Jumat, 13 November 2009

Jerawat dan Pemberantasan Mafia Peradilan

Jerawat, sekalipun itu sering merupakan gejala dan proses alamiah, tak urung hampir selalu membuat risau atau bahkan rendah diri orang-orang yang mendapatkannya. Ini lantaran jerawat selalu dipandang sebagai noda yang akan mengurangi kecantikan dan kegantengan wajah seseorang. Lebih daripada itu, bagi sebagian orang, jerawat merupakan aib karena seringkali dikait-kaitkan dengan libido yang tak tersalurkan; terlepas apakah anggapan itu benar atau tidak. Justru karena itu, tidak mengherankan bila orang—para remaja, lebih-lebih—akan bertindak sigap segera menghapuskannya ketika jerawat ini tumbuh. Tak usah dipersoalkan, bagaimana cara yang tepat memencet jerawat, saleb macam apa yang seharusnya dipakai pascapemencetan jerawat, perawatan apa yang seharusnya dilakukan untuk mencegah timbulnya jerawat, dsb. Yang pasti, orang hanya akan benar-benar berupaya menghilangkan jerawat di wajahnya apabila ia lebih dulu mengakui bahwa ia memiliki jerawat. Tanpa kejujuran mengakui bahwa dirinya berjerawat, mustahil orang akan berupaya—entah dengan cara apa—menghilangkan jerawat yang dialaminya. Apa kaitan antara penghilangan jerawat dengan pemberantasan mafia peradilan atau dalam skop yang lebih kecil makelar kasus (maksus)?

Selama dua minggu belakangan niscaya publik akan terkejut-kejut atau bahkan bingung menyaksikan telenovela penegakan hukum di negeri ini. Salah satu puncak keterkejutan itu adalah rekaman percakapan Anggodo Widjoyo dengan berbagai pihak yang diputar di Mahkamah Konsitusi. Puncak keterkejutan lain yang dialami publik adalah pengakuan Williardi Wizard di pengadilan yang mengatakan bahwa dirinya telah diarahkan penyidik untuk menjerat Antasari Azhar sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Nazarudin. Mengejutkan karena hal tersebut menyibak kenyataan betapa makelar kasus dan mafia peradilan terbukti secara kasat mata telah menggurita di berbagai lembaga penegak hukum negara kita. Dalam rekaman itu, misalnya, tergambar jelas bagaimana digdayanya Anggodo sehingga ia tampak bisa menelepon penyidik Polri dan dengan leluasa mengatur Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Anggodo dan Ong Yuliana juga terdengar akan mengantarkan “duren” kepada seseorang yang mereka sebut Ritonga. Dalam rekaman itu juga jelas terdengar, bagaimana Anggodo melalui pengacaranya Bonar Situmeang, telah mempersiapkan uang Rp7 miliar untuk dibagi-bagikan kepada berbagai pihak termasuk fee untuk pengacaranya.

Sikap Para Petinggi Penegak Hukum

Yang hendak disoroti dalam tulisan ini adalah sikap para petinggi penegak hukum yang seolah emoh mengakui bahwa di dalam institusi yang dipimpinnya terdapat makelar-makelar kasus. Alih-alih para petinggi di atas—dalam hal ini Kapolri dan Jaksa Agung—dengan cekatan menindak para anak buahnya yang tergambar jelas terlibat dalam makelar kasus; mereka justru sibuk membela diri bahwa para anak buahnya bersih dan tidak terlibat dalam makelar kasus atau melakukan penyesatan peradilan. Sikap defensif seperti itu patut disayangkan karena sikap semacam itu sedikit pun tidak akan membantu agenda reformasi penegakan hukum. Padahal, sebagaimana diungkapkan sendiri oleh SBY, pemberantasan mafia peradilan merupakan prioritas pertama program seratus hari Kabinet Indonesia Bersatu II.

Persis seperti orang hanya akan berupaya menghilangkan jerawat di wajahnya bila dirinya dengan jujur mengakui dirinya berjerawat; para petinggi penegak hukum itu pun benar-benar akan berupaya membersihkan institusinya dari mafia peradilan apabila mereka dengan jujur mengakui bahwa di dalam institusinya memang ada mafia. Karenanya, sikap defensif para petinggi penegak hukum menanggapi berbagai fakta yang telah banyak diketahui publik di atas bisa dibaca dalam dua versi. Pertama, itu merupakan upaya melindungi anak buah dan menyelamatkan nama baik institusi; tapi kedua, itu menandakan bahwa mereka sesungguhnya antipembersihan mafia peradilan.

Batu Sandungan

Justru karena itu, desakan sebagian kalangan agar Kapolri dan Jaksa Agung meletakkan jabatan amat bisa dipahami. Pengunduran diri tidak semata-mata sebagai bentuk pertanggungjawaban etis atas kegagalan membina dan mengawasi anak buah; tetapi lebih daripada itu jangan sampai kedua petinggi penegak hukum tersebut justru merupakan batu sandungan bagi pemerintah dalam melakukan agenda 100 harinya, terutama dalam bidang pembersihan mafia peradilan.

Celakanya, melihat tanda-tanda yang ada, tampaknya mustahil kedua petinggi penegak hukum ini akan dengan suka rela mengundurkan diri. Di sinilah diperlukan sikap tegas dan konsisten dari SBY. Bila benar SBY memang menjadikan agenda pemberantasan mafia peradilan sebagai prioritas pertama dalam program 100 harinya, langkah krusial dan mendesak yang perlu diambil adalah membersihkan orang-orang di sekitarnya yang terindikasi akan menjadi batu sandungan bagi dirinya dalam melaksanakan agenda tersebut.

Fakta telah bicara, mari kita desak SBY bertindak tegas dan konsisten agar rakyat percaya bahwa pemberantasan mafia peradilan sebagai prioritas pertama agenda 100 hari pemerintahan baru ini bukan sekadar slogan kosong!

Tidak ada komentar: