Jumat, 13 November 2009

Jerawat dan Pemberantasan Mafia Peradilan

Jerawat, sekalipun itu sering merupakan gejala dan proses alamiah, tak urung hampir selalu membuat risau atau bahkan rendah diri orang-orang yang mendapatkannya. Ini lantaran jerawat selalu dipandang sebagai noda yang akan mengurangi kecantikan dan kegantengan wajah seseorang. Lebih daripada itu, bagi sebagian orang, jerawat merupakan aib karena seringkali dikait-kaitkan dengan libido yang tak tersalurkan; terlepas apakah anggapan itu benar atau tidak. Justru karena itu, tidak mengherankan bila orang—para remaja, lebih-lebih—akan bertindak sigap segera menghapuskannya ketika jerawat ini tumbuh. Tak usah dipersoalkan, bagaimana cara yang tepat memencet jerawat, saleb macam apa yang seharusnya dipakai pascapemencetan jerawat, perawatan apa yang seharusnya dilakukan untuk mencegah timbulnya jerawat, dsb. Yang pasti, orang hanya akan benar-benar berupaya menghilangkan jerawat di wajahnya apabila ia lebih dulu mengakui bahwa ia memiliki jerawat. Tanpa kejujuran mengakui bahwa dirinya berjerawat, mustahil orang akan berupaya—entah dengan cara apa—menghilangkan jerawat yang dialaminya. Apa kaitan antara penghilangan jerawat dengan pemberantasan mafia peradilan atau dalam skop yang lebih kecil makelar kasus (maksus)?

Selama dua minggu belakangan niscaya publik akan terkejut-kejut atau bahkan bingung menyaksikan telenovela penegakan hukum di negeri ini. Salah satu puncak keterkejutan itu adalah rekaman percakapan Anggodo Widjoyo dengan berbagai pihak yang diputar di Mahkamah Konsitusi. Puncak keterkejutan lain yang dialami publik adalah pengakuan Williardi Wizard di pengadilan yang mengatakan bahwa dirinya telah diarahkan penyidik untuk menjerat Antasari Azhar sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Nazarudin. Mengejutkan karena hal tersebut menyibak kenyataan betapa makelar kasus dan mafia peradilan terbukti secara kasat mata telah menggurita di berbagai lembaga penegak hukum negara kita. Dalam rekaman itu, misalnya, tergambar jelas bagaimana digdayanya Anggodo sehingga ia tampak bisa menelepon penyidik Polri dan dengan leluasa mengatur Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Anggodo dan Ong Yuliana juga terdengar akan mengantarkan “duren” kepada seseorang yang mereka sebut Ritonga. Dalam rekaman itu juga jelas terdengar, bagaimana Anggodo melalui pengacaranya Bonar Situmeang, telah mempersiapkan uang Rp7 miliar untuk dibagi-bagikan kepada berbagai pihak termasuk fee untuk pengacaranya.

Sikap Para Petinggi Penegak Hukum

Yang hendak disoroti dalam tulisan ini adalah sikap para petinggi penegak hukum yang seolah emoh mengakui bahwa di dalam institusi yang dipimpinnya terdapat makelar-makelar kasus. Alih-alih para petinggi di atas—dalam hal ini Kapolri dan Jaksa Agung—dengan cekatan menindak para anak buahnya yang tergambar jelas terlibat dalam makelar kasus; mereka justru sibuk membela diri bahwa para anak buahnya bersih dan tidak terlibat dalam makelar kasus atau melakukan penyesatan peradilan. Sikap defensif seperti itu patut disayangkan karena sikap semacam itu sedikit pun tidak akan membantu agenda reformasi penegakan hukum. Padahal, sebagaimana diungkapkan sendiri oleh SBY, pemberantasan mafia peradilan merupakan prioritas pertama program seratus hari Kabinet Indonesia Bersatu II.

Persis seperti orang hanya akan berupaya menghilangkan jerawat di wajahnya bila dirinya dengan jujur mengakui dirinya berjerawat; para petinggi penegak hukum itu pun benar-benar akan berupaya membersihkan institusinya dari mafia peradilan apabila mereka dengan jujur mengakui bahwa di dalam institusinya memang ada mafia. Karenanya, sikap defensif para petinggi penegak hukum menanggapi berbagai fakta yang telah banyak diketahui publik di atas bisa dibaca dalam dua versi. Pertama, itu merupakan upaya melindungi anak buah dan menyelamatkan nama baik institusi; tapi kedua, itu menandakan bahwa mereka sesungguhnya antipembersihan mafia peradilan.

Batu Sandungan

Justru karena itu, desakan sebagian kalangan agar Kapolri dan Jaksa Agung meletakkan jabatan amat bisa dipahami. Pengunduran diri tidak semata-mata sebagai bentuk pertanggungjawaban etis atas kegagalan membina dan mengawasi anak buah; tetapi lebih daripada itu jangan sampai kedua petinggi penegak hukum tersebut justru merupakan batu sandungan bagi pemerintah dalam melakukan agenda 100 harinya, terutama dalam bidang pembersihan mafia peradilan.

Celakanya, melihat tanda-tanda yang ada, tampaknya mustahil kedua petinggi penegak hukum ini akan dengan suka rela mengundurkan diri. Di sinilah diperlukan sikap tegas dan konsisten dari SBY. Bila benar SBY memang menjadikan agenda pemberantasan mafia peradilan sebagai prioritas pertama dalam program 100 harinya, langkah krusial dan mendesak yang perlu diambil adalah membersihkan orang-orang di sekitarnya yang terindikasi akan menjadi batu sandungan bagi dirinya dalam melaksanakan agenda tersebut.

Fakta telah bicara, mari kita desak SBY bertindak tegas dan konsisten agar rakyat percaya bahwa pemberantasan mafia peradilan sebagai prioritas pertama agenda 100 hari pemerintahan baru ini bukan sekadar slogan kosong!

Selasa, 10 November 2009

Identitas dalam Kemiskinan: Tinjauan Literatur Tentang Hubungan Antara Kelas, Etnis, Modal Sosial dan Kemiskinan

Kajian mengenai penyebab kemiskinan selama ini biasanya bermuara pada 3 hal, yakni faktor struktur sosial yang tidak adil dan berpotensi menyebabkan kejadian kemiskinan (kemiskinan struktural), faktor alamiah seperti kondisi alam yang tandus dan miskin (kemiskinan natural), dan faktor-faktor kultural tertentu yang membuat orang hidup miskin (kemiskinan kultural). Sejauh ini belum banyak kajian yang mengaitkan antara (redefinisi) identitas sosial dengan kemiskinan. Benar bahwa (redefinisi) identitas sosial tersebut bisa terkonstruksi karena, salah satunya, faktor kemiskinan. Dalam konteks ini, (redefinisi) identitas sosial merupakan akibat kemiskinan. Tetapi, di pihak lain, dalam konteks tertentu (redefinisi) identitas sosial juga merupakan penghambat orang mampu menolong dirinya sendiri untuk mentas dari kemiskinan. Itu artinya, (redefinisi) identitas sosial juga sekaligus merupakan penyebab orang tetap hidup miskin. Secara lebih tegas bisa dikatakan, apabila faktor struktural, natural, dan kultural merupakan penyebab utama (primary causes) kemiskinan—sekalipun ketiga-tiganya sering kali bertumpang tindih dan amat susah atau bahkan mustahil untuk diidentifikasi faktor tunggal manakah yang menjadi penyebab suatu kejadian kemiskinan—redefinisi identitas sosial bisa berperan sebagai penyebab sekunder (secondary cause) sebuah kejadian kemis­kinan. Pada celah itulah kajian literatur berikut ini hendak ditempatkan.

I. Kelas dan Etnis sebagai Sebuah Identitas Sosial

Henri Tajfel yang diakui sebagai ilmuwan yang mempopulerkan teori identitas sosial bersama John Turner (Putra dalam www.idhamputra.wordpress.com; Prawasti, 2003) mendefinisikan identitas sosial sebagai pengetahuan atau kesadaran individu atau seseorang di mana ia merasa sebagai bagian dari suatu kelompok yang memiliki kesamaan emosi dan nilai (Putra dalam www.idhamputra.wordpress.com). Atribusi terhadap identitas sosial ini bisa didasarkan pada berbagai hal, seperti etnis, kelas, agama atau ideologi, gender, keturunan, profesi. Karena pokok bahasan mengenai identitas (sosial) hanya relevan dan menemukan signifikansinya ketika dikaitkan dengan relasi sosial dan karena identitas selalu terkonstruksi (constructed) dan mewujud (translated) dalam diri individu di lingkungan sosialnya, secara lebih tajam identitas sosial bisa dipandang sebagai identitas individu yang tampil dalam setiap interaksi sosial (Bdk. Susetyo, dalam www.unica.ac.id). Dalam hal ini, identitas sosial bukan semata-mata meru­pakan atribut guna melakukan kategorisasi sosial (untuk membedakan antara in-group dan out-group), melainkan juga menjadi instrumen untuk memperoleh pengakuan dan kesetaraan sosial (recognition and social equality). Kesemuanya itu berakar pada kebutuhan akan harga diri (self esteem) (bdk. Prawasti, 2003). Karenanya, dalam identitas sosial juga terkandung makna identifikasi sosial (social identification) dan perbandingan sosial (social comparison). Proses identifikasi dan perbandingan sosial tersebut, menurut Hogg dan Hains (2001), akan berlangsung mengikuti alur berikut ini: (1). Individu butuh untuk memelihara dan meningkatkan self-esteem-nya. (2). Identitas sosial bisa positif atau negatif tergantung dari evaluasi atas kelompok yang menyumbang terhadap pembentukan self-identity-nya. (3). Evaluasi terjadi melalui proses perbandingan sosial (Prawasti, 2003). Dalam konteks ini, apabila identitas sosial yang ada ternyata tidak memuaskan (kelompok identitas sosial dipersepsikan sebagai inferior), individu akan cenderung meninggalkan kelompok dan bergabung dengan kelompok lain atau bahkan membentuk kelompok sendiri. Kajian mengenai kelompok-kelompok ideologis radikal yang merupakan sempalan dari kelompok ideologis tertentu, dalam banyak hal berada pada wilayah ini. Azyumardi Azra (2004), misalnya, dalam kajiannya mengenai beberapa kelompok Islam radikal menyatakan,

Beberapa kelompok radikal yang penting ... adalah Lasykar Jihad (LJ)…; Front Pembela Islam (FPI)… Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)…. Jelas bahwa kelompok-kelompok radikal ini bersifat independen dan tidak memiliki keterkaitan dengan organisasi yang sudah mapan seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan sebagainya…. Hal ini terutama karena dalam pandangan kelompok-kelompok radikal tersebut, sikap politik dan keagamaan organisasi-organisasi Muslim yang sudah mapan terlalu akomodatif dan kompromistis terhadap realitas politik dan keagamaan Indonesia.

Dari uraian di atas tampak bahwa dalam persepsi kelompok-kelompok Islam radikal, sikap politik dan keagamaan organisasi-organisasi Islam mainstream yang sudah ada (identitas sosial awal) terlalu akomodatif dan kompromistis (menyiratkan persepsi mengenai inferioritas kelompok sosial tersebut). Sikap semacam itu dipandang sebagai sikap yang lemah, terlepas dari benar-salahnya persepsi tersebut. Sikap politik dan keagamaan ini membuat mereka merasa tidak puas atau kecewa. Akibat kekecewaan itu, mereka membentuk kelompok-kelompok baru (identitas sosial baru) yang mereka pandang lebih murni dalam menerapkan ajaran agama (Azra, 2004). Begitulah salah satu proses lahirnya kelompok-kelompok radikal. Fenomena politisi lompat pagar (beralih ke partai lain) atau membentuk partai sempalan, kiranya juga merupakan contoh yang baik untuk menunjukkan bahwa individu atau seseorang bisa meninggalkan kelompok sebagai identitas sosialnya karena kekecewaan. Dalam sudut pandang identitas sosial, di situ tersirat adanya persepsi mengenai superioritas kelompok sosial baru yang, dengan demikian, akan memberikan self-esteem kepada individu yang ada di dalamnya.

Selanjutnya, MacDonald, sebagaimana diuraikan oleh Prawasti (2003) menjelaskan beberapa konsekuensi penting dari proses kategorisasi sosial. (1). Kesamaan antara diri sendiri dengan anggota in-group dan ketidaksamaan atau perbedaan dengan anggota out-group dibesar-besarkan. (2). Stereotype perilaku dan sikap dari in-group dinilai secara positif sementara perilaku dan sikap dari out-group dinilai secara negatif. Individu mengembangkan sikap yang menyenangkan atau menguntungkan (favorable) terhadap anggota in-group dan sikap yang unfavorable terhadap anggota out-group. (3). Hasil dari proses kategorisasi ini adalah perilaku kelompok yang melibatkan diskriminasi terhadap out-group, keyakinan tentang superioritas in-group dan inferioritas out-group serta preferensi yang positif kepada in-group dan afeksi negatif terhadap out-group.

Dalam berbagai kajian ilmiah, teori tentang identitas sosial ini banyak digunakan untuk menjelaskan berbagai konflik etnis (Salam, 2007 dalam www.myqalam.net; Yee, 2005; Pariela, 2008; Hali, 2006; Hasrullah, 2009; Prawasti, 2003). Yee (2005), misalnya, setelah selama 3 bulan melakukan penelitian di lima daerah riset (research sites) di Xinjiang, China mengenai relasi sosial antara suku Uighur dan suku Han akhirnya tibalah dia pada sebuah kesimpulan bahwa konflik dan potensi konflik yang tetap tertanam di antara kedua suku tersebut pada dasarnya disebabkan oleh kuatnya identitas etnis Uighur. Melalui penelitiannya di atas, Yee (2005) menemukan,

What are the major reasons for conflicts among nationality groups in the danwei (work place-red)?... (A)bout one-third of the Uygur respondents indicate that conflicts have arisen because Han Chinese do not respect the minority nationalities. … (E)ven some Hans (22.3 per cent) agree that ‘Great Hanism’ (Da Hanzu zhuyi) is the major cause of ethnic conflicts. Interestingly, about one-fifth of Uygur and 15 per cent of Han respondents indicate that national minorities also do not respect Han Chinese. In other words, the lack of mutual respect is regarded the major cause of ethnic conflicts…. It is also noteworthy that conflict of economic interests is not a major cause of ethnic conflicts, at least not within the danwei.

Persepsi merasa sebagai suku yang direndahkan oleh suku Han, bagi Yee, dengan didukung oleh pertanyaan-pertanyaan lain yang mengarah pada kuat-lemahnya identitas etnis, memberikan petunjuk bahwa konflik antara Uighur dan Han sesungguhnya berakar pada kuatnya sentimen etnis dan identitas lokal suku Uighur itu sendiri. Dengan kata lain, konflik dan potensi konflik yang selama ini terpendam di antara suku Uighur dan suku Han di Xinjiang, China sesungguhnya merupakan konflik identitas. Demikian juga Prawasti (2003) dalam penelitiannya mengenai konflik antara etnis Madura dan etnis Dayak (dan Melayu) di Kalimantan Barat tahun 1999 mengemukakan bahwa dalam perspektif tertentu, konflik tersebut sebenarnya merupakan konflik identitas. Konflik Poso 1998-2001 yang dalam kajian Hasrullah (2009) terlihat amat kental dengan aroma konflik elit politik, sesungguhnya dalam sisi tertentu juga menyangkut konflik identitas. Begitulah, berbagai pengalaman empiris menunjukkan betapa eratnya kaitan antara identitas sosial dengan konflik, terutama konflik etnis.

A. Kelas sebagai Identitas Sosial

Berterima secara umum bahwa persoalan “kelas” mula pertama digagas dan dipopulerkan oleh Marx. Lucunya, Marx sendiri sesungguhnya tidak pernah mendefinisikan pengertian “kelas” (Lukacs, 1971; Suseno, 1999; Giddens, 1985). Ia hanya mendasarkan pembagian kelas berdasarkan posisi masyarakat dalam proses produksi (Lukacs, 1971). Oleh karena itu, konsepsi kelas pada umumnya kemudian mengikuti definisi Lenin: “kelas sosial merupakan golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi” dengan berbagai variansnya (Suseno, 1999). Roemer, misalnya, mendefinisikan kelas sebagai “a group of people, all of whom relate to the labor market in the same way” (McCall, 2008). Terlepas dari seluruh perdebatan yang ada mengenai kelas (baca Suseno, 1999; McCall, 2008, Nollmann dan Strasser, 2007; Bhattacharyya, 2007), dalam konteks ini hendak dikemukakan bahwa ketika Marx mengasumsikan masyarakat sebagai entitas yang terbagi dalam dua kategori (borjuis dan proletar), pada saat itu kelas sebagai identitas sosial secara implisit telah diperkenalkan. Kelas sebagai identitas sosial ini akan semakin kentara ketika pembahasan difokuskan pada kesadaran kelas (class consciousness).

Bagi Marx, kelas baru akan dianggap sebagai kelas yang sesungguhnya apabila konsep tersebut tidak hanya secara objektif merupakan golongan sosial dalam masyarakat dengan kepentingan-kepentingannya sendiri, tetapi secara subjektif golongan sosial tersebut juga harus menyadari dirinya sebagai kelas, sebagai golongan khusus dalam masyarakat yang memiliki kepentingan-kepentingan spesifik serta mau memperjuangkannya (Suseno, 1999).1 Maka, bertolak dari pemikiran Marx di atas, muncul gagasan mengenai class-in-itself (kelas dalam perspektif objektif)2 dan class-for-itself (kelas dalam perspektif subjektif). Peran kesadaran kelas (class consciousness) adalah sebagai elemen mediasi yang mentransformasi class-in-itself menjadi class-for-itself (Bhattacharyya, 2007). Ringkasnya, dalam konteks perjuangan kelas (class struggle), kesadaran mengenai “siapa aku” (identitas) menjadi prasyarat agar realitas kelas sosial (dalam hal ini kelas proletar) bisa melahirkan perjuangan untuk menciptakan sebuah sistem sosial tanpa kelas. Dalam hal ini Marx memang mendasarkan teori kelasnya pada kepemilikan faktor produksi yang antagonistis. Apakah dalam realitasnya kepemilikan faktor produksi tersebut memang harus selalu bersifat antagonistis, itu soal lain. Begitupun, tampak jelas bahwa dalam konsepsi Marx, kelas pada hakikatnya merupakan sebuah identitas sosial sekalipun olehnya diterapkan dalam konteks yang berbeda dengan terminologi yang berbeda pula.

B. Etnis sebagai Identitas Sosial

Identitas etnis menunjukkan tingkat keterpaduan (cohesiveness) di antara para anggota suatu kelompok etnis (Yee, 2005). Ini berarti bahwa semakin kohesif anggota suatu kelompok etnis, semakin kuat identitas etnis mereka; sebaliknya, semakin rendah kohesivitas anggota suatu kelompok etnis, semakin lemah pula identitas etnis mereka. Derajat keterpaduan atau kohesivitas tersebut secara konkret akan muncul dalam wujud fanatisme terhadap bahasa etnis, upacara-upacara adat, pakaian adat, dan sebagainya; tetapi juga dalam bentuk kebanggaan etnis. Rasa bangga sebagai anggota etnis tersebut menyangkut di antaranya persepsi (superioritas) mengenai etnisnya sendiri sekaligus persepsi (inferioritas) mengenai etnis lain yang secara real akan mewujud dalam kontak atau relasi sosial, baik kontak atau relasi dengan sesama etnis maupun lintasetnis. Tentu saja harus dicatat bahwa etnis sendiri sesungguhnya merupakan identitas sosial yang given, tetapi dalam praktik sosialnya sering kali identitas etnis ini pun dikonstruksi oleh konteks dan sejarah. Ini dikemukakan oleh Picard ketika ia berbicara mengenai identitas Bali sebagaimana dikutip oleh Maunati (2004) sebagai berikut:

… (K)esatuan agama, adat, dan seni/budaya yang konon bersifat mutlak dan primordial, yang dengannya orang Bali sekarang mendefinisikan identitas mereka, merupakan hasil dari sebuah proses peminjaman-peminjaman semantik dan proses pembingkaian-kembali konsep-konsep sebagai tanggapan atas kolonialisasi, indonesianisasi, dan turistifikasi pulau mereka. … Belanda meletakkan sebuah kerangka kerja yang dengannya orang-orang Bali akan mendefinisikan diri mereka sendiri.

Apa yang dikemukakan oleh Picard di atas menggambarkan bahwa selain etnis Bali sendiri merupakan identitas yang given, identitas tersebut sesungguhnya juga merupakan konstruksi sejarah yang dibangun oleh pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia, termasuk dalam konteks dioposisikannya Hindu (Bali) dengan Islam (Maunati, 2004).

Terlepas dari semua itu, sebuah kelompok etnis secara real ada karena orang-orang mengidentifikasikan diri mereka sebagai anggota kelompok tersebut. Pada titik ini kelompok etnis memang harus dibedakan dengan kelompok-kelompok lain, misalnya kelompok profesi, kelompok ideologis, dan sebagainya. Menurut Barth (1969), kelompok etnis merupakan sebuah populasi yang (1). secara khas mengabadikan diri secara biologis; (2). mempraktikkan berbagi nilai-nilai kultural dasar bersama, menyadari kesatuan yang jelas dalam bentuk kultural; (3). membangun komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sosial; dan (4). ada keanggotaan yang mengidentifikasi diri dan diidentifikasi oleh orang lain. Apakah dalam sebuah masyarakat yang majemuk realitasnya seperti itu, tentu saja tidak sepenuhnya. Seseorang bisa saja mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang beretnis Tionghoa dan orang lain pun mengidentifikasikan orang tersebut sebagai Tionghoa. Hal itu, misalnya saja, didasarkan pada realitas biologis bahwa ia memang seorang keturunan Tionghoa. Tetapi, apakah dengan demikian ia pasti selalu juga mempraktikkan berbagai nilai kultural bersama sesama etnis Tionghoa; jelas tidak demikian. Pada titik ini, kehati-hatian dalam menentukan atribut etnis perlu mendapat perhatian serius.

C. Redefinisi Identitas: Sebuah survival strategy?

Telah jamak dipahami bahwa sebuah identitas sosial bisa mengalami redefinisi. Dalam hal ini, identitas sosial bukanlah sesuatu yang statis melainkan dinamis. Menariknya, redefinisi identitas sosial tersebut bisa terjadi dengan sendirinya karena adanya atribut tertentu yang dikenakan individu. Misalnya, apa yang terjadi pada identitas Dayak.3 Selama ini terdapat kecenderungan umum yang menganggap bahwa Melayu (di Kalimantan) itu bukan Dayak. Padahal, menurut Ave dan King sebagaimana dikutip Maunati (2004), ternyata mayoritas orang Melayu di Kalimantan sebenarnya adalah orang Dayak, tetapi yang kemudian masuk Islam. Jelasnya, orang Dayak, ketika masih menganut animisme dia adalah Dayak; ketika memeluk Islam orang yang sama dengan sendirinya menjadi Melayu. Redefinisi identitas dari “Dayak” ke “Melayu” terjadi begitu saja dengan sendirinya ketika seorang Dayak menanggalkan atribut animismenya dan mengenakan atribut Islam. Tetapi, redefinisi identitas juga bisa terjadi—sebagaimana banyak dibahas dalam bidang psikologi sosial—karena identitas kelompok tidak memberikan kepuasan pada individu yang mengidentifikasikan dirinya pada kelompok tersebut. Upaya redefinisi dalam konteks ini bisa muncul dalam bentuk perubahan sosial, misalnya dengan masuk kelompok lain atau bahkan membentuk kelompok baru sebagaimana telah dicontohkan di atas dalam fenomena lahirnya kelompok-kelompok Islam fundamentalis.

Menariknya, dalam kasus orang-orang Tionghoa miskin di Kelurahan Jagalan, Semarang Tengah, redefinisi identitas (dari etnis ke kelas) tersebut tidak terjadi karena adanya atribut tertentu yang mereka gunakan atau karena identitas etnis yang mereka sandang (Tionghoa) dirasakannya tidak memuaskan, melainkan karena adanya “misidentitas” di mana sebagai seorang Tionghoa mereka merasa seharusnya menjadi seorang yang kaya, tetapi dalam kenyataannya mereka miskin. Dengan kata lain, di situ terdapat ketidaksesuaian (inappropriateness) antara ideal type identitas etnis dengan realitasnya. Itulah yang mendorong mereka melakukan redefinisi identitas. Ini berarti bahwa redefinisi identitas sosial tidak selalu terjadi karena adanya ketidakpuasan terhadap kelompok identitas (dalam hal ini berarti terdapat persepsi bahwa identitas sosialnya tidak lagi superior) atau secara lebih spesifik karena tidak terpenuhinya kebutuhan akan self-esteem sebagai asumsi yang mendasari teori identitas sosial (sebagai akibat dari persepsi inferioritas identitas sosialnya). Redefinisi identitas sosial bisa juga terjadi dari arah sebaliknya, yakni karena individu merasa tidak mampu memenuhi syarat ideal type yang melekat pada superioritas identitas sosial yang dipersepsikannya. Dengan kata lain, orang “terpaksa” melakukan redefinisi identitas sosialnya karena ia justru merasa “tidak aman” dengan identitasnya yang sekarang. Ini berarti bahwa redefinisi identitas sosial juga sekaligus bisa merupakan salah satu survival strategy. Dalam celah inilah hasil penelitian mengenai redefinisi identitas orang-orang Tionghoa miskin di Jagalan bisa ditempatkan (gambar 1 model 3). Dengan demikian, redefinisi identitas sosial secara diagramatis bisa digambarkan dalam tiga model sebagai berikut:





Gambar 1.
Tiga Model Proses Redefinisi Identitas Sosial

Model 1






Model 2











Model 3











—S. Rahoyo, 2009
Keterangan:
IS 1 = Identitas sosial awal, IS 2 = Identitas yang kemudian, i = individu.


II. Konsepsi Mengenai Kemiskinan

A. Kategorisasi Kemiskinan

Kemiskinan sesungguhnya merupakan fenomena lama di Indonesia, di Jawa khususnya. Sejak zaman kerajaan-kerajaan Jawa dulu, kejadian kemiskinan telah menjadi problem sosial. P.J. Zoetmulder ketika membahas Serat Kakawin (buku Kalangwang) menggambarkan bahwa pada masa itu seorang raja sering kali beranjang sana, berkeliling-keliling mengitari wilayah kekuasaannya. Di tengah-tengah perjalanannya itu, tak jarang sang raja menyaksikan rakyatnya yang hidup kekurangan, terutama penduduk yang tinggal di pegunungan (Soedjatmoko, 1984). Ketika Jawa berada dalam kekuasaan pemerintahan Hindia-Belanda, persoalan kemiskinan tersebut bukannya semakin surut, melainkan bahkan justru semakin parah. Burger berdasarkan penelitiannya menyimpulkan bahwa kira-kira tahun 1850-an Pemerintahan Hindia-Belanda sesungguhnya sudah merasa resah menyaksikan kemiskinan yang semakin menjadi-jadi di Pulau Jawa. Keresahan tersebut tentu saja tidak sekadar didasarkan pada realitas bahwa kemiskinan an sich merupakan problem sosial. Lebih daripada itu, kekhawatiran tersebut juga bertolak dari kenyataan bahwa kemiskinan itu sendiri sering pula menjadi penyebab problem-problem sosial yang lain, misalnya kejahatan, kebodohan, produktivitas, dst. Kemiskinan selalu merupakan akibat tetapi sekaligus juga merupakan sebab. Pemerintah Hindia-Belanda memang mengaitkan kemiskinan yang terjadi itu melulu dengan pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa yang sangat pesat4, tetapi sama sekali tidak mengaitkannya dengan cultuur stelsel (tanam paksa) (Soedjatmoko, 1984). Setelah merdeka, Indonesia tidak lantas berarti terbebas dari persoalan ini. Menurut data tahun 2009—artinya setelah 64 tahun Indonesia merdeka—jumlah penduduk miskin-absolut di Indonesia masih bertengger di kisaran 37-an juta jiwa, atau sekitar 15% dari seluruh jumlah penduduk (Grafik 1). Itu pun dengan catatan bahwa garis kemiskinan yang ditetapkan pemerintah masih terlampau rendah. Sedikit saja garis kemiskinan tersebut dinaikkan, dipastikan angka di atas akan membengkak.5





Grafik 1.
Tingkat Kemiskinan 2002-2009 (dalam %)
—S. Rahoyo, 2009
Keterangan: Diolah dari berbagai sumber

Tak urung, begitu ruwet dan ampuhnya persoalan kemiskinan ini, para ahli dari berbagai disiplin ilmu—ekonomi, sosiologi, antropologi, bahkan teologi—beramai-ramai membahasnya. Salah satu konsep yang mereka hasilkan untuk mengenali kemiskinan tersebut adalah kategorisasi kemiskinan. Berdasarkan kategorinya, pada dasarnya kemiskinan bisa dibedakan menurut jenis dan penyebabnya. Atas dasar jenisnya, kemiskinan dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Sedangkan bertitik tolak dari penyebabnya, kemiskinan bisa digolongkan menjadi kemiskinan struktural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan natural.

Kemiskinan absolut, menurut definisi Mar’ie Muhammad, merupakan kondisi di mana seseorang, keluarga, atau sekelompok masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, baik kebutuhan dasar pangan maupun kebutuhan dasar non-pangan (Muhammad dalam Koran Tempo, 2004). Dari definisi tersebut tampak jelas bahwa kemiskinan absolut sesungguhnya terkait erat dengan daya beli (purchasing power). Orang dikatakan miskin atau menjadi miskin karena orang tersebut tidak memiliki daya beli untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Tentu saja, daya beli pada akhirnya erat kaitannya dengan penghasilan. Pertanyaannya, apakah kriteria yang dipakai untuk menentukan kebutuhan dasar tersebut? Biro Pusat Statistik menggunakan patokan (pangan) 2.100 kalori/kapita/hari sebagai garis batas kemiskinan (poverty line). Ini berarti bahwa orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya 2.100 kalori per hari akan digolongkan sebagai penduduk miskin. Apabila konsumsi kebutuhan pangan dasar tersebut dikonversikan ke dalam bentuk pendapatan, muncullah patokan pada tahun 2006 bahwa orang yang berpenghasilan kurang atau sama dengan Rp131.256/kapita/bulan (untuk penduduk pedesaan) atau Rp175.324/kapita/bulan (untuk penduduk perkotaan) akan digolongkan sebagai penduduk miskin (BPS dalam Berita Resmi Statistik, 2006). Pada titik inilah kriteria di atas mendapat kritik sebagai kriteria yang terlalu rendah karena kriteria yang ditetapkan tersebut hanya mencakup kebutuhan dasar pangan dan belum memperhitungkan kebutuhan dasar non-pangan. Bandingkan dengan kriteria yang ditetapkan oleh Bank Dunia, misalnya. Dengan titik tolak yang sama—daya beli—Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan pada tahun 2006 sebesar US$2/kapita/hari. Dengan kurs US$1 = Rp10.000, itu berarti bahwa orang yang tahun 2006 berpenghasilan kurang dari Rp600.000 per bulan harus digolongkan sebagai penduduk miskin.6

Sedangkan kemiskinan relatif adalah kemiskinan seseorang, suatu keluarga atau sekelompok orang dalam konteks kondisi perekonomian lingkungan di sekitarnya. Dalam sudut pandang ini, bisa saja orang atau sebuah keluarga yang secara absolut bukan tergolong miskin tetap digolongkan sebagai miskin karena orang atau keluarga di sekitarnya jauh lebih kaya (Bdk. Kartasasmita, 1993). Tetapi juga sebaliknya, bisa saja orang atau keluarga yang sesungguhnya secara absolut miskin tetapi karena orang-orang atau keluarga yang hidup di sekitarnya jauh lebih miskin, orang tersebut tergolong kaya. Secara real, kemiskinan relatif sesungguhnya menunjuk pada ketimpangan distribusi pendapatan (Muhammad dalam Koran Tempo, 2004). Seseorang, suatu keluarga atau sekelompok masyarakat yang entah karena struktur sosial atau sebab lain tidak bisa menikmati—dalam ukuran keadilan sosial—kemakmuran hasil produksi lingkungan sosialnya itulah yang digolongkan sebagai penderita kemiskinan relatif.

Kemiskinan juga bisa terjadi karena sistem dan struktur sosial yang tidak ramah terhadap kaum lemah. Pola, prosedur dan syarat-syarat akses terhadap sumber-sumber keuangan yang tidak pro-rakyat miskin, pola hubungan dan diskriminasi gender yang membuat kaum perempuan termarginalisasi secara ekonomis, feodalisme yang memungkinkan para tuan tanah hidup mewah di atas penderitaan buruh tani, merupakan contoh struktur sosial yang bisa melahirkan kemiskinan struktural. Dengan agak provokatif Rena Gazaway mengemukakan,

The basic problem (of poverty) is that people exploit each other. The real problem is not the poor but the attitude of their fellowmen toward them... In every country in the mountains where poverty exists, there are a few rich and powerful people who control country affairs. They stay rich by exploiting the poor. [Finney (ed), 1969]

Hal-hal di atas bisa melahirkan apa yang dinamakan kemiskinan struktural. Dengan demikian, kemiskinan struktural pada dasarnya merupakan kemiskinan yang terjadi akibat struktur sosial yang ada. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang diderita oleh seseorang, suatu keluarga atau sekelompok masyarakat karena sikap mental seseorang, suatu keluarga atau sekelompok masyarakat itu sendiri. Kebiasaan hidup boros, tidak mau bekerja keras, tidak memiliki rencana masa depan, dan sikap gampang menyerah pada nasib merupakan beberapa contoh sikap mental yang bisa menyebabkan seseorang hidup dalam kemiskinan. Sedangkan kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi karena faktor alam. Misalnya, orang-orang yang hidup di daerah tandus, kering, tidak subur pada umumnya akan hidup dalam kemiskinan.7 Orang jompo juga secara alamiah akan menderita kemiskinan jenis ini karena dengan kejompoannya ia tidak mampu lagi produktif untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

Di luar kategori-kategori yang biasa disebut oleh para ahli, Ginandjar Kartasasmita (1993) mengajukan beberapa pola kemiskinan. Yaitu, persistent poverty (kemiskinan yang terjadi secara turun-temurun atau kemiskinan keturunan); cyclical poverty (kemiskinan yang polanya mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan); seasonal poverty (kemiskinan yang terjadi secara musimam, misalnya kemiskinan yang diderita petani setiap kali musim paceklik); dan accidental poverty (kemiskinan yang terjadi karena suatu peristiwa tertentu, misalnya bencana alam).


B. Kultur Kemiskinan

Di luar kelaziman di mana pada umumnya orang memahami kemiskinan pada konteks struktural, kultural dan natural, Oscar Lewis [dalam Finney (ed), 1969] mengajukan tesis adanya kultur kemiskinan. Dalam konteks ini terdapat pembedaan antara kemiskinan kultural (cultural poverty) dan kultur kemiskinan (culture of poverty). Bagi Lewis, kultur sebagai penyebab kemiskinan harus dibedakan dari kultur sebagai akibat kemiskinan. Kultur kemiskinan (sebagai akibat dari kemiskinan) merupakan adaptasi atau penyesuaian dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualis dan berciri kapitalisme. Dengan demikian, kultur kemiskinan sering kali merupakan cara hidup yang diwarisi dari generasi ke generasi melalui garis keluarga [Lewis dalam Suparlan (ed), 1993]. Wujud kultur kemiskinan bisa saja secara real sama persis dengan penyebab kemiskinan kultural, misalnya tidak menabung, menganggur, suka menggadaikan harta, mabuk-mabukan, pendidikan rendah, tidak punya cita-cita hidup atau memiliki cita-cita hidup yang rendah, dsb.

Persoalannya, secara teoretis mau dikategorikan ke manakah kejadian kemiskinan yang dialami orang-orang Tionghoa di Jagalan dalam penelitian ini? Apakah mereka miskin karena faktor struktural, kultural, atau natural? Agaknya, diperlukan kehati-hatian untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bila dalam realitasnya kemiskinan tersebut terjadi karena adanya redefinisi identitas sosial, jelas ini bukan faktor struktural atau natural. Tetapi, dengan serta-merta kemudian menunjuk penyebabnya adalah faktor kultural juga perlu kehati-hatian. Untuk kepentingan itu, perlu ditelisik lebih dalam—dan ini membutuhkan penelitian tersendiri—apakah cara hidup tersebut memang diwarisi secara turun-temurun? Jika ternyata tidak, mengkategorikan kemiskinan yang terjadi di antara kaum Tionghoa di Jagalan sebagai kemiskinan kultural jelas merupakan kekeliruan. Dengan kata lain, kategorisasi kemiskinan yang telah ada selama ini belum sepenuhnya bisa mewadahi seluruh kejadian kemiskinan. Kemiskinan sebagai akibat dari redefinisi identitas sosial seseorang, misalnya, tidak cukup akurat untuk digolongkan ke dalam salah satu kategori tersebut.

III. Etnisitas sebagai Modal Sosial

Dalam literatur ekonomi modal sering kali didefinisikan sebagai faktor-faktor produksi yang pada suatu ketika atau di masa depan diharapkan bisa memberikan manfaat atau layanan-layanan produktif (productive services) (Solow dalam Dasgupta & Serageldin, 1999; Pariela, 2008). Secara spesifik, modal dalam literatur ekonomi merujuk pada modal fisik (physical capital) dan modal manusia (human capital). Modal fisik di situ mengacu pada barang-barang yang kelihatan (tangible), keras, dan sering kali tahan lama (durable) seperti bangunan pabrik, peralatan, mesin, dan persediaan (inventory) (Hanson, 1974).

Yang tampaknya luput dari perhatian para ahli ekonomi ketika mereka merumuskan berbagai jenis modal adalah bahwa sebagai aktor manusia bertindak tidak semata-mata digerakkan oleh tujuan, atas dasar kepentingan pribadi, dan bersifat independen—yang dalam konteks tersebut modal sebagaimana dipahami seperti di atas menjadi amat vital. Dalam kenyataannya, tindakan manusia—juga tindakan ekonomisnya—juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Dalam skala kecil, aktivitas arisan bisa dirujuk sebagai contoh. Bisa saja orang mengikuti arisan karena ia memiliki tujuan tertentu, didasarkan pada kepentingan pribadi, dan tidak dipaksa oleh siapa pun (independen). Pertanyaannya, bagaimana bisa ia mempercayakan uangnya (dalam bentuk iuran per periode) pada suatu kelompok tanpa jaminan apa pun? Apa jadinya bila sebelum ia mendapatkan kembali uangnya, semua anggota yang telah lebih dulu mendapatkan uang tidak mau melanjutkan iurannya atau bahkan melarikan diri? Mengapa ia tidak menabungkan saja iurannya tersebut di bank yang lebih aman dan bahkan mendapatkan bunga? Faktor apa yang membuat para peserta arisan mengabaikan semua pertanyaan tersebut?

James S. Coleman memberikan contoh serupa dalam artikelnya yang berjudul Social capital in the creation of human capital (Coleman dalam Dasgupta & Serageldin, 1999). Apa yang biasa terjadi di pasar-pasar grosir permata—demikian Coleman bercerita—akan menjadi sebuah pemandangan yang luar biasa aneh bagi orang-orang yang bukan pemain perdagangan grosir permata (outsider). Dalam proses negosiasi penjualan, seorang pedagang permata akan memberikan begitu saja sekopor permata kepada penjual lain untuk dicek kualitas dan keasliannya. Penjual lain yang hendak membeli permata tersebut akan melakukan pengecekan dalam waktu senggangnya (artinya tidak pada saat itu juga) dan ia tidak perlu memberikan jaminan apa pun kepada penjual pertama bahwa ia tidak akan mengambil atau menukar—sebagian atau seluruhnya—permata yang ada di dalam kopor tersebut. Permata dalam kopor tersebut bisa bernilai ribuan atau bahkan ratusan ribu dolar. Apa yang membuat penjual pertama percaya begitu saja pada penjual kedua?

Aksi sosial semacam arisan, “peminjaman” sekopor permata kepada seorang pedagang dalam proses perdagangan grosir permata, atau kebiasaan mengirimkan uang kepada sanak-saudara di kampung halaman yang biasa dilakukan orang-orang Karibia yang berada di perantauan pada akhirnya akan memiliki dampak ekonomis. Celakanya, hasil-hasil ekonomis yang ada tidak bisa dijelaskan sepenuhnya sebagai hasil input tenaga kerja, tanah, dan modal fisik sebagaimana yang secara tradisional dipahami selama ini (Grootaert, 2001). Artinya, ada sesuatu di luar modal fisik dan modal manusia yang nyata-nyata juga berpengaruh terhadap perekonomian perorangan (individual), keluarga (household) dan suatu bangsa (nation). Dalam pandangan para sosiolog, “sesuatu” itulah yang kemudian dikenal sebagai modal sosial (social capital).

A. Konsepsi Mengenai Modal Sosial

Tidak jelas, siapa ilmuwan pertama yang menggunakan istilah modal sosial. Tetapi, menurut DeFilippis (2001) penggunaan istilah tersebut pada awal-awalnya berasal dari Glenn Loury.8 Loury (1977) ketika itu mengkritik teori ekonomi neo-klasik dalam mengonseptualisasikan human capital yang terkesan individualistik dan atomistik seolah-olah pembentukan human capital hampir sepenuhnya berarti prestasi individual. Loury menulis:

The social context within which individual maturation occurs strongly conditions what otherwise equally competent individuals can achieve. This implies that absolute equality of opportunity, where an individuals’s chance to succeed depends only on his or her innate capabilites, is an ideal that cannot be achieved…. An individual’s social origin has an obvious and important effect on the amount of resources that is ultimately invested in his or her development. It may thus be useful to employ a concept of “social capital” to represent the consequences of social position in facilitating acquisition of the standard human capital characteristics (DeFillipis, 2001).

Dalam kutipan di atas, tampak bahwa Loury tidak mempercayai teori ekonomi klasik yang menganggap bahwa human capital bisa dicapai melulu oleh prestasi individual. Sebaliknya, menurut Loury, lingkungan sosial asal seseorang juga memiliki andil besar dalam pengembangan kemampuan seseorang tersebut. Justru karena itu, Loury lantas berpendapat perlunya menerapkan konsep modal sosial.

Namun demikian, dalam kajian-kajian berikutnya pada umumnya diakui bahwa tiga ilmuwan utama yang banyak mempelopori kajian mengenai modal sosial adalah Piere Bourdieu, James Coleman dan Robert Putnam.

Menurut Bourdieu, modal sosial adalah keseluruhan sumber daya potensial dan aktual yang terkait dengan kepemilikan hubungan jejaring yang tahan lama atau perkenalan dan pengakuan (Huang, 2003). Definisi tersebut menyiratkan bahwa modal sosial sebagai sumber daya bisa diaktifkan melalui keanggotaan dalam organisasi atau jejaring sosial. Pendekatan teoretis Bourdieu juga berupaya memahami bagaimana kelompok-kelompok sub-ordinat (subordinate groups) mampu meningkatkan status sosial-ekonomi mereka dengan menyusun, mengadakan atau berinvestasi dalam berbagai jenis modal di luar modal ekonomi (Dwyer et al, 2006).

Apabila Bourdieu merupakan pelopor konsep modal sosial di Eropa, Coleman adalah pelopor di bidang yang sama di Amerika. Coleman (1994) mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian sumber daya yang melekat pada hubungan keluarga dan di dalam organisasi sosial masyarakat; yang berguna bagi pengembangan sosial dan kognitif seorang anak atau pemuda (Dwyer et al., 2006). Ini berarti bahwa, dalam pandangan Coleman, modal sosial terdiri dari aspek-aspek struktur sosial, kewajiban dan harapan, saluran informasi, dan serangkaian norma dan sangsi yang efektif untuk menghalangi atau mendorong jenis perilaku tertentu (The Australian Bureau of Statistics, 2002). Konteks karya empiris dari definisi Coleman tersebut adalah kaitan antara sekolah dan pencapaian (attaintment), khususnya keberhasilan SMU-SMU Katolik dalam memberikan berbagai manfaat (benefit) kepada para murid yang berasal dari latar belakang yang kurang menguntungkan. Dengan kata lain, Coleman mendefinisikan modal sosial berdasarkan fungsinya. Ia memparalelkan konsep modal sosial dengan modal finansial, modal fisik, dan modal manusia; dengan batasan bahwa modal sosial tersebut mewujud (embodied) dalam relasi antarpribadi (Huang, 2003).

Dalam penelitiannya Coleman menemukan bahwa modal sosial yang kuat dalam bentuk norma-norma, nilai-nilai, dan jejaring keluarga serta serangkaian nilai dan jejaring masyarakat yang mendorong tujuan-tujuan pendidikan tertentu bisa menggantikan ketidakberuntungan ekonomi (economic disadvantages). Dalam kaitannya dengan kemiskinan di mana pada umumnya orang miskin tidak memiliki modal ekonomi yang memadai, modal sosial bisa menjadi modal bagi mereka. Seorang pelopor modal sosial dari Italia yang amat terpengaruh oleh James Coleman adalah Robert Putnam. Ia mendefinisikan modal sosial sebagai “Features of social life—networks, norms, and trust—that enable participants to act together more effectively to pursue shared objectives” (Dwyer et al, 2006; The Australian Bureau of Statistics, 2002). Bagi Putnam, networks terkait dengan aspek keperilakuan sedangkan norms dan trust merupakan sikap yang terkait dengan aspek sosio-psikologis (Rose, 1999). Putnam kemudian memperluas konsep mengenai modal sosial ini, khususnya memberikan penekanan pada ketegangan antara bridging social capital dan bonding social capital (untuk telaah ini, baca: Pareilla, 2008).

Dalam perkembangannya, berbagai definisi pun muncul di luar definisi-definisi dari ketiga tokoh di atas. Modal sosial menjadi semacam terminologi yang elastis dan memiliki berbagai macam makna.9 Namun demikian, di luar berbagai definisi mengenai modal sosial yang ada, Woolcock dan Narayan (2000) mensintesiskan berbagai pengertian modal sosial dalam literatur sosiologi dan dari hasil sintesis tersebut mereka menyusun 4 kategori modal sosial. Keempat kategori tersebut memang berbeda, tetapi tidak saling bertentangan satu dengan yang lain [Grootaert & Bastelaer (eds), 2002]. Pertama, perspektif komunitarian. Dari perspektif ini, modal sosial digambarkan dalam pengertian organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok lokal. Perspektif ini membantu para praktisi pembangunan untuk memusatkan perhatian pada peran relasi sosial dalam mengurangi kemiskinan. Kedua, perspektif jejaring (network). Perspektif jejaring mendefinisikan modal sosial dengan mengacu pada berbagai hubungan (relasi) antara berbagai perkumpulan (asosiasi) vertikal dan horisontal. Dalam sudut pandang ini, berbagai hubungan tersebut dibedakan menjadi hubungan interkomunitas dan hubungan antarkomunitas. Ketiga, perspektif institusional. Dari sudut pandang ini diketahui bahwa lingkungan institusional, legal dan politis (institutional, legal, and political environment) merupakan penentu penting dan utama kuat-tidaknya jejaring masyarakat. Keempat, perspektif sinergi. Perspektif sinergi ini memusatkan perhatian pada berbagai hubungan di antara dan di dalam berbagai pemerintah dan masyarakat sipil. Pada dasarnya, perspektif sinergi tersebut didasarkan pada asumsi bahwa tak satu pun aktor atau pelaku pembangunan (negara, swasta, dan masyarakat) mempunyai akses sendiri terhadap sumber-sumber daya yang diperlukan untuk menciptakan pertumbuhan yang adil dan berkelanjutan.

B. Modal Sosial dan Kemiskinan

Apa kaitan antara modal sosial dengan kemiskinan? Dalam kajiannya mengenai berbagai institusi lokal di Bolivia, Burkina Faso dan Indonesia Grootaert (2001) berkesimpulan bahwa di ketiga negara tersebut secara konsisten terdapat indikasi kuat bahwa modal sosial mampu secara signifikan mengurangi kemungkinan orang jatuh miskin. Richard Rose (1999) dalam analisis empirisnya mengenai Rusia juga menemukan hal serupa, yakni bahwa modal sosial mampu mendorong kesejahteraan individu. Harry Goulbourne (2006) menemukan kebiasaan unik pada masyarakat Karibia. Mereka yang berada di luar negeri memiliki kebiasaan mengirimkan uang kepada sanak-familinya yang tinggal di Karibia sebagai wujud konkret ikatan transnasional mereka. Ikatan transnasional ini pun pada gilirannya juga akan berdampak ekonomis bagi orang-orang yang menerima kiriman uang tersebut. Grameen Bank yang didirikan oleh Muhamad Yunus di Bangladesh tahun 1976 merupakan contoh positif bagaimana modal sosial mampu menolong jutaan rakyat miskin di sana untuk keluar dari kemiskinan. Singkatnya, para peneliti dan praktisi pembangunan sepakat bahwa modal sosial merupakan sebuah alat untuk mengurangi kemiskinan.

Namun demikian, pengaruh positif yang diberikan oleh modal sosial dalam penciptaan kesejahteraan individu dan keluarga tidak terjadi secara langsung. Dalam konteks kesejahteraan ekonomi, modal sosial tersebut mempengaruhi kesejahteraan melalui akses terhadap kredit, akumulasi aset, dan aksi kolektif (Grootaert, 1999). Secara implisit, ini menunjukkan bahwa networking sebagai bentuk modal sosial memiliki peran signifikan bagi penciptaan kesejahteraan individual, terutama bagi orang miskin yang tidak memiliki modal ekonomi karena dalam networking tersebut sering kali “tersedia” akses-akses terhadap berbagai kredit, informasi, dan sebagainya. Tak salah bila Putnam mengemukakan pentingnya hubungan dan jejaring sosial sebagai jalan orang dan masyarakat berpendapatan rendah untuk mentas dari kemiskinan (bdk. DeFillipis).10

C. Etnisitas: Salah Satu Bentuk Modal Sosial

Bagi konteks penelitian ini, yang terpenting adalah munculnya kesadaran umum bahwa etnisitas merupakan salah satu bentuk modal sosial sekalipun ini sesungguhnya bukan konsepsi baru. Sebab, ketika Coleman mendefinisikan modal sosial sebagai sumber daya yang melekat pada relasi keluarga dan dalam organisasi sosial masyarakat; dan ketika Putnam mengartikan modal sosial sebagai jejaring, norma, dan kepercayaan, sebenarnya keduanya telah meletakkan dasar kajian mengenai etnisitas sebagai bentuk modal sosial tersebut. Bukti empiris kerap menunjukkan, terdapat pencapaian-pencapaian dan prestasi-prestasi tertentu (dalam bidang ekonomi maupun nonekonomi) yang khas oleh etnis-etnis tertentu dan itu semua dicapai karena adanya dukungan norma dan nilai yang khas dalam keluarga etnis tersebut, pola relasi dalam organisasi sosial dan jejaring yang khas etnis tersebut, serta norma dan kepercayaan yang juga khas pada etnis tersebut. Namun demikian, etnisitas semakin disadari sebagai bentuk modal sosial setelah beberapa kajian empiris secara serius menggarapnya.

Dwyer (2006), misalnya, berpendapat bahwa prestasi tinggi yang dicapai oleh orang-orang Tionghoa di Inggris sama sekali tidak terkait dengan kelas sosial melainkan secara khusus terkait dengan etnisitas di mana etnis ini merupakan kelas yang independen. Dalam kajian selanjutnya, ia pun menemukan fenomena serupa, yakni terdapat orang-orang Inggris keturunan Pakistan yang berhasil atau berprestasi di sekolah dan mereka tidak berasal dari kelas menengah. Karenanya, bagi Dwyer, prestasi ini tidak bisa dijelaskan melulu dalam perspektif kelas dan modal ekonomi melainkan perlu dicarikan jawabannya dalam etnisitas. Zhou (2005) sebagaimana ditunjukkan oleh Dwyer (2006) dalam risetnya di sebuah pecinan (Chinatown) di New York menemukan bahwa keluarga-keluarga di pecinan ini mampu mengalami mobilitas sosial vertikal ke atas dalam sebuah generasi. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Zhou menyimpulkan, mobilitas sosial itu terjadi karena teguhnya komunitas di pecinan tersebut dalam memegang bersama norma-norma dan nilai-nilai mengenai pentingnya pendidikan, mobilitas dan integrasi sosial. Selain itu adalah peran orangtua yang kuat dan dukungan komunitas mengenai norma-norma tersebut serta keterlibatan dalam berbagai lembaga etnis. Itulah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya mobilitas sosial di atas.

Dalam konteks etnisitas sebagai sebuah bentuk modal sosial yang mempengaruhi keberhasilan-keberhasilan dan pencapaian-pencapaian tertentu bagi suatu kelompok etnis tertentu, layak dibahas bagaimana kaitan pola relasi yang khas pada masyarakat Tionghoa dengan kemiskinan yang mereka alami. Pola relasi yang khas yang merupakan konsep sentral dalam masyarakat Tionghoa ini dikenal sebagai Guanxi.
1. Guanxi: Relasi Khas Masyarakat Tionghoa
Guanxi dalam bahasa Mandarin sesungguhnya berarti hubungan antarorang atau antarsesuatu. Misalnya, hubungan antara mahasiswa dan dosen (antarorang) dan hubungan antara dua variabel dalam penelitian (antarsesuatu). Tetapi, pada umumnya guanxi merujuk pada kontak atau hubungan antarorang atau antarorang-orang tertentu yang memiliki hubungan yang kuat. Selain itu, guanxi juga bisa berarti penggunaan otoritas seseorang (the use of someone’s authority) untuk memperoleh manfaat ekonomis atau politis oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab (unethical persons) (Huang, 2003).

Terdapat berbagai definisi mengenai guanxi. Berikut adalah beberapa di antaranya sebagaimana dikutip oleh Huang (2003).
Guanxi is social relations involving the exchange of favor or reliance on personal connections or pretty corruption to obtain a public or private goods. (Walder, 1986).
Guanxi relates to personal relations involving the exchange of favors and the giving of face or social status and that the concept of networking is well suited to capture the key features of guanxi (Davies et.al., 1995).
(Guanxi is) friendship with implications of continued exchange of favor (Tsang, 1998).
Guanxi refers to a networks of informal relationships and exchange of favors that dominate business activity throughout China and East Asia which is an ancient system based on personal relationship (Lovett et al, 1999).


Tampak bahwa di antara berbagai definisi tersebut terdapat kesamaan dan perbedaan. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya dalam konteks bisnis dan sosial, tidak ada definisi seragam mengenai guanxi. Begitupun, Yang (1994) mengatakan bahwa di dalam seni guanxi terdapat tindakan saling memberi atau pertukaran hadiah atau pemberian (gifts), kebaikan hati (favor) dan bangket (banquet); upaya untuk memelihara relasi personal dan jejaring saling ketergantungan; dan penciptaan kewajiban dan utang (Huang, 2003). Apa yang disebut sebagai “seni guanxi” oleh Yang ini sesungguhnya merupakan cara membangun dan menggunakan guanxi. Di luar semua itu, terdapat tiga hal yang bisa ditelisik dari berbagai konsep guanxi di atas; yakni bahwa di dalam guanxi terdapat (1) relasi personal sebagai prasyaratnya; (2) bersifat oportunis (artinya relasi personal tersebut dibangun untuk mencapai tujuan tertentu); dan (3) adanya keterpercayaan (trustworthiness) dan resiprositas (reciprocity) sebagai normanya. Sebagai sebuah relasi personal, guanxi merupakan ego-centered personal relationship yang bersifat privat dan informal. Ego-centered personal relationship dalam konteks ini dimaknai sebagai relasi privat yang harus dimulai dari diri sendiri; artinya orang harus aktif membangun bukan menunggu (pasif). Karena sifatnya yang privat tersebut, pola relasi sosial orang Tionghoa membedakan antara zijiren (orang luar-outsider) dan wairen (orang dalam-insider).

Karena sifat informalnya, hal-hal umum dan sepele seperti kesamaan dalam hal pengalaman dan latar belakang bisa berfungsi sebagai pintu masuk interaksi yang lebih dalam dan selanjutnya menuju pada terjalinnya guanxi.
Sesungguhnya, guanxi bukanlah satu-satunya bentuk relasi personal yang dikenal oleh masyarakat Tionghoa. Hwang (1987) sebagaimana diuraikan oleh Huang (2003) mengidentifikasi tiga jenis relasi personal di dalam pertukaran sosial (social exchange) masyarakat Tionghoa. Pertama, ikatan ekspresif yang pada umumnya terjadi di antara para anggota keluarga, sahabat dekat, dan kelompok-kelompok lain yang menyenangkan. Kedua, ikatan instrumental yang didasarkan pada pencapaian sasaran spesifik dan terjadi di antara dua orang yang saling berinteraksi dalam jangka waktu pendek. Contoh relasi personal model ini adalah relasi antara seorang wiraniaga dan pembelinya. Ketiga, ikatan campuran yang terjadi antarorang yang saling mengenal dan berharap untuk bisa saling berinteraksi dalam jangka waktu yang lama. Bagi Hwang, jenis ketiga inilah yang bisa digolongkan sebagai guanxi dengan fungsi instrumental (Huang, 2003). Justru karena diasumsikan bahwa guanxi didasarkan pada basis hubungan jangka panjang, dengan sendirinya guanxi mensyaratkan adanya norma resiprositas11 dan keterpercayaan sebagaimana telah disinggung di atas. Bahkan, pada dasarnya guanxi tidak mungkin terjadi tanpa trust.

D. Guanxi dan Kemiskinan

Dari seluruh uraian di atas tampak jelas bahwa guanxi sebagai relasi sosial yang didasarkan pada nilai-nilai tertentu yang khas masyarakat Tionghoa (etnisitas) sesungguhnya juga merupakan modal sosial. Persoalannya, bagaimana mengaitkan antara guanxi dan kemiskinan yang dialami oleh sebagian dari komunitas Tionghoa? Atau dalam pertanyaan yang lebih spesifik, apakah guanxi dengan sendirinya akan membantu para aktor yang terlibat di dalamnya mentas dari kemiskinan? Serta-merta mengatakan bahwa karena guanxi merupakan bentuk modal sosial dan karena modal sosial secara empiris dan teoretis telah terbukti bisa berperan sebagai instrumen untuk mengurangi kemiskinan; dengan sendirinya guanxi pasti bisa berperan sebagai instrumen seseorang mentas dari kemiskinan adalah kesimpulan yang terlampau buru-buru.

Bahwa guanxi merupakan sebentuk network (jejaring) yang di dalamnya terkandung norma-norma dan trust adalah benar. Namun, perlu dikemukakan bahwa network pada umumnya hanya akan memberikan dampak ekonomis pada para anggotanya apabila terdapat heterogenitas internal, terutama heterogenitas yang secara spesifik terkait dengan dimensi-dimensi ekonomi yakni status ekonomi, tingkat pendidikan, dan mata pencaharian. Mustahil terjadi aliran informasi, terbukanya akses terhadap kredit atau modal dalam sebuah network yang homogen (sama-sama berasal dari status ekonomi lemah, berlatar belakang pendidikan yang setara, dan memiliki mata pencaharian yang sama). Itu artinya, guanxi sebagai sebentuk network juga hanya akan memberikan dampak ekonomis terutama kepada si miskin apabila terdapat heterogenitas dari berbagai dimensi ekonomi di atas.

IV. Redefinisi Identitas, Guanxi, dan Kemampuan Mentas dari Kemiskinan

Jadi, bagaimana mengaitkan antara redefinisi identitas sosial, guanxi, dan kemampuan atau ketidakmampuan seseorang untuk mentas dari kemiskinan? Sebagai catatan awal untuk memulai pembahasan ini, perlu dikemukakan bahwa konteks pembahasan ini spesifik mengacu pada etnis Tionghoa. Apakah proses ini nantinya juga berlaku atau tidak berlaku pada konteks lain, tentu ini memerlukan studi tersendiri. Yang jelas, sebagai sebuah bentuk relasi khas masyarakat Tionghoa, guanxi sesungguhnya bisa menjadi instrumen bagi seorang Tionghoa untuk mendapatkan akses terhadap informasi, akses terhadap modal, dan hal-hal lain yang bisa berperan sebagai alat bagi seseorang melakukan mobilitas sosial vertikal. Kekhasan guanxi sebagai bentuk relasi khas kaum Tionghoa yang bisa menjadi modal non-ekonomi bagi si miskin guna menolong dirinya mentas dari kemiskinan tersebut terletak pada nilai-nilai kulturalnya, salah satunya adalah bentuknya yang personal dan sifatnya yang instrumental. Sebagai modal non-ekonomi, guanxi diperkokoh oleh kuatnya ikatan etnis di antara kaum Tionghoa dalam berbagai penyebabnya. Sekali lagi, ini merupakan keuntungan bagi si miskin ketika ia mampu menjalin guanxi dengan si kaya. Ketika si miskin berhasil menjalin guanxi dengan si kaya, aspek heterogenitas internal dimensi ekonomi dalam jejaring sebagai prasyarat agar networking bisa berfungsi sebagai sarana memperoleh manfaat-manfaat ekonomi menjadi terpenuhi. Pada titik ini, guanxi diyakini mampu menolong orang Tionghoa miskin memperoleh akses terhadap informasi, modal, keahlian, dsb yang pada gilirannya akan memberikan dampak ekonomi bagi hidupnya.

Awal persoalan muncul ketika justru karena kemiskinannya orang meninggalkan identitas etnisnya dan selanjutnya mengidentifikasikan dirinya dalam identitas kelas (bawah). Sebagaimana identitas sosial apa pun dengan sendirinya akan selalu menciptakan batasan-batasan terhadap identitas lain yang vis-a-vis dengan identitas sosial dirinya, identitas sosial “kelas bawah” an sich juga akan menciptakan batasan-batasan terhadap “kelas atas”. Di sinilah benang merah antara redefinisi identitas, guanxi, dan ketidakmampuan seseorang mentas dari kemiskinan itu kelihatan. Dengan mengidentifikasikan diri sebagai kelas bawah, individu cenderung akan “mengasingkan diri” dari “kelas atas”. Dengan “mengasingkan diri” dari kelas atas, orang tidak akan membentuk guanxi dengan kelas atas. Dengan tidak terjalin guanxi dengan kelas atas, akses terhadap informasi, modal, pinjaman, keahlian, dsb. menjadi tertutup. Karena orang miskin per definisi tidak memiliki modal ekonomi untuk melakukan upaya-upaya mobilitas sosial vertikal, sedangkan modal sosial sebagai modal lain yang sebenarnya bisa menjadi instrumen untuk menggantikan modal ekonomi itu pun tidak dimiliki, bisa dipahami bila mereka pada akhirnya tidak mampu mentas dari kemiskinan.

Negeri Para Pembohong

Beberapa hari belakangan ini aku merasa amat muak mendengarkan atau membaca berita. Orang-orang berpangkat, berkedudukan tinggi, mengaku ahli hukum, berpakaian necis, tapi mulutnya tak lebih daripada seorang pembual begitu bodohnya mempermainkan logika waras. Mereka kira orang tidak tahu bahwa mereka berbohong. Mereka pikir, tak ada orang yang masih bisa berpikir waras. Muak… betul-betul muak. Inilah wajah negeri yang compang-camping itu. Lihat saja:

1.Seorang jenderal polisi begitu entengnya, sambil senyum-senyum, tanpa beban dan tanpa rasa salah membual di depan wakil rakyat menjelaskan asal-muasal munculnya istilah cicak-buaya. Lewat tayangan televisi orang tahu, istilah itu dilontarkan sang jenderal untuk membuktikan kekuasaannya menghadapi seterunya, KPK. Tapi, di depan para dewan kita mendengar yang sebaliknya. Tayangkan saja apa yang direkam televisi jauh sebelum pernyataan jenderal itu di depan dewan, dan bandingkan dengan apa yang ia ungkapkan di depan dewan! Orang akan dengan mudah menangkap: BOHONG BESAR apa yang ia katakan di depan dewan itu. Sayang seribu sayang, para dewan cuma bisa mengangguk-angguk bak sapi yang sedang menarik pedati. Mereka seolah emoh tahu bahwa istilah itu—dan kasus di balik pemunculannya, tentu saja—telah menjadi pemicu penghabisan energi berkepanjangan. Oh, dasar negeri para pembohong!!!

2.Di depan dewan pula sang jenderal menceritakan bahwa pemeriksaan dan pemberkasan terhadap Anggoro dilakukan di KBRI Singapura. Pernyataan ini, seingat saya juga dia nyatakan dalam wawancara dengan stasiun televisi. Eh, tak selang minggu, Duta Besar RI untuk Singapura menyatakan, “Tidak ada pemeriksaan Anggoro di KBRI!!”. Oh, dasar negeri para pembohong!!!!

3.Selintas tadi pagi saya dengar di sebuah televisi; seorang pengacara dengan berapi-api penuh percaya diri mengatakan, “Saya ini bermaksud membersihkan KPK, tapi merasa mendapatkan perlawanan dari banyak pihak!!” Padahal, klien sang pengacara yang mulia ini dengan terang-benderang di hadapan publik sudah mengakui bahwa dirinya telah memberikan miliaran uang untuk kasus kakaknya yang ditangani KPK melalui Ary Muladi. Tak ada logika waras yang membenarkan bahwa cara untuk membersihkan KPK—kalau benar ada oknum KPK yang korup—adalah dengan menyetor uang, APA PUN ALASANNYA!! Oh, dasar negeri para pembohong!!!!

4.Baru kemarin saya dengar Pak Jaksa Agung begitu yakin bahwa kasus Chandra didukung bukti kuat. Dengan gaya seorang the great story teller, Pak Jaksa Agung berupaya meyakinkan para anggota dewan bahwa terdapat petunjuk-petunjuk kuat untuk tetap meneruskan kasus Chandra; “Tak diperlukan bukti akurat!” begitu Sang Jaksa Agung berceloteh. Ia lalu menganalogikan hal itu dengan sepasang laki-laki dan perempuan bukan suami-istri yang masuk sebuah kamar hotel. “Tak perlu bukti akurat untuk meyakini telah terjadi perzinahan!” katanya. Ah… analogi yang terlalu simplisistis, hati saya bilang. Dan, apa yang terjadi? Tadi pagi saya lihat di running text sebuah stasiun televisi: kejaksaan kembalikan berkas ke polisi!! Oh, dasar negeri para pembohong!!!!

Tuhan, aku muak… jijik dengan orang-orang semacam itu; orang-orang yang tak tahu malu memamerkan kebohongan di mana-mana. Tuhan… seandainya aku jadi Engkau, aku akan tetapkan sebuah hukum di negeri ini: siapa berbohong, saat itu juga mulutnya akan ndower sepanjang 1 meter dan tak akan pernah pulih lagi! Barangkali dengan begitu orang akan kapok berbohong, dan dengan begitu berakhirlah kisah NEGERI PARA PEMBOHONG ini!!!!!

Senin, 09 November 2009

Kabareskrim Berbohong (?)

Kesaksian Kabareskrim Susno Duadji di depan Komisi III DPR RI beberapa waktu lalu menyisakan sebuah pertanyaan. Ketika ditanya oleh seorang anggota dewan mengenai pertemuannya dengan Anggoro Widjoyo di Singapura--kalau saya tidak salah dengar--Susno menerangkan bahwa dirinya ke Singapura bersama dengan penyidik, mempertemukannya dengan Anggoro Widjoyo, dan setelah itu ia pulang. Kira-kira begitu. Masih menurut Susno, pemeriksaan dilakukan di Kedutaan Besar RI di Singapura; pembuatan BAP--juga menurut Susno--juga dilakukan di sana.

Tetapi, hari ini, di salah satu televisi swasta Duta Besar Indonesia untuk Singapura menyatakan bahwa menurut catatannya, tidak ada pemeriksaan tersebut. Kalau pernyataan Dubes RI untuk Singapura itu benar berarti Susno telah melakukan KEBOHONGAN PUBLIK. Mestinya, Kapolri harus mengklarifikasi hal ini. Untuk apa dia harus berbohong? Apa tujuannya? Apakah ini merupakan kebohongan untuk menutupi kebohongan-kebohongan sebelumnya? Berdasarkan preseden ini, apakah keterangan Susno bahwa dirinya ke Singapura untuk menemui Anggoro dalam rangka pemeriksaan bisa dipercaya? Apa jaminannya bahwa dia tidak berbohong?

Dalam catatan saya, ini bukanlah pertama kali pembelokan informasi itu terjadi. Ketika menjelaskan mengenai munculnya istilah cicak-buaya di RDP dengan komisi III DPR, Susno menjelaskan bahwa istilah itu muncul untuk membandingkan teknologi penyadapan yang dimiliki KPK dan Polri. Menurut Susno, teknologi penyadapan yang dimiliki KPK ibarat cicak, sedangkan teknologi yang dimiliki Polri adalah buaya; namun demikian--menurut penjelasan Susno--dari segi kekuasaan berkebalikan; KPK ibarat buaya sedangkan Polri ibarat cicak. Benarkah demikian asal-muasal istilah yang kini telah menjadi ikon luas tersebut?

Sejauh yang penulis ingat, istilah tersebut digunakan Susno--disiarkan oleh berbagai televisi swasta--untuk menunjukkan bahwa dirinya buaya. "Cicak kok melawan buaya" begitu kira-kira inti kalimatnya ketika itu. Konteks kalimat itu adalah pertanyaan wartawan soal penyadapan dirinya yang dikaitkan dengan kasus bank century.

Bila benar Susno berbohong, publik patut bertanya: apa yang masih bisa kita percaya dari seorang pejabat yang tanpa beban dengan enaknya berbohong?

Kamis, 05 November 2009

DPR Tak Lihai Gali Fakta

Kemarin Komisi III melakukan rapata dengar pendapat dengan Kapolri Bambang Hendarso Danuri. Rapat yang berlangsung sejak pukul 20.00 dan baru selesai dini hari (sekitar pukul 02.00) itu sedianya untuk mengklarifikasi kasus Bibit-Chandra, terutama dari pihak Polri.

Tentu saja ini merupakan kesempatan sangat langka mengingat kasus Bibit-Chandra telah begitu menghabiskan energi khalayak, dengan segala kesimpangsiuran informasi yang terjadi. Beberapa hal pantas menjadi catatan dari rapat dengar pendapat yang berlangsung lebih dari 5 jam tersebut.

Pertama, soal kasus Bibit-Chandra.

Setelah mendengarkan seluruh penjelasan Kapolri, bisa jadi khalayak menjadi ragu; apakah benar wakil ketua KPK nonaktif Bibit-Chandra memang benar-benar tidak terlibat kasus pidana sebagaimana yang disangkakan Polri selama ini. Kapolri begitu percaya diri memaparkan bukti-bukti yang dipakai sebagai fakta untuk menjerat Bibit-Chandra menjadi tersangka. Ini jelas bertentangan dengan logika umum yang selama ini berkembang (apalagi setelah pemutaran rekaman percakapan Anggodo Wijoyo dengan beberapa orang yang diduga para aparat hukum); yakni bahwa kasus ini merupakan kasus rekayasa.

Sekali lagi, tak ada jalan lain untuk meng-clearkan semua itu selain melalui persidangan. Biarlah di persidangan nanti hakim akan memutuskan mana yang benar dan mana yang salah; dengan pengawasan agar transparan dan akuntabel, tentu saja.

Kedua, ini yang menyedihkan. Waktu yang lebih dari 5 jam tersebut mestinya bisa dipakai para anggota dewan (komisi III) untuk benar-benar menggali fakta sedalam-dalamnya dan sejelas-jelasnya. Di awal sidang, para anggota dewan sepakat untuk "buka-bukaan".

Dalam kenyataannya, para anggota dewan kurang terampil menggali informasi. Sesi pertama pendalaman yang diberikan oleh pemimpin rapat; praktis lebih banyak diisi puja-puji, basa-basi, dan pidato. Puja-puji, basa-basi, dan pidato tentu saja perlu; tapi dalam konteks ini: betapa besarnya persoalan dan mepetnya waktu yang ada; pidato dan segala macamnya tersebut menjadi kurang relevan.

Khalayak sebenarnya mengharapkan, bahwa dalam rapat dengar pendapat tersebut Kapolri benar-benar dicecar pertanyaan-pertanyaan menukik untuk mengungkap segala fakta yang tersembunyi. Dalam hal ini, DPR praktis gagal melakukannya.

Pertanyaan-pertanyaan seperti
1. Bagaimana Kapolri yakin bahwa pemimpin KPK menerima uang dengan hanya berdasarkan petunjuk nomor mobil, bukti parkir, pengakuan Ari Muladi, dsb? Semua itu jelas tidak membuktikan apa pun bahwa uang benar-benar telah mengalir dari Ari Muladi ke unsur KPK. Analoginya gampang saja. Si A dan si B sama-sama berada di sebuah toko. Bukti parkir ada, bukti nomor mobil ada. Tapi, apa yang bisa menjamin bahwa keduanya bercakap-cakap?

2. Soal rekaman:
Anggodo wijoyo sebagai pihak yang dianggap mempunyai peran sentral dalam rekaman itu telah mengakui di TV One bahwa rekaman itu adalah suaranya. Berbagai klarifikasi mestinya bisa digali di sana:
a. Apa klarifikasi dari penyidik yang dalam rekaman itu terdengar bertelepon dengan Anggodo
b. Sejauh mana kebenaran pemberian makan (malam ?) oleh Anggodo kepada para penyidik yang terdengar dalam rekaman itu?
c. Apakah memang dibenarkan seorang penyidik bertelepon dengan saksi?
d. dsb.

Semua itu tidak terungkap karena para anggota dewan lebih banyak berbicara hal-hal yang sesungguhnya tidak perlu. Dari ketiga sesi pendalaman, praktis hanya sesi ketigalah yang sesungguhnya mencapai tujuan. Sayang itu sudah terlalu larut sehingga praktis tidak bisa mengungkap fakta-fakta lebih jauh lagi. Kita jadi berpikir, jangan-jangan para anggota dewan ini memang memerlukan pelatihan bertanya.

Ketiga. Bahwa kasus penetapan tersangka Bibit-Chandra dan rekaman merupakan dua hal yang saling kait-mengkait, keduanya perlu dibedakan. Keduanya tidak bisa dicampur aduk. Dengan kata lain, masing-masing harus diusut tuntas dan diungkap sejelas-jelasnya secara transparan dan akuntabel.

Semua itu perlu dilakukan mengingat kasus ini telah begitu menyedot energi perhatian dari jutaan orang Indonesia.