PPS (pileg lalu saya jadi anak tiri yang tidak diikutsertakan dalam pemilu), saya punya KTP, saya juga bayar pajak! Namun demikian, seandainya sudah saya bilang ini bukan black campaign dan tetap dianggap black campaign ya, sudah… seluruh pernyataan saya di atas di-off the record-kan saja!!

www.stefanusrahoyo.blogspot.com

Senin, 25 Mei 2009

PK Ojong dan Capres 2009

Salah satu hal yang sangat mengesan ketika saya membaca biografi PK Ojong (salah satu pendiri Kelompok Kompas Gramedia) adalah sikap tegasnya untuk membedakan antara kepentingan pribadi dan kepentingan dinas. Diceritakan di sana bahwa ketika Ojong akan berangkat ke kantor dan istrinya menumpang di mobilnya, Ojong tidak pernah mau menyimpang jalan sekadar untuk mengantar istrinya itu sampai di tempat tujuan. Alhasil, sering kali istri Ojong harus nyambung dengan angkot.

Menurut Ojong, adalah tidak etis dia mengantar istrinya ke tempat tujuan dengan menggunakan mobil dan fasilitas kantor (Padahal, itu adalah kantor yang ia dirikan sendiri). Baginya, menyimpang jalan hanya untuk mengantarkan istrinya merupakan salah satu bentuk KORUPSI!!!

Konon, itu merupakan salah satu nilai yang ia tanamkan di perusahaannya.

Mengingat kembali apa yang saya baca mengenai PK Ojong tersebut memaksa saya untuk merenungkan perilaku capres yang akan berebut kekuasaan tanggal 8 Juli 2009 nanti.

Dalam sepanjang ingatan saya, ada seorang capres yang ketika menjelang pemilu pileg lalu begitu aktif berkampanye ke sana-kemari padahal ia adalah seorang pejabat negara. Saya tidak tahu apakah ketika selama masa kampanye tersebut sang pejabat ini memang cuti.

Kini, ketika telah mendeklarasikan diri sebagai capres 2009, sang pejabat ini pun sibuk bersafari ke sana-kemari. Dalihnya, tugas kenegaraan mengunjungi rakyat... Anehnya, ketika di Pasar Johar, sang pejabat ini sempat berucap: Nanti kalau saya terpilih jadi presiden, kredit bank untuk para pedagang dipermudah (INI JELAS KAMPANYE!!!).

Nah... setahu saya, sang pejabat ini digaji tinggi dengan berbagai fasilitas kelas satu bukan untuk berkampanye. Kok waktu dinasnya digunakan untuk kampanye dirinya?

Tentu persoalannya tidak seremeh masalah gaji dan fasilitas. Persoalan pokoknya adalah: sang calon presiden ini tidak mampu membedakan antara kepentingan dirinya dan kepentingan dinas. Apa yang bisa kita harapkan dari orang semacam itu untuk memberantas korupsi?

Oh... ternyata sang capresku belum mampu menandingi Pak Ojong yang seumur hidupku sama sekali tak pernah kulihat wajahnya dan kepadanya saya tidak pernah membayar pajak untuk membayar gajinya.

Sedihnya aku punya capres semacam itu!!!!

Selasa, 19 Mei 2009

Unek-unek pilpres

Beberapa hari ini aku berkeluh kesah dengan diriku sendiri soal pilpres Juli nanti. Saat pileg lalu aku memang tidak terdaftar sebagai pemilih (padahal punya KTP, bayar pajak pula). Ya sudah, aku gak nyesal... soalnya jujur saja, aku sendiri muak dengan para politisi itu. Terus terang, seandainya pun aku dapat undangan milih waktu itu, aku akan golput. Bagiku, golput sadar itu jauh lebih baik daripada milih tanpa sadar apalagi sekadar karena uang.

Kali ini aku bertanya-tanya lagi. Bagaimana mungkin di antara para capres dan cawapres itu bisa dengan tenang tanpa beban masa lalu... seolah-olah tanpa dosa. Sepengetahuanku... ada catatan-catatan bagi mereka:
1. Ada capres yang ayahnya (?) sukses membangun kerajaan bisnis karena adanya sistem benteng waktu itu. Sistem benteng ketika itu muncul karena sentimen ras tertentu dan untuk "mematikan" bisnis etnis tertentu. Bagaimana mungkin aku bisa percaya bahwa latar belakangnya itu sedikit-banyak tidak mewarnai pandangan-pandangannya saat ini?

2. Semua tahu, bahwa menjelang SI 1998 ada jenderal yang membiarkan atau kabarnya malah dengan sengaja membentuk PAM Swakarsa.

3. Tak kalah penting adalah para korban Trisakti dan Semanggi.

4. Masih ada kaitan dengan itu adalah para aktivis yang diculik dan disiksa, beberapa di antaranya tidak pernah kembali ke keluarganya hingga hari ini.

5. Aku pun masih ingat peristiwa Kudatuli. Aku tak tahu, kenapa pihak yang dulu dizalimi dan kemudian hingga tahun 2004 berkesempatan memegang tampuk kekuasaan toh tak sanggup mengungkap tuntas siapa para aktor intelektual di balik semua itu.

Kini orang-orang itu sering nongol di televisi, tanpa malu... tanpa pernah minta maaf... menyakitkan sekali rasanya melihat semua itu.

Jujur, terus terang, aku pernah berharap orang seperti Fajrul Rachman bisa maju menjadi capres. Sayang, sistem mengandaskannya jauh sebelum turun laga. Kenapa orang-orang muda seperti dia, yang tak terkait dengan dosa politik masa lalu, tak punya kesempatan untuk itu?

Ah... betapa memuakkannya tontonan di negeri ini.