Kamis, 18 Oktober 2007

Cerpen

Bu Indar

Gebrakan meja dan teriakan “Diaaaaam!” dari Bu Indar disambut murid-muridnya dengan todongan pisau, arit, golok, dan cutter. Bu Indar melongo, nyaris tak percaya dengan pemandangan itu. Ini tak seperti biasanya. Biasanya, dengan cukup pasang muka masam Bu Indar sudah bisa membuat murid-muridnya ketakutan bukan kepalang. Dan, dengan sekali bentak, ia bisa membuat murid yang dibentaknya terkencing-kencing.
Berkali-kali ia mencubit-cubit sendiri tangannya dan menepuk-nepuk kedua pipinya dengan tangannya untuk memastikan bahwa ia sedang bermimpi.

Tidak! Ini bukan mimpi. Sadar bahwa itu terjadi di dalam sadar, buru-buru Bu Indar ingin berlari meninggalkan kelas. Namun, baru selangkah ia mengayunkan kakinya, si Renald gendut sudah berkacak pinggang di pintu mengayun-ayunkan goloknya sambil tersenyum-senyum gaya Wira Sableng.1

Bu Indar celingukan. Ia menyaksikan ketiga puluh pasang mata murid-muridnya menatapnya tajam. Selanjutnya, perlahan-lahan para pemilik mata itu serentak melangkahkan kaki menuju tempat Bu Indar berdiri sambil tetap menodongkan senjata yang mereka bawa. Jantung Bu Indar berdetak kencang. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhnya. Kaki dan bibirnya gemetar. Perutnya tiba-tiba menjadi mulas tanpa sebab. Beberapa buku matematika yang dipegangnya berjatuhan satu per satu seperti setumpuk kertas tertiup angin.
Kini ia berdiri terpaku dengan bola mata bergerak ke sana kemari. Murid-murid semakin mendekatinya. Naluri Bu Indar mendorongnya berteriak minta tolong. Tapi, belum lagi selesai ia menghirup udara untuk berteriak, si rambut jabrik Rian sudah mengarahkan aritnya di perut Bu Indar.
“Jangan berteriak! Kami tak akan melukai Ibu asal Ibu tidak berulah!” ucapnya bak seorang intel polisi yang sedang membekuk bajingan buruannya.
“Apa-apaan ini?” batin Bu Indar.
Dari sudut kanan belakang Roni yang hasil ulangan matematikanya tak pernah lebih dari 4 berjalan dengan dada membusung, menyibak barisan teman-temannya. Barisan itu membelah, seperti air laut diterjang jet ski. Ia lalu berdiri tepat di depan Bu Indar.
“Ibu tak usah khawatir selama Ibu mengikuti perintah kami!”

Bu Indar tak menggubris. Beberapa kali ia mengerut-ngerutkan dahinya dengan mulut sedikit terbuka. Kaca matanya perlahan-lahan melorot karena kedua sisi hidungnya semakin basah dengan keringat. Perutnya terasa semakin mulas dan saluran kencingnya serasa menahan desakan seember air. Sementara telapak kakinya serasa ingin melemparkannya keluar kelas, pada saat yang sama tumitnya seakan terpaku dengan lantai yang diinjaknya.
“Ka...ka... kalian... apa maksud kalian?”
“Turuti perintah kami kalau tidak ingin celaka!”
Bu Indar menatap satu per satu wajah murid-muridnya yang kini seakan berubah menjadi wajah-wajah setan.
“Ibu tenang saja. Sekarang duduklah!” tukas Roni.
Bu Indar ragu-ragu. Si Jabrik menggerakkan aritnya ke arah meja guru, memberi isyarat agar Bu Indar segera duduk.
Sambil tetap berusaha memandangi wajah murid-muridnya Bu Indar terpaksa menuruti perintah Roni. Ia duduk di kursi guru dengan segudang pertanyaan menggantung di dahinya.

Tiba-tiba Erni, si pemilik rambut ekor kuda maju ke depan kelas.
Tanah airku amat subur
Dengarkanlah rayuan kalbuku
Kepadamu jiwaku berlagu
Rayuan Tanah Airku2
Suara emasnya memukau kelas, dengan senyum dan gaya Karlinanya3.
“Ayo, tirukan!” perintah Renald yang tanpa disangka-sangka Bu Indar sudah berada di depan mejanya.
Wajah Bu Indar menjadi pucat pasi. Tidak hanya oleh golok si badan gendut itu, tetapi juga karena ia tidak pernah bisa menyanyi dengan nada dan irama yang pas. Suaranya pun lebih menyerupai kaleng kosong yang dilempar ke lantai.
“Ayo!” suara Renald sedikit keras.
“Tanah airku amat su...” Bu Indar terpaksa menuruti.
Geeeer.... kelas terbahak. Nada Bu Indar pada suka kata “su” menjadi terlalu tinggi dan melengking. Dalam hati Bu Indar geram, tapi tak bisa berbuat banyak.
“Ini tidak adil!” batinnya.

Belum habis penasaran Bu Indar, Adrien melangkah ke depan kelas. Badannya yang ceking mengesankan jalannya melayang, seakan tak menapak tanah. Baju putihnya tak lagi bisa dibilang putih, coreng-moreng penuh bekas cat minyak.
Ia mengambil kapur dan mulai corat-coret di papan tulis. Tak sampai sepuluh menit terlukislah seorang wanita muda cantik, persis seperti wanita-wanita yang dilukis di belakang bak truk angkutan barang.
Adrien lalu meletakkan sisa kapur yang dipegangnya di depan Bu Indar. Bu Indar gelagapan! Pelecehan kedua terjadi.
“Ibu boleh meniru gambar Adrien!” kata Roni.
Bu Indar bergeming. Ia tahu, bagaimanapun kerasnya ia berusaha meniru gambar Adrien, mirip pun pasti tidak!
“Ayo!” ulang Roni dengan suara sedikit keras.

Bu Indar terpaksa beringsut. Ia ambil kapur yang diletakkan Adrien di depannya.
Sepuluh menit. Seperempat jam. Usai. Namun, jangankan cantik. Gambar itu tidak jelas, laki-laki atau perempuan. Rambutnya memang rambut perempuan, tapi rahangnya terlalu kotak. Hidungnya terlalu lebar. Mulutnya tak berbentuk, mencong ke sana kemari.
Kelas tertawa terbahak-bahak lagi! Muka Bu Indar merah padam, tapi tak berani berkutik.
Belum habis deram kelas, klik! Roni memutar tape recorder dan mengalunlah Drinking Song from Traviata.4
Anak-anak yang berdiri di depan kelas mundur sehingga terbentuklah kalangan, kecuali Sinta yang kemudian memutar-mutar badannya dengan hanya bertumpu pada kedua jempol kakinya. Ia kemudian mengangkat salah satu kakinya ke depan badannya dengan ujung jari kaki lurus menembus bumi dan tetap bertumpu pada salah satu jari-jari kakinya. Tangannya merentang lalu badannya berputar seperti kincir. Kali lain badannya menyorong ke depan sedikit ke samping dengan tangan merentang. Kakinya yang satu ditarik ke belakang lurus dengan badannya, sehingga terlihat sekan sedang melayang. Ia memutar dan kembali berdiri tegak. Meloncat ke sana kemari selincah prenjak. Berputar lagi. Mengangkat kaki lagi. Melompat lagi.

Napas Bu Indar menjadi sesak. Tersengal-sengal. Ia mengadu rahang atas dan rahang bawahnya hingga gemeretak.
“Aku tidak mungkin diam lagi!” batinnya. Dengan badan yang lebih menyerupai tong, tak mungkinlah ia bisa menari balet selincah Sinta. “Ini sudah keterlaluan!”
Sinta masih meliuk-liuk, menekuk-nekuk badannya yang seelastis karet gelang ketika tiba-tiba Bu Indar berteriak, “Hentikan! Kalian memintaku menari balet?” suaranya keras memecah keheningan. Klik! Tape dimatikan. Sinta berhenti menari. Kelas senyap sejenak.
“Ini pelecehan. Tidak adil! Kalian menyuruhku melakukan sesuatu yang tidak mungkin aku kerjakan. Kenapa kalian tidak menyuruhku mengerjakan matematika?” Bu Indar menyerocos entah dapat keberanian dari mana.
“Ibu marah, jengkel, sakit hati, dan merasa dilecehkan?” tukas Roni dengan suara lembut.
“Jelas!” sahut Bu Indar tegas.
“Itu juga yang kami rasakan ketika Ibu memaksa kami harus pintar matematika!”
***
Kelas ramai bukan kepalang. Murid-murid saling ingin tahu nilai ulangan trigonometri yang dibagikan Dodi, si ketua kelas IIIA.
“Sinta, berapa?” tanya Rian sedikit berteriak.
“Bebek!” Dan keduanya pun terbahak bersama.
“Ron, berapa?”
“Kursi terbalik! Kamu berapa?”
“Telor busuk!”
Hahaha....

Bu Indar masuk kelas masih disambut tawa-canda murid-muridnya. Telor-telor... kursi obral! Wek wek wek... hahahaha...
Bu Indar hanya tersenyum-senyum. Ia tahu apa yang dimaksud murid-muridnya. Nyaris sekelas nilai ulangan matematikanya jelek, kecuali Yoar yang mendapat nilai 9. Kaca matanya yang tebal, tidak banyak omong, tangannya tak lepas membawa buku membuat teman-temannya menjulukinya profesor.
Tidak seperti dulu, Bi Indar kini bisa menerima kenyataan bahwa memang tidak semua murid bisa matematika. Ia pun kini tak lagi memaksa semua murid harus pintar matematika. Persis seperti ketika ia menyadari bahwa dirinya pun tak bisa menyanyi semerdu Erni, menggambar seterampil Adrien, dan menari segemulai Sinta.
“Gimana, puas?” Sapa Bu Indar.
Huuuu!! Renald merebut kertas ulangan teman-temannya. Kelas ribut. Sinta berteriak-teriak protes. Erni mengejarnya ingin merebut kembali, tapi tak berhasil. Ia harus puas hanya bisa memukul-mukul punggung Renald. Renald kemudian menjejer nilai-nilai itu di papan tulis dengan selotip.
“Mari kita menyanyi!” ajak Renald.
“Do do mi sol sol fa fa re re re... nol nol nol!” Ia membaca nilai-nilai itu seakan sedang membaca not. Kelas terbahak.
“Sudahlah,” sergah Bu Indar.
“Ibu tidak kecewa?” tanya Erni.
“Saya tahu kalian sudah maksimal. Persis seperti ketika dulu Ibu belajar menyanyi, menggambar, atau menari tapi tak juga bisa!”
“Tapi, Ibu bilang orang harus pintar matematika. Hidup kita tak bisa lepas dari matematika!” tukas Roni.
“Betul. Tapi, untuk jadi tukang sayur nggak perlu ahli trigonometri kan?” seloroh Bu Indar.
Kelas gemuruh.
“Gini. Namun demikian, sekalipun besok kalian tidak hidup dengan matematika, kalian tetap harus bisa berpikir matematis. Artinya, rasional, sistematis, dan logis. Itu yang lebih kalian butuhkan dalam hidup nanti!” nasihat Bu Indar.
Kelas senyap, merenungkan nasihat Bu Indar. Di bangku belakang Roni berkali-kali menguap hingga matanya sembab.
***
Jam pertama. Bu Indar hendak masuk kelas. Tangan kirinya dilipat di dada, penuh dengan berbagai buku sumber matematika. Kelas sepi. Semua murid melipat tangannya dan meletakkan dagunya di meja. Tak ada sapa “Selamat pagi!” Bu Indar mulai curiga. “Mau apa lagi anak-anak ini!” batin Bu Indar. Jangan-jangan peristiwa itu akan terulang. Ia menghentikan langkahnya hanya tiga langkah dari pintu lalu memandangi satu per satu wajah murid-muridnya yang tak satu pun memerhatikan kehadirannya.
“Selamat pagi?” sapa Bu Indar.
Tak disahut. Semua kepala tetap tertunduk.
“Selamat pagi?” Bu Indar mengulang menyapanya. Kelas tetap membisu. Hanya Yoar yang terlihat sesekali mengangkat wajahnya sambil lirak-lirik ke kiri dan ke kanan.
Bu Indar memberanikan diri melangkah dan duduk di kursi guru. “Aneh. Kalian sedang berduka?”

Tiba-tiba Erni berdiri dan melangkahkan kaki ke depan kelas diikuti Dion yang menenteng gitar.
Terpujilah wahai engkau
Ibu Indarwati
Namamu akan selalu hidup
Dalam sanubariku
Semua baktimu
Akan kuukir di dalam hatiku
Sbagai prasasti trima kasihku
Tuk pengabdianmu...5

Erni mengalunkan lagu itu penuh penghayatan. Dentingan petikar gitar Dion menjadikan suara Erni sangat menyentuh hati. Mata Erni tampak berkaca-kca saat ia menyanyikan lagu itu, memancing sendu seluruh kelas.
“Ini apa lagi? Mereka akan menyuruhku menyanyi lagi?” batin Bu Indar. Jantungnya kembali berdebar. Wajah Bu Indar perlahan-lahan menjadi pucat pasi. Ia celingukan menatap ketiga puluh wajah yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya.
Jantung Bu Indar berdetak kencang. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhnya. Kaki dan bibirnya gemetar. Perutnya tiba-tiba menjadi mulas tanpa sebab. Beberapa buku matematika yang dipegangnya berjatuhan satu per satu, seperti setumpuk kertas tertiup angin.
Dari arah belakang Roni berjalan ke depan kelas, menyibak kerumunan teman-temannya.

Kedua tangannya menyangga sebuah piring besar penuh bakmi goreng bikinannya sendiri. Ia lalu meletakkannya di depan Bu Indar.
Beberapa kali Bu Indar mengerut-ngerutkan dahinya dengan mulut sedikit terbuka. Kaca matanya perlahan-lahan melorot karena kedua sisi hidungnya semakin basah dengan keringat. Perutnya terasa semakin mulas dan saluran kencingnya serasa menahan desakan seember air.
“Kalian mau apa lagi?” bentak Bu Indar geram. Suaranya begitu keras hingga terdengar di ujung kelas yang lain. Jreng! Dion menjawab teriakan Bu Indar itu dengan korekan gitarnya. Serentak seluruh murid menyanyikan lagu Happy Birthday to You.

Tidak ada komentar: