Minggu, 09 November 2008

Kemiskinan sebagai Persoalan Psikokultural

Kemiskinan
Sebagai Persoalan Psikokultural

Oleh: Stefanus Rahoyo

Kemiskinan adalah bencana manusia yang paling dahsyat,
ketat dan padat.
Ia adalah biang keladi derita yang berkelanjutan—
dari kelaparan dan penyakit
sampai konflik sosial bahkan perang.
(John Kenneth Galbraith)

Kemiskinan—sekalipun secara kasat mata terlihat sebagai persoalan ekonomi—nyata-nyata juga memiliki dimensi psikokultural. Dalam konteks tertentu, faktor psikokultural ini justru merupakan penyebab kemiskinan yang jauh lebih menentukan dibandingkan dengan faktor ekonomi. Sejalan dengan itu, dalam konteks tertentu tersebut, keberhasilan usaha mengatasi kemiskinan (ekonomi) sangat ditentukan oleh keberhasilan usaha mentransformasi aspek psikokultural masyarakat yang ada.

Makalah ini berusaha menyoroti kemiskinan dari sudut pandang psikokultural di atas dan bertitik tolak dari analisis yang ada mencoba menawarkan salah satu pemecahan yang bisa ditempuh untuk mengatasi problematika kemiskinan.

Jenis dan Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan, sebagai masalah sosial, sesungguhnya merupakan fenomena lama. P.J. Zoetmulder ketika membahas Serat Kakawin (buku Kalangwang) menggambarkan bahwa pada masa itu seorang raja sering kali beranjang sana, berkeliling-keliling mengitari wilayah kekuasaannya. Di tengah-tengah perjalanannya itu, tak jarang sang raja menyaksikan rakyatnya yang hidup kekurangan, terutama penduduk yang tinggal di pegunungan.1
Selanjutnya, Burger berdasarkan penelitiannya menyimpulkan bahwa kira-kira tahun 1850-an Pemerintahan Hindia-Belanda sesungguhnya sudah merasa resah menyaksikan kemiskinan yang semakin menjadi-jadi di Pulau Jawa. Mereka memang mengaitkan kemiskinan yang terjadi itu melulu dengan pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa yang sangat pesat2, dan sama sekali tidak mengaitkannya dengan cultuur stelsel (tanam paksa).3


Pada dasarnya kemiskinan bisa dibedakan menurut jenis dan penyebabnya. Atas dasar jenisnya, kemiskinan dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Sedangkan bertitik tolak dari penyebabnya, kemiskinan bisa digolongkan menjadi kemiskinan struktural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan natural.4
Kemiskinan absolut, menurut definisi Mar’ie Muhammad, merupakan kondisi di mana seseorang, keluarga, atau sekelompok masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, baik kebutuhan dasar pangan maupun kebutuhan dasar non-pangan.5 Dari definisi tersebut tampak jelas bahwa kemiskinan absolut sesungguhnya terkait erat dengan daya beli. Persoalannya: apakah kriteria untuk kebutuhan dasar tersebut? Biro Pusat Statistik menggunakan patokan (pangan) 2.100 kalori/kapita/hari sebagai garis batas kemiskinan. Dari patokan tersebut pada tahun 2006 ditetapkan bahwa orang yang berpenghasilan kurang atau sama dengan Rp131.256/kapita/bulan (untuk penduduk pedesaan) atau Rp175.324/kapita/bulan (untuk penduduk perkotaan) akan digolongkan sebagai penduduk miskin.6 Dengan titik tolak yang sama—daya beli—Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan pada tahun 2006 sebesar US$2/kapita/hari.7

Sedangkan kemiskinan relatif adalah kemiskinan seseorang, suatu keluarga atau sekelompok orang dalam konteks kondisi perekonomian lingkungan sekitarnya. Dalam sudut pandang ini, bisa saja orang atau sebuah keluarga yang secara absolut bukan tergolong miskin tetap digolongkan sebagai miskin karena orang atau keluarga di sekitarnya jauh lebih kaya.8 Secara real, kemiskinan relatif sesungguhnya menunjuk pada ketimpangan distribusi pendapatan.9
Seseorang, suatu keluarga atau sekelompok masyarakat yang entah karena struktur sosial atau sebab lain tidak bisa menikmati—dalam ukuran keadilan sosial—kemakmuran hasil produksi lingkungan sosialnya itulah yang digolongkan sebagai penderita kemiskinan relatif.
Kemiskinan bisa terjadi karena sistem dan struktur sosial yang tidak ramah terhadap kaum lemah. Pola, prosedur dan syarat-syarat akses terhadap sumber-sumber keuangan yang tidak pro-rakyat miskin, pola hubungan dan diskriminasi gender yang membuat kaum perempuan termarginalisasi secara ekonomis, feodalisme yang memungkinkan para tuan tanah hidup mewah di atas penderitaan buruh tani, merupakan contoh struktur sosial yang bisa melahirkan kemiskinan struktural. Dengan agak provokatif Rena Gazaway mengemukakan,
The basic problem (of poverty) is that people exploit each other. The real problem is not the poor but the attitude of their fellowmen toward them... In every country in the mountains where poverty exists, there are a few rich and powerful people who control country affairs. They stay rich by exploiting the poor.”10

Hal-hal di atas bisa melahirkan apa yang dinamakan kemiskinan struktural. Dengan demikian, kemiskinan struktural pada dasarnya merupakan kemiskinan yang terjadi akibat struktur sosial yang ada.

Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang diderita oleh seseorang, suatu keluarga atau sekelompok masyarakat karena sikap mental seseorang, suatu keluarga atau sekelompok masyarakat itu sendiri. Kebiasaan hidup boros, tidak mau bekerja keras, tidak memiliki rencana masa depan, dan sikap gampang menyerah pada nasib merupakan beberapa contoh sikap mental yang bisa menyebabkan seseorang hidup dalam kemiskinan.
Sedangkan kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi karena faktor alam. Misalnya orang-orang yang hidup di daerah tandus, kering, tidak subur pada umumnya akan hidup dalam kemiskinan.

Di luar kategori-kategori yang biasa disebut oleh para ahli, Ginandjar Kartasasmita mengajukan beberapa pola kemiskinan. Yaitu, persistent poverty (kemiskinan yang terjadi secara turun-temurun); cyclical poverty (kemiskinan yang polanya mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan); seasonal poverty (kemiskinan yang terjadi secara musimam, misalnya kemiskinan yang diderita petani setiap kali musim paceklik); dan accidental poverty (kemiskinan yang terjadi karena suatu peristiwa tertentu, misalnya bencana alam).
Aspek Psikokultural

Di luar kelaziman di mana pada umumnya orang memahami kemiskinan pada konteks struktural, kultural dan natural, Oscar Lewis mengajukan tesis adanya kultur kemiskinan. Kultur kemiskinan bisa saja muncul secara real sama persis dengan gejala kemiskinan kultural, tetapi pada prinsipnya keduanya berbeda. Yang menarik, dari 62 sifat dan ciri budaya kemiskinan sebagaimana dikemukakan oleh Oscar Lewis tersebut,11 titik sentralnya adalah hal yang sifatnya psikologis.12 Di sisi lain, tak bisa ditampik bahwa kemiskinan pun memang berdimensi kultural. Kombinasi antara faktor psikologis dan kultural inilah yang kemudian membentuk faktor psikokultural dalam kemiskinan.

Jelas, bahwa faktor psikokultural ini tidak semata-mata persoalan ekonomi.13 Bahwa secara ekonomis ada hubungan kait-mengait antara kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi (economic growth), hal itu tak bisa dinafikan. Jelasnya, bila pertumbuhan ekonomi (economic growth) tinggi dan diikuti distribusi pendapatan yang berkeadilan sosial, keberhasilan ini dipastikan bisa menekan angka kemiskinan.14 Sebaliknya, bila jumlah orang miskin (absolut) bisa dikurangi, secara agregat hal itu pun akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, Soedjatmoko berkeyakinan bahwa bila kita memang concern pada urgensi pembangunan ekonomi, mau tidak mau secara sadar kita harus mengerahkan faktor-faktor kebudayaan demi percepatan proses pertumbuhan dan perkembangan ekonomi.15

Berbagai teori juga telah membahas pentingnya faktor psikokultural bagi pemecahan persoalan ekonomi (dus, juga persoalan kemiskinan). Misalnya, teori Etika Protestan dan Kapitalisme-nya Max Weber, teori n-Ach-nya David McClelland, teori Perubahan Sosialnya-nya Everett Hagen, juga Asian Drama-nya Gunnar Myrdal.16 Inti dari berbagai teori itu adalah bahwa sikap mental dan kebiasaan seseorang akan sangat memengaruhi pencapaian ekonomisnya. Semakin baik sikap mental dan kebiasaan seseorang, semakin besar peluang dirinya meraih pencapaian-pencapaian ekonomis. Mengikuti tesis Weber, misalnya, bila orang mau bekerja keras, berhemat, dan menunda kenikmatan, secara prinsip ia tidak akan hidup dalam kemiskinan. Dan, semakin seseorang bekerja keras, berhemat, dan bersedia menunda kenikmatan, semakin besar pula peluang dirinya memperoleh pencapaian-pencapaian ekonomis.

Konsekuensi dari realitas di atas adalah bahwa bila mau berhasil, pemecahan persoalan kemiskinan tidak bisa melulu mengandalkan analisis ekonomi. Sebab, bila kemiskinan semata-mata persoalan ekonomi, satu-satunya yang perlu dilakukan hanyalah memberi mereka yang masuk golongan miskin tersebut sumber-sumber pendapatan, dan dengan serta-merta persoalan kemiskinan terpecahkan.17 Dalam realitasnya tidaklah demikian.
Sejalan dengan itu, Theodore W. Schultz mengemukakan bahwa pada hakikatnya terdapat 3 usaha yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertama, meningkatkan kuantitas barang-barang yang bisa diproduksi kembali (reproducable goods); kedua, meningkatkan kualitas orang-orang sebagai agen-agen produktif (productive agents); dan ketiga, menaikkan tingkat keahlian-keahlian produktif (productive arts). Schultz berkesimpulan, dibandingkan dengan penambahan ikhtiar dan modal pada sektor pertama dalam jumlah yang sama, sektor kedua dan ketiga yang secara bersama-sama menentukan efisiensi nasional mempunyai efek yang jauh lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi.18

Peran Strategis Pendidikan

Ketika dalam realitasnya persoalan kemiskinan sangat lekat dengan persoalan psikokultural, pertanyaan terakhir yang mengemuka adalah, strategi apakah yang mestinya ditempuh untuk memutus mata rantai persoalan tersebut dalam usaha menekan dan mengurangi kemiskinan?
Jelas bahwa sikap mental dan kebiasaan seseorang atau sekelompok masyarakat yang manifestasinya terlihat secara real dalam perilaku sehari-hari (wujud sistem sosial kebudayaan) sesungguhnya terkait erat secara jalin-menjalin dengan ide, gagasan, nilai, dan norma yang mereka anut (wujud ideal kebudayaan). Karenanya, usaha mentransformasi aspek psikokultural yang memungkinkan terjadinya kemiskinan perlu langkah strategis dan konsisten. Meminjam istilah Ali Moertopo, diperlukan strategi kebudayaan.19

Di sinilah peran strategis pendidikan mendapatkan konteksnya. Strategi kebudayaan menempatkan pendidikan sebagai salah satu bidang pokok yang harus digarap secara serius guna menunjang keseluruhan proses pembangunan.20 Konkretnya, apabila hingga saat ini kemiskinan di Indonesia tak juga bisa diatasi secara optimal, dan itu salah satu dan terutama merupakan akibat dari beberapa sikap mental yang ditengarai Koentjoroningrat merupakan kelemahan mentalitas orang Indonesia (meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya pada diri sendiri, tidak bisa berdisiplin murni, dan suka mengabaikan tanggung jawab),21 pendidikan semestinya mengambil peran di sana. Proses pendidikan harus mampu mentransformasi sikap mental-sikap mental tersebut dan mengarahkan serta “membentuk” sikap mental baru yang mendukung pembangunan: serba tahu (well informed), sadar perlunya belajar sepanjang hidup (long life education), memiliki kemampuan analisis yang tajam, berpikir secara integratif dan konseptual, menalar secara rasional, kreatif, berani bertanggung jawab, memiliki kepekaan dan solidaritas sosial, memiliki harga diri dan kepercayaan diri, mampu bersaing sekaligus bekerja sama dengan orang lain, dan memiliki moral reasoning yang tajam.22 Untuk mencapai semua itu, pikiran peserta didik mutlak dibebaskan dari segala bentuk absolutisme dan dogma dan ilmu pengetahuan harus diajarkan sebagai metode bukan sebagai doktrin.23

Perkembangan ekonomi dan peningkatan kemakmuran masyarakat yang telah terjadi di Inggris sejak abad ke-18 bisa ditunjuk sebagai contoh dan bukti empiris. Selama beberapa dasawarsa sebelumnya, seluruh kesusasteraan dan bacaan rakyat di Inggris diisi dengan tema-tema yang berorientasi pada achievement yang tinggi.24

Justru karena itu, dalam konteks pembangunan, pendidikan (baca persekolahan) instrumentalis dalam arti sekadar alat pengalihan pengetahuan positif25 harus ditentang. Dalam konteks ini pula, sistem persekolahan (schooling) yang semata-mata bertujuan mentransfer pengetahuan dengan satu-satunya alat evaluasi keberhasilan berupa Ujian Akhir Nasional sesungguhnya tak berperan dan berfungsi apa pun dalam pembangunan dan dengan sendirinya sistem persekolahan semacam itu wajib dirombak!

IV. Penutup

Sebagai masalah sosial, kemiskinan memang harus ditekan agar tidak memicu munculnya masalah-masalah sosial lain. Namun demikian, pendekatan yang menyandarkan sepenuhnya pada analisis ekonomi sebagai upaya menekan kemiskinan tersebut terbukti tidak sepenuhnya efektif. Hal itu terjadi lantaran kemiskinan sesungguhnya juga sangat terkait dengan aspek psikokulutral. Bahkan, dalam sudut pandang tertentu, aspek psikokultural ini jauh lebih dominan dibandingkan dengan aspek ekonomi dalam menentukan berhasil-tidaknya usaha mengatasi kemiskinan.

Dalam alur pemikiran yang semacam itu, pendidikan yang secara ideal merupakan wahana bagi terkikisnya sikap mental dan kebiasaan yang tidak mendukung pembangunan dan tempat bersemainya sikap mental dan kebiasaan yang menyokong usaha pembangunan menjadi krusial. Sayangnya, pengalaman empiris membuktikan bahwa pemerintah belum banyak memberikan perhatian serius dan fundamental terhadap bidang strategis ini.
Maka, bila aspek psikokultural sungguh-sungguh disadari memiliki peran strategis untuk menekan angka kemiskinan, pilihannya tinggal satu: kita harus segera merombak sistem persekolahan yang sekarang ini ada agar berfungsi secara fundamental demi pembangunan atau membiarkannya berjalan apa adanya seperti yang selama ini terjadi dengan konsekuensi kita akan tetap tertatih-tatih menghadapi kemiskinan yang selalu membayang!

* * *

Referensi

Finney, Joseph C. (ed). 1969. Culture Change, Mental Health and Poverty. USA: A Clarian Book.
Galbraith, John Kenneth. 1979. Hakikat Kemiskinan Massa. Jakarta: Sinar Harapan.
Kartasasmita, Ginandjar. 1993. Kebijakan dan Strategi Pengentasan Kemiskinan. Malang: Universitas Brawijaya Fakultas Ilmu Administrasi.
Koentjoroningrat. 1982. Kebudayaan, Mentalitet & Pembangunan. Cetakan ke-9. Jakarta: Gramedia.
Marzali, Amri. 2005. Antropologi dan Pembangunan. Jakarta: Kencana.
Moertopo Ali. 1978. Strategi Kebudayaan. Jakarta: CSIS.
Mubyarto. 1987. Ekonomi Pancasila. Jakarta: LP3ES.
Putra, Nusa. 1993. Pemikiran Soedjatmoko tentang Kebebasan.Jakarta: Gramedia bekerja sama dengan Yayasan Soedjatmoko.
Sastrapratedja et.al (ed). 1986. Menguak Mitos-mitos Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Soedjatmoko. 1984. Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Suparlan, Parsudi (ed). 1993. Kemiskinan di Perkotaan: Bacaan untuk Antropologi Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor.
Koran Tempo, 12 Juli 2004.
Berita Resmi Statistik No 47/IX/1 September 2006.
1 Soedjatmoko, Dimensi Manusia dalam Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 1984), hlm. 156
2 Pandangan Pemerintah Hindia-Belanda tersebut tentu saja sangat politis sebab menurut Thomas Robert Malthus, kemiskinan memang benar merupakan salah satu akibat dari tekanan pertumbuhan penduduk, tetapi itu terjadi di Eropa bukan di wilayah lain. Baca John Kenneth Galbraith, Hakikat Kemiskinan Massa (Jakarta: Sinar Harapan, 1979), hlm. 24. Bahkan, Dawam Rahardjo mengemukakan bahwa pernyataan yang mengatakan bahwa kemiskinan terjadi akibat jumlah penduduk yang berlebihan sesungguhnya hanyalah mitos. Yang benar, kemiskinan itu terjadi karena adanya monopoli dan manipulasi oleh kekuatan ekonomi dan politik dominan baik yang resmi maupun yang tidak resmi. Baca Dawam Rahardjo dalam M. Sastrapratedja, et.al. (ed), Menguak Mitos-mitos Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 273.
3 Soedjatmoko, op.cit.
4 Galbraith meragukan apakah faktor natural memang bisa menjadi penjelasan atas terjadinya kemiskinan. Ia memberikan contoh: Jepang, Singapura, Hongkong, dan Korea Selatan secara natural bukanlah wilayah yang subur. Tetapi, siapa pun mengakui bahwa keempat negara tersebut bukanlah termasuk negara miskin. Sebaliknya, Virginia Barat yang secara natural memiliki tanah atau alam yang kaya justru merupakan negara bagian paling rendah income per capita-nya dibandingkan seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Baca: John Kenneth Galbraith, op.cit. hlm. 13.
5 Mar’ie Muhammad dalam Koran Tempo, 12 Juli 2004. Bandingkan juga dengan definisi yang dikemukakan oleh Ginandjar Kartasasmita. Baca: Ginandjar Kartasasmita, Kebijakan dan Strategi Pengentasan Kemiskinan (Malang: Universitas Brawijaya Fakultas Administrasi, 1993), hlm. 2.
6 Biro Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik No 47/IX/1 September 2006.
7 Untuk konteks Indonesia, garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia ini dipandang terlalu tinggi. US$2/kapita/hari dengan asumsi hari kerja = 20 hari/bulan dan US$1 = Rp9.100,00 setara dengan kurang lebih Rp360.000,00/kaputa/bulan.
8 Bdk. Ginandjar Kartasasmita, op.cit.
9 Mar’ie Muhammad, op.cit.
10 Joseph C. Finney (ed), Culture Change, Mental Health and Poverty (USA: A Clarian Book, 1969), hlm. 53
11 Oscar Lewis membedakan antara budaya kemiskinan (culture of poverty) dan kemiskinan karena budaya (cultural poverty). Manifestasi dari keduanya bisa saja sama, tetapi peran dasar dari culture of poverty dan cultural poverty berbeda. Dalam sudut pandang cultural poverty kultur tertentu dianggap sebagai penyebab kemiskinan, sementara dalam sudut pandang culture of poverty, perilaku yang sama dipandang sebagai reaksi yang dilakukan kaum miskin terhadap kedukan mereka dalam masyarakat yang bercirikan strata kelas, sangat individualistis dan berciri kapitalisme. Baca Oscar Lewis dalam Parsudi Suparlan (ed), Kemiskinan di Perkotaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hlm. 5
12 Joseph C. Finney (ed), op.cit., hlm. xii.
13 Oscar Lewis dalam Joseph C. Finney (ed), ibid., hlm. 149.
14 John Stuart Mill membedakan dengan tegas antara produksi dan distribusi. Ketimpangan pendapatan yang menjadi salah satu sebab kemiskinan pada dasarnya bukanlah soal produksi melainkan soal distribusi. Dan sejauh menyangkut persoalan distribusi, itu sebenarnya hanya menyangkut persoalan human and political will. Baca: Mubyarto, Ekonomi Pancasila (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 9.
15 Soedjatmoko, op.cit., hlm. 6-7.
16 Marzali, Amri, Antropologi dan Pembangunan (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 92-101.
17 Oscar Lewis, ibid.
18 Soedjatmiko, op.cit., hlm. 24.
19 Ali Moertopo, Strategi Kebudayaan (Jakarta: CSIS, 1978), hlm. 3-9.
20 Bdk. Ali Moertopo, ibid., hlm. 44-50.
21 Koentjoroningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 43-49
22 Nusa Putra, Pemikiran Soedjatmoko tentang Kebebasan (Jakarta: Gramedia bekerja sama dengan Yayasan Soedjatmoko, 1993), hlm. 36.
23 Ibid.
24 Koentjoroningrat, op.cit., hlm. 77.
25 Nusa Putra, op.cit.

Tidak ada komentar: