Kamis, 28 Mei 2009

Ekonomi Kerakyatan – (Misi + Program) = Prabowo

Sangat tidak biasa, semalam saya menonton TVRI. Biasanya saya hanya menonton TVRI pada minggu malam dalam acara Minggu Malam Bersama Slamet Raharjo. Saya agak memfavoritkan acara ini karena komentar-komentar Slamet Raharjo tetapi terutama Arswendo yang selalu nakal, menggelitik, tapi realistis di luar dugaan (komentar khas seniman yang sering membuat saya terpingkap-pingkal!!). Kalau pada akhirnya semalam saya memutuskan untuk tetap menonton TVRI, itu karena tema diskusi panel malam itu adalah Ekonomi Kerakyatan, tema yang hari-hari belakangan ini menjadi salah satu persoalan yang banyak diributkan. Ketertarikan saya untuk menonton sampai habis acara tersebut menjadi semakin besar ketika narasumber yang dihadirkan untuk membahas tema di atas adalah Prabowo, sang cawapres 2009. "Nah, ini dia!" begitu aku berbisik pada diriku.

Semula saya berharap, sang cawapres akan memaparkan langkah-langkah konkret apa yang akan ia lakukan (bahasa kerennya: misi dan program) untuk meng-"counter", merevisi, atau dalam bahasa beliau “merubah” (menurut aturan bahasa Indonesia kata ini salah; yang benar: mengubah!) sistem ekonomi yang sekarang ini dicelanya sebagai salah. Saya menanti-nanti sang cawapres mengatakan, “Tahun 2011 kemiskinan turun menjadi 1%, langkah-langkah saya ini ini ini. Tahun 2012 pengangguran 0%, langkah-langkah saya ini ini ini. Pertumbuhan Ekonomi pada akhir 2014 mencapai 2 digit. Langkahnya ini ini ini” dst.

Pada mulanya beliau memang mengatakan (kira-kira), ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang tujuannya menyejahterakan sebagian besar rakyat (Dalam pemaparan berikutnya beliau secara lebih spesifik menyebut petani, pedagang kecil, nelayan, dsb.). Ok! Tapi, ekonomi pasar (neoliberalisme, ekonomi penjajahan, ekonomi kapitalis, self regulating market, atau apalah namanya) pun pada dasarnya punya tujuan itu. Doktor dari UI lalu menimpali, ekonomi kerakyatan itu intinya adalah sistem ekonomi dengan hati nurani. Hemm… Siapa pun yang pernah membaca “Ekonomi Pancasila”-nya Mubyarto tahu, itulah persisnya yang dulu dimaksudkan oleh Mubyarto ketika ia menggagas Ekonomi Pancasila yang kiranya kini disebut sebagai Ekonomi Kerakyatan tersebut. Sistem Ekonomi Pancasila (bagi Mubyarto) tidak menghendaki adanya free fight liberalism. (Dan, sungguh di luar dugaan saya bahwa ternyata buku yang saya beli 15-an tahun lalu tersebut merupakan hasil simposium di UGM di mana Boediono adalah orang yang mendampingi Mubyarto ketika itu. Ini disampaikan Tonny A. Prasetiantono dalam Kompas dua atau tiga hari lalu). Jadi, ya sudah… saya tunggu saja pemaparan misi dan program dari sang cawapres!

Sayang seribu sayang, sepanjang hampir satu jam saya menonton acara itu, harapan saya tersebut sama sekali tak terjawab. Saya jauh lebih banyak disuguhi pidato tanpa isi (sang cawapres lebih banyak hanya mengkritik dengan mengatakan “APBN sekian trilyun, petani hanya kebagian 1,6%; jutaan petani menjadi nasabah BRI tapi dananya untuk membiayai proyek besar; pemerintah memberikan stimulus ekonomi sekian trilyun, coba itu diberikan petani; kemiskinan bla bla bla; pengangguran bla bla bla). “Ah, kalau cuma ngomong begitu sih tidak perlu cawapres, seorang mahasiswa pun bisa asal rajin menghafal data” bisik saya dalam hati.

Lebih menyedihkan lagi ketika sang cawapres harus menjawab pertanyaan-pertanyaan panelis (ada tiga panelis, tapi nama yang sangat ingat cuma Sri Edi Swasono, satu professor dari Universitas Andalas, satu lagi doktor entah siapa). Para panelis memberikan pertanyaan-pertanyaan yang ternyata sama dengan apa yang saya harapkan: misi dan program konkret.

Misalnya,

Ini yang tanya Sri Edi Swasono (kira-kira): Anda ini ketua Asosiasi Pedagang Pasar (atau apa tepatnya!). Dan menurut penelitian (penelitian usang), munculnya Carrefour di mana-mana banyak menggusur pedagang-pedagang tradisional. Apa rencana Anda? Prabowo menjawab, intinya: Tadinya saya juga tidak menyangka diminta menjadi ketua asosiasi bla bla bla. Saya mendapat laporan atau data bahwa setiap minggu (atau setiap hari?) ada satu pasar tradisional yang dibakar bla… bla… bla…. Soal Carrefour dan program konkret apa bagi para pedagang kecil itu sendiri tidak pernah dijawab.

Masih dari Edi Swasono: persoalan orang miskin ketika berhadapan dengan bank adalah mereka tidak mampu bayar bunga (dalam acara yang sama pernyataan ini disanggah Doktor dari UI) dan tidak memiliki jaminan. Pertanyaan Edi Swasono: Apakah UU Perbankan akan diubah? Jawaban Prabowo: nanti kita kaji (suara di televisi saya tidak jelas!). Jawaban ini diberikan setelah Edi Swasono mengingatkan bahwa dia mengajukan pertanyaan mengenai UU Perbankan dan belum dijawab.

Ini pertanyaan dari Profesor di Universitas Andalas: rakyat kecil itu tersebar di desa-desa yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Bagaimana agar nantinya merekalah yang menyubsidi pemerintah dan bukan pemerintah yang menyubsidi mereka (pertanyaan amat cerdas!). Sang cawapres memang banyak omong, sampai si pembawa acara susah memotongnya, tapi sama sekali tidak pernah menjawab pertanyaan itu.

Pertanyaan doktor dari UI: Anda mengatakan hutan kita akan ditanami tanaman produktif (kalau tidak salah dengar sang cawapres menyebut aren) untuk menghasilkan bioenergi sehingga kita bisa swasembada energi dan bahkan mengekspornya. Uangnya dari mana? Apakah kita tidak akan membayar utang dan akan ngemplang? Jawaban sang cawapres: Kita tidak akan pernah mengemplang utang. Kita akan minta rescheduling dan uang cicilan itu kita pakai untuk menanami hutan… dalam sekian tahun nanti utangnya kita bayar dengan hasil hutan tersebut. (Hemmm….)

Masih pertanyaan dari doktor UI: bagaimana mencapai pertumbuhan ekonomi 2 digit? Jawaban sang cawapres: (setelah bicaranya ngelantur ke sana kemari) saya sudah diskusikan dengan beberapa ahli ekonomi dari Indonesia juga dari luar negeri dan kesimpulannya kita bisa. Bisanya bagaimana? Tak ada jawaban!!!!

Masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain. Tapi polanya sama: sang cawapres memang banyak omong tapi sama sekali tidak pernah menjawab pertanyaan para panelis yang sesungguhnya mengarahkan sang cawapres untuk menguraikan misi dan program konkretnya. Sangat disayangkan juga bahwa si host kurang cerdas menggali, mengulang pertanyaan, atau mempertegas pertanyaan supaya jawaban pak cawapres tidak ngelantur ke sana-ke mari, kritik sana kritik sini, tapi tanpa tawaran solusi konkret! Para panelis, maaf, setali tiga uang. Pertanyaannya tidak dijawab pun diam saja (khas acara TVRI??!).

Karena bosan, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan menonton tayangan itu. Saya lalu pergi keluar rumah untuk mencari bakmi rebus bersama istri saya. Di tengah jalan saya jadi ingat penjual jamu di pasar kampung saya sewaktu saya kecil. Dia sering mengatakan begini (dalam bahasa Jawa yang sangat memukau), “Mau kaya itu gampang. Beli saja ayam… ayamnya ayam betina. Ayam betina beranak-pinak (dalam bahasa Jawa sang penjual jamu mengatakan, ‘manak manak manak manaaaaak) lalu dijual; dibelikan kambing. Kambingnya kambing betina, beranak-pinak lalu dijual; dibelikan sapi. Sapinya sapi betina, beranak-pinak lalu dijual; dibelikan mobil. Sang penjual jamu selalu berhenti di kalimat itu; tentu saja karena tidak ada mobil betina. Seandainya ada, mungkin dia akan lanjutkan begini, “mobilnya mobil betina, beranak-pinak lalu dijual; dibelikan kereta api. Kereta apinya betina, beranak-pinak lalu dibelikan pesawat …” (menggelikan!)

Oh, tapi maaf, ini sama sekali bukan black campaign. Saya cuma pengin belajar menjadi pemilih yang rasional. Moga-moga KPU kali ini tidak melupakan saya lagi; karena jauh-jauh hari saya sudah mendaftar ke PPS (pileg lalu saya jadi anak tiri yang tidak diikutsertakan dalam pemilu), saya punya KTP, saya juga bayar pajak! Namun demikian, seandainya sudah saya bilang ini bukan black campaign dan tetap dianggap black campaign ya, sudah… seluruh pernyataan saya di atas di-off the record-kan saja!!

www.stefanusrahoyo.blogspot.com

4 komentar:

Robbi Cahyadi mengatakan...

Salam.
Sangat kritis sekali dan cenderung memojokkan hehe. Saya jg kebetulan sdg memijit2 remote tv saya dan ketemu acara TVRI tsb tadi malam. Bedanya sebelum saya menonton saya bersikap netral dulu (membebaskan segala prasangka, maksudnya biar objektif).
Masalah cara untuk menurunkan tingkat kemiskinan dan meningkatkan pendapatan rakyat sudah dijawab yaitu dengan pengembangan sektor agribisnis (pertanian dalam arti luas). Agribisnis itu sangat menguntungkan. Saya bisa bilang begitu karena saya sekarang melakoninya. Agribisnis benar2 menerapkan bahwa "jangan ada waktu sedetikpun berlalu tanpa menghasilkan uang" atau kerennya time is money. Anda tebar bibit pohon albasia 5000 batang di lahan seluas 2 hektar, tunggu 3 - 4 tahun, biarkan waktu dan uang bekerja untuk kita, di tahun ke 4 anda panen 500 juta rupiah !!!. Anda punya kolam ikan, tebar 10.000 bibit ikan lele, tunggu 2 bulan anda panen 11,5 juta rupiah!!!. Prinsip saya dalam agribisnis tidak ada waktu yang sia - sia.

Pak Prabowo sudah menjelaskan secara singkat bahwa dia (jika terpilih) akan membuka ladang pangan 2 juta hektar, membuka perkebunan aren 6 juta hektar, membangun hutan produksi, dll. Artinya ada penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan menurut saya.

Menjawab pertanyaan masalah carefour dan supermarket, Prabowo menjawab bahwa dia akan mengedepankan pasar tradisional dengan cara pemberian modal, menghentikan / mengurangi kredit ke pengusaha semodel carefour, menghidupkan KUD, menata pasar tradisional. Jelas artinya keberpihakan kepada pedagang pasar.

Saya jg sangat sedih melihat banyak pedagang tradisional gulung tikar kalah bersaing dengan giant, carefour, bahkan indomaret. Kenapa karena manajemen pasar tradisional buruk sekali, pelayanan konsumen juga sama. Bagaimana meningkatkan kepuasan berbelanja kepada konsumen, tentunya harus dilakukan penataan pasar2 tradisional supaya tidak becek, bau, jorok, dll. Saya yakin pasti bisa asal pemerintah serius.

Menurut Prabowo masalahnya adalah niat / itikad pemerintah apakah mau pro rakyat kecil atau tidak. Saat ini pemerintah kurang berpihak kepada rakyat kecil (petani, pedagang kecil, buruh). Contoh : Saya sekarang mencoba mengusahakan 1,5 hektar sawah. Saya bajak, beli bibit,tanami padi, dipupuk dll dengan harapan mendapat keuntungan. Namun saya sudah berhitung2, ternyata usaha menanam padi itu kurang menguntungkan karena harga jual gabah padi rendah sekali. Diantara berbagai jenis usaha agribisnis, saran saya hindari menanam padi hehehe, koq jadi analisi padi ya, maaf.Menanam padi itu biayanya besar, hasilnya capek doang. Pantesan banyak petani menjual sawahnya utk dijadikan Mall atau real estate.

Saya hitung2 lebih baik saya menanam buah melon yg 2 bulan sudah panen dan bisa untuk puluhan juta. Atau sawah dijadikan kebun saja untuk ditanami pohon albasia. Ternyata selama ini kita2 ini di subsidi petani yang miskin melalui beras yang kita makan. Oh malangnya nasib petani padi.

Jadi memang tadi malam Pak Prabowo terlalu berapi - api bicaranya sampai moderator susah motong. Tapi intinya menurut saya sudah jelas.

Satu lagi pak, kalau anda getol mengkritisi orang lain? . kenapa anda tidak memanfaatkan hak suara anda di Pileg 9 april lalu? berarti bapak ini tidak peduli terhadap proses pemilu dong. Bagi saya alasan tidak terdaftar di DPT susah diterima. Karena dilingkungan saya Ketua RT memberikan kesempatan bagi yang belum masuk DPT untuk merevisi DPT dengan cara mengirimkan copy Kartu Keluarga dan KTP. Segampang itu koq anda tidak lakukan. Sekali lagi, masalahnya ada di NIAT / ITIKAD

Unknown mengatakan...

Bagus uraian anda, apa boleh saya syer dengan kawan2 di AS melalui majalah local kami (gratis) untuk amerika utara (Indonesia Media).

Kami juga nantinya akan menahyangkan di www.indonesiamedia.com

Tentunya kami juga akan memuat foto dan profile anda disana seperti layaknya penulis2 kami dari manca negara.

Hanya masalahnya kami belum mampu bayar kompensasi , karena majalah ini belum bisa dijual hanya dibagikan di kantong2 komunitasw Indonesia dengan tiras dwimingguan sekali terbit hanya 15000 copies.
Terimakasih.
salam,
Dr.Irawan

Stefanus Rahoyo mengatakan...

Untuk Bung Robbi.

Jujur, saya memang agak apatis dengan semua capres dan cawapres yang ada. Tentu saja itu bisa saja subjektif, tapi saya berusaha mendasarkan "subjektivitas" saya pada rasionalitas. Caranya? Baca saja track record mereka.

Dus, justru karena itu saya mencoba untuk sangat kritis. Harapannya, moga-moga semua kekritisan saya itu bisa terbantahkan oleh mereka sehingga dengan demikian apatisme saya hilang dan saya bisa dengan yakin memilih calon pemimpin yang kompeten, kredibel, dsb. Itulah latar belakang saya begitu kritis terhadap mereka.

Karena itu, saya menunggu janji-janji konkret bukan orasi sehingga dengan demikian saya bisa menilai rasionalitas program-program yang mereka tawarkan tersebut. Bung RObbi jangan percaya pada capres/cawapres yang untuk kampanye ini menawarkan visi. Visi bangsa ini sudah ditetapkan ketika kita merdeka (tercantum dalam pembukaan UUD 45). Karena itu sekali lagi, yang perlu kita nilai adalah program mereka. wong praktis timeline mereka hanya 5 tahun kok bicara visi. Omong kosong itu!!!

Kalau sudah bicara program, kriterianya kan jelas: spesifik, measurable, achievable, rational, dan timeliness. Itu saja, Bung...

Saya ingin sedikit menanggapi ajakan Anda agar para petani tidak menanam padi. Persoalannya tidak sesederhana untung-rugi dalam hitungan ekonomis, Bung.

Penelitian teman saya di Delanggu mengungkapkan sesuatu yang barangkali selama ini tidak kita lihat.

Mereka disodori sebuah pertanyaan, "Mengapa masih menanam padi padahal harga padi terus merosot?" Dalam benak teman saya ini, ia ingin mengedukasi bahwa sesungguhnya ada alternatif-alternatif lain yang lebih menguntungkan daripada sekadar tanam padi, persis seperti saran Anda.

Tahu apa jawaban mereka? Ini kira-kira yang mereka ungkapkan: "Lho... kalau kami tidak mau lagi tanam padi, lalu siapa yang akan memberi makan orang-orang di kota?"

Saya ingin menangis mendengar sharing hasil penelitian teman saya itu. Ternyata, soal menanam padi tidak semata-mata urusan untung-rugi secara ekonomis, tetapi juga menyangkut moral-kultural. Ada tanggung jawab sosial yang tertanam dalam para petani di Delanggu itu. Coba semua orang Indonesia ini punya tanggung jawab sosial seperti para petani miskin itu?

Celakanya, kita sering sok tahu... seolah-olah karena padi tidak menguntungkan, sebaiknya petani pindah saja ke tanaman atau bisnis lain.

Untuk Dr. Irawan...

Terima kasih untuk apresiasi Anda. Kalau memang dirasa bermanfaat, silakan dimuat. Kompensasi tidak begitu penting Bung... bagi saya, kita bisa saling share pendapat saja sudah lebih daripada cukup.

Salam untuk teman-teman di US.

Robbi Cahyadi mengatakan...

Betul sekali Mas Rahoyo. Tapi pilihan kita untuk Capres dan Cawapres sangat terbatas. Orang - orang yang jujur dan pinter sebetulnya masih banyak, tapi mereka tidak berani mencalonkan diri.
Dari pilihan yang terbatas ini, ya pilihlah yg paling baik.
Kayaknya semuanya memang mengumbar janji-janji manis, tapi kita lihat sajalah.

Mengenai petani padi juga betul sekali. Saya berani menulis begitu karena saya mengalami. Makanya harusnya orang2 kota itu malu membeli beras dengan harga murah. Seperti saya bilang, mereka disubsidi petani.Tapi ini terjadi hanya untuk petani indonesia saja mas. Coba lihat petani Jepang, Amerika, makmur semua. Karena pemerintah pro terhadap petani.

Kalau saya sih, sama sekali tidak mau saya ngasih makan orang kota seperti yang anda kutip dari petani di Delanggu itu.