Kamis, 18 Oktober 2007

Cerpen

Firasat
Cerpen S. Rahoyo

Tiga kali Wage berturut-turut Sarimin benar-benar dibuat repot oleh Mbah Jinem, emaknya. Jumat Wage tiga pendhak[1] lalu, misalnya. Sarimin harus menyusuri rel kereta barang tiga kilometeran berjalan kaki melawan gerimis untuk mendapatkan kembali emaknya yang sesorean menghilang. Saat menyusuri rel itu, Sarimin sempat terpelanting dan hampir saja terperosok ke dalam jurang akibat jalan kereta yang licin karena basah. Lengan bawah kanannya memar dan kemang menghantam besi bisu mirip tangga tak berujung pangkal itu.
“Aku diajak bapakmu, Min!” begitu kata Mbah Jinem tak menyiratkan kebohongan saat ditemukan Sarimin selepas maghrib di rel kereta itu. Baju tipis dari bahan nilon warna cokelat dengan motif kembang-kembang yang dikenakannya lengket di badan karena basah, membuat tubuh Mbah Jinem yang kurus keriput tampak terterawang. Kain batik yang sudah beluk[2] terlihat lusuh juga karena air hujan. Sementara rambutnya yang semuanya sudah memutih hingga membuat kepala Mbah Jinem menyerupai bola perak jika dilihat dari kejauhan menjadi semakin gembel lengket karena gerimis.
“Bapak sudah tidak ada, Mak!” seru Sarimin sedikit kesal.
“Tidak, dia tadi menggandengku berjalan ke sana!” tukas Mbah Jinem sambil menunjuk-nunjuk ke arah timur.
“Sudah. Kita pulang. Semua orang bingung mencari Emak!” Nada Sarimin ketus sambil segera membalikkan badannya ke arah datangnya tadi.
“Min...” “Sudah, pulang!” Sarimin tak mau lagi menghiraukan kalimat Mbah Jinem yang terputus.
Sarimin pun lalu menggandeng tangan Mbah Jinem yang tampak gemetaran menahan dingin. Kulitnya yang sudah keriput seperti mangga yang dijemur selama seminggu tampak makin keriput karena terpaan gerimis.

Hingga puluhan langkah setelah meninggalkan tempat itu, Mbah Jinem masih sesekali menengok ke arah timur dan berhenti barang sejenak seperti orang yang sedang meninggalkan sesuatu yang sangat dicintainya.
“Sudahlah, Mak. Semua orang ribut. Bikin geger orang saja!” Begitu Sarimin berceloteh setiap kali emaknya itu berhenti dan menengok ke arah timur.
Itu peristiwa Jumat Wage. Rabu Wage lima hari kemudian juga begitu. Belum juga genap dua jam Sarimin berada di kantor kelurahan tempatnya menggantungkan nasib selama ini, tiba-tiba dia disusul Ijul, tetangga sebelah rumahnya, agar ia segera pulang. Dalam hati Sarimin sebenarnya enggan meninggalkan kantor hari itu. Bukan apa-apa. Pak Lurah, atasannya, mulai menyindir-nyindir Sarimin yang memang telah sering minta izin dengan berbagai alasan sekalipun sebenarnya untuk ngobjek karena gajinya tak mencukupi. Entah dengan menjadi makelar motor, menguruskan surat-surat tanah, atau sekadar mengojek.
“Min, kamu harus pulang sekarang juga. Ada urusan penting!” Ijul menjelaskan kedatangannya.
“Urusan penting apa, Kang[3]?”
“Pokoknya pulang saja.”
“Nggak enak sama Pak Lurah, Kang!” begitu Sarimin mengelak.
“Bagaimana caranya lah yang penting kamu harus pulang,” desak Ijul.
Dengan mencatut nama Ijul yang datang ke kantornya, Sarimin memang diperbolehkan pulang oleh Pak Lurah sekalipun dengan wajah masam. Di perjalanan Ijul tidak banyak bercakap.

Sementara seribu tanda tanya menggantung di antara kedua pelipis Sarimin. Yang membuat Sarimin merasa serba salah, setiap kali ia menanyakan urusan yang dibilang penting itu, Ijul hanya menjawab pendek, “Nanti, di rumah saja!”
Baru setelah memasuki rumah, Sarimin tahu apa yang dimaksud urusan penting itu. Di rumah para tetangga telah mengerubungi dipan tempat Mbah Jinem biasa tidur. Rupanya, emaknya itu baru saja diserempet mobil ketika hendak menyeberang jalan. Mbah Jinem tak mengaku mau ke mana. Ia cuma mengatakan berjalan digandeng Mbah Suro ketika tiba-tiba sebuah truk menyerempetnya saat ia baru longak-longok[4] hendak menyeberang. Untunglah jatuhnya Mbah Jinem tidak ke tengah jalan, melainkan ke tepi. Kalau saja ia jatuh ke tengah jalan, pastilah nenek itu sudah tergilas truk yang menyerempetnya.

Sebenarnya, setiap kali Mbah Jinem akan mengalami peristiwa aneh semacam itu, Jumini, istri Sarimin, selalu mendapat firasat. Dan, bagi Jumini, kalau sampai hari itu nyawa Mbah Jinem masih bisa diselamatkan dalam setiap kejadian yang menimpanya, itu berkat firasat tersebut.
Malam sebelum sore hari berikutnya Mbah Jinem hilang dan ditemukan Sarimin di rel kereta itu, Jumini bermimpi. Ia seakan-akan berada di tengah hutan dengan pepohonannya yang rimbun dan besar-besar. Di bawah pepohonan itu tumbuh beraneka bunga yang tampak kembang sepanjang musim. Sinar matahari yang selalu terang seterang matahari tengah hari di cuaca cerah senantiasa menyapu kembang-kembang tadi. Eloknya, sinar matahari itu terasa sangat sejuk di kulit.

Di hadapan Jumini terbentang jalan selebar dua depa membelah hutan. Bukan jalan tanah atau beraspal halus, tetapi jalan berlapis permadani sehingga kaki siapa pun yang menginjak jalan tersebut akan merasakan kelembutan. Jalan itu lurus sekali hingga Jumini bisa melihat ujung jalan yang lain, mengerucut membentuk titik di kejauhan sana.
Dalam mimpinya itu, Jumini melihat Mbah Suro, suami Mbah Jinem yang meninggal setahun lalu, berdiri tak jauh dari tempat Jumini termangu. Mbah Suro berpakaian serba putih. Usianya tampak setua ketika ia meninggal, namun kulitnya tampak lembut bersinar seperti kulit bayi. Mbah Suro juga masih berjalan dengan tongkatnya untuk menyangga badannya yang sedikit bongkok karena termakan usia. Masih dalam mimpi Jumini, Mbah Suro berjalan diiring beberapa wanita cantik yang juga berpakaian serba putih. Dalam penglihatan Jumini, Mbah Suro ngawe-awe[5] Mbah Jinem seolah mengajak pergi. Mbah Jinem pun menuruti ajakan suaminya itu dan mereka tampak pergi bersama bergandengan tangan dalam iringan wanita-wanita cantik tadi.

Itu mimpi Jumini malam Jumat Wage. Malam Rabu Wage saat pagi harinya Mbah Jinem terserempet mobil itu, Jumini bermimpi lebih mengerikan. Mbah Jinem seakan-akan dimandikan darah oleh tiga lelaki berbadan kekar-kekar. Jumini masih ingat, ketika itu Mbah Jinem meronta-ronta dan memanggil-manggil dirinya minta tolong. Jumini pun seakan-akan berebut dengan ketiga lelaki kekar tersebut untuk melepaskan Mbah Jinem. Jumini baru tersadar ketika suaminya menggoyang-goyang badannya membangunkan.
Setiap kali malamnya bermimpi aneh tentang Mbah Jinem, pagi-pagi buta Jumini lalu memanggil-manggil Mbah Jinem di tempayan. “Emak pulang, Mak!” begitu ia memanggil dan panggilan itu harus dijawab Sarimin yang harus berada di pelataran, “Mak sudah pulang!”. Ritual pendek itu dilakukan tiga kali. Sebagaimana orang-orang di kampung Jumini percaya, Jumini pun yakin bahwa mimpi-mimpi semacam itu merupakan firasat buruk bahwa Mbah Jinem akan segera menyusul suaminya entah karena apa. Dan, sebagaimana yang dipercayai Jumini, kepergian Mbah Jinem tersebut bisa dicegah dengan melakukan ritual tadi.

Peristiwa terakhir yang sangat merepotkan Sarimin terjadi Senin Wage lima hari kemudian. Mbah Jinem hilang lagi. Pagi-pagi buta pula. Ketahuannya bahwa Mbah Jinem raib juga sedikit kebetulan. Sehabis sholat subuh, Jumini iseng-iseng menengok kamar emak mertuanya itu. Selama tujuh belas tahun menjadi menantu Mbah Jinem, tak pernah sekali pun ia berlaku demikian. Kalau pagi itu ia menengok kamar Mbah Jinem, semata-mata karena rasa penasarannya sebab semalam ia bermimpi Mbah Jinem dikelilingi gayung. Kata orang-orang tua, kalau ada orang diimpikan dikelilingi gayung itu pertanda bahwa orang tersebut akan meninggal.

Jumini sebenarnya sudah sedikit risau ketika melihat pintu dapur belakang tidak tertutup rapat dan setelah ia longok tak menemukan emaknya di luar.
“Ke latar Kang... ke latar Kang...!” teriak Jumini meminta suaminya menuju ke pelataran rumah tak selang detik setelah ia membuka pintu kamar emak mertuanya.
“Kenapa sih, pagi-pagi!”
“Sudah ke latar. Cepat! Mak hilang!”

Tanpa banyak tanya lagi, Sarimin bergegas menuju pelataran. Dan mereka pun melakukan ritual yang diyakini bisa menyelamatkan nyawa Mbah Jinem.
“Mak pulang, Mak!”
“Emak sudah pulang!”
“Mak pulang, Mak!” “Emak sudah pulang!”
“Mak pulang, Mak!”
“Emak sudah pulang!”

Setelah itu Jumini dan Sarimin serta para tetangga pun geger mencari Mbah Jinem. Baru menjelang tengah hari Mbah Jinem ditemukan di sebuah ereng-ereng[6] dekat sungai yang mengalir di tepi tetangga desa, dengan tubuh penuh lumpur. Entah kenapa. Ketika ditanya hendak ke mana, lagi-lagi Mbah Jinem cuma mengatakan bahwa sebelum subuh itu Mbah Suro membangunkannya, menggandeng tangannya dan memintanya mengantar pergi ke rumah Pariman, adik semata wayang Sarimin, yang tinggal di seberang desa.
***

Tengah malam itu Jumini terbangun setelah Sarimin menggoyang-goyang badannya membangunkan.
“Minum air dulu. Kamu mimpi buruk lagi?” tanya Sarimin sambil menyodorkan segelas teh dingin.
Beberapa kali Jumini tampak menarik napas panjang dengan mata terpejam. Ia lalu meneguk teh yang diberikan suaminya.
“Rasanya kita mantu[7], Kang. Kata orang tua, kalau kita mimpi mantu artinya kita akan kesripahan.[8]
Sarimin merapatkan kedua bibirnya kuat-kuat hingga membentuk garis lurus di mulutnya. Matanya menerawang. Wajah emaknya melintas di matanya.
“Kenapa, Kang?”
“Kita relakan saja.”
“Siapa?”
“Emak!”
“Besok pagi tidak usah dipanggil-panggil. Dia sudah terlalu tua. Kita relakan saja daripada mungkin dia juga menderita. Kita juga selalu repot,” kata Sarimin pelan lalu mendesah panjang.
Jumini diam termangu. Matanya menerawang jauh menembus dinding papan kamarnya.
“Umur berapa, ya, Kang?
“Seratus lebih. Mungkin bapak di sana juga sudah kangen emak. Biar saja mereka selalu bergandengan tangan lagi seperti ketika masih hidup.”
“Tapi, besok saya ke Gunung Pati kondangan.[9]
“Kamu titip Lik[10] Marni agar emak jangan boleh ke mana-mana biar kalau harus tidak ada, tidak adanya di rumah,” saran Sarimin.

Paginya sebelum berangkat ke kelurahan, Sarimin memeluk dan menciumi emaknya. “Ada apa to, Min? Kaya wong edan!” kata Mbah Jinem ketika pipinya diciumi anaknya yang tidak seperti biasanya itu. Sarimin tak menghiraukan emaknya yang meronta-ronta ingin dilepaskan. Dalam hati Sarimin terbersit, siapa tahu itu kali terakhir ia melihat emaknya hidup.
“Emak jangan ke mana-mana, ya. Di rumah saja. Siapa tahu hari ini banyak tamu!”
“Pergi juga mau ke mana. Sudah berangkat nanti kesiangan!”
Sarimin baru benar-benar meninggalkan emaknya setelah puas menciumi dan memeluk-meluk emaknya.
***

Memasuki gang rumahnya ketika pulang dari Gunung Pati, Jumini dijemput Lik Marti. Bendera kuning sudah ditancapkan di ujung gang itu.
“Nyebut Jum... nyebut... ikhtifar... sing tabah[11], ya!”
“Emak?” tanya Jumini.
“Pokoke ditabah-tabahake!”
Dari mimpinya semalam dan tidak adanya ritual untuk mencegah kepergian emak mertuanya seperti biasanya, Jumini sudah menduga Mbah Jinem benar-benar meninggal hari ini. Apa pun penyebabnya. Bisa ditabrak mobil, jatuh ke dalam jurang, tersedak ketika meneguk teh, atau meninggal begitu saja karena memang sudah sangat tua.
“Nggak apa-apa Lik. Nggak apa-apa!”
“Bener Jum, sing tabah!”
“Iya Lik, nggak apa-apa. Semalam sudah ada firasat.”

Tetapi betapa kagetnya Jumini ketika baru selangkah ia memasuki rumah, Mbah Jinem berlari kecil sambil mencincing kain yang membalut bagian bawah tubuhnya ke arah Jumini.
“O alah[12] bojomu[13] Jum... nggak nyangka, tadi pagi cium-cium dan peluk-peluk saya ternyata untuk medhot tresna[14]. Bojomu mati tabrakan, Jum!”
Tulang Jumini serasa dilolosi mendengar kalimat Mbah Jinem, tapi lebih-lebih ketika menyaksikan sosok suaminya terbujur kaku di dipan dengan kepala penuh terbalut perban.

Secepat kilat Jumini berlari ke dapur menerobos para pelayat lalu berteriak-teriak di antara beberapa tempayan yang ada di situ. “Kang... bali[15] Kang...! Kang.... bali Kang...!!” Ia lalu jatuh tersimpuh sesenggukan sambil memeluk tempayan miliknya, yang di tempayan itu ia biasa memanggil-manggil emaknya! “Kang Sarimin, pulang...” suaranya lirih.
[1] Satu minggu dalam kalender Jawa
[2] Pudar warnanya
[3] Sapaan untuk kakak laki-laki atau orang yang lebih tua
[4] Menjulur-julurkan kepalanya, lazimnya dari dalam ruangan
[5] Menggerak-gerakkan telapak tangan memberi isyarat untuk mendekati dirinya
[6] pematang yang tinggi
[7] mengadakan pesta perkawinan
[8] salah satu anggota keluarganya meninggal
[9] menghadiri resepsi
[10] paman atau tante yang dianggap lebih muda daripada orangtuanya
[11] yang tabah
[12] Umpatan penyesalan
[13] Bojo=suami/istri, dalam hal ini suami
[14] Memutus kasih sayang
[15] Pulang

Tidak ada komentar: