Selasa, 16 Oktober 2007

Artikel

Iman dan Kekuatan Pikiran
Oleh: S. Rahoyo

Agak kebetulan memang, bahwa dalam bahasa Indonesia kata “iman” dan “amin” terdiri dari huruf-huruf yang sama, cuma berbeda dalam hal susunannya. Namun, dengan metode othak-athuk gathuk (dikutak-kutik supaya akhirnya cocok), ternyata kedua kata ini memiliki hubungan yang erat.

Tak bisa disangkal bahwa inti iman adalah “amin” yang berarti “aku percaya”. Bohong belaka orang mengatakan beriman, tapi tidak pernah memercayai sesuatu yang diimaninya itu. Sebaliknya, ungkapan “amin” tanpa iman, tak ubahnya sebuah igauan. Kata itu menjadi kata kosong, tak bernyawa. Kata “amin” yang diungkapkan tanpa didasari iman tak beda jauh dengan ucapan “Selamat pagi” yang diocehkan burung beo. Orang lain bisa mendengar dan mengerti artinya, tapi sejatinya kata-kata itu tak mengungkapkan makna apa pun sebab pada sore hari pun si beo akan mengatakan, “Selamat pagi”.

Persoalannya kemudian, percaya macam apakah iman itu. Kalau kita percaya bahwa api itu panas, itukah iman? Jika kita meng-AMIN-i bahwa bumi ini berputar pada porosnya searah jarum jam, apakah itu yang disebut iman? Juga: seandainya kita menjadi percaya kepada Allah karena Dia bisa melakukan mukjizat-mukjizat, itukah iman?

Total dan Tanpa Syarat

Sayang, bahwa iman (Kristen) tidak sesederhana itu! Iman senantiasa melibatkan Pribadi lain dan prasyarat-prasyarat tertentu. Dalam arti tertentu, iman mirip-mirip dengan cinta. Cinta yang dalam arti pemberian diri secara total dan tanpa syarat kepada orang yang kita cintai, demikianlah iman: percaya di situ mesti diartikan sebagai penyerahan diri secara total (totally) dan tanpa syarat (unconditionally) kepada Pribadi yang kita imani. Total berarti menyangkut seluruh hidup kita. Penyerahan diri secara “total” mengisyaratkan keadaan di mana tak secuil pun dari hidup kita, kita percayakan kepada pihak lain. Begitu setitik saja bagian hidup kita, kita serahkan kepada oknum lain (diri sendiri, harta, dukun, nasib, dsb) dengan sendirinya kadar kepercayaan itu turun menjadi “sedikit kurang percaya” dan dengan sendirinya pula iman itu pun menjadi ternoda.

Sementara kondisi “tanpa syarat” mengandaikan keadaan bahwa kita berpasrah diri pada Oknum yang kita imani tersebut, semata-mata karena kita memang mau berpasrah. Kalau kebetulan Oknum yang kita imani tersebut memang hebat, murah hati, berkuasa, dahsyat, dst. syukurlah. Tapi, seandainya pun tidak, itu tidak akan mengurangi kadar kepercayaan kita (bdk. Yoh. 20:29). Tentu saja hal ini harus dibedakan dengan kepercayaan buta. Ini juga yang semestinya terjadi pada cinta. Kita mencintai seorang pribadi bukan karena ia baik hati, kaya, pintar, berkedudukan, atau sebaliknya, karena ia menderita, melainkan karena kita memang mau mencintainya (unconditional).

Jika kita beriman karena Oknum yang kita imani memenuhi semua keinginan kita, pada hakikatnya iman kita telah bersyarat dan dengan demikian iman itu menjadi tidak murni lagi. Iman yang sesungguhnya—sebagaimana cinta yang sesungguhnya—tidak pernah bersyarat.

Tersirat bahwa menghayati iman yang semacam itu membutuhkan perjuangan tak pernah henti karena pada dasarnya nafsu kemanusiawian kita selalu membutuhkan bukti untuk percaya. Justru karena itu, iman pada hakikatnya menyangkut kondisi menjadi (to be) bukan kondisi memiliki (to have). Kita menjadi semakin beriman atau semakin kurang beriman, bukan semakin memiliki atau semakin kurang memiliki iman. Sebagai orang beriman kita percaya bahwa iman itu telah ditabur sendiri oleh Allah dalam hati masing-masing kita. Tinggal hati kita sendirilah yang akan menentukan iman itu akan semakin berkembang atau justru semakin layu dan akhirnya mati (bdk. Matius 13).

Teladan Iman

Salah seorang teladan orang beriman adalah Maria, ibu Yesus. Saat malaikat Gabriel memberitahukannya bahwa ia akan mengandung dari Roh Kudus seorang bayi yang kelak akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi, Maria menjawab, “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Baca Luk. 1: 26-38, huruf tebal oleh penulis).

Kalimat Maria itu mencerminkan penyerahan diri secara total dan tanpa syarat kepada Allah. Bayangkanlah seandainya kita waktu itu menjadi Maria. Kita harus hamil padahal belum bersuami. Logika ilmiah mana yang bisa menjelaskan bahwa perempuan bisa mengandung tanpa melakukan persetubuhan? Kalau toh akhirnya benar kita hamil, urusannya justru akan menjadi panjang sebab adat di sana akan menghukum perempuan yang hamil sebelum menikah. Bagaimana nanti kalau ternyata Yusuf (tunangan kita) tidak hanya tidak mau menerima kenyataan itu, tapi malah menuduh kita telah berbuat serong? Apa jaminannya bahwa bayi yang akan kita kandung memang Anak Allah? Seribu satu pertanyaan dan keraguan lain masih bisa kita ajukan!

Tetapi, Maria sama sekali tidak mempersoalkan semua itu. Apa pun yang akan terjadi pada kehidupannya akibat kehamilan itu (total), ia percayakan seutuhnya kepada kehendak Allah. Ia juga tidak perlu menuntut bukti (tanpa syarat) bahwa Anak yang akan dikandungnya itu benar-benar Anak Allah. Satu-satunya hasrat yang ada dalam hatinya adalah melakukan kehendak Allah yang dinyatakan lewat Malaikat Gabriel. Dan, terbukti, dari sikap iman yang demikian besar yang dimiliki Maria, rencana penyelamatan dunia—lewat kelahiran Yesus, dan kelak kematian dan kebangkitan-Nya—terjadi. Hal itu dipercayai oleh miliaran orang Kristen di seantero dunia hingga detik ini!

Kekuatan Pikiran

Tahun 80-an ilmu psikologi mengungkapkan dalilnya yang amat dikenal bahwa rata-rata manusia hanya menggunakan 10% dari seluruh potensi yang ada di dalam dirinya. Ini menjadi titik tolak berkembangnya ilmu pengembangan diri (self development). Sejak itu berkembanglah berbagai upaya (training, seminar, meditasi, dsb) untuk menggali 90% potensi diri yang lain.

Dalam implementasinya, upaya itu bermuara pada kekuatan pikiran. Kita akan menjadi bisa bila kita berpikir kita bisa. Sebaliknya, kita akan menjadi tidak bisa jika kita berpikir tidak bisa. Sejauh mana kita bisa memengaruhi (sugesti) pikiran kita, sejauh itu kenyataan akan terjadi pada diri kita.

Contoh klasik yang diberikan adalah orang yang telah kecanduan obat tidur. Orang ini tidak pernah bisa tidur jika tidak meminum obat tidur. Sekali waktu, obat tidurnya habis dan ia datang kepada dokter langganannya. Sang dokter memang memberikan obat tidur “persis” seperti obat-obat tidur yang diberikan sebelumnya. Bedanya, obat tidur yang kali ini murni dibuat dari gandum. Apa yang terjadi? Setelah meminum “obat” itu, orang yang ketagihan obat tidur tersebut pun bisa tidur. Jadi, orang tersebut bisa tidur bukan karena obat tidurnya, melainkan karena pikirannya. Ketika pikirannya mengatakan, “Saya telah minum obat tidur” padahal yang diminum adalah gandum, ia pun bisa tidur.

Pengaruh kekuatan pikiran ini pun digunakan dalam dunia kesehatan. Terbitlah buku The Power of Mind to Heal. Di situ banyak contoh dikemukakan bagaimana para penderita penyakit akut sekalipun bisa sembuh dengan memengaruhi pikirannya.

Belakangan, tampaknya, entah disadari atau tidak kekuatan pikiran ini pun diimplementasikan dalam hal-hal spiritual, khususnya menyangkut doa. Muncullah istilah “menghamili diri” dalam doa. Maksudnya, jika kita memunyai permohonan sesuatu kepada Tuhan, pikirkanlah bahwa kita telah memiliki sesuatu itu. Lebih daripada sekadar “memiliki”, bahkan kita diajar untuk membayangkan sesuatu itu secara detil. Jika kita berdoa minta mobil, misalnya, mobil itu setiap saat harus dibayangkan sudah kita miliki lengkap dengan jenis, merek, warna, dan hal-hal lain menyangkut mobil permintaan kita tersebut. Kalau perlu bahkan kita harus menempel foto mobil yang kita minta di kamar tidur, di kamar mandi, di dompet, dan di tempat-tempat lain yang mudah kita lihat dan setiap kali melihatnya kita mengatakan pada diri sendiri, “Tuhan, inilah mobilku!” Dalam banyak kasus, itu memang terbukti.

Dalam logika rasional, hal tersebut sebenarnya tidak susah dipahami. Dalam manajemen kita mengenal istilah “the power of focus”. Karena kita memusatkan segala perhatian kita pada satu hal, semua usaha pun akan kita arahkan padanya. Dengan demikian, tak susah dipahami jika sesuatu itu bisa kita capai.

Kekuatan Pikiran=Iman?

Persoalan terakhir yang perlu dijawab, seperti itukah iman? Per definisi tapi juga berkaca pada teladan Maria dan Abraham ketika ia harus mengorbankan putra tunggalnya, Ishak (baca Kej. 22), jelas bahwa tindakan iman semata-mata diarahkan pada kehendak-Nya, bukan kehendak, kebutuhan, atau nafsu serakah kita. Ingat juga apa yang didoakan Yesus saat-saat terakhirnya, “... tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk. 22: 42, huruf tebal oleh penulis). Di sini berlaku ungkapan, “Tuhan punya kehendak, kita memutuskan untuk mencari dan mengikuti kehendak itu”. Total dan tanpa syarat!

Kedua, tindakan iman tidak pernah semata-mata terarah untuk kepentingan diri. Iman selalu terarah dan menghasilkan kebaikan untuk orang lain. Tindakan iman Maria membuat rencana penyelamatan Allah atas dunia ini terlaksana. Kematian Yesus di salib memungkinkan kebangkitan-Nya. Dengan demikian, kepercayaan kita menjadi tidak sia-sia. Tindakan iman Abraham membuat semua bangsa di bumi mendapat berkat (Kej. 22: 18).

Kesimpulannya, pertama, jelas bukanlah tindakan iman memaksa Tuhan memenuhi keinginan atau kehendak kita dengan bungkus doa sekalipun. Sebab iman pada hakikatnya merupakan penyerahan diri kepada (kehendak) Tuhan. Kedua, permohonan yang semata-mata hanya untuk kepentingan diri (karena sangat ingin naik motor, tidak tahan hidup miskin, yakin bahwa jika orang lain bisa kaya, kita pun bisa kaya) juga bukan tindakan iman.

Semoga kita tidak pernah pupus senantiasa bertanya: inikah tindakan iman atau sebenarnya tindakan menyugesti diri sendiri melalui kekuatan pikiran!
S. Rahoyo adalah penulis, tinggal di Semarang

Tidak ada komentar: