Selasa, 30 Oktober 2007

Makalah

Ajaran Nilai Lebih
sebagai Jantung Kritik Kapitalisme Karl Marx:
Sebuah Tinjauan Kritis

Stefanus Rahoyo

Kemenangan satu paradigma atas paradigma lain
lebih disebabkan karena para pendukung paradigma yang menang itu lebih memiliki kekuatan dan kekuasaan (power)
daripada pengikut paradigma yang dikalahkan
dan sekali lagi bukan karena paradigma yang menang tersebut
lebih benar atau lebih baik
daripada paradigma yang dikalahkan
[1]

I. Pendahuluan

Kapitalisme sedang menggali kuburnya sendiri! Begitu bunyi salah satu pernyataan yang diucapkan salah seorang filosof, sosiolog dan ekonom terkemuka abad ke-19, Karl Marx. Paralel dengan pendapatnya itu dalam The German Ideology (1846) ia menegaskan bahwa sosialisme sebagai antitesis kapitalisme, penghapusan hak milik pribadi, bukan lagi sekadar tuntutan etis melainkan telah menjadi sebuah keniscayaan objektif.[2]
Marx mendasarkan teorinya tersebut pada premis dasar bahwa pada hakikatnya perkembangan kehidupan bidang politik dan kesadaran masyarakat (bangunan atas) ditentukan oleh perkembangan kehidupan di bidang ekonomi (basis).[3] Itulah mengapa Marx menyebut teorinya sebagai materialisme historis. Sementara itu, perkembangan kehidupan bidang ekonomi dalam masyarakat kapitalis sendiri ditentukan oleh pertentangan kelas, yakni antara kelas pemilik modal (kapital) dan kelas pekerja. Seiring berjalannya waktu, pertentangan di atas akan dipertajam oleh kemajuan teknik produksi. Dan, pada akhirnya, pertentangan tersebut akan meledak dalam sebuah revolusi sosial dan akan mengubah struktur kekuasaan di bidang ekonomi; tidak akan ada lagi hak milik pribadi. Akhir dari perjalanan sejarah umat manusia—menurut Marx—adalah masyarakat sosialis!

Namun ternyata, hingga hari ini tak ada tanda-tanda bahwa kapitalisme akan goyang apalagi runtuh. Sebaliknya, pada akhir abad ke-20 ini justru komunismelah (manifestasi ideologi marxisme) yang tampak kehilangan dayanya. Pukulan pertama diderita komunisme dengan runtuhnya Partai Komunis Indonesia (1965). Tiga puluh empat tahun kemudian (1989) satu demi satu rezim-rezim komunis di Eropa Timur runtuh: mulai dari Polandia, Bulgaria, Jerman Timur, Cekoslovakia dan akhirnya Rumania. Tiga tahun kemudian (1991), Uni Soviet (negara adikuasa kedua sebagai simbol komunis dunia) pecah menjadi 14 Republik Independen.[4]
Teori materialisme historis Marx memang tampak telah menemukan ajalnya. Namun, apakah dengan demikian, dengan sendirinya seluruh pemikiran Marx absurd tak berguna? Sejarah membuktikan “tidak”! Menguatnya posisi buruh pada abad ini dibanding seabad yang lalu tak dapat disangkal merupakan buah sumbangan pemikiran sosialisme pada umumnya dan pemikiran Marx pada khususnya. Sebagian besar gerakan buruh dan pembebasan sosial disemangati oleh ideologi marxisme.[5] Kritik Marx atas ideologi kapitalisme telah menjadi inspirasi gerakan-gerakan itu. Dari sanalah muncul kekuatan-kekuatan buruh dalam bentuk organisasi-organisasi untuk mengimbangi dominasi para pemilik modal sehingga para buruh tersebut bisa mendapatkan hak-haknya secara wajar.

Salah satu ajaran Marx yang menjadi pokok utama kritik kapitalisme adalah ajarannya tentang nilai lebih. Bertolak dari ajaran nilai lebih itulah Marx menunjukkan betapa sistem kapitalisme pada hakikatnya adalah sistem yang eksploitatif; penghisapan manusia atas manusia.
Makalah ini hendak menyoroti secara kritis ajaran nilai lebih yang diajarkan Marx di atas. Sebagai salah satu kaki ideologi besar (sosialisme), ajaran ini perlu dipahami dengan sikap kritis agar kita tidak jatuh pada ekstremisme picik: mendewa-dewakan kritik atas ideologi kapitalisme—seolah-olah kapitalisme tak boleh mendapat tempat dalam sejarah peradaban—tapi sekaligus juga agar kita tidak jatuh pada pengagung-agungan kapitalisme yang walaupun secara empiris-historis memang terbukti telah membawa kemajuan peradaban seperti yang kita lihat saat ini.

II. Ajaran tentang Nilai Lebih[6]

Karl Marx membagi teori nilai lebih menjadi 4 subteori, yaitu teori tentang nilai pekerjaan, teori tentang nilai tenaga, teori tentang nilai lebih dan teori tentang laba.


a. Teori tentang Nilai Pekerjaan
Untuk memahami nilai pekerjaan kita harus membedakan antara nilai pakai dan nilai tukar. Tampaknya, dalam hal ini Marx bertolak dari ajaran Adam Smith. Smith merujuk pada kodrat manusia sebagai homo economicus. Sebagai makhluk ekonomi (homo economicus) manusia—menurut Smith—cenderung melakukan pertukaran. Merujuk pada kodrat tersebut, Smith merumuskan teori nilai barang yang dibaginya menjadi dua, yakni nilai guna dan nilai tukar.

Nilai pakai atau nilai guna suatu barang adalah nilai barang dalam kaitannya dengan fungsi barang tersebut untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Sebagai contoh, sepasang sepatu mungkin memiliki nilai guna hampir nol bagi Pak Sukro yang salah satu kakinya telah diamputasi karena kecelakaan. Tetapi, sepatu yang sama mempunyai nilai pakai yang lebih tinggi bagi Pak Ratukore yang memang sedang membutuhkan sepatu tersebut untuk pergi ke undangan. Nilai pakai suatu barang, dengan demikian, ditentukan oleh jenis barang (kalau Anda butuh pulpen jangan diberi korek api sekalipun harga keduanya sama) dan kebutuhan dalam masyarakat (pendingin ruangan tidak punya nilai di Daerah Dieng sekalipun harga pendingin ruangan tidak murah).

Sedangkan nilai tukar suatu barang adalah nilai barang tersebut bila dijual di pasar. Dalam arti yang sederhana, nilai tukar ini tercermin pada harga, sekalipun nilai tukar tidak selalu identik dengan harga. Misalnya, nilai seporsi sate Rp10.000,00 dan nilai sebuah topi juga Rp10.000,00. Dikatakan bahwa nilai seporsi sate sama dengan nilai sebuah topi, yaitu Rp10.000,00 sekalipun nilai pakai keduanya berbeda.
Menurut Marx, nilai tukar suatu barang ditentukan oleh waktu kerja— bukan waktu kerja individual melainkan waktu rata-rata kerja sosial—yang dibutuhkan untuk memproduksi barang tersebut. Jadi, mengapa nilai tukar lima potong sapu tangan, misalnya, sama dengan dua potong dasi? Jawabnya karena waktu yang digunakan untuk menghasilkan lima potong sapu tangan sama dengan waktu yang digunakan untuk menghasilkan dua potong dasi.
Nilai pekerjaan mengatakan bahwa nilai tukar barang ditentukan oleh jumlah pekerjaan yang masuk dalam produksinya.

b. Teori tentang Nilai Tenaga Kerja

Paralel dengan teori nilai pekerjaan di atas, nilai tenaga kerja juga ditentukan oleh jumlah “pekerjaan” yang diperlukan untuk menciptakannya. Jelas, dalam hal ini tenaga kerja diperlakukan sama persis dengan komoditas. Bila seorang tenaga kerja (secara khusus Marx menunjuk buruh) sehari butuh uang Rp10.000,00 untuk makan agar ia tetap bisa bekerja, membeli pakaian, perumahan dan biaya membesarkan dan mendidik anak (inilah yang dimaksud dengan pekerjaan yang diperlukan untuk menciptakannya) agar kelak bisa menggantikannya, nilai tenaga kerja tersebut adalah Rp10.000,00 per hari. Di sisi lain, ketika seorang pemilik modal membayar Rp10.000,00 sehari kepada tenaga kerja, secara teoretis ia boleh dan bisa menggunakannya selama 24 jam sehari. Tetapi, karena orang juga perlu istirahat untuk memulihkan tenaga, waktu kerja itu kemudian hanya menjadi 8 jam atau lebih bila memungkinkan.

c. Teori tentang Nilai Lebih

Kita andaikan bahwa nilai tenaga kerja adalah Rp10.000,00 per hari. Dalam kondisi normal, menurut Marx, pemilik modal (majikan) akan membayar sesuai dengan nilai tenaga kerja tersebut, yakni Rp10.000,00 per hari. Dalam kondisi tidak normal—kelebihan penawaran atau kelebihan permintaan—nilai tenaga kerja tersebut akan bergerak naik atau turun, tetapi tetap akan berkisar pada nilai Rp10.000,00.
Apa yang akan dilakukan majikan setelah ia membayar buruh sebesar Rp10.000,00? Ia akan mempekerjakan buruh tersebut misalnya selama 8 jam per hari. Dari pekerjaan si buruh, majikan akan memperoleh komoditas, misalnya nilainya Rp20.000,00.
Tampak di situ bahwa dengan membayar Rp10.000,00 si majikan memperoleh komoditas senilai Rp20.000,00. Selisih antara nilai komoditas dan nilai tenaga kerja yang dibayar majikan inilah yang disebut Marx sebagai nilai lebih.
Dalam sudut pandang ini, sebenarnya si buruh cukup bekerja empat jam sehari untuk menutup uang yang dikeluarkan si majikan guna membayar tenaga kerja. Tetapi, si buruh harus bekerja 8 jam sehari karena ia telah menjual sehari tenaganya kepada si majikan. Dalam pandangan Marx, 4 jam selebihnya tersebut (nilai lebih) sebenarnya merupakan hak buruh. Tetapi, dalam kenyataannya hak tersebut dirampas oleh si majikan.

d. Teori tentang Laba

Jadi, bagi Marx, nilai lebih merupakan satu-satunya sumber laba pemilik modal. Semakin tinggi nilai lebih, semakin tinggi keuntungan yang diperoleh si pemilik modal. Dan, bagi Marx, penyingkapan nilai lebih tersebut merupakan penyingkapan rahasia yang ada di balik logika sistem perekonomian kapitalis.
Franz Magnis Suseno memberikan gambaran berikut ini, untuk menjelaskan maksud Marx.[7]
Pada masa prakapitalis, kegiatan perekonomian dilakukan dengan cara tukar-menukar barang. Barang (B1) ditukar dengan barang lain (katakan barang 2/B2) di mana nilai tukar barang 1 sama dengan nilai tukar barang 2. Secara diagramatis bisa digambarkan:
B1 B2 di mana B1 = B2.
Pada saat perekonomian masyarakat telah mengenal uang (U), diagram di atas berkembang menjadi sebagai berikut:
B1 U B2 ; B1 tetap sama dengan B2.

Tetapi, dalam sistem kapitalisme, barang (B) akan berubah menjadi komoditas (K) karena orang membeli barang tidak hanya untuk dikonsumsi atau memenuhi kebutuhan hidupnya tetapi untuk dijual kembali. Uang (U1) dibelikan barang (K) dan barang tersebut dijual kembali untuk memperoleh uang (U2). Secara diagramatis akan tampak sebagai berikut:
U1 K U2

Yang menjadi daya tarik dari sistem ini adalah bahwa U2 > U1. Itulah laba! Tanpa U2 > U1 niscaya orang tidak akan tertarik melakukan perdagangan. Dalam konteks yang lebih kompleks (industri) uang (U) tersebut akan berupa modal (M) tetapi logika dasarnya tetap tidak berubah. Modal (M1) dipakai untuk menghasilkan komoditas (K) dan komoditas dijual untuk menghasilkan modal lagi (M2). Secara diagramatis akan tampak sebagai berikut:
M1 K M2

Dalam kenyataannya atau setidak-tidaknya secara normatif, M2 > M1. Padahal prinsip dasar kapitalisme adalah bahwa pertukaran terjadi pada dua atau lebih barang dengan nilai yang sama. Artinya, menurut logika ini, M1 seharusnya sama dengan M2. Tetapi, dalam kenyataanya M2 > M1.

Muncul pertanyaan di situ: dari manakah sumber kelebihan M2 dibanding M1? Kita bisa menelisiknya pada K. Untuk bisa menghasilkan komoditas, oleh pemilik modal M1 akan diinvestasikan dalam bentuk—katakanlah—tanah, gedung, mesin (X); bahan baku (Y) dan tenaga kerja langsung (Z). Jadi, secara diagramatis, rumusan di atas akan menjadi sebagai berikut:
M1 (X + Y + Z) M2

Masih menurut Marx, penjualan komoditas tidak mungkin menghasilkan lebih daripada pengembalian bersih amortisasi/depresiasi (X) dan pembelian bahan baku (Y). Jelaslah sekarang bahwa bila pada kenyataannya M2 > M1, kelebihan itu berasal dari Z (tenaga kerja langsung) yang sekaligus merupakan sumber laba pemilik modal. Teori ini memperkuat pandangan Marx bahwa satu-satunya laba yang diperoleh pemilik modal adalah berasal dari nilai lebih yang diberikan buruh.

Di situlah sumber eksploitasi tersebut. Sifat eksploitatif tidak pertama-tama terletak pada nilai lebih melainkan pada kenyataan bahwa nilai lebih tersebut akan menjadi hak eksklusif pemilik modal. Bisa jadi nilai lebih di atas tidak masuk ke kantong si pemilik modal tetapi akan langsung diinvestasikan lagi untuk meningkatkan produksi. Aktivitas ini pada akhirnya justru akan menimbulkan akumulasi modal dan bagaimanapun akumulasi modal yang diperoleh dari nilai lebih di atas tidak pernah akan jatuh pada para pekerja. Di sinilah titik rawan ketimpangan yang semakin lebar antara pemilik modal dan buruh bisa ditunjuk.

III. Tinjauan Kritis

Betapapun banyak hal harus dikritisi menyangkut teori nilai lebih yang dikemukakan Marx sebagai titik pijak penting untuk mengkritik kapitalisme, jauh-jauh hari Marx telah memberi rambu-rambu bahwa sistem kapitalisme mengandung bahaya penghisapan manusia atas manusia (yang kuat terhadap yang lemah). Justru karena itu, Gunnar Myrdal dan John Kenneth Galbraith merasa perlu memberikan penekanan bahwa perlindungan terhadap yang lemah melalui kebijakan institusional (institutional policy) adalah mutlak dalam sistem ekonomi kapitalis.[8] Institutional Policy itu, misalnya dalam bentuk Undang-undang yang membatasi kekuasaan golongan ekonomi kuat (pemilik modal).[9]

Bahkan, sebagai ideologi sepantasnya kapitalisme memang harus dicurigai sebagai sesuatu yang tak bebas nilai. Joan Robinson sebagaimana dikutip oleh Mubyarto mengemukakan “The very nature of economics is rooted in nationalism ... The classical economists were in favor of Free Trade because it was good for Great Britain not because it was good for the world...”[10]
Semua itu menguatkan pendapat Marx bahwa sistem ekonomi kapitalisme mengandung bahaya eksploitatif.

Namun demikian, tampaknya ada beberapa hal yang luput dari perhatian Marx saat ia mengajukan teorinya tentang nilai lebih sebagai pijakan mengkritik kapitalisme.
1. Marx mengemukakan bahwa nilai tukar suatu barang ditentukan oleh jumlah pekerjaan (waktu pekerjaan) yang diperlukan untuk menghasilkan barang. Benarkah nilai tukar sebuah barang hanya ditentukan oleh jumlah pekerjaan yang diperlukan untuk menghasilkan barang tersebut?

Dalam kenyataan empiris, teori di atas tidak sepenuhnya sesuai dengan realitas. Dalam kenyataannya, nilai tukar suatu barang—selain memang ditentukan oleh pekerjaan yang diperlukan untuk menghasilkannya—juga ditentukan oleh nilai pakai dan selera bahkan juga kelangkaan.

Misalnya, dalam kehidupan sehari-hari kita bisa menjumpai orang menjual sepeda motor miliknya dengan harga sangat murah karena, misalnya, ia harus membayar cicilan utang. Nilai tukar motor tersebut menjadi turun, bukan karena nilai tukarnya memang turun, melainkan karena pada saat itu nilai pakainya tidak lebih penting daripada uang yang harus segera dimiliki si pemilik untuk membayar utang. Dalam kasus lain adalah barang-barang seni atau barang-barang antik. Waktu yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang di atas tidak relevan untuk diperhitungkan ketika kita melihat nilai tukarnya. Barang seni menjadi mahal karena, salah satunya, ditentukan oleh unsur selera si pembeli sedangkan barang antik menjadi mahal mungkin karena kelangkaannya.

Jelaslah bahwa premis Marx yang mengatakan bahwa nilai tukar suatu barang semata-mata ditentukan oleh jumlah waktu atau pekerjaan yang diperlukan untuk menghasilkan barang tersebut tidak terbukti secara empiris. Dalam hal ini, tampaknya Marx terlalu simplisistis.

2. Konsep waktu rata-rata yang digunakan Marx untuk menentukan nilai tukar suatu barang juga sangat abstrak. Misalnya dikatakan bahwa waktu rata-rata yang diperlukan untuk membuat sebuah ukiran kayu adalah 5 jam. Dari manakah angka 5 jam tersebut? Taruhlah kita memang bisa mengukur waktu rata-rata yang diperlukan untuk menghasilkan sebuah ukiran kayu, yakni 5 jam. Penemuan teknik membuat ukiran yang sedikit saja mempercepat waktu pembuatan ukiran kayu akan mempengaruhi waktu rata-rata tersebut apabila penemuan teknik di atas diketahui. Sebaliknya, seandainya penemuan teknik tersebut tidak diketahui—sekalipun sebenarnya sangat mempercepat waktu pembuatan ukiran kayu—tidak akan diperhitungkan.

3. Marx menyatakan bahwa yang menciptakan nilai lebih pada suatu komoditas adalah tenaga kerja langsung (buruh). Premis ini jelas bertentangan dengan kenyataan empiris. Kita ambil contoh kaos dagado. Benarkah nilai lebih kaos tersebut hanya diciptakan oleh penyablon kaos? Tentu saja tidak. Tak kurang penting orang-orang yang memberi nilai lebih pada kaos tersebut adalah desainer, pencipta kalimat dan juga bagian marketing.

4. Ketika Marx menyatakan bahwa upah buruh semata-mata ditentukan berdasarkan pertimbangan ekonomis, ia telah salah mengantisipasi bahwa pada kenyataannya pada saat ini upah buruh juga ditentukan berdasarkan pertimbangan politis. Dalam menentukan upah minimum regional (UMR), misalnya di dalam dewan pengupahan terdapat unsur pemerintah dan serikat buruh selain unsur industri. Tampak di situ, bahwa unsur politis juga sangat memegang peran dalam menentukan upah buruh. Hal ini gagal diprediksi Marx.

IV. Kesimpulan

Sejarah—setidaknya hingga hari ini—masih berpihak pada kapitalisme. Premis-premis yang digunakan Marx pun mengandung banyak kelemahan.[11] Para marxis mungkin masih tetap meyakini bahwa apa yang pernah diramalkan Marx tetap merupakan keniscayaan. Apa yang sekarang ini sedang terjadi—berjayanya kapitalisme—sesungguhnya merupakan proses untuk menuju kapitalisme global sebelum akhirnya terjadi apa yang disebut Marx sebagai revolusi sosial.

Tak begitu perlu untuk memperdebatkan apakah sejarah memang akan berjalan sebagaimana yang diramalkan para marxis. Yang sekarang ada di depan mata adalah bahwa kita saat ini hidup dalam alam kapitalis. Menolak mentah-mentah kapitalisme jelas merupakan sikap tak realistis. Tapi, menerima tanpa reserve kapitalisme juga tak kalah naifnya. Sikap paling tepat yang mungkin bisa diambil adalah hiduplah dalam alam kapitalis karena hal itu memang sebuah kenyataan, tetapi tetap kritis terhadapnya karena ternyata sebagaimana ditunjukkan Marx, kapitalisme juga mengandung hal-hal negatif dalam dirinya.

Apakah kita sudah melakukannya? B. Herry Priyono secara eksplisit menjawab pertanyaan tersebut. “... Bangsa kita sekarang ini sedang menghadapi ... kapitalisme global. Akibatnya tata kehidupan sosial, politik, budaya dan ekonomi menjadi tidak manusiawi dan meningkatnya marjinalisasi dan pemiskinan sebagian besar masyarakat. Kinerja ekonomi pasar (sebagai instrumen penting kapitalisme)... dipakai sebagai satu-satunya cara mengorganisasi seluruh tata masyarakat” (Kompas, 23 Oktober 2007, penekanan dari penulis). Betapa menyedihkannya!

Daftar Pustaka
Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Fakih, Mansour. 2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press.
Hatta, Mohammad. 1967. Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Mubyarto. 1987. Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan. Jakarta: LP3ES.
Supono, Eusta. 2003. Agama Solusi atau Ilusi? : kritik atas kritik agama Karl Marx. Yogyakarta: Komunitas Studi Didaktika.
Suseno, Franz Magnis. 1999. Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wilardjo, Liek. 1996. Ilmu dan Teknologi (bunga rampai materi kuliah Program Pascasarjana Telaah Agama, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta).






[1] Ritzer sebagaimana dikutip Mansour Fakih dalam Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Insist Press, 2001), hlm. 20
[2] Eusta Supono, Agama Solusi atau Ilusi? : Kritik atas Kritik Agama Karl Marx (Yogyakarta: Komunitas Didaktika, 2003), hlm. 12.
[3] Bdk. Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 36.
[4] Frans Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 1 – 3
[5] ibid, hlm. xi.
[6] ibid, hlm. 178 - 187
[7] Lihat Ibid, hlm. 188 – 191.
[8] Bdk. Mubyarto, Ekonomi Pancasila (Jakarta: LP3ES, 1993), hlm. 26
[9] Ibid
[10] Ibid hlm. 55.
[11] Karl Popper bahkan menyebut teori materialisme historis Marx sebagai teori yang tidak ilmiah (lihat Karl R. Popper, Conjectures and Refutations, dalam Liek Wilardjo (ed), Ilmu dan Teknologi (bahan kuliah Program Pascasarjana Telaah Agama, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta).

Tidak ada komentar: