Selasa, 16 Oktober 2007

Artikel

Menakar Pentingnya Melihat Surga

Oleh: Stefanus Rahoyo

Kesaksian mengenai pengalaman melihat Surga (dengan “S”) yang lazimnya sekaligus juga nerakanya, rupanya tak pernah basi untuk diceritakan dan diperbincangkan, pun senantiasa akan menyedot perhatian khalayak. Tak mengherankan bila orang-orang yang mendapat karunia melihat Surga dan kemudian memberikan kesaksian di mana-mana akan segera berubah menjadi “selebritas”. Sejalan dengan itu, buku-buku yang membahas tema tersebut pun selalu akan menjadi best seller, laku keras bak tiket kereta api menjelang Idul Fitri. Sebut saja Heaven Is So Real dan Surga, sebagai buktinya. Menurut laporan wartawan BAHANA, oplag kedua buku tadi disebut-sebut telah menembus angka puluhan ribu eksemplar. Cukup fantastis!

Padahal, iman kita sekali pun tak menyangsikan bahwa Surga memang ada. Sebab ketika kita meragukan eksistensi Surga, pada saat yang sama kita sebenarnya sedang menggerus pondasi iman kita. Tidak hanya menggerus, bahkan sebenarnya kita telah mengingkari iman kita. Bukankah dalam pengakuan iman rasuli kita menyatakan: Aku percaya... kehidupan kekal?

Jadi, eksistensi Surga dan kehidupan kekal bagi kekristenan pada hakikatnya telah final. Karena telah final, dengan sendirinya sebenarnya tak ada lagi pertanyaan “ada atau tidak ada” di sana. Dengan sendirinya pula, melihat Surga hanya untuk membuktikan bahwa surga itu memang ada tak lagi relevan untuk dibicarakan!

Kerinduan yang Terpendam

Memang, orang tertarik mendengar atau membaca (atau diam-diam berharap kalau bisa melihat!) kesaksian tentang Surga bukan pertama-tama karena ingin membuktikan atau karena pengalaman tersebut membuktikan bahwa Surga memang ada, tetapi lebih didorong oleh keingintahuan mengenai seperti apakah Surga.

Yang menarik, mencermati kesaksian orang-orang yang mengaku pernah dibawa ke Surga pada dasarnya kita bisa berkesimpulan bahwa cerita mereka sebenarnya juga “begitu-begitu” saja. Tak pernah ada yang baru. Di sana ada malaikat atau bidadari, orang bersorak-sorai memuji Tuhan siang dan malam, manusia bisa bergaul intim dengan Yesus, suasana indah tak terkatakan, dst. Versi setiap orang selalu berbeda, tapi inti tetap sama. Di sinilah menariknya: kalau berita tentang Surga sebenarnya “begitu-begitu saja, tidak ada yang baru” mengapa banyak orang selalu tertarik mendengar cerita tentang Surga?

Kita sepakat, Surga pada hakikatnya adalah suatu keadaan di mana digambarkan di sana tidak ada lagi tangis dan duka, penderitaan dan ketidakadilan, kejahatan dan kegelapan (Bdk. Mat 25: 10, 21, 46). Di sanalah Allah secara definitif meraja. Karena Allah meraja di sana, Surga diimani sebagai keadaan sempurna yang menjadi impian setiap orang beriman. Karena itu, hiruk-pikuk khalayak ingin tahu seperti apakah Surga, pada dasarnya—di satu sisi—merupakan manifestasi dari kerinduan amat kuat-terdalamnya akan keadaan yang sempurna tersebut. Dan, faktanya, kerinduan itu tak pernah mati sepanjang hidupnya karena keadaan tersebut tidak mungkin dicapai selama ia masih hidup di dunia fana ini. Di sisi lain, keingintahuan itu pun secara sadar atau tidak menyiratkan pengakuan (bahkan kejengahannya!) mengenai ketidaksempurnaan keadaan hidup saat ini. Seandainya saja keadaan hidup saat ini telah sempurna, niscaya orang tak akan pernah tertarik berita Surga. Dalam konteks inilah berita Surga yang “begitu-begitu saja tetapi selalu menyedot perhatian orang” bisa dipahami.

Menciptakan Surga

Karena ketertarikan mengenai berita Surga pada dasarnya merupakan manifestasi kerinduan manusia akan keadaan sempurna tersebut, dan diyakini bahwa hal tersebut tidak mungkin dinikmati selama kita berada di dalam dunia fana ini, pertanyaan logis yang mestinya selalu kita renungkan adalah “bagaimana agar saya kelak menikmatinya” (Baca Rm. 2:6-7) bukan “seperti apakah Surga” atau lebih konyol lagi “di manakah Surga”.

Pertanyaan “bagaimana” di situ bisa mengundang perdebatan panjang tiada henti bagi setiap orang. Justru karena itu, pertanyaan “bagaimana” di atas menjadi tak pernah basi untuk diingat, direfleksikan dan dihayati daripada sekadar pertanyaan “seperti apakah” atau “di manakah” tadi.

Persoalan kedua yang seharusnya mengemuka ketika kita memperbincangkan Surga adalah justru kenyataan hidup saat ini itu sendiri. Dalam arti tertentu, persoalan ini bahkan jauh lebih krusial untuk dipersoalkan (Bdk. Mat. 6:34). Sebab, membahas Surga (kehidupan kekal kelak) tanpa mengaitkannya dengan masa kini jelas akan kehilangan relevansinya. Jelasnya, kita melihat kenyataan bahwa dunia fana ini memang bobrok, penuh ketidakadilan, di sana-sini menampilkan kemiskinan, sehari-hari dipenuhi pemandangan kejahatan dan kekejian, dst. Namun demikian, justru karena beriman kita pun yakin bahwa dunia ini bisa disempurnakan (sehingga semakin hari semakin mendekati Surga) sekalipun memang tak akan pernah sempurna (menjadi Surga). Atas dasar itulah salah satu panggilan kekristenan kita adalah turut terlibat dalam proses penciptaan (dunia sehingga menjadi semakin sempurna) (Kej. 1:26).

Bertolak dari pandangan tersebut, kita bisa mengatakan bahwa bila Surga adalah tempat bersemayamnya kesempurnaan abadi, pada dasarnya kita pun bisa menciptakan surga (dengan “s”) yang masih berproses menuju kesempurnaan abadi (Surga) pada saat ini di dunia ini. Dalam hal ini kita membuka wacana bahwa Surga bukan semata-mata tujuan final, tetapi sekaligus sebagai proses. Kapan surga yang masih berproses itu bisa terjadi? Ketika semua kita senantiasa berpikir tetapi lebih-lebih berperilaku atas dasar kebenaran, keadilan, kejujuran, kebaikan, kemurahan hati, dan cinta sesama; menolak segala bentuk kejahatan, penindasan, penipuan, takhayul, dsb. Bagaimana memulainya? Tidak susah: mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai sekarang (3M).

Berbekal kapasitas, peran, tugas, dan tanggung jawab masing-masing, tak mustahil kita mampu menciptakan surga sekarang ini. Lebih daripada itu, selagi kita berprinsip bahwa menciptakan surga adalah hal yang jauh lebih utama daripada sekadar tahu seperti apakah Surga, melihat Surga manakala kita masih hidup di dunia ini menjadi kurang penting. Dan, janjinya, ketika kita masing-masing secara bersama-sama tak pernah lelah dan henti menciptakan surga, segalanya akan ditambahkan kepada kita!
--Stefanus Rahoyo; penulis dan editor, tinggal di Semarang.

Tidak ada komentar: