Kamis, 18 Oktober 2007

Cerpen

Besok Natalan, Mak

Mata Azizah tampak berat. Pelupuk matanya serasa dibebani sekilo batu. Sesekali terpejam, tetapi sebentar kemudian melek kembali untuk memastikan Rere tetap tertidur. Seakan tak rela ia terlelap barang sekejap sekalipun kelelahan dan kantuk telah melalap. Saat-saat tertentu ia membetulkan kain kecil basah yang ia taruh di dahi Rere. Ia akan segera mencelupkan kain itu di mangkok yang ada di sisinya jika kain itu menjadi kering, memerasnya, kemudian meletakkannya kembali di dahi Rere.

Azizah memang agak menyesal, kenapa Rere mesti dibawanya berdemo sehingga seharian harus kehujanan segala. Tapi, ya demi masa depan! Kalau dengan para perempuan hati para pejabat tak juga terbuka, ya dengan anak-anak, ia membenarkan ucapan Abas, seorang tokoh LSM yang mendorongnya berdemo. Kalau melihat penderitaan anak-anak belas kasih para pejabat itu tetap tertutup rapat, mereka pasti akan menjadi penghuni kerak neraka. Bukankah anak-anaklah pemilik surga? pikiran sederhananya menyimpulkan.
Seharian ia memang berdemo berhujan-hujan di depan kantor walikota bersama puluhan perempuan yang sama-sama tinggal di Kampung Klewer. Menurut walikota, kampung itu adalah perkampungan liar alias kamli yang bikin semrawut dan kotor kota. Karenanya, harus ditertibkan. Jakarta harus teguh beriman.1 Dan, kamli jelas tidak bersih dan tidak manusiawi.
Semua penghuni yang ber-KTP DKI akan direlokasi di Desa Sepi, jauh di sebelah barat pinggiran Jakarta. Sementara yang tidak ber-KTP akan dikembalikan ke kampung halaman. Mereka serentak menolak. Yang ber-KTP mengaku akan susah mencari nafkah. Selama ini mereka menggantungkan hidup pada sampah-sampah yang mereka pulung di stasiun, pasar, maupun permukiman elite yang tidak jauh dari situ. Yang tak ber-KTP lebih tak jelas. Sebagian sudah tak tahu kampung halamannya karena nenek moyangnya melahirkan dan membesarkan mereka di situ. Sebagian lagi bingung mau apa di kampung. Sebagian lagi takut dan pusing kalau-kalau di kampung mereka masih harus melunasi utang yang ditinggalkannya ketika minggat ke Jakarta dulu. Karena itu mereka menolak.

Semula penolakan itu hanya terpendam di mulut para penghuni kampung. Semenjak Pak RT setempat memberitahukan rencana penggusuran itu, mereka hanya bisa kasak-kusuk saling mengeluh. Celakanya, mereka tidak pernah tahu harus berbuat apa.
Kemudian datanglah Abas, seorang tokoh LSM yang mendorong mereka untuk berani bersuara.
“Nyak, Be... kite punye hak hidup tenang di Jakarte!” demikian Abas membuka pembicaraan dengan beberapa warga Kampung Klewer dalam suatu pertemuan yang tentu saja tidak resmi.
“Jakarte bukan milik orang tajir doang. Kite semue punye hak.”
“Namanye juga hak,” sambung Abas, “kagak bise direbut. Kalo’ mau direbut, kite boleh nglawan. Nyak punye anak kan? Anak itu hak Nyak. Kalo’ die mau direbut orang nih, Nyak sah untuk nglawan. Soal kampung kite juga gitu. Itu namanye hak!”
Warga mengangguk-angguk.
“Jadi, karena kampung ini adalah hak kite, kite boleh pertahanin dengan care ape aje!” cerocos Abas.
“Caranya?” sergah Azizah yang kebetulan berada di dalam pertemuan itu.
“Kite berdemo ke walikote!”
Wajah penduduk kampung tampak terbengong kosong. Abas tanggap. Mereka tak mengerti arti demo.
“Kite ramai-ramai datengin kantor walikote. Kite nuntut rencane itu dibatalin. Nyak dan Babe inget waktu Soeharto diturunin? Ribuan mahasiswa turun ke jalan. Seperti itulah. Cuman bedanye, kita kagak ke jalan, tapi ke kantor walikote. Presiden aje bise kalah ame rakyat, apalagi cuman walikote. Nanti kite tunjuk seorang buat jadi jurupidato (jurpid). Kite ajari cara ngomongnye. Yang lain tinggal ikut-ikutan aje. Kita juga akan bikinin tulisan-tulisan yang isinye tuntutan-tuntutan itu. Biar meriah! Terus nanti kite tunjuk orang-orang sebagai wakil kite karna biasanye pejabat kagak mau nerime warganye rame-rame,” jelas Abas menggebu-gebu. Cara dan gaya bicaranya membuktikan bahwa ia adalah seorang agitator ulung. Tak heran jika warga kampung pun terkesima.

Suasana hening. Beberapa orang saling pandang. Ada yang mulai bisik-bisik. Rupanya mereka takut digebuki atau bahkan ditembaki polisi seperti para mahasiswa waktu berdemo menumbangkan Soeharto. Di ujung lain ada yang juga berbisik-bisik untuk tidak usah cari perkara. Toh sudah disediakan kampung pengganti. Soal nafkah, Yang di Atas sudah mengatur.
“Kalau walikota menolak?” tiba-tiba Azizah memecah keheningan.
“Nah, ini die. Karna itu, lebih baek yang berdemo ibu-ibu. Anak-anak diajak. Kite akan berdemo dengan damai. Anti kekerasan! Ingat ye, Nyak dan Babe, demo itulah senjate terakhir rakyat jelate kayak kite. Kalo mereka tetep kagak mau nuruti tuntutan kite, kite bikin aksi telanjang!”
Suasana gemuruh seperti ombak di malam hari. Beberapa ibu spontan mengatakan tidak setuju. Yang lain entah mengumpat apa sambil menuding-nuding Abas.
“Sabar, Nyak...Be! Tenang! Itulah senjate rakyat jelate. Kite kagak punya duit buat nyogok. Kite juga kagak punya orang kuat buat ngedekengin kite. Kalau emang dengan berdemo walikote udah ngabulin tuntutan kite, alkhamdulillah. Kalau kagak? Ingat, ye mau tinggal di mane kite kalo kampung kite jadi digusur?”

Suasana hening kembali. Berpikir. Beberapa wajah membenarkan ucapan Abas.
Di ujung sana Azizah tampak sibuk kasak-kusuk. Entah apa yang ia kasak-kusukkan. Tapi, dari roman wajahnya, tampaknya ia sangat terbakar oleh dorongan Abas.
Abas kembali bicara, mengulang semua yang ia sudah sampaikan dengan berbusa-busa; tentang hak itu, penggusuran itu, berbagai kesulitan hidup yang bakal warga hadapi setelah mereka harus meninggalkan kmpung itu, ...
Dengan perdebatan sedikit hangat, akhirnya mereka pun sepakat untuk berdemo. Dan, sebagaimana usul Abas, yang akan berdemo ibu-ibu dengan anak-anak mereka. Azizah ditunjuk sebagai jurpid. Soal aksi telanjang akan dilakukan bertahap. Mulai dari buka baju, BH, dan seterusnya.
***
Pagi itu puluhan perempuan warga Kampung Klewer menyerbu kantor walikota. Tampak Azizah dengan menuntun Rere berjalan di paling depan sambil berteriak-teriak. Kepalanya diikat kain hitam bertuliskan “Warga DKI” warna putih. Sementara anaknya membawa sepotong kain putih mirip bendera bertuliskan “Tolak Penggusuran” warna merah. Barisan paling depan membentangkan kain panjang bertuliskan “Jakarte Kagak Cuman Milik Orang Kaye!”
“Kota ini bukan milik orang kaya saja. Rakyat jelata juga berhak tinggal. Penggusuran adalah tindakan sewenang-wenang. Nggak adil. Karena itu kita tolak penggusuran. Kita tolak!” seru Azizah berapi-api layaknya seorang jurukampanye sedang menjual jagonya. Tangan kirinya memegang megafon sedangkan tangan kanannya mengepal-ngepal ke atas.
“Tolaaaaak!” sahut ibu-ibu yang lain tak kalah keras.
“Pejabat tugasnya melindungi warga. Jadi, kalau nggak bisa melindungi sebaiknya diapakan?”
“Bakaaaaar!!”

Seperti telah diduga, walikota tidak mau menerima mereka.
“Pak Wali sedang rapat!” kata seorang staf yang menemui para pendemo di halaman kantor walikota.
“Kami tunggu sampai selesai!”
“Selesai rapat Pak Wali dipanggil gubernur!”
“Kami akan tunggu sampai Pak Wali kembali!”
“Bapak harus istirahat. Besok pagi-pagi harus keluar kota!”
“Lho, dia digaji buat bekerja bukan buat tidur!”
“Betuuuuul!”
“Yang diurus tidak hanya kalian. Terserah. Pokoknya Pak Wali tidak bisa diganggu!” tukas staf itu seraya berbalik hendak masuk kantor.
“Kalau Pak Wali nggak juga keluar kami akan melakukan aksi!” ancam Azizah.
Langkah staf itu terhenti. Berbalik.
“Aksi apa?”
“Aksi telanjang”
“Telanjaaaaang!”
“Telanjanglah kalau berani!”

Lihatlah, dengan secepat kilat Azizah melepas bajunya sebagai tanggapan atas tantangan itu. Aksi ini segera diikuti ibu-ibu yang lain. Serentak tampaklah pemandangan sekumpulan ibu bertelanjang dada.
Staf itu terkesiap. Hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Suasana menjadi gaduh. Azizah menenangkan. Jangankan cuma kehujanan atau telanjang bulat, nyawa pun akan kita relakan demi kampung kita, teriaknya kepada teman-temannya.
Belum habis keterkejutan staf walikota itu, Azizah mengancam, jika Pak Wali masih juga bersikukuh tidak mau menerima mereka, mereka akan melanjutkan aksinya hingga telanjang bulat.

Para karyawan kantor walikota berebut melihat pemandangan itu. Ada yang berdiri tegak di sisi jendela di tingkat atas sana sambil terbahak-bahak menunjuk-nunjuk ke lapangan, entah siapa. Ada yang buru-buru meninggalkan meja kerjanya dan menuju teras. Satu SSK PHH yang semula berwajah seram mengawal para pendemo, kini tersipu-sipu sendirian sekalipun dengan sikap siap berperang. Beberapa tak kuasa menahan tawa sehingga harus membenamkan wajahnya di balik tameng yang dibawanya. Sementara para karyawati cepat-cepat memalingkan muka atau menutup wajah bahkan beberapa terlihat teriak-teriak histeris. Kantor walikota ribut bukan kepalang!
Pak Staf yang sudah setengah usia itu akhirnya tak mau ambil risiko. Menyerah! Ia berjanji akan mempertemukan mereka dengan Pak Walikota. Syaratnya, baju harus dikenakan kembali. Ditolak! Dengan tegas Azizah menyahut bahwa mereka hanya akan kembali mengenakan baju mereka jika sudah ada kepastian Pak Wali mau menerima mereka. Hujan terus mengguyur, seperti tangis perawan yang kesuciannya direnggut paksa pemuda berandalan. Para wartawan foto dan jurukamera stasiun televisi mondar-mandir membidik objek. Abas pun tak ketinggalan ceprat-cepret untuk dikirimkan kepada donaturnya.

Staf tadi cepat berbalik masuk kantor. Beberapa saat kemudian ia kembali membawa kabar. Pak Wali bersedia bertemu, tapi dengan perwakilan. Beberapa ibu yang telah ditunjuk menjadi wakil mereka diterima walikota. Anak-anak mereka dibawa serta. Namun, perundingan berjalan alot rupanya. Pak Wali tetap bersikukuh akan merelokasi warga sementara para warga tetap menolak mentah-mentah. Setengah jam, satu jam, dua jam... tidak ada kesepakatan. Para wakil tadi keluar ruangan dan lewat megafon Azizah berteriak memberi tahu teman-temannya bahwa perkampungan mereka tetap akan digusur.
“Apa yang harus kita lakukan?”
“Telanjaaaang!!”

Seperti prajurit menerima perintah dari komandan, satu per satu dari mereka melepas bajunya kembali kemudian kain atau rok penutup paha. Kini terlihatlah sekumpulan ibu dengan hanya ber-BH dan bercelana dalam. Teriakan histeris para karyawati kantor walikota memekakkan telinga. Para pedagang asong, kuli bangunan, dan sopir-sopir metromini dan kopaja yang kebetulan lewat di situ serentak terbahak-bahak. Pasukan PHH menjadi salah tingkah. Seorang karyawan yang tadi tergelak-gelak di ruang atas sana sambil menunjuk-nunjuk tampak buru-buru keluar ruangan dan berlari menuruni tangga menuju lapangan.
“Hentikan... hentikan...!” walikota berteriak lewat megafon yang disambarnya dari tangan Azizah.
“Kami akan telanjang bulat di sini daripada kampung kami digusur!”
“Dengar... dengar semuanya! Kenakan dulu pakaian kalian!”
“Tidak! Kami hanya akan kembali berpakaian jika ada kepastikan kampung kami tidak digusur!”
“Baik...baik... Untuk sementara penggusuran dibatalkan. Kalian tetap boleh tinggal di situ!”
“Huuu...,” sambut para pedagang asong, kuli bangunan, dan sopir-sopir. Seorang karyawan yang barus saja berlari dari tingkat atas tadi tampak membanting rokoknya yang masih panjang. Kesal!
Wajah para demonstran meleleh. Suasana mereda. Mereka kembali mengenakan pakaian mereka dan pulang ke rumah disertai guyuran hujan yang tak kunjung reda.
***
Menjelang tengah malam Rere terbangun. Ia menggigil kedinginan, tetapi badannya panas membara. Ia merengek-rengek minta gendong. Azizah yang masih kelelahan dan baru beberapa menit terpejam terpaksa menuruti rengekan anaknya.
Rere menggelayut di dada ibunya. Tak mau lepas seperti buah nangka yang keluar di pokok pohon. Sesekali gadis lima tahunan itu tersenyum sendiri. Saat lain tiba-tiba ia mempererat pelukan di leher ibunya. Bahkan menciuminya. Di sela-sela itu sering kali kedua bola matanya terbolak-balik perlahan, seperti mata orang sangat mengantuk tapi tertahan.
“Ada bulan di pintu, Mak!”
“Tidak ada. Sudah tidurlah. Emak capek!” Sejam menggendong Rere pundak Azizah serasa diseterika, makin lama makin panas.
“Dia tersenyum, Mak!”
“Sekarang jadi kepala sinterklas!” ungkap Rere yang tiba-tiba wajahnya menjadi berseri-seri. Bibirnya yang mungil menyungging senyum kecil.
“Ia dari surga, Mak?”
“Ndak ada apa-apa, tidurlah!”
“Katanya sinterklas baik hati. Dia mau ajak Rere ke surga, Mak? Dapat hadiah di sana. Dia tersenyum, Mak!”
Azizah tak menghiraukan ocehan anaknya. Ia terus menggoyang-goyang badannya ke kiri dan ke kanan agar anaknya segera tertidur.
“Ih, matanya berdarah dan taringnya jadi panjang,” Mendadak anak kecil itu jadi tampak ketakutan sehingga membenamkan mukanya di dada ibunya dan mempererat pelukannya.
“Makanya tidurlah. Kalau nggak tidur jadi raksasa!”

Sejenak saja Rere terpejam menuruti kata ibunya.
“Mau Natal, Mak, ya...” Mata Rere tertuju ke pintu yang dibilang ada bulan tadi. Tapi kini wajahnya menampakkan perasaan datar.
Saban Natal, Kampung Klewer memang selalu didatangi sinterklas-sinterklas. Tak heran jika Rere akrab dengan makhluk itu. Mereka membagikan apa saja: pakaian, mainan, makanan, alat tulis, dsb.
“Ya, tidurlah. Besok kita Natalan,” jawab emaknya sekenanya seraya membetulkan kain gendongan yang tampak cuma nyangkut di pantat anak semata wayangnya.
“Ada sinterklas beneran?”
“Ya. Makanya tidurlah!”
“Rere akan dapat hadiah?”
“Sudah. Merem. Emak capek!”
“Dulu nggak jadi.”
“Dulu kampung kita banjir.”
“Besok jadi? Rere dapat hadiah dari sinterklas. Trus ke surga. Nanti Rere ajak Emak naik kuda. Main ke pembuangan sampah tapi yang sampahnya duit. Kita beli es krim banyak sekali. Emak boleh beli baju bagus-bagus.”
Emaknya membisu, terus mengayun-ayun anaknya. Berharap ia segera tertidur!”
***
Pagi belum juga terjaga. Subuh belum tiba. Langit di timur masih kelabu. Hampir semua penduduk Kampung Klewer masih terlelap. Tampaknya mereka sedang menikmati kemenangan karena untuk sementara kampung mereka tidak jadi digusur. Beban berat terasa dilepas dari perasaan mereka setelah sekian lama ditanggungnya. Pantaslah jika malam itu mereka tidur dengan nyenyaknya. Di ujung sana sayup-sayup terdengar radio mengalunkan lagu dangdut.

Di pagi sebuta itu warga Kampung Klewer dikejutkan deruan buldoser dari arah utara. Satu SSK PHH berhelm, bertameng, dan bersenjata pentungan berderap membangunkan paksa warga. Warga pun berhamburan keluar rumah. Ada yang menenteng radio, ada yang memanggul televisi hitam putihnya. Seorang ibu berlarian dengan bayi kecil di bopongannya. Di ujung sana seorang ibu muda tampak kebingungan dengan hanya berbalut handuk yang diikuti suaminya yang telanjang dada dan masih ribut membetulkan kain sarungnya. Buldoser terus meraung, melahap dan meluluhlantakkan apa saja yang ada di depannya.
Azizah berlari pontang-panting memeluk guling dengan mata separuh terjaga diriingi sayup-sayup teriakan Rere di kejauhan, “Maaak, besok kita Natalaaan!” yang disusul teriakan berikutnya, “Aduh sakit, Mak...” sebelum akhirnya suara itu menghilang ditelan deru buldoser.

Tidak ada komentar: