Rabu, 02 Desember 2009

Jaksa Ester dan Mbah Minah

Beberapa televisi swasta hari ini menyiarkan vonis yang dijatuhkan kepada Jaksa Ester. Jaksa Ester adalah Jaksa yang dituduh menggelapkan barang bukti berupa 300 butir ekstasi. Majelis hakim menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara; 6 bulan lebih ringan daripada tuntutan jaksa.

Ketika mendengar berita di atas, saya sontak teringat Mbah Minah, nenek-nenek di Purwokerto yang divonis 1,5 bulan karena mengambil 3 buah kakao. Saya tidak tahu-menahu tentang hukum karena saya memang bukan ahli hukum. Saya hanya bertanya-tanya, apakah memang ada perbedaan antara penggelapan dengan pencurian. Menurut saya, keduanya setali tiga uang. Mencuri berarti mengambil barang yang bukan miliknya; sedangkan menggelapkan berarti korupsi. Korupsi artinya mengambil barang atau uang atau hal-hal lain yang juga bukan miliknya. Jadi, sesungguhnya tidak ada perbedaan antara mencuri dengan menggelapkan. Dalam kasus Jaksa Ester, ia mengambil 300 buah ekstasi yang bukan miliknya; berarti Ester mencuri walaupun istilah yang dipakai adalah penggelapan.

Yang menjadi pertanyaan, sama-sama terhadap tindakan pencurian, mengapa tuntutan dan vonis yang dijatuhkan terhadap Jaksa Ester dan Mbah Minah sangat tidak proporsional? Saya coba berhitung, 3 buah kakao kalau mau diuangkan mungkin sekitar Rp3.000,00; 300 ekstasi saya tidak tahu berapa harganya. Tapi, seandainya per butir ekstasi bisa dijual Rp10.000,00 saja; ekstasi yang digelapkan Jaksa Ester seharga Rp3.000.000,00.

Di situlah hati saya memberontak, betapa tidak adilnya vonis itu. Mbah Minah mencuri 3 buah kakao seharga Rp3.000,00 divonis 1 bulan 15 hari. Kalau mau adil dan proporsional, Jaksa Ester yang menggelapkan ekstasi seharga Rp3.000.000,00 mestinya divonis minimal 1.500 bulan atawa 125 tahun. Tapi, mengapa ia hanya divonis 1 tahun? Apalagi, Ester adalah seorang penegak hukum yang tahu persis apa artinya perbuatan mencuri; berbeda sekali dengan Mbah Minah yang hanya seorang petani kecil. Apalagi pula, Jaksa Ester menggelapkan ekstasi itu untuk dijual; sementara Mbah Minah mengambil tiga buah kakao untuk ditanam.

Saya merasa menjadi begitu bodoh berpikir soal keadilan dalam kedua kasus di atas. Demi keadilan dan proporsionalitas, seandainya saya jadi jaksa penuntut, saya akan tuntut Jaksa Ester 200 tahun. Logika pikirnya jelas: secara legalistis tindakannya sama dengan tindakan Mbah Minah, nilai barang yang dicuri Jaksa Ester 1000 kali lebih besar daripada nilai barang yang diambil Mbah Minah; ditambah lagi: Jaksa Ester adalah seorang penegak hukum yang mestinya berperilaku lebih baik daripada orang yang tidak mengerti hukum. Jadi, tuntutan saya pasti tidak hanya 1 tahun 6 bulan seperti yang dituntutkan jaksa penuntut.

Kasus Mbah Minah dan Jati Diri Kita

Mbah Minah tentu tak pernah menyangka bahwa akibat memetik tiga buah biji kakao di perkebunan PT Rumpun Sari Antan, ia harus berurusan dengan hukum dan akhirnya divonis satu setengah bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto. Usia Mbah Minah 55 tahun. Ia hidup sebagai petani kecil. Menurut pengakuan Mbah Minah, biji kakao itu ia petik untuk ditanam sebagai bibit. Jarak rumah Mbah Minah ke pengadilan sekitar 30 km; untuk itu ia harus mengeluarkan uang transport tidak kurang dari Rp50.000 setiap kali menghadiri sidang. Karena itu, pada dua sidang terakhir hakim mempertimbangkan untuk tidak melakukannya pada beda hari. Bagi Mbah Minah, keputusan itu tentu membantu menghemat uang transport yang Rp50.000 untuk sekali sidang tersebut. Bahkan, di akhir sidang para pengunjung bersaweran untuk membantu transportasi Mbah Minah.

Di depan majelis hakim, Mbah Minah dengan jujur, polos, tak berbelit-belit—tanpa didampingi pengacara—mengakui bahwa dirinya bersalah sekalipun siapa pun tahu bahwa Mbah Minah pasti tak punya niat sedikit pun untuk mencuri. Kalau memang berniat mencuri buah kakao, mana mungkin ia hanya mengambil tiga biji! Lagipula, sesungguhnya ia pun telah meminta maaf kepada mandor perkebunan. Tapi, menurut pengakuan polisi, pihak perusahaan tetap bersikeras membawa kasus itu ke jalur hukum. Menarik bahwa ketika membacakan vonisnya, hakim sampai harus menangis seolah tak tega. Hakim memang kemudian menyatakan bahwa Mbah Minah tidak perlu menjalani vonis itu kecuali di kemudian hari ada putusan hakim yang menyatakan bahwa Mbah Minah harus menjalaninya.

Pengagungan Atas Hak Milik Individual

Siapa pun—kecuali pihak perkebunan—yang menyaksikan sidang tersebut pasti akan merasa trenyuh. Kalau pada akhirnya sebagian khalayak—termasuk hakim—merasa teriris-iris hatinya menyaksikan Mbah Minah diseret ke pengadilan dan divonis bersalah, sebagian adalah bertolak dari gugatan: apalah artinya tiga buah kakao apalagi bagi pemilik sebuah perkebunan kakao seluas lebih dari 200 hektar? Benar bahwa kita tidak dan tidak akan pernah membenarkan kegiatan mencuri barang orang lain sekecil apa pun. Pencurian tetap saja pencurian. Yang menjadi soal adalah, di manakah letak keadilan substansial itu? Keadilan substansial adalah keadilan yang tidak semata-mata didasarkan pada prosedur dan hukum legal-formal. Keadilan substansial adalah keadilan yang juga mempertimbangkan konteks dan bahkan aspek sosiologis masyarakat yang ada.

Jelas bahwa Mbah Minah adalah orang dusun yang tidak melek KUHAP. Besar kemungkinan ketika memetik buah kakao itu Mbah Minah pun bukan tanpa rasa salah. Bila pada akhirnya ia memetik juga buah kakao tersebut, sangat mungkin hal itu didasarkan pada pemikiran sederhana Mbah Minah, “toh bukan untuk dijual!”. Tidakkah dalam konteks kampung terpencil, orang akan dengan enteng memaafkan orang lain yang mengambil hasil tanamnya selama itu hanya sebatas untuk dimakan dan tidak untuk dijual? Bahkan, dalam konteks pedesaan pula, orang dengan sengaja membagi-bagi sebagian hasil panennya kepada para tetangganya?

Sayangnya, pijakan itu dengan sendirinya rontok ketika dihadapkan dengan sebuah hukum formal yang mengagung-agungkan hak milik individual. Dalam konteks pengagung-agungan hak milik individual, barang milik seseorang—tak peduli barang itu akan bermanfaat dan akan dimanfaatkan oleh pemiliknya atau tidak—tak boleh diambil oleh orang lain siapa pun. Perspektif bahwa masyarakat kampung memiliki konteks sosiologisnya sendiri tak mampu diakomodasi oleh hukum legal-formal. Karenanya, tindakan Mbah Minah untuk sekadar “memanfaatkan” buah kakao dengan mudahnya berbalik menjadi sebuah pencurian. Tampaklah bahwa dalam batas-batas tertentu, hukum legal-formal yang dipegang teguh oleh para penegak hukum sesungguhnya telah merobek, menafikan, atau bahkan berpotensi menggerus dan menghilangkan norma sosial yang telah berurat-berakar dalam masyarakat kita. Maka dalam konteks ini, pertanyaan yang perlu diajukan sesungguhnya bukanlah “apakah tindakan Mbah Minah itu secara hukum formal bisa dibenarkan?” melainkan “apakah dalam kasus Mbah Minah hukum formal memang layak dan pantas diterapkan?”


Ancaman terhadap Jati Diri

Kasus Mbah Minah sebenarnya hanya merupakan salah satu contoh dari sekian banyak kasus di mana hukum formal sering kali bertabrakan dengan norma dan praktik sosial masyarakat kita. Mengenai norma hak milik, misalnya, pada hakikatnya masyarakat kita tidak menganut sistem kepemilikan yang sepenuhnya individual. Sisa-sisa norma tersebut masih tampak jelas pada norma dan konsensus yang masih setia dipraktikkan oleh masyarakat kita hingga saat ini yakni bahwa hak milik individual memang diakui tetapi hak milik tersebut selalu dimaknai dalam konteks sosial. Acara kenduri, sedekah bumi, syukuran dan ruwatan yang masih eksis dalam masyarakat kita hingga saat ini dalam perspektif tertentu merupakan cermin dari norma itu. Celakanya, hukum formal tidak mampu menembus hingga ke perspektif tersebut.

Justru karena itu, dalam kasus vonis terhadap Mbah Minah sebuah gugatan mendasar perlu diajukan: tidakkah dalam batas-batas tertentu penerapan hukum legalistis-formal justru akan mengancam jati diri masyarakat kita? Ketika seorang nenek-nenek miskin mengambil tiga biji buah kakao dari pohon milik orang lain harus diganjar dengan hukuman 1,5 bulan penjara; di manakah tepa salira yang katanya menjadi salah satu ciri masyarakat kita itu? Manakala Jaksa menuntut enam bulan penjara dan menyatakan pikir-pikir atas keputusan hakim memvonis Mbah Minah 1,5 bulan penjara—yang dari perspektif hukum legal-formal seratus persen benar dan sah—di manakah empati itu? Pada saat tiga buah kakao yang relatif tak punya arti bagi pemilik perkebunan harus menyeret seorang nenek-nenek miskin ke pengadilan; di manakah watak pemaaf, watak sosial, dan watak guyup rukun yang selama ini kita bangga-banggakan? Sederet pertanyaan dan pernyataan kritis semacam itu masih bisa diajukan. Muara dari seluruh pertanyaan dan pernyataan itu adalah, ketika sebuah hukum legal-formal bertabrakan dengan konsensus, norma, dan keadilan dasar masyarakat yang ada, niscaya penerapan hukum legal-formal itu akan mengoyak hati nurani. Karena itu, kasus Mbak Minah sesungguhnya tidak sekadar persoalan benar-salah menurut hukum formal; melainkan juga menyangkut etika bahkan paradigma sosial!

Di atas semua itu, perlulah dibangun kesadaran bahwa konsensus, norma, dan praktik sosial masyarakat telah ada jauh sebelum hukum formal ada. Ini berarti bahwa jati diri masyarakat kita sebenarnya melekat pertama-tama pada konsensus, norma, dan praktik sosial yang telah ada tersebut dan bukan pertama-tama pada hukum formal yang kemudian ada. Dengan demikian, pembangunan dan penegakan sistem hukum formal demi hukum itu sendiri, dalam batas-batas tertentu jelas merupakan ancaman bagi jati diri masyarakat. Padahal, kesadaran, revitalisasi dan pengukuhan jati diri tersebut justru merupakan titik tolak dan prasyarat mutlak bagi orientasi masyarakat agar mampu bertahan dan bersaing dalam sebuah masyarakat global seperti sekarang ini. Justru karena itu, dalam perspektif pembangunan masyarakat, penerapan hukum formal demi hukum itu sendiri sesungguhnya kehilangan rohnya!