Rabu, 23 April 2008

Etika Kerja dan Kode Etik Profesi dalam Perspektif Kebebasan

Salah satu ciri esensial yang membedakan eksistensi manusia dengan binatang adalah kebebasannya. Tanpa kebebasan, kemanusiaan kita menjadi terbelenggu bahkan alpa. Justru karena itulah segala bentuk praksis yang membelenggu dan merampas kebebasan harus ditentang dan dihapuskan. Muncul persoalan di sini: apakah etika kerja dan kode etik profesi yang berisi aturan sikap dan perilaku seseorang di tempat kerja dan dalam kaitannya dengan suatu profesi tertentu tidak bertentangan dengan kebebasan? Apakah demi kebebasan seseorang yang bekerja dan berprofesi tertentu boleh bahkan seharusnya mengabaikan etika kerja dan kode etik profesinya itu?

Etika Kerja

Etika kerja pada dasarnya merupakan seperangkat norma yang mengatur sikap dan perilaku seseorang dalam bekerja atau dalam kedudukannya sebagai pekerja di tempat kerja. Seperangkat norma tersebut lahir atas dasar tanggung jawab dan kewajiban yang melekat pada hak yang diperoleh seseorang dalam bekerja. Karena itu bisa disimpulkan bahwa keseimbangan antara hak dan kewajiban merupakan conditio sine qua non berlakunya etika kerja. Konkretnya, pekerja secara normatif memang harus bekerja keras, jujur, bertanggung jawab menyelesaikan dengan sebaik-baiknya semua tugas dan pekerjaan yang dipercayakan kepadanya, menjaga rahasia perusahaan, mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya untuk kelangsungan dan perkembangan tempatnya bekerja, dsb. Namun, semua kewajiban etis tersebut muncul dengan pengandaian bahwa hak-hak pekerja juga telah dipenuhi secara memadai. Dengan demikian, adalah tidak etis—selain secara formal juga melanggar kesepakatan kerja—bila seseorang yang telah menikmati hak-haknya sebagai pekerja/karyawan seperti gaji dan berbagai tunjangan serta fasilitas-fasilitas lain yang cukup, bekerja dengan sembrono, bermalas-malasan, tidak jujur kepada perusahaan, membocorkan rahasia perusahaan, dst. Akan tetapi, sebaliknya, secara etis tidak mungkin bisa dipersalahkan apabila seorang pekerja bermalas-malasan atau bekerja seenaknya sendiri karena ia memang tidak pernah menerima gaji yang menjadi haknya. Tampak di situ bahwa etika kerja sebagai etika terapan dengan sendirinya memang terkait dengan etika umum, yakni prinsip keadilan.

Kode Etik Profesi

Profesi merupakan sebuah bidang pekerjaan tertutup di mana orang-orang yang ada di dalamnya memiliki latar belakang pendidikan dan keahlian yang sama.1 Terkait dengan itu, dengan sendirinya seseorang dituntut memiliki sikap, perilaku bahkan kepribadian yang sesuai dengan profesi yang disandangnya.

Kode etik profesi lahir untuk menjawab kedua persoalan di atas. Sebagai seperangkat norma yang mengatur sikap dan perilaku orang-orang atau lembaga yang berprofesi tertentu, baik ketika menjalankan tugas kedinasan maupun di luar tugas kedinasan, secara internal kode etik profesi menjadi semacam pagar moral bagi para anggotanya. Sedangkan secara eksternal, kode etik profesi akan menjadi pegangan bagi masyarakat umum untuk mempercayai bahwa para anggota masyarakat profesi tersebut memiliki moral yang bisa dipercaya.

Contohnya, seorang wartawan. Dengan “kekuasaannya” menyebarkan informasi kepada publik, wartawan bisa saja menyalahgunakan kekuasaannya itu untuk memeras pihak lain. Untuk memagari kemungkinan tersebut, secara normatif wartawan diwajibkan untuk tidak menggunakan jabatan dan keahliannya demi kepentingan sendiri.2 Di sisi lain, publik bisa menaruh kepercayaan bahwa berita yang disiarkan seorang wartawan adalah benar karena secara moral (diatur dalam kode etik) wartawan tidak boleh menyiarkan berita bohong.3 Demikianpun seorang advokat. Dengan keahliannya di bidang hukum, seorang advokat sebenarnya bisa saja memberikan keterangan yang menyesatkan kepada seorang klien demi kepentingan dirinya sendiri. Secara normatif hal itu bisa dicegah—dan dengan demikian publik pun bisa percaya bahwa seorang advokat tidak akan melakukannya—dengan adanya kode etik bahwa advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang bisa menyesatkan klien.4
Karena sifat “ahlinya”, dalam suatu profesi melekat kekuasaan. Tetapi, karena sifat “tertutupnya”, profesi cenderung susah ditembus oleh orang luar.5 Di sisi lain, kekuasaan dalam dirinya sendiri selalu berpotensi disalahgunakan. Padahal, suatu profesi ada pada hakikatnya untuk menyediakan jasa bagi masyarakat umum. Maka, muncul dua persoalan di situ: Pertama, bagaimanakah mengatur sikap dan perilaku orang-orang atau lembaga yang berprofesi tertentu agar mereka berkepribadian yang sesuai dengan profesinya dan tidak menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki karena keahliannya itu? Kedua, adakah jaminan bagi masyarakat umum pengguna jasa suatu profesi bahwa mereka tidak memberikan kepercayaan kepada orang atau pihak yang secara moral tidak bisa dipercaya?

Karena sifatnya yang eksklusif, efektivitas kode etik profesi sangat ditentukan oleh adanya pengawasan yang ketat justru oleh badan atau dewan yang dibentuk secara internal oleh masyarakat profesi yang bersangkutan, misalnya PWI atau AJI untuk kalangan wartawan, IDI untuk profesi dokter, dan IKAHI untuk kalangan hakim.
Membelenggu Kebebasan?

Etika kerja dan kode etik profesi pada intinya mengatur kewajiban dan tanggung jawab moral seseorang sebagai pekerja atau penyandang profesi tertentu. Dalam tinjauan etika, “tanggung jawab” dan “kewajiban” hanya masuk akal bila ada kebebasan.6 Itu berarti, etika kerja dan kode etik profesi hanya mungkin ada karena adanya kebebasan. Pertanyaannya, apakah kebebasan itu?

Kebebasan selalu bisa dilihat dari dua sisi, yakni kebebasan eksistensial (freedom for) dan kebebasan sosial (freedom from).7 Kebebasan eksistensial menyangkut kebebasan untuk bergerak secara fisik (aspek jasmaniah) dan kebebasan untuk berpikir dan berkehendak sebelum bertindak (aspek rohaniah). Pada kebebasan inilah terletak pengandaian bahwa manusia mampu menentukan dirinya sendiri. Sementara kebebasan sosial menyangkut kondisi terbebas dari tekanan yang berasal dari pihak di luar diri kita.

Persoalan berikutnya, apakah dengan demikian etika kerja dan kode etik profesi memang membelenggu kebebasan (eksistensial dan sosial) atau justru untuk menjamin kebebasan itu sendiri?

Secara konkret, mungkin kita mengira bahwa karena memiliki kebebasan, kita misalnya boleh bermalas-malasan, tidak bertanggung jawab, seenaknya melanggar disiplin di tempat kerja. Padahal, ketika kita mengambil keputusan untuk bersikap seperti itu, keputusan tersebut sebenarnya kita ambil secara tidak bebas karena pada dasarnya keputusan tersebut kita ambil atas desakan rasa malas atau mungkin rasa kecewa kita. Apalagi, ketika bersikap dan berperilaku seperti itu, kita menghadapi risiko ditegur atau bahkan dipecat atasan. Dengan demikian, kebebasan sosial kita pun terancam. Berbeda sekali dengan bila kita memutuskan diri untuk rajin, bertanggung jawab, dan disiplin. Secara eksistensial maupun sosial kebebasan kita justru menjadi terjamin. Jadi, etika kerja sebenarnya justru untuk menjamin kebebasan pekerja.
Dengan logika yang sama, kita pun bisa menelusuri bahwa kode etik profesi pada hakikatnya bukan untuk membelenggu kebebasan, tetapi sebaliknya, justru untuk menjamin kebebasan seseorang sebagai penyandang suatu profesi tertentu. Kasus Jaksa Urip dengan “upeti” 6 milyarnya menjadi fakta konkret. Sang jaksa yang telah melanggar kode etiknya—menerima uang dari orang dekat (Artalyta Suryani) pihak yang menghadapi perkara (Samsul Nursalim) yang ditangani Urip—menjadi kehilangan kebebasannya. Seandainya Jaksa Urip berpegang teguh pada kode etik profesinya, niscaya dia tetap akan menikmati kebebasannya sebagai seorang jaksa.

Jadi, jelas bahwa etika kerja dan kode etik profesi ada dan harus ditaati bukan untuk membelenggu kebebasan tetapi justru untuk menjamin kebebasan.

Referensi:

Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia.
--------------. 2003. Keprihatinan Moral. Yogyakarta: Kanisius.
Simorangkir, O.P. 1978. Etika Jabatan. Jakarta: Aksara Persada Press.
Sungguh, As’ad. 2004. 25 Etika Profesi. Jakarta: Sinar Grafika.
Suseno, Frans-Magnis. 1987. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius.
--------------. 1988. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia.
1 K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 278.
2 As’ad Sungguh, 25 Etika Profesi (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 59.
3 Ibid.
4 Ibid, hlm. 48.
5 Ibid
6 Frans Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 21
7 Ibid, hlm. 27

Rabu, 09 April 2008

Pastor van Lith: Pendiri Misi di Jawa

Kemungkinan besar Anda tak asing dengan nama Mgr. Soegijapranata (Uskup pribumi pertama dan pahlawan nasional), Yos Sudarso (pahlawan nasional), Cornelius Simanjuntak (komponis dan pahlawan nasional), I.J. Kasimo (pendiri Partai Katolik dan menteri zaman Orde Lama) atau yang sekarang masih hidup: Frans Seda. Mereka—dan masih banyak tokoh lain—telah mengambil perannya sendiri-sendiri dalam masyarakat. Satu yang menyatukan mereka: mereka sama-sama pernah mengenyam pendidikan di (dulu) sekolah guru Muntilan. Bahkan, ungkapan yang hingga kini masih sering diucapkan, “Betlehem van Java (Muntilan sebagai Betlehem tanah Jawa),” tak juga bisa dipisahkan dari pendiri sekolah tersebut: Pastor Franciskus Georgius Yosephus van Lith.

Keputusan Tak Terduga

Kedatangan Pastor van Lith di Jawa sebenarnya sangat di luar dugaan dirinya. Masa-masa persiapannya menjadi pastor ia habiskan di Inggris dan Maastricht untuk belajar Filsafat dan Teologi. Setelah itu, ia sempat menjadi guru di Kolese Katwijk di negeri kincir angin.
Karenanya, ia sama sekali tak menyangka bahwa begitu dirinya ditahbiskan menjadi imam 8 September 1896, atasannya langsung menugaskan dirinya menjadi misionaris di tanah Jawa. Tapi, inilah watak ketaatan sejati itu: dengan berserah pada kebijaksaan Tuhan yang disampaikan lewat atasannya, ia pun meninggalkan tanah kelahirannya untuk mengawali tugas misioner di sebuah wilayah yang sama sekali tidak ia kenal.

Perlu diingat, di Indonesia pada tahun-tahun itu tercatat terdapat 50.000 umat Katolik. Dari jumlah itu, separonya berkebangsaan Eropa. Pada saat yang sama, jumlah pastor yang ada hanya 40 orang. Ini berarti mereka harus melayani wilayah yang terbentang dari Aceh hingga Timor Leste (dulu Timor). Itupun sebagian besar dari mereka harus tinggal di kota-kota besar di Jawa untuk melayani para kumpeni.

Karenanya, sangat masuk akal bila para misionaris tersebut lebih memusatkan perhatian pada daerah-daerah yang dipandang subur. Antara lain: Minahasa, Kepulauan Kei, dan yang paling menjanjikan adalah Flores.

Van Lith tiba di Jawa; daerah yang ketika itu tidak dipandang sebagai ladang yang harus digarap oleh para misionaris. Bahkan, dalam sebuah tulisannya van Lith menuturkan, “Politik pemerintah kolonial melarang Kristenisasi. Pemerintah kolonial tidak mengizinkan pegawai-pegawai pamong praja, Bupati, Wedana dan lain-lain (di Jawa) menjadi Kristen”.
Setibanya di Semarang, van Lith menghabiskan setengah tahun pertamanya untuk belajar bahasa Jawa; dari mulai usai sarapan pagi hingga makan malam. Semua itu ia lakukan dengan tekun karena ia berkeyakinan bahwa untuk mewartakan kabar baik Kerajaan Allah kepada orang Jawa, ia harus menjadi sahabat mereka. Dan untuk itu, ia harus lebih dulu memahami bahasa dan budaya Jawa; sebuah keyakinan yang kelak terbukti benar!
Dari Semarang Pastor van Lith pindah ke Muntilan dan tinggal di Desa Semampir, di dekat Kali Lamat. Aktivitas misi dimulai!

Pembela Rakyat

Sejak mula van Lith tidak berambisi untuk sesegera mungkin membaptis orang. Ia lebih berpendirian: biarlah orang melihat kasih Kristus lewat kehadiran dirinya entah akhirnya mereka memutuskan menjadi Kristen atau tidak. Bagi seorang van Lith, Allah sendirilah yang akan berkarya memanggil orang per orang. Dirinya hanya menjadi sarana.

Keyakinan ini lagi-lagi terbukti benar ketika kelak Romo van Lith mempermandikan sekitar 200 orang dari Desa Kalibawang. Padahal, dari sekian banyak desa yang telah ia datangi, Desa Kalibawang justru merupakan desa yang belum pernah ia sambangi. Namun, dari Kalibawang-lah tonggak misi (Katolik) di Jawa ditancapkan. Mereka serentak dibaptis di sebuah sendang di Semagung. Sendang tersebut terletak di antara dua batang pohon sono. Itulah cikal bakal Sendang Sono menjadi tempat peziarahan rohani hingga sekarang.

“Pertobatan jumlah yang tidak kecil itu mempunyai arti penting bagi saya dan juga bagi misi Jawa ... Saya sudah memberi pelajaran di banyak desa ... tanpa ada hasilnya. Justru daerah yang belum pernah kudatangi menyatakan kesediaannya untuk menjadi Katolik. Apakah itu bukan tangan Tuhan yang bekerja?” tulis van Lith (sekitar tahun 1900).
Karena keyakinannya itu, Pastor van Lith lebih memilih untuk menjadi sahabat orang-orang di sekitarnya daripada buru-buru membaptis mereka. Ia mendatangi desa-desa untuk berbincang-bincang mengenai apa saja, termasuk masalah-masalah keluarga. Tak mengherankan bila karena itu Romo van Lith memotret dengan akurat persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat kala itu.

Salah satunya, Pastor van Lith menangkap kenyataan bahwa para petani di daerah Muntilan ketika itu sangat miskin. Kemiskinan itu melilit lantaran mereka terjerat utang sehingga mereka terpaksa menggadaikan ladang atau sawah mereka. Van Lith bertindak. Ia menebus surat-surat tanah para petani dari para rentenir dan mengembalikannya kepada para petani.
Satu lagi yang harus dicatat: van Lith tak pernah kenal payah bila sudah bersinggungan dengan keadilan. Rakyat yang terjajah dan kurang pengetahuan memang selalu menjadi bulan-bulanan hukum. Keadilan diputar balik sesuka pemilik kapital, saksi-saksi palsu dihadirkan di persidangan, dan hakim-hakim yang memihak kerap terjadi untuk menindas masyarakat yang sudah lemah. Demi tegaknya keadilan bagi rakyat jelata, kerap kali Romo van Lith tampil sebagai pembela mereka di persidangan. Bahkan, ia tak sungkan mendatangi para pamong praja di kantornya untuk menuntut hak atas rakyat yang diperlakukan tidak adil. Tindakan ini tentu bukan tanpa risiko. Fitnahan dan ancaman tak jarang terlontar. Tapi, semua itu tak dipedulikannya demi martabat manusia lemah. Tak berlebihan bila orang-orang pun menjulukinya “Bapa orang Jawa”.

Oh, ya... tahun 1906 tiga orang dari Kalibawang menghadap Romo van Lith. Mereka berpamitan ingin merantau karena keadaan ekonomi yang sangat menyedihkan. Romo van Lith sebenarnya tidak rela ketiga anak rohaninya tersebut pergi. Tapi, karena mereka tetap bertekad pergi, van Lith pun tak kuasa menahan mereka. Romo menyarankan agar mereka pergi ke Jember. Mereka diantar ke stasiun dan diberi uang untuk bekal. Saat kereta melaju, Pastor van Lith tak kuasa menahan air matanya yang meleleh. Ia sedih anak-anak rohaninya akan pergi ke suatu tempat yang tak ada pastornya. Tapi, hati kecilnya berkeyakinan bahwa tiga orang tersebut akan menjadi benih perkembangan gereja di Jawa Timur. Terbukti: dua puluh tahun kemudian tercatat di Jember telah terdapat 100 orang Katolik.

Sebagai Anggota Volksraad

Pemihakan Pastor van Lith terhadap rakyat Indonesia, khususnya yang lemah, tidak terbatas pada aksi karitatif sehari-hari. Ia juga gigih memperjuangkan hak rakyat Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri di Volksraad (DPR).
“Dalam rapat di Sukabumi saya menyatakan ‘tidak setuju’ terhadap sistem pemilihan yang akan menjamin mayoritas keanggotaan orang-orang Belanda di lembaga legislatif.... (sebab dengan demikian) akan kembalilah kumpeni lama dalam bentuk baru. ... Walaupun saya tahu bahwa yang menentang pikiran saya ialah Belanda-Belanda di Indonesia, saya sungguh-sungguh tak acuh mengenai kepentingan mereka. ... Bila antara Indonesia dan Belanda ada sengketa dan saya harus memilih, maka saya memilih pihak Indonesia.”

Kalimat-kalimat tersebut ditulis oleh Pastor van Lith sendiri untuk menunjukkan sikap politiknya saat ia menjadi panitia peninjauan perundang-undangan. Karena sikapnya tersebut tak heran bila ia pun bersahabat dengan Suwardi dan Ciptomangunkusumo, juga pejuang-pejuang kemerdekaan lain. Bahkan, pada pemilihan terakhir untuk pencalonan anggota Volksraad, Pastor van Lith dicalonkan oleh Serikat Islam untuk mewakili daerah Serang (Banten).

Merintis Sekolah Guru

Sejak awal Pastor van Lith berprinsip bahwa misi harus dibangun di atas pundak para remaja dan pemuda-pemuda. Ia harus mencetak tenaga-tenaga pembantu dan dengan demikian ia melipatgandakan dirinya. Namun, untuk itu, ia harus melahirkan pemimpin-pemimpin dengan watak dan mental yang teguh.
Maaf, gereja pernah punya pengalaman pahit. Tahun 1897—Tahun awal Romo van Lith bertugas di Jawa—di wilayah Muntilan terdapat 30 orang Katolik. Mereka dibaptis pendahulu van Lith, Pastor van Hout. Dari ketiga puluh orang tersebut terdapat 4 orang katekis untuk daerah Muntilan, Magelang, Bedono dan Ambarawa.

Di Muntilan Pastor van Lith mendapati bahwa uang yang seharusnya untuk membeli tanah dan menebus tanah para petani ditilap katekisnya. Di Magelang keadaannya lebih buruk. Selain melakukan manipulasi keuangan, si katekis terbukti mempunyai 2 orang istri. Hal yang sama juga terjadi di Bedono dan Ambarawa. Pastor van Lith pun terpaksa memecat keempat katekis tersebut. Kejadian itu jelas menoreh kesedihan mendalam pada diri van Lith; bukan pertama-tama karena uangnya tetapi karena murid-murid terdekatnya ternyata sangat dangkal imannya.
Justru karena itu, kelak orang-orang terpilih yang akan turut mengemban tugas misi haruslah orang-orang berjiwa pemimpin dengan watak dan mental yang teguh serta memiliki penghayatan iman yang dalam, tentunya. Bagi van Lith, tujuan ini hanya akan tercapai bila ia bisa memantau perkembangan setiap muridnya setiap hari setiap saat. Karena itu, para murid kelak harus tinggal di asrama.
Jadilah, tahun 1903 sekolah guru dengan asrama dibuka di Muntilan. Beberapa tahun setelah itu, guru-guru yang sekaligus bisa mengajar agama mulai tersebar tidak hanya di pulau Jawa tetapi hingga ke seluruh nusantara. Merekalah yang akhirnya menjadi soko guru gereja di berbagai tempat di berbagai daerah.
Demikianpun, van Lith masih mengidam-idamkan sekolah guru untuk para putri. Dan, jerih payahnya ini terwujud ketika tahun 1915 berdiri sekolah guru untuk perempuan di Mendut.

Akhir Hayat

Setelah sempat menjalani perawatan di negeri Belanda, van Lith yang lahir di Oirshot Provinsi Brabant, Negeri Belanda pada 17 Mei 1863 meninggal di Semarang pada 9 Januari 1926. Dengan barisan yang amat panjang, anak seorang jurusita ini diantar ke peristirahatannya terakhir di kerkop, Muntilan setelah disemayamkan sebentar di gereja yang dia bangun sendiri. Tugasnya telah usai!
— S. Rahoyo/dbs (dimuat majalah BAHANA Edisi April 2008).