Minggu, 09 November 2008

Modal Sosial, Guanxi, dan Kemiskinan

Modal Sosial, Guanxi dan Kemiskinan

Pendahuluan

Adalah sebuah paradoks bahwa pembangunan (ekonomi) yang salah satu tujuannya menghapus atau setidak-tidaknya mengurangi kemiskinan, dalam realitasnya justru sering kali menimbulkan kemiskinan baru. Bahkan, lebih daripada sekadar paradoks, realitas kemiskinan diyakini atau paling tidak disinyalir justru merupakan salah satu produk pembangunan (Arif, 1999).

Dalam konteks itulah pembicaraan mengenai modal menjadi amat relevan sebab faktanya orang kerap kali menjadi miskin (mengalami pemiskinan) dalam proses pembangunan karena orang tersebut tidak memiliki cukup modal.

Dalam literatur ekonomi modal didefinisikan sebagai faktor-faktor produksi yang pada suatu ketika atau di masa depan diharapkan bisa memberikan manfaat atau layanan-layanan produktif atau productive services (Robert M. Solow dalam Partha Dasgupta & Ismail Serageldin, 1999). Secara spesifik, modal dalam literatur ekonomi merujuk pada modal fisik (physical capital) dan modal manusia (human capital). Modal fisik di situ mengacu pada barang-barang yang kelihatan (tangible), keras, dan sering kali tahan lama (durable) seperti bangunan pabrik, peralatan, mesin, dan persediaan (inventory) (Hanson, 1974).

Yang tampaknya luput dari perhatian para ahli ekonomi ketika mereka merumuskan berbagai jenis modal adalah bahwa manusia sebagai aktor bertindak tidak semata-mata digerakkan oleh tujuan, atas dasar kepentingan pribadi, dan bersifat independen. Dalam kenyataannya, tindakan manusia—juga tindakan ekonomisnya—juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan.

Dalam skala kecil, aktivitas arisan bisa dirujuk sebagai contoh. Bisa saja orang mengikuti arisan karena ia memiliki tujuan tertentu, didasarkan pada kepentingan pribadi, dan tidak dipaksa oleh siapa pun (independen). Pertanyaannya, bagaimana bisa ia memercayakan uangnya (dalam bentuk iuran per periode) pada suatu kelompok tanpa jaminan apa pun? Bagaimana bila sebelum ia mendapatkan kembali uangnya, semua anggota yang telah lebih dulu mendapatkan tidak mau melanjutkan iurannya atau bahkan melarikan diri? Mengapa ia tidak menabungkan saja iurannya tersebut di bank yang lebih aman dan bahkan mendapatkan bunga? Faktor apa yang membuat para peserta arisan mengabaikan semua pertanyaan tersebut?

James S. Coleman memberikan contoh serupa dalam artikelnya yang berjudul Social capital in the creation of human capital (Coleman dalam Partha Dasgupta & Ismail Serageldin, 1999). Apa yang biasa terjadi di pasar-pasar grosir permata—demikian Coleman bercerita—akan menjadi sebuah pemandangan yang luar biasa aneh bagi orang-orang yang bukan pemain perdagangan grosir permata (outsider). Dalam proses negosiasi penjualan, seorang pedagang permata akan memberikan begitu saja sekopor permata kepada penjual lain untuk dicek kualitas dan keaslian permata-permata tersebut. Penjual kedua baru akan melakukan pengecekan dalam waktu senggangnya (artinya tidak saat itu juga) dan ia tidak perlu memberikan jaminan apa pun kepada penjual pertama bahwa ia tidak akan mengambil atau menukar—sebagian atau seluruhnya—permata yang ada di dalam kopor tersebut. Permata dalam kopor tersebut bisa bernilai ribuan atau bahkan ratusan ribu dolar. Apa yang membuat penjual pertama percaya begitu saja pada penjual kedua?

Aksi sosial semacam arisan, “peminjaman” sekopor permata kepada seorang pedagang dalam proses perdagangan grosir permata, atau kebiasaan mengirimkan uang kepada sanak-saudara di kampung halaman yang biasa dilakukan orang-orang Karibia yang berada di perantauan pada akhirnya akan memiliki dampak ekonomis. Celakanya, hasil-hasil ekonomis yang ada tidak bisa dijelaskan sepenuhnya sebagai hasil input tenaga kerja, tanah, dan modal fisik sebagaimana yang secara tradisional dipahami selama ini (Grootaert, 2001). Artinya, ada sesuatu di luar modal fisik dan modal manusia yang nyata-nyata juga berpengaruh terhadap perekonomian perorangan (individual), keluarga (household) dan suatu bangsa (nation).

Dalam pandangan para sosiolog, “sesuatu” itulah yang kemudian dikenal sebagai modal sosial (social capital). Terdapat berbagai definisi mengenai modal sosial ini. Salah satunya menurut Christiaan Grootaert dan Tierry van Bastelaer. Mereka mendefinisikan modal sosial sebagai “… (I)nstitutions, relationships, attitudes, and values that govern interactions among people and contribute to economic and social development” (Christiaan Grootaert & Thierry van Bastelaer (eds), 2002). Sementara bagi Putnam, modal sosial memiliki tiga bentuk, yakni kepercayaan (trust), norma (norms), dan jejaring (networks) (Huang, 2003).

Terlepas dari berbagai definisi yang diajukan oleh para ahli, modal sosial telah menjadi bahan perbincangan yang menarik dan relevan ketika orang berbicara tentang pembangunan dan kemiskinan. Sebab, masih menurut Grootaert dan Bastelaer,
“Since it first entered conceptual and empirical debates, social capital has captured the imagination of development researchers and practitioners as a particularly promoting tool for alleviating poverty” (Christiaan Grootaert & Thierry van Bastelaer (eds), 2002).
Konsep modal sosial yang dimunculkan oleh para ahli sosiologi di atas melengkapi atau mengisi celah yang selama itu tidak diperhatikan oleh para ahli ekonomi ketika memahami modal dalam kaitannya dengan aktivitas ekonomi.

Dengan mendasarkan diri pada pemahaman bahwa modal sosial memberikan sumbangan berarti bagi pembangunan (ekonomi) pada umumnya dan pengurangan kemiskinan pada khususnya, menarik untuk memerhatikan betapa kelompok etnis tertentu mampu meraih prestasi (achievement) dan pencapaian-pencapaian (attaintments) lain dalam derajat yang lebih tinggi dibanding etnis lain. Dalam hal ini, Coleman telah menunjukkan bahwa keluarga dan masyarakat dengan modal sosial yang tinggi mampu mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan menjadi kelas yang lebih independen dibandingkan dengan keluarga atau masyarakat dengan modal sosial yang rendah (Dwyer, 2006). Secara lebih spesifik, Zhou (2004) bahkan telah menggunakan konsep yang dikemukakan Coleman tersebut untuk menjelaskan keberhasilan kelompok etnis di Amerika Serikat dalam menuntut pendidikan formal (Dwyer, 2006). Karena itu, tak mengherankan bila etnisitas pun dikategorikan sebagai sebuah bentuk modal sosial (Bates, 1999).

Dalam konteks etnisitas sebagai sebuah bentuk modal sosial yang memengaruhi keberhasilan-keberhasilan dan pencapaian-pencapaian tertentu bagi suatu kelompok etnis tertentu, layak dibahas bagaimanakah kaitan pola relasi yang khas pada masyarakat Tionghoa dengan kemiskinan yang mereka alami. Pola relasi yang khas yang merupakan konsep sentral dalam masyarakat Tionghoa ini dikenal sebagai Guanxi, yang dalam bahasa Tionghoa secara sederhana bermakna hubungan (relationship) di antara orang-orang atau benda (Huang, 2003).
Tulisan ini dimaksudkan untuk memaparkan benang merah antara modal sosial, etnisitas yang secara spesifik akan menyoroti guanxi sebagai pola hubungan yang khas etnis Tionghoa, dan bagaimana semua itu bisa menjelaskan kemiskinan yang dialami etnis Tionghoa.

Modal Sosial

Makna modal sesungguhnya telah diperkenalkan oleh Adam Smith ketika ia menerbitkan An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth of Nation (1776), terutama ketika ia membahas mengenai pertumbuhan ekonomi (economic growth). Tak urung, sejak itulah istilah modal menjadi sangat populer, terutama di kalangan para ahli ekonomi. Oleh Smith, istilah di atas dipakai berdampingan dengan istilah lain yang juga menjadi amat populer: pembagian kerja (division of labor). Bagi Smith, pertumbuhan ekonomi akan terjadi bila terdapat pembagian kerja karena dengan pembagian kerja itulah produktivitas meningkat. Sementara itu, pembagian kerja ini mensyaratkan adanya akumulasi modal karena dengan melakukan akumulasi modal itulah para pemilik modal akan membayar para pekerjanya dan membeli mesin-mesin serta peralatan produksi.

Yang menarik, sekitar satu abad kemudian muncul istilah modal dalam konteks yang sama sekali terlepas dari literatur ekonomi: modal sosial. Istilah tersebut muncul pada awal abad ke-19 (Christiaan Grootaert & Thierry van Bastelaer (eds), 2002). Namun demikian, tampaknya konsep di atas baru mendapatkan perhatian serius para praktisi dan akademisi pada akhir abad ke-19. Qihai Huang mencatat, antara tahun 1951 – 1981 konsep mengenai modal sosial hanya muncul di 2 buah artikel, demikian juga antara tahun 1981 – 1990; tahun 1991 – 1995 digunakan di 18 artikel; dan antara tahun 1996 – 2000 muncul di 318 artikel (Huang, 2003).
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, konsep modal sosial bukanlah konsep yang berasal dari literatur ekonomi, melainkan dari literatur sosiologi. Oleh karena itu, bagi para ekonom, istilah modal sosial sering kali membingungkan bahkan kurang dikenal. Lebih tepatnya: istilah ‘modal’ dalam modal sosial dipakai dalam pengertian yang sering kali tidak konsisten dengan istilah ‘modal’ dalam ilmu ekonomi (Christiaan Grootaert & Thierry van Bastelaer (eds), 2002).
Memang, sebagaimana modal dalam pengertian ekonomi, modal dalam konteks modal sosial pun membutuhkan investasi awal dan maintenance terus-menerus dengan ekspektasi hasil (return) di masa yang akan datang. Namun demikian, modal sosial tidak bisa diperjualbelikan di pasar terbuka, tidak bisa dibangun secara individual, dan tidak berkurang (ekonomi: depresiasi) tetapi justru akan bertambah bila digunakan (Partha Dasgupta & Ismail Serageldin, 1999).

Pada umumnya dikenal tiga arus utama (main streams) teori modal sosial. Pertama, teori Putnam dan Fukuyama; kedua, teori Coleman; dan ketiga, teori Bourdieu. Dari ketiga arus utama tersebut, teori pertama-lah yang paling mendominasi dalam berbagai penelitian di Barat.
Begitupun, baik Putnam, Coleman maupun Bourdieu sepakat bahwa modal sosial merupakan sebuah sumber daya (resource). Namun demikian, Coleman cenderung memandang modal sosial sebagai sumber daya-sumber daya sosial yang tersedia bagi individu-individu dan keluarga untuk mencapai mobilitas sosial. Secara spesifik, Coleman berpendapat bahwa modal sosial merupakan sumber daya yang bisa memfasilitasi individu dan keluarga memiliki sumber daya manusia (human capital) yang memadai (Winter, 2000). Sementara itu, Putnam melihatnya sebagai sokongan bagi terciptanya masyarakat sipil (civil society) dan sesuatu yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pembentukan institusi-institusi demokratis. Putnam dengan tegas mengemukakan betapa masyarakat sipil dan demokrasi merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Secara spesifik ia menyatakan bahwa agar demokrasi bisa berjalan diperlukan masyarakat sipil yang kuat dan aktif (Cox, 1995). Sedangkan Bourdieu memandang modal sosial terkait dengan bagaimana kekuasaan dan ketimpangan (inequalities) dihasilkan di dalam jejaring-jejaring sosial (Dwyer, 2006). Justru karena itu, Bourdieu dalam mendefinisikan modal sosial memberikan penekanan pada jejaring sosial (social networks) yang memberikan akses terhadap sumber-sumber daya kelompok (Winter, 2000). Dengan memiliki akses terhadap sumber daya kelompok (group resources) diharapkan seorang individu pada akhirnya akan menikmati manfaat ekonomis. Bagi Bourdieu, manfaat ekonomis ini hanya akan dinikmati individu apabila ia secara terus-menerus terlibat dalam kelompok tersebut (Winter, 2000). Dalam konteks inilah, modal sosial dipahami sebagai sesuatu yang bersifat instrumental.

Bagi Putnam, ide modal sosial muncul terkait dengan pertanyaan mengenai syarat-syarat perlu (necessary conditions) apakah yang dibutuhkan untuk menciptakan berbagai institusi yang kuat, responsif dan efektif. Terkait dengan itu, Putnam mengukur modal sosial dengan pola-pola pemungutan suara (voting), jumlah pembaca tetap surat kabar (newspaper readership), dan partisipasi di dalam perkumpulan-perkumpulan olahraga dan budaya. Putnam mengidentifikasi tiga hal yang tercakup dalam modal sosial, yakni trust (kepercayaan), norms (norma), dan networks (jejaring).

Sementara itu, penelitian Fukuyama mengenai modal sosial mencakup wilayah yang lebih luas dibanding wilayah penelitian Putnam. Fokus Fukuyama adalah menjelaskan mengapa beberapa negara secara ekonomis bisa lebih berhasil daripada negara lain. Dalam hal ini, Fukuyama memandang modal sosial sebagai trust, kemampuan orang-orang (masyarakat) bekerja bersama untuk tujuan umum (collective action) dalam kelompok atau organisasi.

Coleman (1988,1990) menyejajarkan modal sosial dengan modal-modal lain. “Social capital paralleling the concepts of financial capital, physical capital and human capital, but embodied in relations among persons.” (Huang, 2003). Bagi Coleman, modal sosial memiliki tiga bentuk: pertama, kewajiban dan harapan (obligation and expectation) yang didasarkan pada keterpercayaan (trustworthiness) lingkungan sosial; kedua, kapasitas aliran informasi struktur sosial; dan ketiga, norma-norma yang dijalankan dengan berbagai sanksi. Bagaimanakah kaitan antara kewajiban dan harapan yang didasarkan keterpercayaan lingkungan sosial bisa dijelaskan? Coleman menggambarkan sebagai berikut. Taruhlah Si A melakukan suatu kebaikan kepada Si B dan ia menaruh kepercayaan (trust) kepada si B bahwa suatu hari nanti si B akan membalas kebaikan itu. Proses tersebut di satu sisi memunculkan harapan (expectation) bagi A dan di sisi lain menimbulkan kewajiban (obligation) bagi si B. Kewajiban tersebut akan menjadi “slip kredit (credit slip)” yang dipegang A untuk kinerja (performance) B. Karena dalam realitasnya Si A tidak hanya melakukan kebaikan kepada Si B, tetapi juga kepada Si C, Si D, Si E, dst, Si A pada dasarnya memiliki serangkaian slip kredit yang sewaktu-waktu bisa ia gunakan ketika ia membutuhkan (Coleman dalam Partha Dasgupta & Ismail Serageldin, 1999). Karena itu, bagi Coleman, bentuk modal sosial tergantung pada dua elemen. Pertama, keterpercayaan lingkungan sosial; artinya bahwa kewajiban pasti akan dilunasi dan kedua, luas aktual berbagai kewajiban (the actual extent of obligations).

Sedangkan Bourdieu mendefinikan modal sosial sebagai “the aggregate of the actual and potential resources that are linked to the possession of a durable network of relationships or mutual acquaintance and recognition” (Huang, 2003). Ia membedakan modal sosial sebagai salah satu bentuk modal dengan modal ekonomi (sumber-sumber keuangan dan aset) dan modal kultural (pengetahuan, buku dan lukisan, pendidikan).

Di luar pengertian-pengertian mengenai modal sosial menurut beberapa tokoh di atas, Woolcock dan Narayan (2000) mensintesiskan berbagai pengertian modal sosial dalam literatur sosiologi dan dari hasil sintesis tersebut mereka menyusun 4 kategori modal sosial. Keempat kategori tersebut memang berbeda, tetapi tidak saling bertentangan satu dengan yang lain (Christiaan Grootaert & Thierry van Bastelaer (eds), 2002). Pertama, perspektif komunitarian. Dari perspektif ini, modal sosial digambarkan dalam pengertian organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok lokal. Perspektif ini membantu para praktisi pembangunan untuk memusatkan perhatian pada peran relasi sosial dalam mengurangi kemiskinan. Kedua, perspektif jejaring (network). Perspektif jejaring mendefinisikan modal sosial dengan mengacu pada berbagai hubungan (relasi) antara antara berbagai perkumpulan (asosiasi) vertikal dan horisontal. Dalam sudut pandang ini, berbagai hubungan tersebut dibedakan menjadi hubungan interkomunitas dan hubungan antarkomunitas. Ketiga, perspektif institusional. Dari sudut pandang ini diketahui bahwa lingkungan institusional, legal dan politis (institutional, legal, and political environment) merupakan penentu penting dan utama kuat-tidaknya jejaring masyarakat. Keempat, perspektif sinergi. Perspektif ini memusatkan perhatian pada berbagai hubungan di antara dan di dalam berbagai pemerintah dan masyarakat sipil. Pada dasarnya, perspektif sinergi ini mendasarkan diri pada asumsi bahwa tak satu pun aktor atau pelaku pembangunan (negara, swasta, dan masyarakat) mempunyai akses sendiri terhadap sumber-sumber daya yang diperlukan untuk menciptakan pertumbuhan yang adil dan berkelanjutan.

Konsep dan interpretasi mengenai modal sosial memang sangat banyak dan beragam, tetapi tampaknya muncul sebuah konsensus bersama bahwa pada dasarnya modal sosial berarti kemampuan para pelaku (aktor) untuk mengamankan berbagai manfaat (benefits) melalui nilai-nilai luhur keanggotaan dalam jejaring sosial atau struktur-struktur sosial lain (Grootaert, 2001). Dalam konteks inilah Grootaert menekankan peran penting berbagai perkumpulan atau asosiasi lokal. Bagi Grootaert, berbagai perkumpulan atau asosiasi lokal tersebut memainkan peran dalam tiga cara. Pertama, berbagi informasi di antara para anggota perkumpulan; kedua, mengurangi berbagai perilaku oportunistik; dan ketiga, memfasilitasi pengambilan keputusan kolektif (Grootaert, 2001).

Sekalipun modal sosial memungkinkan orang atau sekelompok orang (masyarakat) memperoleh sesuatu yang bermanfaat dan produktif, modal sosial sekaligus juga memiliki potensi menyebabkan eksternalitas negatif. Aldridge (2002), misalnya, sebagaimana dimuat dalam Social Capital mengemukakan bahwa modal sosial mendorong perilaku yang memperburuk dan bukannya memperbaiki kinerja ekonomi; berlaku sebagai hambatan bagi inklusi sosial dan mobilitas sosial; membuat masyarakat terbagi-bagi dan bukannya menyatu; bisa memfasilitasi tindakan kriminal (bukan mengurangi) (Social Capital, 2008).

Hunter (2000), Moorow (1999), dan Szreter (2000) juga menyatakan bahwa jenis-jenis kelompok dan asosiasi memang bisa membangkitkan modal sosial tetapi sekaligus selalu juga memiliki potensi untuk meniadakan (exclude) yang lain (Social Capital, 2008).

Guanxi
Kata “guanxi” secara etimologis berasal dari dua kata; guan yang berarti pintu (noun) atau mengamati dari dekat (verb) dan xi yang berarti mengikat atau menghubungkan (verb) atau sebuah sistem atau sebuah jejaring (noun).

Bagi orang Chinesse, secara sederhana guanxi berarti hubungan, tetapi juga bisa berarti penggunaan otoritas seseorang (the use of someone’s authority) untuk memperoleh manfaat ekonomis atau politis oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab (unethical persons) (Huang, 2003). Yang (1994) sebagaimana dikutip Huang mengemukakan bahwa guanxi ini dibangun dan dijaga melalui saluran-saluran formal dan pribadi seperti jamuan ramah tamah dan hadiah (Huang, 2003).

Hwang (1987) mengidentifikasi tiga jenis relasi personal di dalam pertukaran sosial (social exchange) masyarakat Tionghoa. Pertama, ikatan ekspresif yang pada umumnya terjadi di antara para anggota keluarga, sahabat dekat, dan kelompok-kelompok lain yang menyenangkan. Kedua, ikatan instrumental yang didasarkan pada pencapaian sasaran spesifik dan terjadi di antara dua orang yang saling berinteraksi dalam jangka waktu pendek. Misalnya antara wiraniaga dan pembeli. Ketiga, ikatan campuran yang terjadi antarorang yang saling mengenal dan berharap untuk bisa saling berinteraksi dalam jangka waktu yang lama. Bagi Hwang, jenis ketiga inilah yang bisa digolongkan sebagai guanxi dengan fungsi instrumental (Huang, 2003).
Bertitik tolak dari asumsi bahwa guanxi didasarkan pada basis hubungan jangka panjang, dengan sendirinya guanxi mensyaratkan adanya resiprositas1 dan keterpercayaan. Bahkan, guanxi tidak mungkin terjadi tanpa trust.

Collective Action

Atas dasar norma dan nilai-nilai luhur yang ada, sering kali suatu etnis tertentu memiliki tindakan bersama (collective action) yang entah langsung atau tidak langsung akan berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat etnis yang bersangkutan. David Mosse (2006) dalam penelitiannya di Daratan Tamil Tenggara menemukan perbedaan perilaku antara orang-orang Vayalur dan orang-orang Alapuram dalam kaitan dengan pengelolaan air. Baik Vayalur maupun Alapuram adalah daerah yang sama-sama tandus. Di Vayalur ia menemukan bahwa penduduk desa itu memiliki tindakan bersama yang sangat positif menyangkut ketersediaan air yang langka di sana. Misalnya, para penduduk desa secara kolektif bersama-sama menjaga keamanan persediaan air, bisa bernegosiasi dengan para penduduk desa yang ada di atasnya, mereka juga menaati aturan spesifik penggunaan air selama masa kekeringan, mereka bahkan memiliki sistem distribusi air yang dikerjakan oleh seorang spesialis. Sebaliknya adalah yang terjadi di Alapuram. Di sana tidak ada pengambilan keputusan secara kolektif, tidak ada aturan formal mengenai pengalokasian dan pendistribusian air, tidak ada seorang spesialis irigasi.

Masih terkait dengan aksi kolektif, masyarakat Karibia memiliki karakteristik yang amat unik. Tak peduli betapa mereka terpisahkan secara geografis, jejaring keluarga mereka sangat kuat. Harry Goulbourne (2006) menulis, “The Carribean families have been able to sustain itself through its ability to maintain strong transnational ties and network, which are valued as a central aspect of Carribean society.”

Tampaknya, ikatan transnasional masyarakat Karibia tersebut didorong oleh kebutuhan dasar bahwa masing-masing individu harus memelihara hubungan keluarga. Wujud konkret dari ikatan transnasional itu adalah pengiriman uang dari orang-orang yang tinggal di negara lain kepada sanak-saudara yang tinggal di Karibia.

Pengiriman uang semacam itu, sekalipun juga memiliki potensi negatif, sedikit banyak pasti membantu sanak famili apalagi yang secara ekonomis memang berkekurangan.

Guanxi dan Kemiskinan

Bila benar bahwa modal sosial akan memengaruhi kesejahteraan keluarga dan individu, muncul pertanyaan praktis: bagaimanakah hal itu bisa terjadi? Selanjutnya, bila dalam kenyataannya etnisitas merupakan salah satu bentuk modal sosial dan modal sosial bisa memengaruhi secara positif kesejahteraan individu dan keluarga, bagaimanakah mengaitkan guanxi sebagai sebuah bentuk hubungan khas etnis Tionghoa dengan kemiskinan yang dialami oleh sebagian dari mereka?

Tampaknya, pengaruh positif yang diberikan oleh modal sosial dalam penciptaan kesejahteraan individu dan keluarga tidak terjadi secara langsung. Dalam konteks kesejahteraan ekonomi, modal sosial tersebut memengaruhi kesejahteraan melalui akses terhadap kredit, akumulasi aset, dan aksi kolektif (collective action) (Grootaert, 1999). Dalam kaitan inilah apa yang dikemukakan Grootaert mengenai peran perkumpulan atau asosiasi lokal sebagai wahana distribusi informasi dan pertukaran pengetahuan (exchange of knowledge) menjadi relevan. Orang sering kali tidak bisa mengakses kredit dan tidak memiliki keahlian melakukan akumulasi aset karena tidak memiliki informasi atau tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Dengan kata lain, peluang seseorang untuk mendapatkan akses kredit dan melakukan akumulasi aset menjadi terbuka ketika ia memiliki informasi tentangnya atau memiliki pengetahuan tentangnya. Dan, informasi serta pengetahuan tersebut bisa diperoleh seseorang pada perkumpulan atau asosiasi yang di dalamnya ia terlibat.

Sekalipun demikian, Grootaert (1999) memberikan catatan bahwa seberapa jauh keanggotaan seseorang di dalam suatu perkumpulan atau kelompok memberikan manfaat ekonomis (akses terhadap kredit dan akumulasi aset), sangat tergantung pada dua hal. Pertama, heterogenitas anggota kelompok dan kedua, partisipasi individu dalam pengambilan keputusan kelompok. Menurut Grootaert, semakin heterogen karakteristik keanggotaan suatu kelompok, semakin tinggi manfaat bagi akses terhadap kredit dan akumulasi aset. Di sisi lain, semakin individu terlibat dalam pengambilan-pengambilan keputusan kelompok (dengan demikian sekaligus mengandaikan intensitas kehadiran dalam pertemuan-pertemuan kelompok tersebut) semakin tinggi manfaat yang akan diperoleh individu dalam kelompok tersebut.

Yang menarik, berbeda dengan yang terjadi pada akumulasi aset dan akses terhadap kredit, aksi kolektif (collective action) lebih mudah dilakukan dalam sebuah kelompok yang homogen. Dengan demikian, masih menurut Grootaert, homogenitas atas dasar sanak famili, kasta, latar belakang etnis dan agama akan mempermudah terjadinya aksi kolektif di atas. Dalam hal ini pun Grootaert berkesimpulan bahwa semakin sejahtera kehidupan ekonomi suatu keluarga, semakin kurang terlibat dalam aksi kolektif keluarga tersebut.

Dengan demikian, bagaimanakah menjelaskan kejadian kemiskinan yang dialami sebagian masyarakat Tionghoa sementara mereka memiliki pola relasi yang khas, yang disebut guanxi?
Pertama. Kemiskinan pada satu sisi bisa dipandang sebagai akibat terdepaknya seorang individu atau keluarga di dalam arena ekonomi pasar. Semua makfum bahwa ekonomi pasar yang mengusung agenda modernisasi secara sosiologis menuntut semakin tingginya kemampuan dan skill seseorang (human capital) atau cultural capital menurut istilah Bourdieu (Huang, 2003). Menurut Bourdieu, cultural capital tersebut menunjuk pada embodied capital (misalnya pengetahuan dan kebiasaan); objectivied capital (misalnya buku-buku) dan institusionalised capital (dalam bentuk pendidikan) (Huang, 2003). Artinya, bila seseorang tidak mampu mentransformasi kemampuan dan skill-nya dalam kancah modernisasi ini, cepat atau lambat secara alamiah ia akan tersingkirkan. Bagi Coleman sebagaimana dikemukakan Winter (2000), modal manusia tersebut terfasilitasi oleh adanya norma-norma yang diikuti sanksi yang efektif. Dalam perspektif inilah kita melihat pentingnya keluarga dan masyarakat sebagai sumber modal sosial. Jadi, bila sebagian masyarakat Tionghoa ada yang mengalami kejadian kemiskinan—dari sudut pandang modal sosial—perlu ditelisik apakah keluarga dan masyarakat sekitar merupakan keluarga dan masyarakat yang cukup mewarisi dan teguh mewariskan norma-norma yang mendukung peningkatan sumber daya manusia sehingga memungkinkan terjadinya mobilitas sosial.

Kedua. Guanxi selalu mencakup tiga hal, yakni relasi personal; pemanfaatan relasi personal yang ada; dan kewajiban serta resiprositas (Huang, 2003). Relasi personal akan membangun sebuah informal network. Sementara kewajiban dan resiprositas akan membangun trust dan credit slip. Baik network, trust, maupun credit slip idealnya bisa memfasilitasi seseorang atau keluarga memperoleh sumber-sumber ekonomis sehingga mereka bisa terlepas dari kejadian kemiskinan. Oleh karena itu, kejadian kemiskinan yang diderita oleh sebagian kaum Tionghoa bisa jadi merupakan akibat ketidakmampuan mereka memanfaat guanxi. Tapi, di sisi lain, mungkin pula mereka kehilangan network karena mereka pada dasarnya tidak memiliki credit slip. Ini bisa terjadi, misalnya karena mereka tidak mampu memenuhi norma-norma yang disyaratkan guanxi (kewajiban dan resiprositas). Hal tersebut bisa dijelaskan melalui realitas bahwa guanxi sebagai bentuk khas relasi personal dimengerti dalam konteks dua pribadi yang sama-sama menjaga dan memelihara nilai penting hubungan (relationship) di antara keduanya. Bagaimana mungkin relasi personal semacam itu bisa dipertahankan tanpa adanya kewajiban dan resiprositas? Di sisi yang lain lagi, bisa jadi etnisitas yang mestinya bisa menjadi petunjuk terhadap faktor sosial-kultural seperti akar sejarah, kenangan, mitos, adat kebiasaan, nilai, dsb. sesungguhnya telah luntur. Artinya, guanxi sebagai bentuk relasi khas kaum Tionghoa sudah tidak lagi dihayati atau bahkan “hilang” dari khazanah perbendaharaan kata kaum Tionghoa sendiri. Dengan lunturnya guanxi, dengan sendirinya luntur pula relasi pribadi yang khas di antara mereka.

Ketiga. Secara sosiologis, orang cenderung atau suka berkumpul dalam kelompok yang homogen. Celakanya, Christiaan Grootaert (1999) menengarai bahwa kelompok yang para anggotanya homogen (internally homogeneous) lebih banyak memfasilitasi adanya collective action dan terutama dalam hal menjaga aset bersama (common property), tetapi tidak cukup signifikan untuk membantu membuka akses terhadap kredit dan akumulasi modal dibandingkan dengan kelompok yang heterogen. Dari sudut pandang ini, beberapa pertanyaan bisa dimunculkan untuk menjawab kejadian kemiskinan pada sebagian masyarakat Tionghoa. Apakah mereka terlibat dalam kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi? Bagaimana karakteristik kelompok atau organisasi tersebut: homogen atau heterogen? Apakah mereka juga terlibat aktif dalam pengambilan keputusan?

Penutup

Benar bahwa modal sosial secara tidak langsung bisa menjadi alat efektif untuk mengurangi kemiskinan. Narayan dan Pritchett (1997) sebagaimana dikemukakan Grootaert (2001) menunjukkan secara ekonomis bahwa kepemilikan modal sosial oleh keluarga-keluarga di Tanzania memiliki pengaruh yang amat besar terhadap kesejahteraan keluarga-keluarga di sana. Dan, sebagaimana telah ditunjukkan di atas, etnisitas pun merupakan suatu bentuk modal sosial.

Dalam kaitan dengan etnisitas sebagai modal sosial di atas, guanxi yang merupakan bentuk relasi personal khas kaum Tionghoa pun merupakan modal sosial. Dengan demikian, secara teoretis guanxi harus mampu membantu sebagian keluarga Tionghoa yang mengalami kejadian kemiskinan.

Bertolak dari rentetan pemikiran tersebut, upaya mengatasi kemiskinan yang terjadi di kalangan kaum Tionghoa sangat boleh jadi memerlukan pendekatan yang amat berbeda dengan pendekatan yang digunakan untuk mengatasi kemiskinan pada umumnya. Bagaimana dengan etnis yang lain? Apakah tidak mungkin bahwa kemiskinan yang dialami oleh etnis tertentu perlu penanganan spesifik dan khas yang berbeda dengan penangan kemiskinan pada etnis yang lain? Bila jawabannya adalah ya, artinya, menganggap sebuah strategi tertentu untuk mengatasi kemiskinan pasti merupakan strategi efektif untuk semua kasus kemiskinan merupakan anggapan yang terlampau tergesa-gesa!

Daftar Pustaka
-. (2006, Agustus). Guanxi. Retrieved Juni 2008, from www.wikipedia.com.
-. (n.d.). Is Social Capital Really Capital? Social Capital .
Amir, I. D. (2006). Trust: The Social Virtues and The Creation of Poverty (Tinjauan Buku).
Arif, S. (1999). Menolak Pembangunanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bates, R. H. (1999). Ethnicity, Capital Formation, and Conflict. CID Working Papers .
Christiaan Grootaert & Thierry van Bastelaer (eds). (2002). Understanding and Measuring Social Capital: A Multidisciplinary Tool for Practitioners. Washington DC: The World Bank.
Cox, E. (1995). Raising Social Capital. The 1995 Boyer Lectures. UNSW School of Public Health.
Dwyer, C. (2006). Ethnicity As Social Capital? Explaining the differential educational achievements of young British Pakistanis men and women. Ethnicity, Mobility and Society. Bristol.
Gouldbourne, H. (. (2006, August). Families, Social Capital and Etnics Identity of Carribeans, South Asians and South Europeans. Families & Social Capital ESRC Research Group .
Grootaert, C. (2001, Juni). Does Social Capital Help The Poor? Working Papers (The World Bank) .
Grootaert, C. (1999). Social Capital, Household Welfare And Poverty in Indonesia. Social Development Family (The World Bank) .
Hanson, J. (1974). A Dictionary of Economics and Commerce. London: The English Language Book Society (ELBS) and MacDonald and Evans Ltd.
Huang, Q. (2003). Social Capital in The West and China. Manchester Metropolitan University Business School Working paper Series .
Lang, R. E. (1998). What Is Social Capital and Why Is It Important to Public Policy? Housing Policy Debate VOl. 9 .
Mosse, D. (2006, April). Collective Action, Common Property, and Social Capital in South India: An Anthropological Commentary. Economic Development and Cultural Change .
Net, P. (. (2002, Oct). What Is Social Capital?
Rose, R. (1999). What Does Social Capital Do to Individual Welfare?: An Empirical Analysis of Russia. Social Capital Initiative (Working Paper No 15) .
Winter, I. (2000). Towards A Theorised Understanding of Family Life and Social Capital. Australian Institute of Family Studies .
1 Resiprositas dalam konsep tradisional China adalah bao yang berarti seseorang memberikan kemurahan hati kepada orang lain sebagai investasi sosial (social investment).

Kemiskinan sebagai Persoalan Psikokultural

Kemiskinan
Sebagai Persoalan Psikokultural

Oleh: Stefanus Rahoyo

Kemiskinan adalah bencana manusia yang paling dahsyat,
ketat dan padat.
Ia adalah biang keladi derita yang berkelanjutan—
dari kelaparan dan penyakit
sampai konflik sosial bahkan perang.
(John Kenneth Galbraith)

Kemiskinan—sekalipun secara kasat mata terlihat sebagai persoalan ekonomi—nyata-nyata juga memiliki dimensi psikokultural. Dalam konteks tertentu, faktor psikokultural ini justru merupakan penyebab kemiskinan yang jauh lebih menentukan dibandingkan dengan faktor ekonomi. Sejalan dengan itu, dalam konteks tertentu tersebut, keberhasilan usaha mengatasi kemiskinan (ekonomi) sangat ditentukan oleh keberhasilan usaha mentransformasi aspek psikokultural masyarakat yang ada.

Makalah ini berusaha menyoroti kemiskinan dari sudut pandang psikokultural di atas dan bertitik tolak dari analisis yang ada mencoba menawarkan salah satu pemecahan yang bisa ditempuh untuk mengatasi problematika kemiskinan.

Jenis dan Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan, sebagai masalah sosial, sesungguhnya merupakan fenomena lama. P.J. Zoetmulder ketika membahas Serat Kakawin (buku Kalangwang) menggambarkan bahwa pada masa itu seorang raja sering kali beranjang sana, berkeliling-keliling mengitari wilayah kekuasaannya. Di tengah-tengah perjalanannya itu, tak jarang sang raja menyaksikan rakyatnya yang hidup kekurangan, terutama penduduk yang tinggal di pegunungan.1
Selanjutnya, Burger berdasarkan penelitiannya menyimpulkan bahwa kira-kira tahun 1850-an Pemerintahan Hindia-Belanda sesungguhnya sudah merasa resah menyaksikan kemiskinan yang semakin menjadi-jadi di Pulau Jawa. Mereka memang mengaitkan kemiskinan yang terjadi itu melulu dengan pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa yang sangat pesat2, dan sama sekali tidak mengaitkannya dengan cultuur stelsel (tanam paksa).3


Pada dasarnya kemiskinan bisa dibedakan menurut jenis dan penyebabnya. Atas dasar jenisnya, kemiskinan dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Sedangkan bertitik tolak dari penyebabnya, kemiskinan bisa digolongkan menjadi kemiskinan struktural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan natural.4
Kemiskinan absolut, menurut definisi Mar’ie Muhammad, merupakan kondisi di mana seseorang, keluarga, atau sekelompok masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, baik kebutuhan dasar pangan maupun kebutuhan dasar non-pangan.5 Dari definisi tersebut tampak jelas bahwa kemiskinan absolut sesungguhnya terkait erat dengan daya beli. Persoalannya: apakah kriteria untuk kebutuhan dasar tersebut? Biro Pusat Statistik menggunakan patokan (pangan) 2.100 kalori/kapita/hari sebagai garis batas kemiskinan. Dari patokan tersebut pada tahun 2006 ditetapkan bahwa orang yang berpenghasilan kurang atau sama dengan Rp131.256/kapita/bulan (untuk penduduk pedesaan) atau Rp175.324/kapita/bulan (untuk penduduk perkotaan) akan digolongkan sebagai penduduk miskin.6 Dengan titik tolak yang sama—daya beli—Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan pada tahun 2006 sebesar US$2/kapita/hari.7

Sedangkan kemiskinan relatif adalah kemiskinan seseorang, suatu keluarga atau sekelompok orang dalam konteks kondisi perekonomian lingkungan sekitarnya. Dalam sudut pandang ini, bisa saja orang atau sebuah keluarga yang secara absolut bukan tergolong miskin tetap digolongkan sebagai miskin karena orang atau keluarga di sekitarnya jauh lebih kaya.8 Secara real, kemiskinan relatif sesungguhnya menunjuk pada ketimpangan distribusi pendapatan.9
Seseorang, suatu keluarga atau sekelompok masyarakat yang entah karena struktur sosial atau sebab lain tidak bisa menikmati—dalam ukuran keadilan sosial—kemakmuran hasil produksi lingkungan sosialnya itulah yang digolongkan sebagai penderita kemiskinan relatif.
Kemiskinan bisa terjadi karena sistem dan struktur sosial yang tidak ramah terhadap kaum lemah. Pola, prosedur dan syarat-syarat akses terhadap sumber-sumber keuangan yang tidak pro-rakyat miskin, pola hubungan dan diskriminasi gender yang membuat kaum perempuan termarginalisasi secara ekonomis, feodalisme yang memungkinkan para tuan tanah hidup mewah di atas penderitaan buruh tani, merupakan contoh struktur sosial yang bisa melahirkan kemiskinan struktural. Dengan agak provokatif Rena Gazaway mengemukakan,
The basic problem (of poverty) is that people exploit each other. The real problem is not the poor but the attitude of their fellowmen toward them... In every country in the mountains where poverty exists, there are a few rich and powerful people who control country affairs. They stay rich by exploiting the poor.”10

Hal-hal di atas bisa melahirkan apa yang dinamakan kemiskinan struktural. Dengan demikian, kemiskinan struktural pada dasarnya merupakan kemiskinan yang terjadi akibat struktur sosial yang ada.

Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang diderita oleh seseorang, suatu keluarga atau sekelompok masyarakat karena sikap mental seseorang, suatu keluarga atau sekelompok masyarakat itu sendiri. Kebiasaan hidup boros, tidak mau bekerja keras, tidak memiliki rencana masa depan, dan sikap gampang menyerah pada nasib merupakan beberapa contoh sikap mental yang bisa menyebabkan seseorang hidup dalam kemiskinan.
Sedangkan kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi karena faktor alam. Misalnya orang-orang yang hidup di daerah tandus, kering, tidak subur pada umumnya akan hidup dalam kemiskinan.

Di luar kategori-kategori yang biasa disebut oleh para ahli, Ginandjar Kartasasmita mengajukan beberapa pola kemiskinan. Yaitu, persistent poverty (kemiskinan yang terjadi secara turun-temurun); cyclical poverty (kemiskinan yang polanya mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan); seasonal poverty (kemiskinan yang terjadi secara musimam, misalnya kemiskinan yang diderita petani setiap kali musim paceklik); dan accidental poverty (kemiskinan yang terjadi karena suatu peristiwa tertentu, misalnya bencana alam).
Aspek Psikokultural

Di luar kelaziman di mana pada umumnya orang memahami kemiskinan pada konteks struktural, kultural dan natural, Oscar Lewis mengajukan tesis adanya kultur kemiskinan. Kultur kemiskinan bisa saja muncul secara real sama persis dengan gejala kemiskinan kultural, tetapi pada prinsipnya keduanya berbeda. Yang menarik, dari 62 sifat dan ciri budaya kemiskinan sebagaimana dikemukakan oleh Oscar Lewis tersebut,11 titik sentralnya adalah hal yang sifatnya psikologis.12 Di sisi lain, tak bisa ditampik bahwa kemiskinan pun memang berdimensi kultural. Kombinasi antara faktor psikologis dan kultural inilah yang kemudian membentuk faktor psikokultural dalam kemiskinan.

Jelas, bahwa faktor psikokultural ini tidak semata-mata persoalan ekonomi.13 Bahwa secara ekonomis ada hubungan kait-mengait antara kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi (economic growth), hal itu tak bisa dinafikan. Jelasnya, bila pertumbuhan ekonomi (economic growth) tinggi dan diikuti distribusi pendapatan yang berkeadilan sosial, keberhasilan ini dipastikan bisa menekan angka kemiskinan.14 Sebaliknya, bila jumlah orang miskin (absolut) bisa dikurangi, secara agregat hal itu pun akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, Soedjatmoko berkeyakinan bahwa bila kita memang concern pada urgensi pembangunan ekonomi, mau tidak mau secara sadar kita harus mengerahkan faktor-faktor kebudayaan demi percepatan proses pertumbuhan dan perkembangan ekonomi.15

Berbagai teori juga telah membahas pentingnya faktor psikokultural bagi pemecahan persoalan ekonomi (dus, juga persoalan kemiskinan). Misalnya, teori Etika Protestan dan Kapitalisme-nya Max Weber, teori n-Ach-nya David McClelland, teori Perubahan Sosialnya-nya Everett Hagen, juga Asian Drama-nya Gunnar Myrdal.16 Inti dari berbagai teori itu adalah bahwa sikap mental dan kebiasaan seseorang akan sangat memengaruhi pencapaian ekonomisnya. Semakin baik sikap mental dan kebiasaan seseorang, semakin besar peluang dirinya meraih pencapaian-pencapaian ekonomis. Mengikuti tesis Weber, misalnya, bila orang mau bekerja keras, berhemat, dan menunda kenikmatan, secara prinsip ia tidak akan hidup dalam kemiskinan. Dan, semakin seseorang bekerja keras, berhemat, dan bersedia menunda kenikmatan, semakin besar pula peluang dirinya memperoleh pencapaian-pencapaian ekonomis.

Konsekuensi dari realitas di atas adalah bahwa bila mau berhasil, pemecahan persoalan kemiskinan tidak bisa melulu mengandalkan analisis ekonomi. Sebab, bila kemiskinan semata-mata persoalan ekonomi, satu-satunya yang perlu dilakukan hanyalah memberi mereka yang masuk golongan miskin tersebut sumber-sumber pendapatan, dan dengan serta-merta persoalan kemiskinan terpecahkan.17 Dalam realitasnya tidaklah demikian.
Sejalan dengan itu, Theodore W. Schultz mengemukakan bahwa pada hakikatnya terdapat 3 usaha yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertama, meningkatkan kuantitas barang-barang yang bisa diproduksi kembali (reproducable goods); kedua, meningkatkan kualitas orang-orang sebagai agen-agen produktif (productive agents); dan ketiga, menaikkan tingkat keahlian-keahlian produktif (productive arts). Schultz berkesimpulan, dibandingkan dengan penambahan ikhtiar dan modal pada sektor pertama dalam jumlah yang sama, sektor kedua dan ketiga yang secara bersama-sama menentukan efisiensi nasional mempunyai efek yang jauh lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi.18

Peran Strategis Pendidikan

Ketika dalam realitasnya persoalan kemiskinan sangat lekat dengan persoalan psikokultural, pertanyaan terakhir yang mengemuka adalah, strategi apakah yang mestinya ditempuh untuk memutus mata rantai persoalan tersebut dalam usaha menekan dan mengurangi kemiskinan?
Jelas bahwa sikap mental dan kebiasaan seseorang atau sekelompok masyarakat yang manifestasinya terlihat secara real dalam perilaku sehari-hari (wujud sistem sosial kebudayaan) sesungguhnya terkait erat secara jalin-menjalin dengan ide, gagasan, nilai, dan norma yang mereka anut (wujud ideal kebudayaan). Karenanya, usaha mentransformasi aspek psikokultural yang memungkinkan terjadinya kemiskinan perlu langkah strategis dan konsisten. Meminjam istilah Ali Moertopo, diperlukan strategi kebudayaan.19

Di sinilah peran strategis pendidikan mendapatkan konteksnya. Strategi kebudayaan menempatkan pendidikan sebagai salah satu bidang pokok yang harus digarap secara serius guna menunjang keseluruhan proses pembangunan.20 Konkretnya, apabila hingga saat ini kemiskinan di Indonesia tak juga bisa diatasi secara optimal, dan itu salah satu dan terutama merupakan akibat dari beberapa sikap mental yang ditengarai Koentjoroningrat merupakan kelemahan mentalitas orang Indonesia (meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya pada diri sendiri, tidak bisa berdisiplin murni, dan suka mengabaikan tanggung jawab),21 pendidikan semestinya mengambil peran di sana. Proses pendidikan harus mampu mentransformasi sikap mental-sikap mental tersebut dan mengarahkan serta “membentuk” sikap mental baru yang mendukung pembangunan: serba tahu (well informed), sadar perlunya belajar sepanjang hidup (long life education), memiliki kemampuan analisis yang tajam, berpikir secara integratif dan konseptual, menalar secara rasional, kreatif, berani bertanggung jawab, memiliki kepekaan dan solidaritas sosial, memiliki harga diri dan kepercayaan diri, mampu bersaing sekaligus bekerja sama dengan orang lain, dan memiliki moral reasoning yang tajam.22 Untuk mencapai semua itu, pikiran peserta didik mutlak dibebaskan dari segala bentuk absolutisme dan dogma dan ilmu pengetahuan harus diajarkan sebagai metode bukan sebagai doktrin.23

Perkembangan ekonomi dan peningkatan kemakmuran masyarakat yang telah terjadi di Inggris sejak abad ke-18 bisa ditunjuk sebagai contoh dan bukti empiris. Selama beberapa dasawarsa sebelumnya, seluruh kesusasteraan dan bacaan rakyat di Inggris diisi dengan tema-tema yang berorientasi pada achievement yang tinggi.24

Justru karena itu, dalam konteks pembangunan, pendidikan (baca persekolahan) instrumentalis dalam arti sekadar alat pengalihan pengetahuan positif25 harus ditentang. Dalam konteks ini pula, sistem persekolahan (schooling) yang semata-mata bertujuan mentransfer pengetahuan dengan satu-satunya alat evaluasi keberhasilan berupa Ujian Akhir Nasional sesungguhnya tak berperan dan berfungsi apa pun dalam pembangunan dan dengan sendirinya sistem persekolahan semacam itu wajib dirombak!

IV. Penutup

Sebagai masalah sosial, kemiskinan memang harus ditekan agar tidak memicu munculnya masalah-masalah sosial lain. Namun demikian, pendekatan yang menyandarkan sepenuhnya pada analisis ekonomi sebagai upaya menekan kemiskinan tersebut terbukti tidak sepenuhnya efektif. Hal itu terjadi lantaran kemiskinan sesungguhnya juga sangat terkait dengan aspek psikokulutral. Bahkan, dalam sudut pandang tertentu, aspek psikokultural ini jauh lebih dominan dibandingkan dengan aspek ekonomi dalam menentukan berhasil-tidaknya usaha mengatasi kemiskinan.

Dalam alur pemikiran yang semacam itu, pendidikan yang secara ideal merupakan wahana bagi terkikisnya sikap mental dan kebiasaan yang tidak mendukung pembangunan dan tempat bersemainya sikap mental dan kebiasaan yang menyokong usaha pembangunan menjadi krusial. Sayangnya, pengalaman empiris membuktikan bahwa pemerintah belum banyak memberikan perhatian serius dan fundamental terhadap bidang strategis ini.
Maka, bila aspek psikokultural sungguh-sungguh disadari memiliki peran strategis untuk menekan angka kemiskinan, pilihannya tinggal satu: kita harus segera merombak sistem persekolahan yang sekarang ini ada agar berfungsi secara fundamental demi pembangunan atau membiarkannya berjalan apa adanya seperti yang selama ini terjadi dengan konsekuensi kita akan tetap tertatih-tatih menghadapi kemiskinan yang selalu membayang!

* * *

Referensi

Finney, Joseph C. (ed). 1969. Culture Change, Mental Health and Poverty. USA: A Clarian Book.
Galbraith, John Kenneth. 1979. Hakikat Kemiskinan Massa. Jakarta: Sinar Harapan.
Kartasasmita, Ginandjar. 1993. Kebijakan dan Strategi Pengentasan Kemiskinan. Malang: Universitas Brawijaya Fakultas Ilmu Administrasi.
Koentjoroningrat. 1982. Kebudayaan, Mentalitet & Pembangunan. Cetakan ke-9. Jakarta: Gramedia.
Marzali, Amri. 2005. Antropologi dan Pembangunan. Jakarta: Kencana.
Moertopo Ali. 1978. Strategi Kebudayaan. Jakarta: CSIS.
Mubyarto. 1987. Ekonomi Pancasila. Jakarta: LP3ES.
Putra, Nusa. 1993. Pemikiran Soedjatmoko tentang Kebebasan.Jakarta: Gramedia bekerja sama dengan Yayasan Soedjatmoko.
Sastrapratedja et.al (ed). 1986. Menguak Mitos-mitos Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Soedjatmoko. 1984. Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Suparlan, Parsudi (ed). 1993. Kemiskinan di Perkotaan: Bacaan untuk Antropologi Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor.
Koran Tempo, 12 Juli 2004.
Berita Resmi Statistik No 47/IX/1 September 2006.
1 Soedjatmoko, Dimensi Manusia dalam Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 1984), hlm. 156
2 Pandangan Pemerintah Hindia-Belanda tersebut tentu saja sangat politis sebab menurut Thomas Robert Malthus, kemiskinan memang benar merupakan salah satu akibat dari tekanan pertumbuhan penduduk, tetapi itu terjadi di Eropa bukan di wilayah lain. Baca John Kenneth Galbraith, Hakikat Kemiskinan Massa (Jakarta: Sinar Harapan, 1979), hlm. 24. Bahkan, Dawam Rahardjo mengemukakan bahwa pernyataan yang mengatakan bahwa kemiskinan terjadi akibat jumlah penduduk yang berlebihan sesungguhnya hanyalah mitos. Yang benar, kemiskinan itu terjadi karena adanya monopoli dan manipulasi oleh kekuatan ekonomi dan politik dominan baik yang resmi maupun yang tidak resmi. Baca Dawam Rahardjo dalam M. Sastrapratedja, et.al. (ed), Menguak Mitos-mitos Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 273.
3 Soedjatmoko, op.cit.
4 Galbraith meragukan apakah faktor natural memang bisa menjadi penjelasan atas terjadinya kemiskinan. Ia memberikan contoh: Jepang, Singapura, Hongkong, dan Korea Selatan secara natural bukanlah wilayah yang subur. Tetapi, siapa pun mengakui bahwa keempat negara tersebut bukanlah termasuk negara miskin. Sebaliknya, Virginia Barat yang secara natural memiliki tanah atau alam yang kaya justru merupakan negara bagian paling rendah income per capita-nya dibandingkan seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Baca: John Kenneth Galbraith, op.cit. hlm. 13.
5 Mar’ie Muhammad dalam Koran Tempo, 12 Juli 2004. Bandingkan juga dengan definisi yang dikemukakan oleh Ginandjar Kartasasmita. Baca: Ginandjar Kartasasmita, Kebijakan dan Strategi Pengentasan Kemiskinan (Malang: Universitas Brawijaya Fakultas Administrasi, 1993), hlm. 2.
6 Biro Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik No 47/IX/1 September 2006.
7 Untuk konteks Indonesia, garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia ini dipandang terlalu tinggi. US$2/kapita/hari dengan asumsi hari kerja = 20 hari/bulan dan US$1 = Rp9.100,00 setara dengan kurang lebih Rp360.000,00/kaputa/bulan.
8 Bdk. Ginandjar Kartasasmita, op.cit.
9 Mar’ie Muhammad, op.cit.
10 Joseph C. Finney (ed), Culture Change, Mental Health and Poverty (USA: A Clarian Book, 1969), hlm. 53
11 Oscar Lewis membedakan antara budaya kemiskinan (culture of poverty) dan kemiskinan karena budaya (cultural poverty). Manifestasi dari keduanya bisa saja sama, tetapi peran dasar dari culture of poverty dan cultural poverty berbeda. Dalam sudut pandang cultural poverty kultur tertentu dianggap sebagai penyebab kemiskinan, sementara dalam sudut pandang culture of poverty, perilaku yang sama dipandang sebagai reaksi yang dilakukan kaum miskin terhadap kedukan mereka dalam masyarakat yang bercirikan strata kelas, sangat individualistis dan berciri kapitalisme. Baca Oscar Lewis dalam Parsudi Suparlan (ed), Kemiskinan di Perkotaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hlm. 5
12 Joseph C. Finney (ed), op.cit., hlm. xii.
13 Oscar Lewis dalam Joseph C. Finney (ed), ibid., hlm. 149.
14 John Stuart Mill membedakan dengan tegas antara produksi dan distribusi. Ketimpangan pendapatan yang menjadi salah satu sebab kemiskinan pada dasarnya bukanlah soal produksi melainkan soal distribusi. Dan sejauh menyangkut persoalan distribusi, itu sebenarnya hanya menyangkut persoalan human and political will. Baca: Mubyarto, Ekonomi Pancasila (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 9.
15 Soedjatmoko, op.cit., hlm. 6-7.
16 Marzali, Amri, Antropologi dan Pembangunan (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 92-101.
17 Oscar Lewis, ibid.
18 Soedjatmiko, op.cit., hlm. 24.
19 Ali Moertopo, Strategi Kebudayaan (Jakarta: CSIS, 1978), hlm. 3-9.
20 Bdk. Ali Moertopo, ibid., hlm. 44-50.
21 Koentjoroningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 43-49
22 Nusa Putra, Pemikiran Soedjatmoko tentang Kebebasan (Jakarta: Gramedia bekerja sama dengan Yayasan Soedjatmoko, 1993), hlm. 36.
23 Ibid.
24 Koentjoroningrat, op.cit., hlm. 77.
25 Nusa Putra, op.cit.

Minggu, 04 Mei 2008

Komodifikasi Tubuh di Layar Kaca:

Ketika iklan televisi dengan gencar mengampanyekan cantik sebagai kulit putih-mulus, rambut lurus, postur tubuh tinggi semampai, ideologisasi sesungguhnya sedang terjadi di sana. Di sisi lain, tak bisa ditampik bahwa penggunaan “tubuh perempuan” dalam iklan guna melariskan suatu produk, dari sudut pandang tertentu tak lain dan tak bukan adalah sebuah bentuk komodifikasi tubuh.

Ketika memperbincangkan “komodifikasi”—apa pun itu—sesungguhnya yang sedang diperbincangkan adalah suatu lembaga bernama industri. Dan, ketika industri diwacanakan, tak bisa tidak wacana harus menghujam ke sebuah ideologi besar yang mendasarinya, yakni kapitalisme. Maka, komodifikasi tubuh sesungguhnya juga merupakan anak kapitalisme.

Akhirnya, dalam segala wujud manifestasi kapitalisme, sebuah realitas selalu bisa ditunjuk: di sana ada segelintir elit yang akan mengeruk keuntungan dari suatu lembaga yang dinamakan pasar! Bagaimana ini bisa terjadi? Karena dalam industri budaya, elitlah pihak yang sesungguhnya menjadi penentu standarisasi, massifikasi, dan komodifikasi. Dalam konteks industri budaya sebagaimana yang tercermin dalam “pasar” layar kaca, di sana mereka juga sekaligus menjadi pemegang hegemoni atas selera, preferensi, dan gaya hidup!

I. Fenomena Madonna

Tahun 1980-an dunia entertainment terhentak seolah mendapatkan momentum baru ketika seorang Madonna tampil sebagai entertainer dengan genre yang melawan pakem yang selama itu ada. Sebagai seorang penyanyi dan artis, Madonna tampil dengan simbol-simbol tak lazim. Salah satunya: lirik-lirik lagunya nyerempet-nyerempet erotisme seksual. Lebih dari itu, ia pun dengan penuh percaya diri tampil dalam berbagai pose erotis. Sekonyong-konyong nama Madonna menjadi simbol baru dalam jagad hiburan. Itulah tonggak ketika “ketelanjangan” tubuh perempuan yang celakanya selalu diasosiakan dengan seks[1] mulai mengisi ruang-ruang publik yang bernama layar: mula-mula layar lebar kemudian merembet ke layar kaca. Sejak itu, terutama dalam pasar layar kaca, hukum permintaan dan penawaran menjadi satu-satunya pertimbangan logis penggunaan tubuh perempuan sebagai simbol seks tadi.

Tak pelak, para penganut feminisme pun terbelah ketika menyaksikan fenomena tersebut. Kubu yang satu bersepakat bahwa hadirnya Madonna dalam ekspresi erotisme tubuh sensualnya merupakan wajah sekaligus manifestasi real kebebasan kaum perempuan. Namun, di kubu yang lain tak kalah santer terdengar bahwa semua itu tak ubahnya semata-mata sebuah eksploitasi tubuh perempuan!

Apa pun reaksi yang menyusul tampilnya Madonna dengan kepercayaan dirinya itu, tak dapat disangkal bahwa gerak kelahiran industri entertainment dengan tubuh perempuan sebagai salah satu simbol utamanya telah merasuk ke dalam berbagai media hingga saat ini!

II. Televisi, Industri Budaya dan Komodifikasi Tubuh

Kajian baru pun muncul. Dikenallah apa yang disebut sebagai pendekatan budaya masa (mass culture) atau budaya populer (budaya pop) yang dipertentangkan secara diametris dengan pendekatan moralis yang secara spesifik merujuk pada budaya tinggi (high culture).

Dalam kajian para penganut pendekatan moralis, budaya massa adalah sebuah fenonema sosio-kultural yang senantiasa dicirii dengan seksualitas, erotisme, pornografi dan bersifat picisan. Karena itu, di antara budaya massa dan budaya tinggi terbentang sebuah tembok tebal tak tertembus di mana budaya massa dianggap sebagai budaya perusak moralitas, bernilai rendah dan picisan sementara budaya tinggi dianggap sebagai penjaga moral dan nilai-nilai luhur.

Sesungguhnya, kajian mengenai budaya massa memang tak mungkin dipisahkan dengan corongnya, yakni media, terutama media elektronik dan lebih khusus lagi televisi. Melalui televisi “desakralisasi” pertunjukan seni—apa pun itu—terjadi. Pertunjukan seni sebagai salah satu wujud kebudayaan (konser musik, tarian, juga film) yang dulunya bersifat ekslusif dan menjadi hak segelintir elit karena digelar di gedung-gedung pertunjukan atau gedung film; dengan hadirnya tabung kaca itu kini bahkan bisa dinikmati di ruang-ruang amat privat, yakni kamar tidur. Di situlah industri budaya mendapatkan konteksnya. Kebudayaan diproduksi secara massif, standar, dan tentu saja melalui proses komodifikasi.

Ihwal betapa high culture kerap kali menyerang budaya massa sebagai budaya murahan yang tanpa selera dan hanya bisa merusak moral, kita bisa mencermati sebuah contoh empiris, yakni perseteruan Inul Daratista dengan goyang ngebornya di satu pihak dan Rhoma Irama dan Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dkk. di lain pihak. Sebagai artis yang berangkat dari “penyanyi kampung”, goyang ngebor tersebut sesungguhnya sejak lama telah menjadi ikon Inul. Dan, di kalangan pedangdut kampung, goyangan semacam itu—bahkan banyak juga yang lebih vulgar—merupakan hal yang lumrah. “Goyang erotis” biduanlah yang membuat sebuah pertunjukan dangdut di panggung-panggung kampung menjadi semarak. Bagi pertunjukan dangdut di panggung kampung, goyang erotis adalah bagian dari roh pertunjukan itu sendiri. Dan, sejauh itu, tak pernah ada ekses negatif yang terjadi. Kalaupun sesekali muncul ekses, eksesnya adalah tawuran yang sama sekali tak terkait dengan goyangan sang biduan. Dan, sejauh itu pula tak ada reaksi apa pun dari berbagai kalangan.

Akan tetapi, ketika “goyang ngebor” Inul tersebut diproduksi secara massal, yaitu ketika dibawa ke dalam layar kaca dan dengan mudah bisa dinikmati oleh berjuta-juta rumah tangga, ketika itulah Rhoma Irama dan sekutunya sebagai “simbol” pemegang budaya tinggi merasa perlu menegur atau bahkan mencekal Inul. Ketika itu pulalah pendekatan budaya massa (kali ini dengan ikon Inul) berbenturan dengan pendekatan moralis yang “diwakili” Rhoma Irama cs, terlepas dari apakah sesungguhnya Inul memang tidak lebih bermoral daripada Rhoma Irama.

Yang menjadi pertanyaan, dalam konteks ini, mengapa tubuh perempuanlah yang jauh lebih sering dijadikan objek komodifikasi dalam industri budaya tersebut? Lebih khusus lagi, dalam layar kaca, bagaimana bisa asosiasi seks semata-mata dilekatkan pada kemolekan tubuh perempuan?

Perhatikanlah iklan-iklan yang mempromosikan berbagai produk di televisi. Produk-produk yang sama sekali tak ada hubungan langsung dengan seksualitas pun direkayasa sedemikian rupa oleh si perancang iklan untuk diserempet-serempetkan pada seks yang—itu tadi—anehnya hampir selalu melibatkan bintang iklan perempuan. Iklan sebuah merek kacang, misalnya. Si bintang iklan perempuan diharuskan (oleh perancang iklan, tentunya!) menutup iklan itu dengan kalimat, “Ini kacangku” atau dalam versi yang lain, “Kacangku baik untuk suamiku”.

Siapa pun tahu bahwa produk kacang sama sekali tak punya kaitan langsung maupun tidak langsung dengan aktivitas seksual. Tetapi, mengapa harus muncul kalimat “Ini kacangku”? Apa kaitan kalimat “Ini kacangku” tersebut dengan produk yang sedang diiklankan? Sama sekali tidak ada kaitan. Kalimat itu muncul (lebih tepat: dimunculkan) semata-mata sebagai tag line agar konsumen terpatri dengan produk yang sedang diiklankan. Kalangan laki-laki (dan barangkali juga sebagian perempuan, tentunya) paham benar konotasi “kacang” ketika kata itu dilekatkan pada tubuh perempuan. Ia sudah bukan lagi “kacang” dalam makna denotatif, melainkan telah bemakna konotatif, yakni merujuk pada bagian tubuh perempuan yang paling privat. Apalagi, kalimat itu diungkapkan oleh si perempuan dengan nada, intonasi dan body language yang menguatkan konotasi tersebut.

Juga, iklan sebuah merek balsem merah. Dalam iklan itu diceritakan, si suami dipijit-pijit oleh sang istri. Sampai titik ini memang belum ada masalah. Sesuatu yang janggal muncul ketika sang suami harus melenguh-lenguh dengan gerakan bibir “menggoda” ketika di depannya lewat seorang perempuan dengan lenggak-lenggok tubuh yang juga menggoda. Apalagi di akhir iklan pun dimunculkan kata “hot...hot”. Tak perlu berpikir panjang, para lelaki pun dengan gampang mengasosiasikan lenguhan dan gerakan bibir itu dalam konteks seks. Pertanyaannya sama: apa hubungan lenguhan dan gerakan bibir “menggoda” itu—atau bahkan lebih jauh lagi sang perempuan yang berjalan berlenggak-lenggok dengan ekspresi wajah menggoda—dengan balsem?

Bila produk-produk yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan seks pun oleh perancang iklannya harus diserempet-serempetkan dengan seks, bisa ditebak seperti apa tampilan iklan untuk produk yang memang secara langsung terkait dengan hubungan seks. Untuk kepentingan ini, perhatikan saja lagu yang dinyanyikan sang bintang iklan perempuan dalam iklan kondom di televisi: “Ayo Abang...ayo digoyang,” dst.!

Tampaknya, komodifikasi tubuh perempuan yang secara khusus mengarah pada asosiasi seks, pertama-tama dan terutama disebabkan oleh cara pandang khas laki-laki. Arswendo Atmowiloto dalam sebuah tayangan infotainment mengemukakan, “60% tubuh perempuan itu seks, selebihnya adalah misteri!”. Seperti itulah, dalam sebuah dunia yang didominasi oleh perspektif kelaki-lakian, tubuh perempuan sebagian besar dipandang sebagai simbol seks. Celakanya, simbol itu tak pernah dikaitkan dengan konteks kepribadian sang perempuan secara keseluruhan dan utuh. Simbol-simbol itu semata-mata dilekatkan pada aktivitas erotisme-sensual. Artinya, dalam proses semacam itu sesungguhnya keperempuanan juga telah didistorsi sebegitu rupa. Justru karena itu, simbol-simbol tubuh yang ditampilkannya pun terbatas—tepatnya: sengaja dibatasi—pada wilayah-wilayah yang secara langsung mengarah pada konotasi erotisme seksual: bupati (buka paha tinggi-tinggi), sekwilda (sekitar wilayah dada), dan gerakan-gerakan atau lenguhan-lenguhan menggoda.

Pada celah itulah kapitalisme seolah memperoleh akses lebar untuk mendiktekan dirinya. Sebagaimana insting dasar lain yang ada dalam diri manusia selalu merupakan celah ampuh untuk masuk menawarkan suatu produk, insting seks pun tak luput dari bidikan para pengiklan. Di sisi lain, adalah sebuah realitas bahwa tubuh perempuan dalam dirinya sendiri merupakan simbol yang “enak dicerna” dan mudah menarik perhatian. Karenanya, dari sudut pandang industri kapitalis, komodifikasi tubuh perempuan memang merupakan pilihan yang secara ekonomis amat rasional.

Persoalannya, siapakah yang sebenarnya sangat diuntungkan dari proses komodifikasi semacam itu? Penonton, si bintang iklan, atau pemilik industri? Bagi penonton—mengikuti tesis Theodore W. Adorno—sesungguhnya manfaat semulah yang mereka peroleh. Mengapa? Komodifikasi tubuh dalam iklan di layar kaca pada dasarnya menyiratkan dominasi nilai tukar (exchange value) yang menggantikan nilai guna benda (use value). Ketika exchange value menggantikan use value, yang terjadi adalah nilai guna skunder (secondary use value) atau yang oleh Adorno disebut sebagai manfaat semu tadi. Oleh karena itu, sesungguhnya penonton yang jumlahnya berjuta-juta orang itu tak sedikit pun memperoleh manfaat. Si bintang iklan memang memperoleh royalty. Tetapi, besar royalty yang secara matematis paling banter 10% dari seluruh manfaat (ekonomis dan non-ekonomis) yang diproyeksikan bakal dikeruk oleh pemilik produk dengan adanya iklan tersebut juga bukan jumlah yang signifikan untuk diperbincangkan. Karena itu, bila ditanya siapakah sebenarnya pihak yang akan memperoleh keuntungan terbesar dari industri budaya dalam sosoknya komodifikasi tubuh (perempuan) semacam itu, dengan mudah bisa ditunjuk: pemilik modal! (Dalam konteks ini adalah pemilik perusahaan pengiklan produk dan pemilik stasiun televisi).

Dengan mudah pula bisa ditelusuri bahwa dalam industri budaya semacam itu, selera, aspirasi, dan gaya hidup khalayak senyatanya melulu dikendalikan oleh segelintir elit melalui modal yang dimilikinya. Yang juga pantas dicatat, dalam sebuah pasar yang mendasarkan diri pada prinsip self regulating (swatata), laissez-faire yang merupakan roh pasar swatata (self regulating market) dihantar menjadi sebuah nafsu liar tanpa kompromi (Karl Polanyi, 2003). Itu artinya, bila benar bahwa tangan-tangan tak kentara (invisible hand) akan selalu menciptakan ekuilibrium baru dari ketidakseimbangan yang terjadi dalam pasar swatata, komodifikasi tubuh yang ujung-ujungnya adalah semata-mata eksploitasi (tubuh) perempuan akan tiba pada titik yang sangat mengkhawatirkan.

III. Reifikasi dan Ideologisasi

Berhadapan dengan budaya massa dalam salah satu wujud konkretnya berupa komodifikasi tubuh sebagaimana yang terjadi dalam kebanyakan iklan di layar kaca, mau tak mau manusia akan kehilangan kejatidiriannya sebagai subjek. Ia tak lebih daripada sekadar objek atau dalam istilah Georg Lukacs mengalami reifikasi. Apa artinya? Manusia yang dalam dirinya memiliki kehendak bebas (free will) untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakannya pada akhirnya tak lebih daripada sekadar kerumunan orang (khalayak) yang dijadikan sasaran (objek) penentuan kepentingan segelintir elit.

Hal itu akan tampak semakin jelas bila dikaitkan dengan proses ideologisasi yang terjadi dalam tabung gambar bernama televisi itu!

Bagi Karl Marx, ideologi merupakan “ajaran yang menjelaskan suatu keadaan ... sedemikian rupa sehingga orang menganggapnya sah, padahal jelas tidak sah” (Fajar Junaedi, 2005). Bagaimana ideologisasi ini terjadi dalam televisi?

Contoh yang paling jelas adalah pada iklan shampoo dan produk-produk kecantikan. Model yang selalu dijadikan bintang iklan adalah perempuan berkulit putih, berambut panjang-lurus-berkilau, postur tubuh tinggi semampai. Cerita iklan tak pernah jauh-jauh dari pesan: apabila suamimu ingin menciumimu setiap hari atau agar remaja lelaki mengagumimu, kulitmu harus putih halus dan itu bisa kamu dapatkan dalam waktu seminggu (iklan Ponds Miracle dan Citra); apabila kamu ingin bisa tampil lebih percaya diri, dadamu harus montok dan itu bisa kamu dapatkan dengan memakai BH tertentu (iklan Breast up); apabila kamu ingin lelaki mengagumi dan mengejar-ngejarmu, badanmu harus halus dan harum (iklan Lux), dsb.

Khalayak pun kemudian beramai-ramai memakai produk-produk yang diiklankan tersebut dengan harapan kulitnya menjadi putih-halus dan rambutnya panjang, lurus dan indah. Di sinilah manfaat semu sebagaimana ditengarai Adorno tersebut tampak jelas. Kalau pada akhirnya ada orang berkulit putih-mulus dan berambut panjang, indah, lurus; jelas itu bukanlah karena produk pemutih atau shampoo yang digunakan, melainkan orang tersebut pada dasarnya memang telah berkulit putih-mulus dan berambut panjang-lurus-indah!

Dalam pesan iklan itu pula tampak ideologisasinya: perempuan akan dibilang cantik bila berkulit putih, berambut panjang, lurus, kemilau. Sahkah penggambaran cantik semacam itu? Siapa yang mengesahkan? Itulah ideologisasi: orang digiring menganggap sah suatu keadaan yang digambarkan, padahal jelas keadaan itu sendiri sesungguhnya tidaklah sah. Dengan kata lain, ideologi sebenarnya juga sekaligus merupakan distorsi terhadap realitas. Dan karena ideologi merupakan distorsi terhadap realitas, orang-orang yang menjadi objek ideologisasi sebenarnya juga sedang menjalani suatu proses menuju kesadaran palsu! (Fajar Junaedi, 2005).

Bagi Frederick Jamenson, tanda seperti kulit putih-mulus, rambut panjang-lurus-kemilau memang merupakan ikon penting dalam kapitalisme lanjut (Fajar Juanedi, 2005). Dan, karena kapitalisme lanjut mendasarkan diri pada tanda dan bukan substansi, budaya yang terbentuk pun akhirnya merupakan budaya dangkal yang miskin nilai. Dalam budaya yang dangkal semacam itu, “kemasan” menjadi jauh lebih penting daripada “isi”. Celakanya, tanda atau kemasan sering kali (atau bahkan selalu) tidak merefleksikan realitas yang sebenarnya. Tanda dan kemasan tersebut ditampilkan dalam wujud yang dilebih-lebihkan atau dalam bahasa Jameson disebut hiperrealitas.

Satu hal lagi yang tak boleh dilupakan ketika memperbincangkan ideologisasi adalah hegemoni. Bagi Antonio Gramsci, proses penyebaran ideologi selalu terjadi melalui proses hegemoni dalam bentuknya kepemimpinan moral dan intelektual oleh segelintir elit. Ini pun terjadi dalam sebuah ruang yang bernama televisi tersebut. Penggambaran realitas oleh iklan (juga jangan lupa: sinetron!) tanpa sadar dan tanpa disadari berusaha menggiring opini khalayak ke sebuah opini seragam tentang suatu realitas yang sedang digambarkan itu. “Cantik itu putih, bahagia itu kaya, kebahagiaan rumah tangga itu (suami-istri) ditentukan oleh daya tahan melakukan hubungan badan, modern itu memiliki hp terbaru, dan seterusnya” merupakan opini yang berusaha dijadikan satu-satunya opini yang benar. Opini-opini lain di luar opini yang didengung-dengungkan oleh iklan akan menjadi opini pinggiran yang tidak populer atau bahkan dianggap salah. Seperti itulah hegemoni. Lalu, siapakah elit yang melakukan hegemoni dalam sebuah dunia yang dikuasai iklan semacam itu? Lagi-lagi para pemilik modal!

IV. Penutup

Tampak jelas bahwa di balik manfaat yang tak bisa dibantah akan hadirnya televisi di ruang-ruang keluarga, di sana sekaligus tersimpan problem tidak semata-mata ekonomis tetapi juga ideologis.

Dari sudut pandang ekonomi, layar kaca jelas merupakan pasar. Proses permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar itu tercermin dalam survei lembaga rating—tak peduli apakah dari segi metodologis hasilnya memang akurat—untuk menentukan laris-tidaknya suatu program tayangan. Dan, ketika layar kaca dalam realitasnya adalah sebuah pasar, mengikuti logika kapitalisme, mestinya di sana akan selalu terjadi keseimbangan (ekuilibrium) di mana diandaikan bahwa antara penjual dan pembeli memiliki kesederajatan (equality). Bahwa dalam kenyataannya kesederajatan semacam itu tak pernah terbukti, itulah yang sejak lama telah ditengarai oleh Karl Polanyi bahwa pasar swatata sesungguhnya tak lebih daripada sebuah mitos (Karl Polanyi, 2003). Maka, memercayai adanya tangan-tangan tak kentara (invisible hand) yang akan selalu menciptakan keseimbangan baru dari ketidakseimbangan yang ada di mana pembeli dan penjual memiliki kedudukan yang setara juga dalam sebuah pasar yang bernama televisi, sesungguhnya kita sedang memercayai sebuah mitos!

Referensi

Barthess, Roland. 2007. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa (terj. Ikramullah Mahyuddin). Yogyakarta&Bandung: Jalasutra.
Isbandi dkk. 2005. Komodifikasi Budaya dalam Media Massa. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Polanyi, Karl. 2003. Transformasi Besar: Asal-usul Politik dan Ekonomi Zaman Sekarang (terj. M. Taufiq Rahman). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suseno, Frans. Magnis. 1999. Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia.


[1] Kata “seks” (dari kata sex, Inggris) sesungguhnya berasal dari kata Latin sexus yang berarti jenis kelamin. Sexus (kata benda) berakar kata secare (kata kerja/Latin) yang artinya membagi, memotong, memisahkan. Jadi, sesungguhnya kata seks sendiri sangatlah netral. Tetapi, tampaknya, kata ini mengalami penyempitan makna sehingga kini lebih dikonotasikan dengan aktivitas-aktivitas erotis.

Rabu, 23 April 2008

Etika Kerja dan Kode Etik Profesi dalam Perspektif Kebebasan

Salah satu ciri esensial yang membedakan eksistensi manusia dengan binatang adalah kebebasannya. Tanpa kebebasan, kemanusiaan kita menjadi terbelenggu bahkan alpa. Justru karena itulah segala bentuk praksis yang membelenggu dan merampas kebebasan harus ditentang dan dihapuskan. Muncul persoalan di sini: apakah etika kerja dan kode etik profesi yang berisi aturan sikap dan perilaku seseorang di tempat kerja dan dalam kaitannya dengan suatu profesi tertentu tidak bertentangan dengan kebebasan? Apakah demi kebebasan seseorang yang bekerja dan berprofesi tertentu boleh bahkan seharusnya mengabaikan etika kerja dan kode etik profesinya itu?

Etika Kerja

Etika kerja pada dasarnya merupakan seperangkat norma yang mengatur sikap dan perilaku seseorang dalam bekerja atau dalam kedudukannya sebagai pekerja di tempat kerja. Seperangkat norma tersebut lahir atas dasar tanggung jawab dan kewajiban yang melekat pada hak yang diperoleh seseorang dalam bekerja. Karena itu bisa disimpulkan bahwa keseimbangan antara hak dan kewajiban merupakan conditio sine qua non berlakunya etika kerja. Konkretnya, pekerja secara normatif memang harus bekerja keras, jujur, bertanggung jawab menyelesaikan dengan sebaik-baiknya semua tugas dan pekerjaan yang dipercayakan kepadanya, menjaga rahasia perusahaan, mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya untuk kelangsungan dan perkembangan tempatnya bekerja, dsb. Namun, semua kewajiban etis tersebut muncul dengan pengandaian bahwa hak-hak pekerja juga telah dipenuhi secara memadai. Dengan demikian, adalah tidak etis—selain secara formal juga melanggar kesepakatan kerja—bila seseorang yang telah menikmati hak-haknya sebagai pekerja/karyawan seperti gaji dan berbagai tunjangan serta fasilitas-fasilitas lain yang cukup, bekerja dengan sembrono, bermalas-malasan, tidak jujur kepada perusahaan, membocorkan rahasia perusahaan, dst. Akan tetapi, sebaliknya, secara etis tidak mungkin bisa dipersalahkan apabila seorang pekerja bermalas-malasan atau bekerja seenaknya sendiri karena ia memang tidak pernah menerima gaji yang menjadi haknya. Tampak di situ bahwa etika kerja sebagai etika terapan dengan sendirinya memang terkait dengan etika umum, yakni prinsip keadilan.

Kode Etik Profesi

Profesi merupakan sebuah bidang pekerjaan tertutup di mana orang-orang yang ada di dalamnya memiliki latar belakang pendidikan dan keahlian yang sama.1 Terkait dengan itu, dengan sendirinya seseorang dituntut memiliki sikap, perilaku bahkan kepribadian yang sesuai dengan profesi yang disandangnya.

Kode etik profesi lahir untuk menjawab kedua persoalan di atas. Sebagai seperangkat norma yang mengatur sikap dan perilaku orang-orang atau lembaga yang berprofesi tertentu, baik ketika menjalankan tugas kedinasan maupun di luar tugas kedinasan, secara internal kode etik profesi menjadi semacam pagar moral bagi para anggotanya. Sedangkan secara eksternal, kode etik profesi akan menjadi pegangan bagi masyarakat umum untuk mempercayai bahwa para anggota masyarakat profesi tersebut memiliki moral yang bisa dipercaya.

Contohnya, seorang wartawan. Dengan “kekuasaannya” menyebarkan informasi kepada publik, wartawan bisa saja menyalahgunakan kekuasaannya itu untuk memeras pihak lain. Untuk memagari kemungkinan tersebut, secara normatif wartawan diwajibkan untuk tidak menggunakan jabatan dan keahliannya demi kepentingan sendiri.2 Di sisi lain, publik bisa menaruh kepercayaan bahwa berita yang disiarkan seorang wartawan adalah benar karena secara moral (diatur dalam kode etik) wartawan tidak boleh menyiarkan berita bohong.3 Demikianpun seorang advokat. Dengan keahliannya di bidang hukum, seorang advokat sebenarnya bisa saja memberikan keterangan yang menyesatkan kepada seorang klien demi kepentingan dirinya sendiri. Secara normatif hal itu bisa dicegah—dan dengan demikian publik pun bisa percaya bahwa seorang advokat tidak akan melakukannya—dengan adanya kode etik bahwa advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang bisa menyesatkan klien.4
Karena sifat “ahlinya”, dalam suatu profesi melekat kekuasaan. Tetapi, karena sifat “tertutupnya”, profesi cenderung susah ditembus oleh orang luar.5 Di sisi lain, kekuasaan dalam dirinya sendiri selalu berpotensi disalahgunakan. Padahal, suatu profesi ada pada hakikatnya untuk menyediakan jasa bagi masyarakat umum. Maka, muncul dua persoalan di situ: Pertama, bagaimanakah mengatur sikap dan perilaku orang-orang atau lembaga yang berprofesi tertentu agar mereka berkepribadian yang sesuai dengan profesinya dan tidak menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki karena keahliannya itu? Kedua, adakah jaminan bagi masyarakat umum pengguna jasa suatu profesi bahwa mereka tidak memberikan kepercayaan kepada orang atau pihak yang secara moral tidak bisa dipercaya?

Karena sifatnya yang eksklusif, efektivitas kode etik profesi sangat ditentukan oleh adanya pengawasan yang ketat justru oleh badan atau dewan yang dibentuk secara internal oleh masyarakat profesi yang bersangkutan, misalnya PWI atau AJI untuk kalangan wartawan, IDI untuk profesi dokter, dan IKAHI untuk kalangan hakim.
Membelenggu Kebebasan?

Etika kerja dan kode etik profesi pada intinya mengatur kewajiban dan tanggung jawab moral seseorang sebagai pekerja atau penyandang profesi tertentu. Dalam tinjauan etika, “tanggung jawab” dan “kewajiban” hanya masuk akal bila ada kebebasan.6 Itu berarti, etika kerja dan kode etik profesi hanya mungkin ada karena adanya kebebasan. Pertanyaannya, apakah kebebasan itu?

Kebebasan selalu bisa dilihat dari dua sisi, yakni kebebasan eksistensial (freedom for) dan kebebasan sosial (freedom from).7 Kebebasan eksistensial menyangkut kebebasan untuk bergerak secara fisik (aspek jasmaniah) dan kebebasan untuk berpikir dan berkehendak sebelum bertindak (aspek rohaniah). Pada kebebasan inilah terletak pengandaian bahwa manusia mampu menentukan dirinya sendiri. Sementara kebebasan sosial menyangkut kondisi terbebas dari tekanan yang berasal dari pihak di luar diri kita.

Persoalan berikutnya, apakah dengan demikian etika kerja dan kode etik profesi memang membelenggu kebebasan (eksistensial dan sosial) atau justru untuk menjamin kebebasan itu sendiri?

Secara konkret, mungkin kita mengira bahwa karena memiliki kebebasan, kita misalnya boleh bermalas-malasan, tidak bertanggung jawab, seenaknya melanggar disiplin di tempat kerja. Padahal, ketika kita mengambil keputusan untuk bersikap seperti itu, keputusan tersebut sebenarnya kita ambil secara tidak bebas karena pada dasarnya keputusan tersebut kita ambil atas desakan rasa malas atau mungkin rasa kecewa kita. Apalagi, ketika bersikap dan berperilaku seperti itu, kita menghadapi risiko ditegur atau bahkan dipecat atasan. Dengan demikian, kebebasan sosial kita pun terancam. Berbeda sekali dengan bila kita memutuskan diri untuk rajin, bertanggung jawab, dan disiplin. Secara eksistensial maupun sosial kebebasan kita justru menjadi terjamin. Jadi, etika kerja sebenarnya justru untuk menjamin kebebasan pekerja.
Dengan logika yang sama, kita pun bisa menelusuri bahwa kode etik profesi pada hakikatnya bukan untuk membelenggu kebebasan, tetapi sebaliknya, justru untuk menjamin kebebasan seseorang sebagai penyandang suatu profesi tertentu. Kasus Jaksa Urip dengan “upeti” 6 milyarnya menjadi fakta konkret. Sang jaksa yang telah melanggar kode etiknya—menerima uang dari orang dekat (Artalyta Suryani) pihak yang menghadapi perkara (Samsul Nursalim) yang ditangani Urip—menjadi kehilangan kebebasannya. Seandainya Jaksa Urip berpegang teguh pada kode etik profesinya, niscaya dia tetap akan menikmati kebebasannya sebagai seorang jaksa.

Jadi, jelas bahwa etika kerja dan kode etik profesi ada dan harus ditaati bukan untuk membelenggu kebebasan tetapi justru untuk menjamin kebebasan.

Referensi:

Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia.
--------------. 2003. Keprihatinan Moral. Yogyakarta: Kanisius.
Simorangkir, O.P. 1978. Etika Jabatan. Jakarta: Aksara Persada Press.
Sungguh, As’ad. 2004. 25 Etika Profesi. Jakarta: Sinar Grafika.
Suseno, Frans-Magnis. 1987. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius.
--------------. 1988. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia.
1 K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 278.
2 As’ad Sungguh, 25 Etika Profesi (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 59.
3 Ibid.
4 Ibid, hlm. 48.
5 Ibid
6 Frans Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 21
7 Ibid, hlm. 27

Rabu, 09 April 2008

Pastor van Lith: Pendiri Misi di Jawa

Kemungkinan besar Anda tak asing dengan nama Mgr. Soegijapranata (Uskup pribumi pertama dan pahlawan nasional), Yos Sudarso (pahlawan nasional), Cornelius Simanjuntak (komponis dan pahlawan nasional), I.J. Kasimo (pendiri Partai Katolik dan menteri zaman Orde Lama) atau yang sekarang masih hidup: Frans Seda. Mereka—dan masih banyak tokoh lain—telah mengambil perannya sendiri-sendiri dalam masyarakat. Satu yang menyatukan mereka: mereka sama-sama pernah mengenyam pendidikan di (dulu) sekolah guru Muntilan. Bahkan, ungkapan yang hingga kini masih sering diucapkan, “Betlehem van Java (Muntilan sebagai Betlehem tanah Jawa),” tak juga bisa dipisahkan dari pendiri sekolah tersebut: Pastor Franciskus Georgius Yosephus van Lith.

Keputusan Tak Terduga

Kedatangan Pastor van Lith di Jawa sebenarnya sangat di luar dugaan dirinya. Masa-masa persiapannya menjadi pastor ia habiskan di Inggris dan Maastricht untuk belajar Filsafat dan Teologi. Setelah itu, ia sempat menjadi guru di Kolese Katwijk di negeri kincir angin.
Karenanya, ia sama sekali tak menyangka bahwa begitu dirinya ditahbiskan menjadi imam 8 September 1896, atasannya langsung menugaskan dirinya menjadi misionaris di tanah Jawa. Tapi, inilah watak ketaatan sejati itu: dengan berserah pada kebijaksaan Tuhan yang disampaikan lewat atasannya, ia pun meninggalkan tanah kelahirannya untuk mengawali tugas misioner di sebuah wilayah yang sama sekali tidak ia kenal.

Perlu diingat, di Indonesia pada tahun-tahun itu tercatat terdapat 50.000 umat Katolik. Dari jumlah itu, separonya berkebangsaan Eropa. Pada saat yang sama, jumlah pastor yang ada hanya 40 orang. Ini berarti mereka harus melayani wilayah yang terbentang dari Aceh hingga Timor Leste (dulu Timor). Itupun sebagian besar dari mereka harus tinggal di kota-kota besar di Jawa untuk melayani para kumpeni.

Karenanya, sangat masuk akal bila para misionaris tersebut lebih memusatkan perhatian pada daerah-daerah yang dipandang subur. Antara lain: Minahasa, Kepulauan Kei, dan yang paling menjanjikan adalah Flores.

Van Lith tiba di Jawa; daerah yang ketika itu tidak dipandang sebagai ladang yang harus digarap oleh para misionaris. Bahkan, dalam sebuah tulisannya van Lith menuturkan, “Politik pemerintah kolonial melarang Kristenisasi. Pemerintah kolonial tidak mengizinkan pegawai-pegawai pamong praja, Bupati, Wedana dan lain-lain (di Jawa) menjadi Kristen”.
Setibanya di Semarang, van Lith menghabiskan setengah tahun pertamanya untuk belajar bahasa Jawa; dari mulai usai sarapan pagi hingga makan malam. Semua itu ia lakukan dengan tekun karena ia berkeyakinan bahwa untuk mewartakan kabar baik Kerajaan Allah kepada orang Jawa, ia harus menjadi sahabat mereka. Dan untuk itu, ia harus lebih dulu memahami bahasa dan budaya Jawa; sebuah keyakinan yang kelak terbukti benar!
Dari Semarang Pastor van Lith pindah ke Muntilan dan tinggal di Desa Semampir, di dekat Kali Lamat. Aktivitas misi dimulai!

Pembela Rakyat

Sejak mula van Lith tidak berambisi untuk sesegera mungkin membaptis orang. Ia lebih berpendirian: biarlah orang melihat kasih Kristus lewat kehadiran dirinya entah akhirnya mereka memutuskan menjadi Kristen atau tidak. Bagi seorang van Lith, Allah sendirilah yang akan berkarya memanggil orang per orang. Dirinya hanya menjadi sarana.

Keyakinan ini lagi-lagi terbukti benar ketika kelak Romo van Lith mempermandikan sekitar 200 orang dari Desa Kalibawang. Padahal, dari sekian banyak desa yang telah ia datangi, Desa Kalibawang justru merupakan desa yang belum pernah ia sambangi. Namun, dari Kalibawang-lah tonggak misi (Katolik) di Jawa ditancapkan. Mereka serentak dibaptis di sebuah sendang di Semagung. Sendang tersebut terletak di antara dua batang pohon sono. Itulah cikal bakal Sendang Sono menjadi tempat peziarahan rohani hingga sekarang.

“Pertobatan jumlah yang tidak kecil itu mempunyai arti penting bagi saya dan juga bagi misi Jawa ... Saya sudah memberi pelajaran di banyak desa ... tanpa ada hasilnya. Justru daerah yang belum pernah kudatangi menyatakan kesediaannya untuk menjadi Katolik. Apakah itu bukan tangan Tuhan yang bekerja?” tulis van Lith (sekitar tahun 1900).
Karena keyakinannya itu, Pastor van Lith lebih memilih untuk menjadi sahabat orang-orang di sekitarnya daripada buru-buru membaptis mereka. Ia mendatangi desa-desa untuk berbincang-bincang mengenai apa saja, termasuk masalah-masalah keluarga. Tak mengherankan bila karena itu Romo van Lith memotret dengan akurat persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat kala itu.

Salah satunya, Pastor van Lith menangkap kenyataan bahwa para petani di daerah Muntilan ketika itu sangat miskin. Kemiskinan itu melilit lantaran mereka terjerat utang sehingga mereka terpaksa menggadaikan ladang atau sawah mereka. Van Lith bertindak. Ia menebus surat-surat tanah para petani dari para rentenir dan mengembalikannya kepada para petani.
Satu lagi yang harus dicatat: van Lith tak pernah kenal payah bila sudah bersinggungan dengan keadilan. Rakyat yang terjajah dan kurang pengetahuan memang selalu menjadi bulan-bulanan hukum. Keadilan diputar balik sesuka pemilik kapital, saksi-saksi palsu dihadirkan di persidangan, dan hakim-hakim yang memihak kerap terjadi untuk menindas masyarakat yang sudah lemah. Demi tegaknya keadilan bagi rakyat jelata, kerap kali Romo van Lith tampil sebagai pembela mereka di persidangan. Bahkan, ia tak sungkan mendatangi para pamong praja di kantornya untuk menuntut hak atas rakyat yang diperlakukan tidak adil. Tindakan ini tentu bukan tanpa risiko. Fitnahan dan ancaman tak jarang terlontar. Tapi, semua itu tak dipedulikannya demi martabat manusia lemah. Tak berlebihan bila orang-orang pun menjulukinya “Bapa orang Jawa”.

Oh, ya... tahun 1906 tiga orang dari Kalibawang menghadap Romo van Lith. Mereka berpamitan ingin merantau karena keadaan ekonomi yang sangat menyedihkan. Romo van Lith sebenarnya tidak rela ketiga anak rohaninya tersebut pergi. Tapi, karena mereka tetap bertekad pergi, van Lith pun tak kuasa menahan mereka. Romo menyarankan agar mereka pergi ke Jember. Mereka diantar ke stasiun dan diberi uang untuk bekal. Saat kereta melaju, Pastor van Lith tak kuasa menahan air matanya yang meleleh. Ia sedih anak-anak rohaninya akan pergi ke suatu tempat yang tak ada pastornya. Tapi, hati kecilnya berkeyakinan bahwa tiga orang tersebut akan menjadi benih perkembangan gereja di Jawa Timur. Terbukti: dua puluh tahun kemudian tercatat di Jember telah terdapat 100 orang Katolik.

Sebagai Anggota Volksraad

Pemihakan Pastor van Lith terhadap rakyat Indonesia, khususnya yang lemah, tidak terbatas pada aksi karitatif sehari-hari. Ia juga gigih memperjuangkan hak rakyat Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri di Volksraad (DPR).
“Dalam rapat di Sukabumi saya menyatakan ‘tidak setuju’ terhadap sistem pemilihan yang akan menjamin mayoritas keanggotaan orang-orang Belanda di lembaga legislatif.... (sebab dengan demikian) akan kembalilah kumpeni lama dalam bentuk baru. ... Walaupun saya tahu bahwa yang menentang pikiran saya ialah Belanda-Belanda di Indonesia, saya sungguh-sungguh tak acuh mengenai kepentingan mereka. ... Bila antara Indonesia dan Belanda ada sengketa dan saya harus memilih, maka saya memilih pihak Indonesia.”

Kalimat-kalimat tersebut ditulis oleh Pastor van Lith sendiri untuk menunjukkan sikap politiknya saat ia menjadi panitia peninjauan perundang-undangan. Karena sikapnya tersebut tak heran bila ia pun bersahabat dengan Suwardi dan Ciptomangunkusumo, juga pejuang-pejuang kemerdekaan lain. Bahkan, pada pemilihan terakhir untuk pencalonan anggota Volksraad, Pastor van Lith dicalonkan oleh Serikat Islam untuk mewakili daerah Serang (Banten).

Merintis Sekolah Guru

Sejak awal Pastor van Lith berprinsip bahwa misi harus dibangun di atas pundak para remaja dan pemuda-pemuda. Ia harus mencetak tenaga-tenaga pembantu dan dengan demikian ia melipatgandakan dirinya. Namun, untuk itu, ia harus melahirkan pemimpin-pemimpin dengan watak dan mental yang teguh.
Maaf, gereja pernah punya pengalaman pahit. Tahun 1897—Tahun awal Romo van Lith bertugas di Jawa—di wilayah Muntilan terdapat 30 orang Katolik. Mereka dibaptis pendahulu van Lith, Pastor van Hout. Dari ketiga puluh orang tersebut terdapat 4 orang katekis untuk daerah Muntilan, Magelang, Bedono dan Ambarawa.

Di Muntilan Pastor van Lith mendapati bahwa uang yang seharusnya untuk membeli tanah dan menebus tanah para petani ditilap katekisnya. Di Magelang keadaannya lebih buruk. Selain melakukan manipulasi keuangan, si katekis terbukti mempunyai 2 orang istri. Hal yang sama juga terjadi di Bedono dan Ambarawa. Pastor van Lith pun terpaksa memecat keempat katekis tersebut. Kejadian itu jelas menoreh kesedihan mendalam pada diri van Lith; bukan pertama-tama karena uangnya tetapi karena murid-murid terdekatnya ternyata sangat dangkal imannya.
Justru karena itu, kelak orang-orang terpilih yang akan turut mengemban tugas misi haruslah orang-orang berjiwa pemimpin dengan watak dan mental yang teguh serta memiliki penghayatan iman yang dalam, tentunya. Bagi van Lith, tujuan ini hanya akan tercapai bila ia bisa memantau perkembangan setiap muridnya setiap hari setiap saat. Karena itu, para murid kelak harus tinggal di asrama.
Jadilah, tahun 1903 sekolah guru dengan asrama dibuka di Muntilan. Beberapa tahun setelah itu, guru-guru yang sekaligus bisa mengajar agama mulai tersebar tidak hanya di pulau Jawa tetapi hingga ke seluruh nusantara. Merekalah yang akhirnya menjadi soko guru gereja di berbagai tempat di berbagai daerah.
Demikianpun, van Lith masih mengidam-idamkan sekolah guru untuk para putri. Dan, jerih payahnya ini terwujud ketika tahun 1915 berdiri sekolah guru untuk perempuan di Mendut.

Akhir Hayat

Setelah sempat menjalani perawatan di negeri Belanda, van Lith yang lahir di Oirshot Provinsi Brabant, Negeri Belanda pada 17 Mei 1863 meninggal di Semarang pada 9 Januari 1926. Dengan barisan yang amat panjang, anak seorang jurusita ini diantar ke peristirahatannya terakhir di kerkop, Muntilan setelah disemayamkan sebentar di gereja yang dia bangun sendiri. Tugasnya telah usai!
— S. Rahoyo/dbs (dimuat majalah BAHANA Edisi April 2008).

Senin, 07 Januari 2008

Entrepreneurial Bureucracy-MAKALAH

Entrepreneurial Bureaucracy:
Sebuah Tuntutan Mutlak untuk Menutup
Capacity Gap Aparatur Birokrasi
dalam Era Otonomi Daerah

Oleh: Stefanus Rahoyo


Muara dari keseluruhan kebijakan otonomi daerah (the overall policies of regional autonomy) haruslah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dan regional secara umum dalam keseluruhan dimensinya. Bagi aparatur birokrasi, pada satu sisi, itu berarti bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap berbagai layanan yang disediakan birokrasi—sebagai kepanjangan tangan pemerintah (baca: negara/state) yang memang bertanggung jawab untuk mengurus kesejahteraan warganya—menjadi tolok ukur utama (major measurement) apakah keseluruhan sistem birokrasi memang telah menjalankan fungsi dan perannya dengan semestinya atau belum. Dengan kata lain, semakin masyarakat lokal dan regional terlayani dengan lebih memuaskan, semangat inti (core spirit) otonomi daerah semakin tercapai. Sebaliknya, semakin masyarakat merasa kecewa dengan keseluruhan kinerja pelayanan birokrasi, roh dari otonomi daerah tersebut secara faktual sebenarnya sedang terabaikan.

Dalam konteks itulah—apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa tuntutan-tuntutan masyarakat kini semakin beragaram, kesadaran akan hak politik, ekonomi dan sosial mereka pun telah berkembang begitu jauh dibanding satu dekade lalu—birokrasi dituntut mampu melakukan transformasi diri (self transformation) untuk menjadi semakin poduktif, profesional, efisien, efektif, memiliki visi yang jauh ke depan, dan yang tak kalah penting adalah berorientasi pada masyarakat (customers-oriented). Singkat kata, menghadapi tantangan kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dan maju seperti sekarang ini, juga justru demi tercapainya semangat inti otonomi daerah,, birokrasi yang berjiwa wirausaha (entrepreneurial bureaucracy) menjadi sesuatu yang imperatif.

I. Pendahuluan
Apabila terdapat persoalan yang paling banyak dibicarakan khalayak terkait pengelolaan administrai publik di era otonomi daerah ini, persoalan itu adalah menyangkut tata-kelola pemerintahan yang baik (good governance).[1] Hal ini bisa dipahami mengingat berhasil-tidaknya pembangunan yang dilakukan oleh negara, salah satunya, sangat ditentukan oleh kapasitas sumber daya manusia dan kapasitas kelembagaan pemerintah (Moeljarto Tjokrowinoto, 2002).

Secara formal, pemerintah Indonesia selama masa Orde Baru sebenarnya telah beberapa kali melakukan improvement di bidang ini. Medelina K. Hendytio mencatat[2], selama masa Orde Baru berkuasa, telah tiga kali dilakukan reformasi untut menanggapi tuntutan tersebut. Reformasi pertama dilakukan pada masa dekade pertama Orde Baru memegang tampuk pimpinan pemerintahan. Tujuan reformasi birokrasi ketika itu adalah agar birokrasi menjadi semakin efisien dan efektif sehingga dapat mendukung stabibilas nasional. Reformasi kedua dilakukan pada awal 1980-an dalam bentuk privatisasi, deregulasi dan debirokratisasi. Reformasi kala itu lebih ditujukan untuk memotong segala bentuk praktik penyebab ekonomi biaya tinggi (high cost economy) seperti uang pelicin, korupsi dan prosedur yang berbelit-belit. Konteks situasi, terutama ekonomi, yang melatarbelakangi perlunya melakukan reformasi kedua tersebut adalah bahwa ketika itu negara sedang giat-giatnya melakukan perubahan strategi dari aktivitas industrialisasi substitusi impor menjadi industrialisasi dengan orientasi ekspor. Birokrasi dituntut untuk bisa mendukung kebijakan pemerintah di atas. Dan, ekonomi biaya tinggi yang ketika itu banyak disorot para pengamat, jelas merupakan salah satu penghambat kegiatan ekspor karena dengan ekonomi biaya tinggi tersebut produk-produk industri dalam negeri menjadi tidak kompetitif di pasar luar negeri. Sedangkan reformasi ketiga dilakukan awal tahun 1990-an di mana pemerintah pusat bertekad menciptakan pemerintahan (baca: birokrasi) yang bersih dan berwibawa. Agenda dan penerapan pengawasaan melekat (waskat) yang amat populer pada dekade itu merupakan salah satu aplikasi riil dari reformasi ketiga di atas.

Faktanya, setelah selama satu generasi coba diperbaiki guna memenuhi kualifikasi birokrasi yang kapabel, akuntabel dan responsif serta adaptif terhadap segala tuntutan kemajuan dan perkembangan kehidupan masyarakat, aparatur birokrasi kita ternyata tetap saja belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Faisal Tamin, mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pada masa Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, mengungkapkan bahwa 60% dari seluruh pegawai negeri sipil di Indonesia tidak produktif dan tidak profesional.[3] Laporan Bank Dunia 2003 menyebutkan, hampir separuh dari seluruh pejabat di Indonesia menerima pungli.[4] Angka kemiskinan di Indonesia tahun 2007 juga masih bertengger pada kisaran 17% lebih.[5] Sementara, laporan Indonesian Corruption Watch (ICW) mengemukakan bahwa sepanjang Januari sampai dengan Desember 2004 ditemukan 239 kasus korupsi di berbagai daerah dengan berbagai aktor dan modus operandinya..[6] Yang paling paradoksal adalah lahirnya peraturan-peraturan daerah (Perda) yang justru tidak pro-perekonomian pascapemberlakuan otonomi daerah. Mantan Ketua Kadin (kini Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Pemerintahan SBY-JK), Aburizal Bakri, mengemukakan, terdapat 1006 Perda yang memberatkan dunia usaha.[7] Di satu sisi kemiskinan masih menjadi momok menakutkan, tetapi di sisi lain, pemerintah daerah (aparatur birokrasi) ber-euphoria-berpesta menikmati kebebasan politik dengan semena-mena melahirkan produk-produk hukum tanpa mempertimbangkan efek ekonomisnya bagi masyarakat. Di satu sisi, masalah kemandirian finansial merupakan salah satu problem utama yang dihadapi pemerintah daerah pada era otonomi daerah ini[8], tetapi di sisi lain, terutama para elit pemerintahannya, alih-alih berusaha menarik investasi agar kehidupan perekonomian daerah bisa berkembang dan pendapatan asli daerah (PAD) meningkat, mereka justru menutup dan menghambat perkembangan dunia usaha dengan melahirkan perda-perda di atas.

Fakta-fakta di atas menjadi bukti tak terbantahkan bahwa mental pegawai yang sekaligus feodalistis secara ironis masih mendominasi sikap dan perilaku mereka dalam sebuah praktik kehidupan negara bangsa (nation-state) yang sudah jauh berkembang. Semua itu jelas kontraproduktif terhadap semangat otonomi daerah. Padahal, idealnya, para aparatur birokrasi tersebut haruslah adaptif, responsif bahkan bila perlu proaktif menanggapi tantangan pesatnya perkembangan kehidupan politik, ekonomi dan sosial masyarakat yang dilayaninya. Di sinilah letak persoalannya: untuk bisa adaptif, responsif dan bahkan harus proaktif terhadap kemajuan dan perkembangan kehidupan masyarakat sebagai konsumennya, para aparatur birokrat tersebut haruslah memiliki jiwa wirausaha (entrepreneurial bureaucracy). Kenyataannya, mental itu masih jauh dari para aparatur birokrasi kita.

Makalah ini akan berusaha menyoroti pentingnya entrepreneurial bureaucracy (birokrasi yang berjiwa wirausaha) dalam era otonomi daerah. Pada bagian awal, makalah ini akan menunjukkan adanya capacity gap yang ada pada birokrasi kita. Selanjutnya, makalah ini akan berusaha menguraikan bahwa dalam batas-batas tertentu negara dan atau pemerintahan (baca: organisasi formal birokrasi) tak ubahnya sebuah perusahaan. Dengan demikian, prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) demi efektivitas, efisiensi, dan produktivitas sebuah perusahaan pun pasti bisa diterapkan untuk mencapai efektivitas, efisiensi dan produktivitas birokrasi. Pada bagian inilah, penulis akan berusaha menguraikan beberapa karakteristik jiwa wirausaha (entrepreneur spirit) dan secara khusus karakteristik birokrasi yang berjiwa wirausaha (entrepreneur bureaucracy). Di akhir makalah, penulis mencoba menghadirkan beberapa tantangan yang sangat potensil dihadapi dalam usaha mewujudkan entrepreneur bureaucracy di atas.

II. Capacity Gap
Isu desentralisasi pada dasarnya merupakan fenomena global sebagai tuntutan masyarakat yang merasakan bahwa pemerintahan yang besar dan perencanaan sentral tidak mampu memberikan hasil-hasil pembangunan yang diharapkan.
In the 1960s and 1970s, the international community had been a strong supporter of big government and central planning. When that did not bring the desired developmental outcomes, ... (I)n the 1990s, territorial decentralisation was promoted as the authentic path to development.[9]

Apa yang dikemukakan oleh Mark Turner dan Owen Podger di atas merupakan salah satu faktor eksternal—selain demokratisasi, ekonomi pasar, maraknya isu civil society di seluruh belahan dunia, dsb—yang memicu kebijakan desentralisasi pemerintahan di Indonesia menuju otonomi daerah yang sebenarnya (authentically regional autonomy). Dari dalam negeri sendiri (faktor internal), perubahan konfigurasi politik pascatumbangnya pemerintahan Orde Baru, ketidakpuasan daerah atas kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah pusat selama ini, yang berbuntut pada isu separatisme dan balkanisasi, juga telah mendorong dikeluarkannya UU No 22/1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Apalagi, secara geografis, Indonesia yang terdiri dari 13.677 pulau, terbentang hampir mencapai 5.000 kilometer dari timur ke barat dan 1.770 kilometer dari utara ke timur dan dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa, memang tidak mungkin diurus dengan sistem pemerintahan terpusat (sentralistik).

Melalui otonomi daerah yang otentik, diasumsikan akan terjadi efisiensi pemerintahan, pemerataan pembangunan yang lebih fair dan berkeadilan serta memperhatikan lokalitas, persaingan yang sehat antardaerah regional, dan yang paling utama mendekatkan pemerintahan kepada rakyat. Muara semua itu adalah semakin terjaminnya hak-hak politik, ekonomi, dan sosial masyarakat, munculnya partisipasi aktif masyarakat sebagai warga negara dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, dan pada akhirnya terciptanya suatu kondisi masyrakat yang lebih sejahtera.

Secara yuridis-formal, otonomi daerah memang telah mendapatkan pijakannya dengan lahirnya UU No 22/1999 (pascarevisi menjadi UU No 32/2004) dan dengan segala dinamikanya[10] Demikianpun, landasan yuridis-formal itu baru memenuhi syarat perlu (required conditions) dan belum memenuhi syarat cukup (sufficient conditions) bagi tercapainya semangat awal (initial spirit) desentralisasi dan otonomi daerah. Para pengamat pada umumnya sepakat bahwa sufficient conditions tersebut terpenuhi ketika tercipta tatakelola pemerintahan yang baik (good governance). Tatakelola pemerintahan yang baik selalu menyangkut 3 institusi yang tidak terpisahkan, yakni state (negara), private sector (sektor swasta), dan society (masyarakat).[11] Yang pantas dicatat, dari ketiga institusi tersebut, institusi negaralah yang paling memegang peranan penting untuk terwujudnya good governance yang mencakup partisipasi, penegakan hukum, transparansi, sikap tanggap (responsiveness), orientasi pada konsensus, kesetaraan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas, serta visi strategis.[12]

Dalam soal terakhir inilah telah terjadi jurang pemisah kapasitas (capacity gap) antara tuntutan masyarakat sebagai konsekuensi logis dari dinamika kehidupan politik, ekonomi dan sosialnya yang begitu cepat yang menghendaki dimilikinya kemampuan-kemampuan ideal oleh para kaum birokrat dengan kemampuan riil yang dimiliki para aparatur pemerintahan tersebut sebagai penyelenggara negara yang harus melayani kepentingan umum (as public servants).

Kondisi seperti itu pantas ditengarai sebagai akibat begitu lamanya birokrasi terkungkung dalam sebuah sistem politik yang sentralistis selama Orde Baru bercokol dalam pemerintahan sepanjang lebih dari 30 tahun. Stabilitas politik yang ketika itu dijadikan sebagai conditio sine qua non berjalannya program-program pembangunan yang telah dirancang pemerintah pusat, berimplikasi pula pada sistem hierarikis-komando dalam jajaran birokrasi. Justru karena itu, loyalitas (kepada atasan) kemudian menjadi kapasitas utama dan bahkan satu-satunya yang harus dimiliki para aparatur negara (birokrasi). Sejalan dengan itu, kinerja (performance) birokrasi diukur secara mekanis semata-mata bisa atau tidak melakukan perintah atasan tanpa diberi keleluasaan untuk mengembangkan kapasitas kreativitasnya guna menangkap dan mengartikulasikan serta memenuhi tuntutan-tuntutan riil masyarakat. Sejalan dengan itu, para birokrat pun lantas menjadi elemen negara yang elitis, arogan, feodal, dan bermental tuan-puan. Karenanya juga tak mengherankan bila kinerja para birokrat hingga saat ini terasa sangat tidak memuaskan seperti ditulis H. Didik Widitrismiharto berikut ini:
“... (B)irokrasi pemerintah dalam menjalankan fungsi pelayanan publik selalu berbelit-belit, kaku, arogan, lamban dan malas ... sering melakukan penyimpangan, pemborosan dan syarat KKN ... tidak efisien, tidak efektif dan tidak profesional[13]

III. Entrepreneurial Bureaucracy
Dalam batas-batas tertentu, lembaga formal birokrasi (dengan organisasi, personalia, mekanisme, prosedur dan tata aturan, dan sarana dan prasarananya) tak ada bedanya dengan lembaga bisnis. Kalaupun pada akhirnya memang ada perbedaan fundamental antara lembaga formal birokrasi dengan lembaga bisnis, hal itu adalah sifatnya. Lembaga bisnis bersifat profit (profit oriented) sedangkan lembaga formal birokrasi jelas merupakan lembaga nonprofit. Tetapi, prinsip-prinsip dasar pengelolaan kedua lembaga tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda.

Bila dalam manajemen lembaga profit yang sehat dikenal adanya perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian yang harus dilakukan secara konsisten dan terukur (measurable), dalam birokrasi pun (seharusnya) ada. Bila dalam lembaga bisnis dikenal prinsip-prinsip efektivitas, efisiensi, produktivitas dan berorientasi pada pelanggan (customer-oriented), birokrasi pun seharusnya juga demikian. Dan, untuk mencapai semua itu, lembaga bisnis kini tidak cukup hanya menuntut sense of belonging dari para karyawannya, tetapi telah melompat jauh menjadi tuntutan adanya sense of entrepreneurship. Logikanya sangat sederhana: sebagus apa pun visi, misi, target, tujuan, struktur, prosedur dan aturan telah disusun, tanpa didukung personalia yang kompeten (memiliki sense of entrepreneurship) semua itu tinggal cita-cita ideal di atas kertas tetapi tidak pernah menjadi realitas.

Karenanya, dalam kehidupan ekonomi, politik, dan sosial masyarakat yang telah mengalami dinamika yang demikian jauh saat ini, syarat entrepreneurial para aparatur birokrasi pun menjadi tuntutan imperatif. Ini berarti pertama-tama harus terjadi transformasi dan pergeseran mental (mentally transformed-shifted bureaucracy) dari seorang pegawai menjadi seseorang yang berjiwa wirausaha. Menurut Peggy A. Lambing dan Charles R. Kuehl dalam bukunya Entrepreneurship sebagaimana dikutip oleh Ir. Hendro, MM, secara umum seorang wirausahawan memiliki empat unsur pokok yaitu kemampuan (hubungannya dengan IQ dan skill), keberanian (hubungannya dengan emotional quotient dan mental), keteguhan hati (hubungannya dengan motivasi diri), dan kreativitas.[14] Selanjutnya Hendro merinci, kemampuan di situ menunjuk pada kemampuan dalam membaca peluang, berinovasi, mengelola dan memasarkan (bukan sekadar menjual!). Keberanian secara spesifik menunjuk pada keberanian mengatasi ketakutan, mengendalikan risiko, dan keluar dari zona nyaman (comfort zone). Sedangkan keteguhan hati berarti ulet, pantang menyerah; teguh dalam keyakinan (determinasi), dan memiliki keyakinan bahwa “Saya juga bisa” (power of mind). Terakhir, kreativitas menunjuk langsung pada kemampuan berinovasi dan menciptakan hal-hal baru.

Sedangkan Moeljarto Tjokrowinoto secara khusus menguraikan ciri-ciri birokrasi yang berjiwa wirausaha sebagai berikut:[15] (i) bersifat sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan baru yang timbul di dalam pasar, khususnya sebagai akibat proses globalisasi, liberalisasi, dan regionalisasi perdagangan; (ii) mampu melepaskan diri dari rutinitas kerja yang terkait dengan fungsi instrumental birokrasi dan berani serta mampu melakukan terobosan (breakthrough) melalui pemikiran yang kreatif dan inovatif dalam rangka mengatasi sifat-sifat inertia birokrasi; (iii) mempunyai wawasan jauh ke depan (futuristik) dan melihat sesuatu persoalan dalam kaitannya dengan variabel-variabel yang lain (sistemik); (iv) jeli terhadap adanya sumber-sumber potensial baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri; (v) mempunyai kemampuan untuk mengombinasikan berbagai sumber menjadi resource mix yang mempunyai efek sinergis dan berproduktivitas tinggi; (vi) mempunyai kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya secara optimal, dan menggeser pemanfaat sumber dari kegiatan yang berproduktivitas rendah menuju kepada kegiatan yang berproduktivitas tinggi.

Bisa ditambahkan pada karakteristik-karakteristik di atas, seorang entrepreneurial bureaucrat (birokrat yang berjiwa kewirausahaan) adalah seorang aparatur birokrasi yang tidak pernah merasa puas dengan kondisi dan pencapaian yang sudah ada serta memilki dorongan yang kuat untuk mencapai prestasi (need for achievement). Selain itu, seorang entrepreneurial bureaucrat juga haruslah orang yang berprinsip bahwa kepuasan konsumen (dalam hal ini berarti masyarakat yang dilayani) berada di atas segalanya. Dalam hal terakhir inilah seorang birokrat—terutama sekali bagi para birokrat yang berhubungan langsung dengan masyarakat—sekali waktu perlu dan berani “melanggar prosedur” bila prosedur tersebut justru menghambat efektivitas pelayanannya, tentu dalam batas-batas yang bisa dipertanggungjawabkan dan terukur, yakni dengan koridor dan parameter kepuasan masyarakat tadi. Dengan sendirinya, seorang birokrat yang hanya mencari aman, mengejar kepentingan diri sendiri dan keluarganya, mekanistis-prosedural, dan apriori atau tidak responsif pada perubahan tidak cocok lagi menjadi birokrat dalam era yang telah sangat berubah ini.

Kiranya hanya dengan cara itulah capacity gap sebagaimana telah diuraikan di atas akan tertutupi atau minimal terjembatani.

IV. Beberapa Tantangan
Entrepreneurial bureaucracy merupakan sebuah cita-cita ideal yang dalam implementasinya tidak akan semudah membalik telapak tangan. Apalagi, birokrasi merupakan mesin pemerintahan yang amat besar dengan budayanya yang telah berurat berakar puluhan tahun. Persis dari sinilah tantangan internal pertama muncul. Mengubah budaya sebuah organisasi yang demikian besar—apalagi bila budaya tersebut selama ini dirasakan membuat mereka aman dan nyaman—membutuhkan waktu yang amat panjang, pun harus dilakukan dengan terencana dan konsisten. Ini jelas merupakan sebuah tantangan yang tidak mudah. Tantangan internal lain adalah sistem keseluruhan birokrasi itu sendiri. Patut direnungkan, sering kali orang tidak bisa bekerja secara produktif bukan karena ia memang tidak produktif, melainkan karena sistemnyalah yang membuat ia tidak produktif. Sebagai contoh, kita bisa menunjuk sistem reward dan punishment yang tidak secara tegas, jelas, dan konsisten diterapkan pada birokrasi kita. Idealnya, sistem harus memungkinkan orang-orang yang memang berprestasi bisa mencapai prestasi setinggi-tingginya sedangkan orang-orang yang tidak kapabel secara alamiah akan tersingkir. Kita tidak menemuinya dalam sistem birokrasi kita. Dalam sebuah diskusi di kelas Pascasarjana Magister Studi Pembangunan Universitas Satya Wacana, seorang pegawai negeri di sebuah pemerintahan daerah bahkan sempat melontarkan olok-olok bahwa sistem yang berlaku pada birokrasi kita menyamaratakan saja antara pegawai yang pintar dan pegawai yang bodoh. Hal tersebut menjadi salah satu bukti bahwa sistem yang ada pada birokrasi kita tidak pro-produktivitas, efektivitas, dan efisiensi.

Sedangkan tantangan dari pihak luar (eksternal) salah satunya adalah justru dari para politikus. Terlampau sering terdengar bahwa para politikus sangat suka menggunakan birokrasi sebagai sapi perah. Kasus dana Departemen Kelautan dan Perikanan yang menjebloskan Ruchmin Dahuri ke dalam penjara dan aliran dana Bank Indonesia yang belakangan diributkan merupakan contoh terang benderang mengenai hal itu. Tantangan eksternal lain adalah justru sikap masyarakat yang telah apatis terhadap kinerja birokrasi. Sebenarnya, kontrol masyarakat atas kinerja birokrasi sangat diperlukan sebagai feedback dan bahan evaluasi para aparatur birokrasi. Semakin rakyat bisa dan mau bersikap kritis terhadap birokrasi, semakin birokrasi memperoleh daya dorong untuk mengakselerasi proses reformasi dirinya. Tetapi, ketika kontrol publik menghilang karena berbagai hal—salah satunya karena sikap apatis tadi—sebetulnya birokrasi sedang kehilangan “sparing partner”-nya yang sangat potensial.

V. Penutup
Menutup capacity gap antara kapasitas ideal yang dituntut masyarakat dalam era otonomi daerah dewasa ini dengan kapasitas riil yang saat ini ada pada para aparatur birokrasi kita melalui pembentukan birokrasi yang berjiwa wirausaha (entrepreneur bureucracy) merupakan sebuah agenda amat besar. Berbagai tantangan menghadang di sana seperti telah diuraikan di atas. Namun, sebesar apa pun tantangan yang dihadapi serta seberat apa pun usaha yang harus dijalani, menutup capacity gap tersebut merupakan keharusan bila kita konsisten mengenai semangat inti yang sekaligus harus menjadi muara dari digulirkannya otonomi daerah.

Untuk itu, beberapa langkah strategis di bawah ini barangkali bermanfaat dan mendesak untuk segera dilakukan.

Pertama, bagaimanapun pembentukan birokrasi yang berjiwa wirausaha merupakan sebuah agenda raksasa. Dalam sudut pandang inilah diperlukan sebuah blue print yang antara lain berisi mengenai wajah ideal birokrasi kita di masa depan. Pokok kedua yang mesti terumuskan dalam blue print di atas adalah menyangkut sistem secara keseluruhan. Seperti telah diuraikan di atas, kita pantas curiga bahwa sistem yang ada saat ini sangat mungkin mengandung kelemahan di sana-sini yang memang memungkinkan aparatur birokrasi bekerja tidak efisien, tidak efektif, malas, berbelit, dst. Terhadap kekurangan-kekurangan sistem yang demikian itu, pantas dirumuskan dan diganti dengan sistem yang lebih kondusif bagi pencapaian prestasi, dihargainya kreativitas individu, menjamin kejelasan antara apa yang dilakukan dengan apa yang akan diperoleh, dsb. Di sana harus dirumuskan dengan jelas kriteria-kriteria apa yang harus dimiliki para aparatur birokrasi untuk menjawab tantangan perubahan yang telah bergulir sedemikian cepat. Blue print juga harus memuat strategi, taktik dan langkah-langkah yang jelas dan operasional, terukur dan memuat time line yang tegas. Strategi implementasi dan evaluasi dari masing-masing tahap juga harus dirumuskan dengan jelas. Segala kebijakan perbaikan sistem dan personalia akan selalu memunculkan apa yang disebut the winner (pihak-pihak yang diuntungkan) dan the losser (pihak-pihak yang dirugikan). Justru karena itu, blue print juga harus merumuskan langkah-langkah antisipatif untuk menghindari gejolak yang tidak perlu terutama justru terhadap para losser.

Kedua, terkait tantangan yang dihadapi dalam pembentukan entrepreneurial bureucracy. Untuk tantangan internal, para elit birokrasi harus senantiasa mendorong dan memberikan teladan para aparatur birokrat untuk mampu mengubah mindset yang selama ini telah kadung mereka yakini. Birokrat bukan lagi majikan masyarakat melainkan penyedia layanan bagi masyarakat (pelayan publik) dengan segala konsekuensi ikutannya (following consequences). Hanya dengan perubahan mindset lah cita-cita membentuk birokrasi yang kapabel, akuntabel, efektif, efisien, dan luwes; yang dinamis, trengginas, dan responsif mendapatkan titik terangnya. Sedangkan secara eksternal, patut dicamkan dan dilakukan secara konsisten bahwa semua pihak di luar birokrasi (terutama para politikus) tidak boleh lagi memiliki vested interest yang terbukti hanya akan membuat birokrasi kita mandul. Dengan kata lain, semua pihak harus berani memberikan otonomi otentik kepada birokrasi untuk benar-benar hanya melayani kepentingan publik.

Ketiga, sebagai rekan seperjalan dalam perubahan (partner in changes), masyarakat harus diberdayakan untuk mau, berani dan bisa melakukan kontrol objektif atas kinerja birokrasi. Tanpa kondisi yang demikian, birokrasi sebenarnya telah kehilangan satu kakinya untuk menuju perubahan. Dalam hal ini, mengingat sikap masyarakat yang telah telanjur apatis, memang perlu diambil langkah-langkah strategis untuk kembali mengambil hati masyarakat.
Kiranya hanya dengan langkah-langkah riil dan konsekuen seperti itulah otonomi daerah akan sampai pada tujuan semula: kesejahteraan rakyat. Satu yang bisa dijanjikan, ketika birokrasi benar-benar mampu memenuhi kebutuhan masyarakat untuk menggapai kesejahteraannya, pada saat itulah masyrakat akan kembali menaruh trust pada birokrasi; sesuatu yang selama ini telah memudar bahkan hilang!
===========
Daftar Pustaka
Bank Dunia, 2008, Pertanian untuk Pembangunan (Laporan Pembangunan Dunia) (terj. oleh Dono Sunardi dan Stefanus Rahoyo), akan terbit.
Hendro, 2005, How to Become A Smart Entrepreneur And to Start A New Business, Yogyakarta: Penerbit Andi.
Suwondo, Kutut, 2005, Otonomi Daerah dan Perkembangan Civil Society di Aras Lokal, Salatiga: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kristen Satya Wacana.
Turner, Mark, dan Owen Podger, 2003, Decentralisation in Indonesia: Redesigning the State, Australia: Asia Pacifik Press, ANU
Yuwono, Teguh (ed), 2001, Manajemen Otonomi Daerah: Membangun Daerah Berdasarkan Paradigma Baru, Semarang: CLOGAPSS Diponegoro University.
---------------------- 2001, Public Sector Management: Indonesian Experience, Semarang: CLOGAPSS: Diponegoro University.
Jurnal:
1. Analisis CSIS, Tahun XXVII/1998, No 1
Tahun XXIX/2000 No 1
Tahun XXXI/2002, No 2 dan No 4
2. Hukum dan Pembangunan, Januari – Maret 2000, Nomor 1 Tahun XXX
3. Kritis, Vol. XII No 3, Maret 2000
4. Yustika, Volume 9 Nomor 1 Juli 2006
Koran dan Majalah
Harian Kompas, 26 April 2006 dan 6 September 2001
Harian Suara Merdeka, 22 Juli 2002
Manajemen, Mei 2001
Pilars, No 24 Thn VII, 14 – 20 Juni 2004
Makalah:
Rahoyo, Stefanus, Pendekatan Holistik (Holistic Approach) sebagai Upaya Efektif Pengentasan Kemiskinan, 2007
Susilo, Gideon Tri Budi dan Proyo Hariadi, Analisis Kinerja Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi (Studi Empiris di Provinsi Jawa Tengah), 2007
Laporan Indonesian Corruption Watch (ICW), 2004.
[1] Bdk. Kushandajani dalam Teguh Yuwono (ed), Manajemen Otonomi Darah: Membangun Daerah Berdasarkan Paradigma Baru (Semarang: Clogapps Diponegoro University: 2001), hlm. 65.
[2] Baca: Analisis CSIS tahun XXVI No 1, tahun 1998, hlm. 39
[3] Suara Merdeka, 22 Juli 2002
[4] Kompas, 26 April 2006.
[5] Rahoyo, Stefanus, Pendekatan Holistik (Holistic Approach) sebagai Upaya Efektif Pengentasan Kemiskinan: Studi Kasus pada Tiga Keluarga Miskin: makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Otonomi Daerah
[6] Laporan Indonesian Corruption Watch (ICW) tahun 2004
[7] Kompas, 6 September 2001.
[8] Gideon Tri Budi Susilo dan Priyo Hariadi dari hasil penelitiannya yang dituangkan dalam makalah Analisis Kinerja Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi (Studi Empiris di Provinsi Jawa Tengah) menyimpulkan bahwa baik kemandirian daerah maupun aktivitas daerah setelah otonomi tidak lebih baik daripada sebelum otonomi
[9] Mark Turner dan Oven Podger, Decentralisastion in Indonesia: Redesigning the State (Australia: Asia Pasifik Press, 2003), hlm. 2.
[10] Dinamika otonomi daerah dari waktu ke waktu sepanjang sejarah pemerintahan Indonesia hingga lahirnya UU No 32/2004 bisa dibaca di Otonomi Daerah dan Perkembangan Civil Society di Aras Lokal karangan Kutut Suwondo (diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2005) hlm. 20 – 38.
[11] Kushandajani, ibid, hlm 67
[12] Ibid, hlm. 69
[13] H. Didik Widitrismiharto, Pelayanan Publik oleh Birokrasi Pemerintah yang Berdimensi Kerakyatan, dalam Jurnal Yustika Vol. 9 No 1 Juli 2006.
[14] Hendro, How to Become A Smart Entrepreneur and to Start A New Business (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2005), hlm. 18.
[15] Moeljarto Tjokrowinoto, Transformasi Kontekstual dan Capacity Building Birokrasi, dalam Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, No 2.