Selasa, 16 Oktober 2007

Artikel

Best Seller
Oleh: S. Rahoyo

Kalau kebetulan termasuk orang yang suka keluyuran ke toko buku, Anda pasti sering membaca kata ini: best seller. Pada sebuah buku, kata “best seller” selalu dibuat mencolok oleh penerbit buku yang bersangkutan. Ia bisa diletakkan di bagian atas-depan sampul buku, memanjang dengan latar warna yang berbeda dengan tone warna sampul buku (sebagai banner). Ia bisa juga didesain khusus, misalnya dalam bentuk lingkaran dengan dua pita pendek di bagian bawah; mirip medali. Ada lagi yang didesain seperti stempel dengan lima atau bahkan sepuluh bintang mengitar di antara dua garis lingkaran. Desain boleh beraneka corak, tapi prinsip tetap sama: mencolokkan kata “best seller”.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menempatkan kata best seller dalam istilah dan ungkapan asing dengan keterangan buku, kaset, dsb. yang sangat laris; buku yang sangat laku dan terjual dalam jumlah besar. Sementara Longman Dictionary of Contemporary English edisi baru mengartikan best seller sebagai produk populer, khususnya buku, yang dibeli banyak orang. Menurut kelas katanya, best seller masuk kata benda (noun). Dengan demikian, padanan paling pas kata best seller dalam bahasa Indonesia adalah produk laris, bukan produk terlaris. Produk di situ bisa meja, jam tangan, sepatu, baju atau buku. Tetapi, karena kata “produk” bermakna luas, biar bermakna sempit sehingga intensitas katanya lebih kuat, best seller di toko buku diartikan sebagai buku laris; best seller di toko sepatu diterjemahkan sebagai sepatu laris; best seller di toko baju dikatakan baju laris. Agak tidak masuk akal seandainya kita masuk gerai telepon genggam, di situ terdapat setumpuk semangka dan di atasnya tergantung tulisan “semangka laris”, atau masuk ruang pamer mobil di situ kita melihat sebuah tempat tidur yang ditempeli tulisan “tempat tidur laris”.

Jika berdasarkan kelas katanya best seller adalah kata benda, adjektivanya adalah best selling. Longman Dictionary memberi catatan, sebagai adjektiva best selling selalu diikuti kata benda. Karena itu, pada buku-buku asing, selain kata Best Seller dengan segala variasinya, semisal “International Best Seller”, “The International Best Seller”, “The 1st International Best Seller”, kita juga menemukan kata Best Selling Author. Kita pun tak salah mengatakan, “best selling bag (tas laris), best selling computer (komputer laris), dsb”.

Kecerobohan Penerbit

Rupanya, untuk sebagian besar penerbit di Indonesia, “best seller” lebih disukai daripada “buku laris”. Anda boleh buktikan, nyaris tidak ada—untuk tidak mengatakan memang tidak ada—buku yang terbit di Indonesia diembel-embeli label “buku laris”. Kalaupun ada, bunyi labelnya adalah “Buku Terlaris Dunia”. Menilik buku tersebut adalah buku terjemahan, bisa dipastikan klausa itu diterjemahkan dari “International Best Seller” yang seharusnya diterjemahkan “Buku Laris Internasional”.

Mungkin bagi penerbit-penerbit tersebut, buku dengan label best seller akan lebih bergengsi dibandingkan dengan buku berlabel buku laris sekalipun makna kedua label itu sama. Alasan lain, barangkali ungkapan “best seller” memang sudah kadung lebih beken dibanding ungkapan “buku laris”. Alasan lain lagi, mereka cuma ingin cari gampangnya.
Lepas dari semua alasan penggunaannya, yang memprihatinkan adalah bahwa mereka sering cukup sembrono menggunakan ungkapan itu. Kata-kata aneh berikut ini akan Anda temui di lautan buku di toko-toko buku tersebut: Best Seller Nasional, Nasional Best Seller, Penulis Buku Best Seller atau yang lebih ceroboh lagi “Penulis Best Seller”.

Mungkin saja kita tahu maksud ungkapan “Best Seller Nasional” atau “Nasional Best Seller”. Tapi, dari sisi kebahasaan, kedua ungkapan tersebut jelas menunjukkan kekacauan penerbit dalam berbahasa. Penerbit mencampuradukkan antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Yang pas adalah “National Best Seller” atau lebih pas lagi—karena buku tersebut terbit di Indonesia dan berbahasa Indonesia—“Buku Laris Nasional”.

Lantas, apa maksud “Penulis Buku Best Seller”? Pasti bukan penulis buku berjudul Best Seller yang dimaksud penerbit sebab sampai sekarang—Anda boleh cek—belum ada buku berjudul Best Seller. Kita cuma bisa menduga-duga, barangkali maksud penerbit adalah penulis buku tersebut pernah menulis buku lain (misalnya berjudul Miskin Itu Indah) yang masuk kategori buku laris. Kalau memang demikian yang dimaksud, tulis saja Penulis Buku Laris Miskin Itu Indah. Atau, kalau sekiranya penerbit ingin keren-kerenan atau malu menggunakan bahasa Indonesia, pakailah Best Selling Author of Miskin Itu Indah.

Yang lebih membingungkan adalah klausa “Penulis Best Seller”. Apakah yang dimaksud penerbit adalah bahwa penulis buku tersebut juga pernah menulis buku berjudul Best Seller? Kalau demikian, mengapa daftar karya yang dicantumkan pada biodata penulis tidak mencantumkan judul tersebut? Atau, si penulis adalah sebuah produk laris? Kalau ini yang dimaksud, pajang saja penulis tersebut di toko penulis (lucu!) lalu dikalungi tulisan Best Seller. Alternatif lain, bikinlah brosur yang berisi foto-foto para penulis dan pada foto penulis yang dimaksud diberi tulisan best seller. Atau juga, penerbit kepeleset inginnya menulis Best Selling Author tapi keluarnya Penulis Best Seller? Tak tahulah!

Yang jelas, jika penerbit yang hidup dengan bahasa saja semena-mena dan ceroboh dalam berbahasa, bagaimana bisa mengharapkan orang awam berdisiplin dalam berbahasa? Maka jangan heran jika di jalan-jalan dengan gampang kita temui ungkapan-ungkapan seperti dikontrakan, di sini menjual minyak tanah, yang membawa sepeda harap dikunci, atau orange just dan chicken one tail Rp25.000 (di rumah makan).

S. Rahoyo, Editor Kepala pada sebuah penerbit di Surakarta.

Tidak ada komentar: